Lelaki itu sudah hampir satu jam duduk di tanggul sungai, dekat sebuah rolak, pintu air. Beberapa lelaki lainnya juga melakukan hal serupa. Hanya saja, mereka membawa pancingan ikan beserta peralatannya. Sedangkan lelaki itu tidak. Ia hanya duduk dan mengamati sungai, terkadang juga mengamati sekitar.
Jack, begitulah orang memanggil lelaki itu. Para tetangga yang menjulukinya demikian sejak ia kecil. Mereka melakukan itu demi kesehatan mental Jack saat ia dewasa. Sebab menurut mereka, bapaknya yang pemabuk sudah jadi gila dengan memberi nama anaknya Jurno. Jurno - ajurno, sebuah nama yang dalam bahasa jawa berarti hancurkan. Ah, apalah arti sebuah nama bagi Jack, lelaki yang hanya ingin menjalani perannya dengan maksimal. Itu saja, tak lebih.
Lalu kenapa ia melakukan kegiatan sia-sia pada siang yang sibuk di hari Senin ini? Tidak bekerjakah dia? Sedang libur? Duduk di tepi sungai, apa mau memancing? Tidak. Dia tak melakukan apapun. Orang - orang hanya akan menyangkanya pengangguran yang menghabiskan waktu menunggu senja tiba. Tanda untuk segera pulang. Entah pulang kemana.
Hei, apa pula waktu? Apa ia sejenis tuhan yang wajib disembah, sehingga orang-orang sangat takut untuk sedikit saja melanggarnya? Ah, sepertinya Jack tidak terlalu peduli dan memahami apa makna waktu. Jelasnya, dua hari lalu ia kehilangan orang spesial di hidupnya. Bukan, bukan kehilangan sebagaimana umumnya. Ia ditinggal. Alasannya sederhana: Perempuan cantik itu menganggap Jack terlalu mendalami perannya dalam hidup. Hingga ia tak punya waktu sejenak saja untuk sekedar duduk berdua dan bersenda gurau.
Perempuan itu juga menganggap bahwa Jack tak bisa menikmati hidup. Menurutnya, Jack punya standar kebahagiaan yang tinggi. Sedangkan ia, tak perlu target-target tinggi hanya untuk bahagia. Wati, sang perempuan itu tak habis pikir, bagaimana mungkin Jack hidup dalam angka-angka dan target-target?
Jack melempar sebuah krikil sambil tersenyum sebelum berdiri. Baginya segala hal yang terjadi adalah keniscayaan dari Tuhan. Memangnya ada satu hal saja yang luput dari pantauan Tuhan? Termasuk kejadian Wati meninggalkannya. Menurut Jack, itu adalah niscaya. Baginya sudah tak ada lagi jarak antara kesedihan dan kebahagiaan. Meski sebagai manusia biasa, ia tetap merasakan kesedihan atas kejadian itu. Sangat sedih, bahkan.
Sebenarnya penilaian Wati terhadap Jack juga tidak salah-salah amat. Jack memang pernah hidup dipenuhi target. Itu terjadi ketika ia masih tinggal di rumah Pakdhenya. Ia diungsikan dari rumah sebab kegilaan bapaknya kian menjadi. Selain pemabuk, bapaknya juga hobi 'jajan di luar' , dan yang lebih serius ia suka melakukan kekerasan terhadap istrinya. Jadi, demi keselamatan masa depan Jurno alias Jack, keluarga mengungsikannya ke rumah Pakdhe.
Sejak itu Jack dituntut untuk mencapai ini itu oleh Pakdhenya. Bagi anak yang dikaruniai kecerdasan seperti Jack, tentu tidak sulit untuk mencapainya. Ia selalu mendapat hadiah atas capaian yang berhasil diraih. Mulai dari prestasi akademik maupun non-akademik. Awalnya dia memang senang atas hadiah yang diterimanya. Tapi semakin lama, segenap capaian beserta hadiah yang dihasilkan itu tak lebih dari sekedar ruang kosong. Hanya menghadirkan kehampaan.
Semakin dewasa Jack semakin tahu cara menetralisir kehidupannya dari target. Terlebih selepas SMA, Jack memilih hidup mandiri berpisah dari Pakdhe. Jack bahkan hampir tak punya target apapun. Ia hanya ingin menghadapi apa yang di depannya. Ketemu macan, lawan. Ketemu pisang, makan. Begitu saja. Justru karena tak punya target, ia seakan begitu mudah mencapai sesuatu yang bagi orang lain sulit.
"Hanya melakukan yang memang harus saya lakukan," demikian jawaban Jack ketika ditanya salah seorang kawannya.
Bagi orang lain, Jack memang terkesan sangat cuek terhadap sekitar. Jack seakan punya dunia sendiri. Itu karena pembawaan Jack yang kadang, atau lebih tepatnya: canggung. Tapi bagi orang yang telah mengenalnya dengan cukup lama dan baik, Jack adalah pemeran yang total. Ia bisa menjadi teman yang paling asyik diajak gila-gilaan. Atau, ia bisa jadi tempat sampah yang bisa menampung apa saja keluh kesahmu.
"Ya, begitulah. Hal buruk ini memang harus terjadi. Ya, memang. Ini karena kebodohanku. Aku tak banyak belajar, selain hanya mengikuti aliran," Jack kembali tersenyum sebelum meninggalkan sungai.
- Riz Tugiez -
Ketika hujan hanya menyentuh awan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar