TUGIEZLAND

Rabu, 23 Januari 2013

Good Governance, Sound Governance, Hingga Pengkastaan, Sudahkah Ilmu Administrasi Negara Runtuh?


Paradigma Old Public Administration (OPA) dalam era keemasannya dulu merupakan konsep yang sangat ideal untuk diterapkan dalam birokrasi pada waktu itu guna mencapai tujuan dari kepentingan bersama (tujuan negara). Menurut paradigma ini, birokrasi dapat berjalan secara efektif dan efisien dengan adanya susunan yang hirarkis serta pembagian tugas yang jelas. Konsep ini berkembang sangat lama, dan merupakan awal perkembangan administrasi negara modern. Hingga kemudian muncul berbagai kritik dari beberapa pakar untuk mengubah paradigma ini menjadi subuah paradigma baru untuk agar lebih cocok diterapkan dan disesuaikan dengan lingkungannya dengan mengadopsi konsep manajemen swasta ke dalam sektor publik. Pada saat itu, apakah bisa dikatakan bahwa ilmu administrasi negara telah runtuh? Padahal menurut Gerald. E Caiden, salah satu ciri administrasi negara adalah bahwa selama negara masih ada, maka administrasi negara tetap ada. Artinya, selama manusia masih ada dan membutuhkan manusia lain dalam mencukupi kebutuhannya (kehidupan sosial), administrasi negara masih tetap diperlukan. Begitupun dalam pembagian paradigma di era OPA oleh Nicholas Henry yang selalu bermunculan paradigma baru (hingga 5 paradigma) yang merupakan dialektika dari paradigma sebelumnya, apakah bisa hal itu disebut sebagai runtuhnya ilmu administrasi negara?
Sebagaimana hal tersebut, Good Governance bukanlah merupakan suatu tanda runtuhnya ilmu administrasi negara. Namun ini justru merupakan awal perkembangan yang pesat dalam ilmu administrasi negara. Bahkan good governance memenuhi kriteria ideal negara demokrasi versi Montesque, yakni adanya check and balance serta partisipasi seluruh unsur negara (pemerintah, rakyat dan swasta). Adanya partisipasi rakyat yang diusung good governance membuat ilmu administrasi negara semakin berkembang. United Nations Development Program (UNDP) mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Konsep good governance tidaklah serta merta menggantikan secara menyeluruh konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya. Namun konsep ini merupakan penggabungan dari kosep-konsep yang sudah ada sebelumnya (baik OPA, NPM, maupun NPS) dengan mengambil segi positifnya.
Memang dalam penerapan yang salah, konsep good governance bisa menjadi boomerang bagi suatu negara. Peran negara bisa jadi hilang karena negara hanya menjadi fasilitator, sedangkan rakyat sendiri-lah yang memainkan peran sentral dan mencari penghidupan dan kesejahteraannya. Secara ekstrim dapat dikatakan, rakyat dipaksa atau terpaksa mengakui adanya pemerintahan tanpa merasakan kehadirannya. Dan satu lagi yang membuat konsep ini masih ditemukan kekurangan, yakni hilangnya batas teritorial negara dalam berbagai kehidupan utamanya dalam sektor perekonomian. Negara hanya menjadi legalisator dan bisa dimainkan oleh beberapa kelompok untuk mendapatkan legalisir serta berbagai keuntungan dalam memasuki wilayah suatu negara. Hal ini yang justru menimbulkan kesenjangan luar biasa antara pemilik modal (kapital atau dalam istilah marx borjuis) dengan para buruh. Konsep good governance menerima banyak kritikan karena bersifat imperialistik dan seakan dipaksakan untuk dapat diterapkan di negara-negara berkembang. Sehingga, karena tidak siap, negara berkembang hanya menjadi penonton sedangkan negara maju menguasai perekonomian dan merupakan pihak yang mendapat keuntungan lebih..
Dan sebagaimana kedinamisan teori yang selalu dipertentangkan. Kini muncullah Sound Governance (Farazmand : 2004) yang mencoba meminimalisir kesenjangan yang diakibatkan penerapan yang salah dalam konsep good governance. Sound governance lahir dengan konsep yang melibatkan aktor terpenting dalam era globalisasi ini, yakni aktor internasional ( kekuatan perusahaan multinasional, LSM internasional, institusi internasional, organisasi regional seperti ASEAN, perjanjian-perjanjian internasional, dsb), selain juga mengusung golden triangel (pemerintah, rakyat, swasta) dari konsep good governance yang sudah ada. Hadirnya elemen internasional tersebut merupakan akibat dari era globalisasi yang tak dapat dihindari oleh negara manapun. Dengan pengakuan elemen internasional yang diikuti dengan berbagai pertimbangan rasional dan teknis ini, Farazmand berasumsi dapat mengurangi ketimpangan antara negara maju dan berkembang sebagai akibat negatif dari penerapan good governance. Elemen internasional ini juga harus mempertimbangkan nilai-nilai lokal sehingga tercipta pandangan yang seimbang dalam tatanan pemerintahan. Administrasi negara berjalan dengan praktik yang sarat nilai, bukan bebas nilai yang pada dasarnya bebas nilai akan menghasilkan nilai tunggal yang dirumuskan oleh pihak yang lebih kuat saja (seperti yang terjadi dalam konsep good governance). Dengan pengakuan elemen internasional berdasar pertimbangan rasional dan nilai-nilai lokal tersebut, sound governance menciptakan suatu interaksi multi-level (lokal, nasional, regional, dan global) dengan dimensi dan karakter masing-masing yang semuanya saling bersinergi dan mempengaruhi satu sama lain sehingga membentuk sebuah sistem yang sangat luas, kompleks, dan dinamis. Kompleksivitas dan kedinamisan sound governance ini memberikan peluang dan tantangan baru dan besar bagi perkembangan ilmu administrasi negara selanjutnya.
Karena itu, konsep sound governance bisa jadi dipertentangkan lagi dan melahirkan teori baru. Misalnya kybernologi yang mengandalkan teknologi dalam menjalankan pemerintahan. Atau, akan muncul lagi sebuah teori baru yang melibatkan berbagai unsur dengan mengadopsi teori lama. Misalnya mengadopsi konsep pengkastaan yang terjadi di masa kerajaan-kerajaan nusantara lalu. Kasta-kasta yang ada di masa kerajaan yang dalam banyak cerita di buku-buku sejarah merupakan pembagian kehidupan sosial di masyarakat atau lebih sempit lagi merupakan pembagian masyarakat dengan kelas-kelas sosial oleh ajaran Hindu yang mengakibatkan kesenjangan sosial. Namun sesungguhnya jika dapat kita interprestasikan ke dalam kehidupan globalisasi sekarang ini, justru terlihat betapa pengkastaan tersebut dapat meminimalkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Pengkastaan yang secara sistematis (mengalir begitu saja dalam masyarakat tanpa pemaksaan untuk diterapkan) justru membuat sistem dan keseragaman dalam mencapai kesejahteraan bersama berjalan dengan sangat baik.
Dengan adanya kasta, masyarakat di jaman kerajaan dahulu mengetahui dengan benar kapasitas dirinya masing-masing, sehingga mereka saling bersinergi dalam memecahkan problema bersama dan mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Tidak ada protes berlebih, demo, pencacian, penggembosan, ataupun penelanjangan pemerintah  oleh rakyatnya. Sebaliknya, tidak ada pemerintahan yang semena-mena terhadap rakyat. Mereka bersatu padu dengan kapasitas masing-masing untuk mempertahankan negara. Pembagian kasta terdapat 4 tingkatan. Yakni 1) Brahmana; 2) kesatria; 3) Sudra; dan, 4) Nalaya. Keempat tingkatan tsb bukanlah klasifikasi yang dipaksakan, namun mengalir secara sistematis dalam masyarakat.
Kaum Brahmana merupakan tingkatan tertinggi. Kaum brahmana adalah kaum agamawan, kaum pertapa. Orientasi yang ada dalam pemikiran dan kehidupan  kaum brahmana bukanlah materi, melainkan pengabdian kepada Tuhan. Ini bukanlah berarti mereka hanya berfokus pada Tuhannya dan tidak pernah memikirkan orang lain ataupun masyarakatnya secara luas. Dengan keimanannya yang tinggi, kaum brahmana justru secara aktif terlibat dalam memecahkan dan memberikan solusi terhadap problematika yang sangat kompleks dalam masyarakat. Kaum brahmana ditempatkan di kasta tertinggi dengan kesukarelaan penuh masyarakat, masyarakat memberikan legitimasi pada brahmana karena masyarakat mempercayai integritas orang-orang brahmana. Apa yang diomongkan sangat bisa dipercaya. Sehingga ketika  muncul problema, masyarakat mendatangi brahmana untuk mencarikan solusi bersama. Bukan pada orang-orang yang dalam kehidupannya berorientasi pada materi. Hal ini sangat logis, ketika orang yang menawarkan solusi adalah orang yang berorientasi pada materi, bisa jadi solusi yang ditawarkan adalah mementingkan dirinya sendiri atau kaumnya dulu, baru sisanya memikirkan masyarakat luas, itupun kalau ingat. Karena itu kaum brahmana pada waktu itu ditempatkan dengan sukarela oleh masyarakat sebagai kaum yang tinggi integritasnya dan berkedudukan tertinggi. Kalaupun ada pelayanan dan penghormatan ekstra yang diberikan masyarakat kepada brahmana, itu diasumsikan sebagai wujud terima kasih masyarakat, bukan sebagai pemujaan. Jika dibandingkan dengan fakta sekarang ini tentu sangat berbeda, semua berebut menawarkan solusi, berebut ngomong, dan berebut memperoleh kedudukan dan kekuasaan tanpa memperhatikan kapasitasnya.
Yang kedua adalah kaum Kesatria, kaum ini bertugas melindungi kaum brahmana agar tidak diintimidasi dan diintervensi oleh berbagai kepentingan. Kaum ini yang sekarang diistilahkan sebagai pemerintah. Kesatria juga tidak berorientasi pada materi, namun berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan pengabdian pada negara. Memang dalam berbagai versi sejarah menyebutkan bahwa para raja dan kerabatnya memiliki kekayaan yang lebih besar dibanding dengan rakyatnya serta sering bertindak semena-mena. Mungkin itu sebenarnya setelah majapahit mengalami degradasi moral dan penerapan yang salah mengenai konsep pengkastaan yang idealnya seorang kesatria tidaklah boleh berorientasi pada materi. Mengenai hal tersebut, penulis tidak dapat menjelaskan lebih jauh, karena disini hanya akan dibahas mengenai konsep pengkastaan, bukan kenyataan dan penerapannya. Karena tidak berorintasi pada materi, para kesatria mempunyai integritas yang tinggi dalam mengurusi negara. Mereka adalah orang-orang terpercaya dan handal tanpa mempedulikan intervensi berbagai kepentingan dalam mengurusi negara. Mereka dengan sekuat tenaganya berusaha mempertahankan negara dan kesejahteraan rakyatnya, bahkan mereka juga seringkali melakukan ekspansi ke wilayah lain di luar teritorialnya untuk memperluas daerah kekuasaannya (karena itu anekdok yang sering terdengar adalah sebuah lagu, “nenek moyangku seorang pelaut”, pelaut selalu menjelajah dengan tangguh mencari daerah kekuasaan baru).
Kaum yang ketiga adalah golongan bawah, Sudra. Mereka berorientasi pada materi dalam kehidupannya. Karena itu mereka menyadari bahwa selama berorientasi pada materi mereka tidak berhak untuk berbicara banyak mengenai kebenaran agama, tidak berhak mengurusi negara, serta menawarkan berbagai solusi dalam problem masyarakat. Kaum sudra ini merupakan kaum saudagar yang kaya, para pemilik tanah, para nelayan, petani dan sebagainya. Kaum ini menjalankan peran sentral dalam perekonomian negara. Mereka ujung tombak untuk memberikan materi pada keluarganya sehingga sejahtera. Lingkup mereka adalah keluarga dan para tetangganya, bukan negara. Namun, mereka berperan aktif untuk mencapai kesejahteraan bersama, mereka berorientasi pada materi untuk kesejahteraan bersama, sehingga tidak ada kesenjangan yang signifikan antar keluarga dan antar golongan maupun antar kasta. Dan mereka menyadari kapasitasnya masing-masing sebagai sudra. Saling tolong-menolong, menghormati sesama, rasa empati, dan nasionalisme yang tinggi.
Di bawah sudra, ada kaum Nalaya. Kaum ini adalah kaum yang paling rendah tingkatannya. Selain hanya berorientasi pada materi, mereka juga tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya. Mereka adalah perampok, pencuri, pembunuh, bajingan, dsb. Algojo (eksekutor hukuman) negara juga termasuk dalam golongan ini. Apa yang dicari adalah berorientasi pada kepentingannya sendiri. Mereka melakukan pencurian, perampokan bahkan pembunuhan tidak berdasar pada kecemburuan yang diakibatkan kesenjangan sosial. Namun, mereka lakukan lebih untuk kesejahteraan materi bagi dirinya sendiri dan keluarganya di dunia.
Semua kasta yang ada saling bersinergi membentuk sebuah sistem yang sangat dinamis. Para brahmana sesuai kapasitasnya, memikirkan berbagai solusi untuk kepentingan bersama. Kaum kesatria, dengan otoritasnya menjaga integritas negeri dan keselamatan serta kesejahteraan rakyatnya. Rakyat memainkan peran vital dalam berjalannya kehidupan suatu negara, rakyat adalah pelaku utama dalam perekonomian negara. Sementara kaum nalaya (pencuri, perampok, pembunuh, dsb) sesuai kapasitasnya menjaga keseimbangan alam (Sunnatullah). Tidak ada kebaikan tanpa keburukan, ada surga, ada neraka. Kaum nalaya memberikan andil dalam keberagaman masyarakat untuk hidup bersama. Bhinneka tunggal ika. Dengan adanya kaum nalaya ini, merupakan suatu ujian bagi kekuatan dan keutuhan negara. Sehingga pengkastaan yang ada bukanlah sebagai bentuk-bentuk perpecahan kelas sosial. Namun, karena didasarkan pada kapasitas jiwa dan kepribadian tiap individu, justru setiap individu menyadari akan kapasitasnya sehingga tahu benar apa yang harus ia lakukan dan berikan untuk kehidupannya serta negerinya
Konsep demokrasi yang ada sebenarnya adalah konsep yang demikian bagus. Namun, konsep demokrasi yang ada sekarang ini (khususnya di Indonesia) justru dapat dikatakan lebih dekat pada arti pengklasifikasian masyarakat yang sesungguhnya. Demokrasi yang kehilangan makna dasar dalam penerapannya ini, secara tidak sadar justru menimbulkan berbagai kelas sosial yang mengakibatkan kesenjangan luar biasa dalam masyarakat. Kebebasan berbicara dan berpendapat diartikan secara membabi buta. Pencuri, asal dia kaya bisa saja terpilih sebagai kesatria (penguasa) yang mempunyai otoritas mengurusi negara. Penjual bakso, bisa jadi DPR.  Ataupun penjudi dan pemabuk berat, bisa jadi hakim yang mempunyai otoritas tinggi dalam menghukum suatu perkara, orang-orang pun banyak mencaci, menggembosi, menelanjangi pemerintah yang mengakibatkan ketidakstabilan negara. Orang-orang yang berorientasi pada materi saling berebut untuk mengurusi negara. Sehingga yang terjadi bukanlah kesejahteraan bersama, melainkan beberapa golongan dengan berbagai kepentingannya. Padahal, demokrasi secara harfiah merupakan pemerintahan rakyat yang semuanya haruslah bermuara pada kepentingan rakyat Hal tersebut mengakibatkan berbagai kecemburuan sosial di masyarakat. Masyarakat mudah ter-provokasi karena tidak adanya kepercayaan pada integritas penguasa. Orang-orang merasa terzdalimi karena ketidakadilan, hukum, bisa diputarbalikkan, uang berbicara.
Para saudagar, pedagang dan sebagainya yang dalam pemikirannya masih berlandaskan materi, saling berbicara soal agama. Mereka ‘berebut’ secara sistematis, untuk menjadi ustad-ustad atau ulama’-ulama’ yang mempunyai banyak umat dan ujungnya juga ikut berebut kekuasaan sehingga mempunyai otoritas untuk dapat menghalalkan ataupun mengharamkan suatu perkara. Sehingga, terkadang kebenaran agama diperjualbelikan. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap para agamawan. Sehingga religiutas dalam diri masyarakat kebanyakan, hanya mencapai titik ritula-ritual keagamaan agar ia dianggap sebagai orang beragama, bukan atheis, bukan pembangkang. Penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan keseharian terlihat minim karena adanya faktor kesenjangan sosial serta minimnya integritas kaum agamawan juga pemerintah. Pandangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat menjadi sekuler, agama terpisah atau dipisahkan secara sadar, dengan urusan dunia (keseharian). Masyarakat kehilangan spiritualitas akibat ketidakpercayaan terhadap integritas agamawan. Masyarakat kehilangan panutan. Meski itu hanya terjadi pada sebagian masyarakat. Namun, tanpa disadari, kegelisahan tersebut pada akhirnya akan menyusup ke hampir semua masyarakat beragama jika ini terus terjadi.
Hal tersebut-lah yang justru dapat dikatakan sebagai hilangnya peran negara (pemerintah) ataupun runtuhnya ilmu administrasi negara. Karena pengakuan rakyat terhadap adanya pemerintah esensi-nya hanya pada struktural dan prosedural (fisik) semata, sedangkan esensi mendasar pemerintah yang seharusnya dari, oleh, dan untuk rakyat (jiwa) tidak ada dan tidak mendapat legitimasi penuh dari rakyat. Namun, seburuk apapun penerapannya, selama negara masih ada, harus diakui administrasi negara masih ada biarpun hanya secara fisik saja.
Dengan adanya realitas yang ada ini, bukan tidak mungkin melahirkan sebuah konsep baru dengan mengadopsi konsep-konsep terdahulu, bahkan mengadopsi konsep kuno, pengkastaan di kerajaan nusantara yang semua unsur-unsurnya saling bersinergi untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Proses pertentangan antar teori baru dan lama akan terus ada hingga mencapai suatu teori yang baku, dan itu tak akan mungkin terjadi. Karena suatu teori di samping punya kelebihan pasti juga terdapat kekurangan di dalamnya, sehingga pertentangan tersebut akan terus terjadi. Dan, sesuai ciri yang disebutkan Ceiden, bahwa selama negara masih ada, selama kehidupan sosial masih ada, maka administrasi negara akan tetap ada. Jadi, seperti yang dikatakan di awal tadi, konsep good governance yang ada sekarang ini bukan merupakan keruntuhan ilmu administrasi negara, namun justru awal dari perkembangan pesat ilmu administrasi negara. Jika digambarkan bahwa paradigma OPA adalah fase anak-anak atau awal dari pertumbuhan ilmu administrasi negara modern, maka good governance dan sound governance ini merupakan fase remaja. Dimana dalam fase ini administrasi negara mnegalami berbagai dilema, konflik, dan penyesuaian dengan lingkungan globalisasi belakangan ini.

Sumber Bacaan dan Inspirasi :
Ø  Muluk, M.R. Khairul. Dari Good ke Sound Governance Pendorong Inovasi Administrasi Publik. Editor : Suaedi, Falih & Wardiyanto, Bintoro “Revitalisasi Administrasi Negara : Reformasi Birokrasi & E-Governance”. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010
Ø  Rodiyah, Hj. Isnaini, M.Si. DIKTAT : Pengantar Ilmu Administrasi Negara.
Buku Ajar Mata Kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara.                        : 2007
Ø  Pemaparan Prof. Agus Suyanto (Peneliti sejarah, penulis, juga salah satu dosen Unibra Malang) dalam acara komunitas Maiyah Bangbang Wetan : Balai Pemuda-Surabaya, 29 November 2012.

2 komentar: