Paradigma Old Public Administration (OPA) dalam era
keemasannya dulu merupakan konsep yang sangat ideal untuk diterapkan dalam birokrasi
pada waktu itu guna mencapai tujuan dari kepentingan bersama (tujuan negara). Menurut
paradigma ini, birokrasi dapat berjalan secara efektif dan efisien dengan
adanya susunan yang hirarkis serta pembagian tugas yang jelas. Konsep ini
berkembang sangat lama, dan merupakan awal perkembangan administrasi negara
modern. Hingga kemudian muncul berbagai kritik dari beberapa pakar untuk
mengubah paradigma ini menjadi subuah paradigma baru untuk agar lebih cocok
diterapkan dan disesuaikan dengan lingkungannya dengan mengadopsi konsep
manajemen swasta ke dalam sektor publik. Pada saat itu, apakah bisa dikatakan
bahwa ilmu administrasi negara telah runtuh? Padahal menurut Gerald.
E Caiden, salah satu ciri administrasi negara adalah bahwa selama
negara masih ada, maka administrasi negara tetap ada. Artinya, selama manusia
masih ada dan membutuhkan manusia lain dalam mencukupi kebutuhannya (kehidupan
sosial), administrasi negara masih tetap diperlukan. Begitupun dalam pembagian
paradigma di era OPA oleh Nicholas Henry yang selalu
bermunculan paradigma baru (hingga 5 paradigma) yang merupakan dialektika dari
paradigma sebelumnya, apakah bisa hal itu
disebut sebagai runtuhnya ilmu administrasi negara?
Sebagaimana hal tersebut, Good Governance bukanlah merupakan suatu
tanda runtuhnya ilmu administrasi negara. Namun ini justru merupakan awal perkembangan
yang pesat dalam ilmu administrasi negara. Bahkan good governance memenuhi
kriteria ideal negara demokrasi versi Montesque, yakni adanya check and balance serta partisipasi
seluruh unsur negara (pemerintah, rakyat dan swasta). Adanya partisipasi rakyat yang diusung good governance
membuat ilmu administrasi negara semakin berkembang. United Nations Development Program
(UNDP) mengartikan partisipasi
sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat
menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan
bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Konsep good
governance tidaklah serta merta menggantikan secara menyeluruh konsep-konsep
yang sudah ada sebelumnya. Namun konsep ini merupakan penggabungan dari
kosep-konsep yang sudah ada sebelumnya (baik OPA, NPM, maupun NPS) dengan
mengambil segi positifnya.
Memang dalam penerapan yang salah, konsep
good governance bisa menjadi boomerang bagi suatu negara. Peran negara bisa
jadi hilang karena negara hanya menjadi fasilitator, sedangkan rakyat sendiri-lah
yang memainkan peran sentral dan mencari penghidupan dan kesejahteraannya. Secara
ekstrim dapat dikatakan, rakyat dipaksa atau terpaksa mengakui adanya
pemerintahan tanpa merasakan kehadirannya. Dan satu lagi yang membuat konsep
ini masih ditemukan kekurangan, yakni hilangnya batas teritorial negara dalam
berbagai kehidupan utamanya dalam sektor perekonomian. Negara hanya menjadi
legalisator dan bisa dimainkan oleh beberapa kelompok untuk mendapatkan
legalisir serta berbagai keuntungan dalam memasuki wilayah suatu negara. Hal
ini yang justru menimbulkan kesenjangan luar biasa antara pemilik modal
(kapital atau dalam istilah marx
borjuis) dengan para buruh. Konsep good governance menerima banyak kritikan
karena bersifat imperialistik dan seakan dipaksakan untuk dapat diterapkan di
negara-negara berkembang. Sehingga, karena tidak siap, negara berkembang hanya
menjadi penonton sedangkan negara maju menguasai perekonomian dan merupakan
pihak yang mendapat keuntungan lebih..
Dan sebagaimana kedinamisan teori yang selalu
dipertentangkan. Kini muncullah Sound Governance (Farazmand : 2004) yang
mencoba meminimalisir kesenjangan yang diakibatkan penerapan yang salah dalam
konsep good governance. Sound governance lahir
dengan konsep yang melibatkan aktor terpenting dalam era globalisasi ini, yakni
aktor internasional ( kekuatan perusahaan multinasional, LSM internasional,
institusi internasional, organisasi regional seperti ASEAN,
perjanjian-perjanjian internasional, dsb), selain juga mengusung golden triangel (pemerintah, rakyat,
swasta) dari konsep good governance yang sudah ada. Hadirnya elemen
internasional tersebut merupakan akibat dari era globalisasi yang tak dapat
dihindari oleh negara manapun. Dengan pengakuan elemen internasional yang
diikuti dengan berbagai pertimbangan rasional dan teknis ini, Farazmand
berasumsi dapat mengurangi ketimpangan antara negara maju dan berkembang
sebagai akibat negatif dari penerapan good governance. Elemen internasional ini
juga harus mempertimbangkan nilai-nilai lokal sehingga tercipta pandangan yang
seimbang dalam tatanan pemerintahan. Administrasi negara berjalan dengan
praktik yang sarat nilai, bukan bebas nilai yang pada dasarnya bebas nilai akan
menghasilkan nilai tunggal yang dirumuskan oleh pihak yang lebih kuat saja
(seperti yang terjadi dalam konsep good governance). Dengan pengakuan elemen
internasional berdasar pertimbangan rasional dan nilai-nilai lokal tersebut,
sound governance menciptakan suatu interaksi multi-level (lokal, nasional,
regional, dan global) dengan dimensi dan karakter masing-masing yang semuanya
saling bersinergi dan mempengaruhi satu sama lain sehingga membentuk sebuah
sistem yang sangat luas, kompleks, dan dinamis. Kompleksivitas dan kedinamisan
sound governance ini memberikan peluang dan tantangan baru dan besar bagi perkembangan
ilmu administrasi negara selanjutnya.
Karena itu, konsep sound governance bisa jadi dipertentangkan
lagi dan melahirkan teori baru. Misalnya kybernologi yang mengandalkan
teknologi dalam menjalankan pemerintahan. Atau, akan muncul lagi sebuah teori
baru yang melibatkan berbagai unsur dengan mengadopsi teori lama. Misalnya
mengadopsi konsep pengkastaan yang terjadi di masa kerajaan-kerajaan nusantara lalu.
Kasta-kasta yang ada di masa kerajaan yang dalam banyak cerita di buku-buku
sejarah merupakan pembagian kehidupan sosial di masyarakat atau lebih sempit
lagi merupakan pembagian masyarakat dengan kelas-kelas sosial oleh ajaran Hindu
yang mengakibatkan kesenjangan sosial. Namun sesungguhnya jika dapat kita
interprestasikan ke dalam kehidupan globalisasi sekarang ini, justru terlihat
betapa pengkastaan tersebut dapat meminimalkan kesenjangan dan kecemburuan
sosial. Pengkastaan yang secara sistematis (mengalir begitu saja dalam
masyarakat tanpa pemaksaan untuk diterapkan) justru membuat sistem dan
keseragaman dalam mencapai kesejahteraan bersama berjalan dengan sangat baik.
Dengan adanya kasta, masyarakat di jaman kerajaan dahulu
mengetahui dengan benar kapasitas dirinya masing-masing, sehingga mereka saling
bersinergi dalam memecahkan problema bersama dan mencapai tujuan kesejahteraan
bersama. Tidak ada protes berlebih, demo, pencacian, penggembosan, ataupun
penelanjangan pemerintah oleh rakyatnya.
Sebaliknya, tidak ada pemerintahan yang semena-mena terhadap rakyat. Mereka
bersatu padu dengan kapasitas masing-masing untuk mempertahankan negara.
Pembagian kasta terdapat 4 tingkatan. Yakni 1) Brahmana; 2) kesatria; 3)
Sudra; dan, 4) Nalaya. Keempat tingkatan tsb bukanlah klasifikasi yang
dipaksakan, namun mengalir secara sistematis dalam masyarakat.
Kaum Brahmana
merupakan tingkatan tertinggi. Kaum brahmana adalah kaum agamawan, kaum
pertapa. Orientasi yang ada dalam pemikiran dan kehidupan kaum brahmana bukanlah materi, melainkan
pengabdian kepada Tuhan. Ini bukanlah berarti mereka hanya berfokus pada
Tuhannya dan tidak pernah memikirkan orang lain ataupun masyarakatnya secara
luas. Dengan keimanannya yang tinggi, kaum brahmana justru secara aktif
terlibat dalam memecahkan dan memberikan solusi terhadap problematika yang
sangat kompleks dalam masyarakat. Kaum brahmana ditempatkan di kasta tertinggi
dengan kesukarelaan penuh masyarakat, masyarakat memberikan legitimasi pada
brahmana karena masyarakat mempercayai integritas orang-orang brahmana. Apa
yang diomongkan sangat bisa dipercaya. Sehingga ketika muncul problema, masyarakat mendatangi
brahmana untuk mencarikan solusi bersama. Bukan pada orang-orang yang dalam
kehidupannya berorientasi pada materi. Hal ini sangat logis, ketika orang yang
menawarkan solusi adalah orang yang berorientasi pada materi, bisa jadi solusi
yang ditawarkan adalah mementingkan dirinya sendiri atau kaumnya dulu, baru
sisanya memikirkan masyarakat luas, itupun kalau ingat. Karena itu kaum
brahmana pada waktu itu ditempatkan dengan sukarela oleh masyarakat sebagai
kaum yang tinggi integritasnya dan berkedudukan tertinggi. Kalaupun ada
pelayanan dan penghormatan ekstra yang diberikan masyarakat kepada brahmana,
itu diasumsikan sebagai wujud terima kasih masyarakat, bukan sebagai pemujaan. Jika
dibandingkan dengan fakta sekarang ini tentu sangat berbeda, semua berebut
menawarkan solusi, berebut ngomong, dan berebut memperoleh kedudukan dan kekuasaan
tanpa memperhatikan kapasitasnya.
Yang kedua adalah kaum Kesatria,
kaum ini bertugas melindungi kaum brahmana agar tidak diintimidasi dan
diintervensi oleh berbagai kepentingan. Kaum ini yang sekarang diistilahkan
sebagai pemerintah. Kesatria juga tidak berorientasi pada materi, namun
berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan pengabdian pada negara. Memang dalam
berbagai versi sejarah menyebutkan bahwa para raja dan kerabatnya memiliki
kekayaan yang lebih besar dibanding dengan rakyatnya serta sering bertindak
semena-mena. Mungkin itu sebenarnya setelah majapahit mengalami degradasi moral
dan penerapan yang salah mengenai konsep pengkastaan yang idealnya seorang
kesatria tidaklah boleh berorientasi pada materi. Mengenai hal tersebut,
penulis tidak dapat menjelaskan lebih jauh, karena disini hanya akan dibahas
mengenai konsep pengkastaan, bukan kenyataan dan penerapannya. Karena tidak
berorintasi pada materi, para kesatria mempunyai integritas yang tinggi dalam
mengurusi negara. Mereka adalah orang-orang terpercaya dan handal tanpa
mempedulikan intervensi berbagai kepentingan dalam mengurusi negara. Mereka
dengan sekuat tenaganya berusaha mempertahankan negara dan kesejahteraan
rakyatnya, bahkan mereka juga seringkali melakukan ekspansi ke wilayah lain di
luar teritorialnya untuk memperluas daerah kekuasaannya (karena itu anekdok yang sering terdengar adalah sebuah lagu, “nenek
moyangku seorang pelaut”, pelaut selalu menjelajah dengan tangguh mencari
daerah kekuasaan baru).
Kaum yang ketiga adalah golongan bawah, Sudra. Mereka berorientasi pada materi dalam kehidupannya. Karena
itu mereka menyadari bahwa selama berorientasi pada materi mereka tidak berhak
untuk berbicara banyak mengenai kebenaran agama, tidak berhak mengurusi negara,
serta menawarkan berbagai solusi dalam problem masyarakat. Kaum sudra ini
merupakan kaum saudagar yang kaya, para pemilik tanah, para nelayan, petani dan
sebagainya. Kaum ini menjalankan peran sentral dalam perekonomian negara.
Mereka ujung tombak untuk memberikan materi pada keluarganya sehingga
sejahtera. Lingkup mereka adalah keluarga dan para tetangganya, bukan negara.
Namun, mereka berperan aktif untuk mencapai kesejahteraan bersama, mereka berorientasi
pada materi untuk kesejahteraan bersama, sehingga tidak ada kesenjangan yang
signifikan antar keluarga dan antar golongan maupun antar kasta. Dan mereka
menyadari kapasitasnya masing-masing sebagai sudra. Saling tolong-menolong,
menghormati sesama, rasa empati, dan nasionalisme yang tinggi.
Di bawah sudra, ada kaum Nalaya.
Kaum ini adalah kaum yang paling rendah tingkatannya. Selain hanya berorientasi
pada materi, mereka juga tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya. Mereka
adalah perampok, pencuri, pembunuh, bajingan, dsb. Algojo (eksekutor hukuman) negara
juga termasuk dalam golongan ini. Apa yang dicari adalah berorientasi pada
kepentingannya sendiri. Mereka melakukan pencurian, perampokan bahkan
pembunuhan tidak berdasar pada kecemburuan yang diakibatkan kesenjangan sosial.
Namun, mereka lakukan lebih untuk kesejahteraan materi bagi dirinya sendiri dan
keluarganya di dunia.
Semua kasta yang ada saling bersinergi membentuk sebuah
sistem yang sangat dinamis. Para brahmana sesuai kapasitasnya, memikirkan
berbagai solusi untuk kepentingan bersama. Kaum kesatria, dengan otoritasnya
menjaga integritas negeri dan keselamatan serta kesejahteraan rakyatnya. Rakyat
memainkan peran vital dalam berjalannya kehidupan suatu negara, rakyat adalah
pelaku utama dalam perekonomian negara. Sementara kaum nalaya (pencuri,
perampok, pembunuh, dsb) sesuai kapasitasnya menjaga keseimbangan alam (Sunnatullah). Tidak ada kebaikan tanpa
keburukan, ada surga, ada neraka. Kaum nalaya memberikan andil dalam
keberagaman masyarakat untuk hidup bersama. Bhinneka
tunggal ika. Dengan adanya kaum nalaya ini, merupakan suatu ujian bagi
kekuatan dan keutuhan negara. Sehingga pengkastaan yang ada bukanlah sebagai
bentuk-bentuk perpecahan kelas sosial. Namun, karena didasarkan pada kapasitas
jiwa dan kepribadian tiap individu, justru setiap individu menyadari akan
kapasitasnya sehingga tahu benar apa yang harus ia lakukan dan berikan untuk
kehidupannya serta negerinya
Konsep demokrasi yang ada sebenarnya adalah konsep yang
demikian bagus. Namun, konsep demokrasi yang ada sekarang ini (khususnya di
Indonesia) justru dapat dikatakan lebih dekat pada arti pengklasifikasian
masyarakat yang sesungguhnya. Demokrasi yang kehilangan makna dasar dalam
penerapannya ini, secara tidak sadar justru menimbulkan berbagai kelas sosial
yang mengakibatkan kesenjangan luar biasa dalam masyarakat. Kebebasan berbicara dan berpendapat diartikan
secara membabi buta. Pencuri, asal dia kaya bisa saja terpilih sebagai kesatria
(penguasa) yang mempunyai otoritas mengurusi negara. Penjual bakso, bisa jadi
DPR. Ataupun penjudi dan pemabuk berat,
bisa jadi hakim yang mempunyai otoritas tinggi dalam menghukum suatu perkara,
orang-orang pun banyak mencaci, menggembosi, menelanjangi pemerintah yang
mengakibatkan ketidakstabilan negara. Orang-orang yang berorientasi pada materi
saling berebut untuk mengurusi negara. Sehingga yang terjadi bukanlah
kesejahteraan bersama, melainkan beberapa golongan dengan berbagai
kepentingannya. Padahal, demokrasi secara harfiah merupakan pemerintahan rakyat yang semuanya
haruslah bermuara pada kepentingan rakyat Hal tersebut mengakibatkan berbagai
kecemburuan sosial di masyarakat. Masyarakat mudah ter-provokasi karena tidak adanya kepercayaan pada integritas penguasa.
Orang-orang merasa terzdalimi karena ketidakadilan, hukum, bisa
diputarbalikkan, uang berbicara.
Para saudagar, pedagang dan sebagainya yang dalam
pemikirannya masih berlandaskan materi, saling berbicara soal agama. Mereka ‘berebut’
secara sistematis, untuk menjadi ustad-ustad atau ulama’-ulama’ yang mempunyai
banyak umat dan ujungnya juga ikut berebut kekuasaan sehingga mempunyai
otoritas untuk dapat menghalalkan ataupun mengharamkan suatu perkara. Sehingga,
terkadang kebenaran agama diperjualbelikan. Masyarakat kehilangan kepercayaan
terhadap para agamawan. Sehingga religiutas dalam diri masyarakat kebanyakan,
hanya mencapai titik ritula-ritual keagamaan agar ia dianggap sebagai orang
beragama, bukan atheis, bukan pembangkang. Penerapan nilai-nilai agama dalam
kehidupan keseharian terlihat minim karena adanya faktor kesenjangan sosial
serta minimnya integritas kaum agamawan juga pemerintah. Pandangan yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat menjadi sekuler, agama terpisah atau dipisahkan
secara sadar, dengan urusan dunia (keseharian). Masyarakat kehilangan
spiritualitas akibat ketidakpercayaan terhadap integritas agamawan. Masyarakat
kehilangan panutan. Meski itu hanya terjadi pada sebagian masyarakat. Namun,
tanpa disadari, kegelisahan tersebut pada akhirnya akan menyusup ke hampir
semua masyarakat beragama jika ini terus terjadi.
Hal tersebut-lah yang justru dapat dikatakan sebagai
hilangnya peran negara (pemerintah) ataupun runtuhnya ilmu administrasi negara.
Karena pengakuan rakyat terhadap adanya pemerintah esensi-nya hanya pada struktural dan prosedural (fisik) semata,
sedangkan esensi mendasar pemerintah
yang seharusnya dari, oleh, dan untuk rakyat (jiwa) tidak ada dan tidak mendapat
legitimasi penuh dari rakyat. Namun, seburuk apapun penerapannya, selama negara
masih ada, harus diakui administrasi negara masih ada biarpun hanya secara
fisik saja.
Dengan adanya realitas yang ada ini, bukan tidak mungkin
melahirkan sebuah konsep baru dengan mengadopsi konsep-konsep terdahulu, bahkan
mengadopsi konsep kuno, pengkastaan di kerajaan nusantara yang semua
unsur-unsurnya saling bersinergi untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Proses pertentangan antar
teori baru dan lama akan terus ada hingga mencapai suatu teori yang baku, dan
itu tak akan mungkin terjadi. Karena suatu teori di samping punya kelebihan
pasti juga terdapat kekurangan di dalamnya, sehingga pertentangan tersebut akan
terus terjadi. Dan, sesuai ciri yang disebutkan Ceiden, bahwa selama
negara masih ada, selama kehidupan sosial masih ada, maka administrasi negara
akan tetap ada. Jadi, seperti yang dikatakan di awal tadi, konsep good
governance yang ada sekarang ini bukan merupakan keruntuhan ilmu administrasi
negara, namun justru awal dari perkembangan pesat ilmu administrasi negara.
Jika digambarkan bahwa paradigma OPA adalah fase anak-anak atau awal dari pertumbuhan
ilmu administrasi negara modern, maka good governance dan sound governance ini
merupakan fase remaja. Dimana dalam fase ini administrasi negara mnegalami
berbagai dilema, konflik, dan penyesuaian dengan lingkungan globalisasi
belakangan ini.
Sumber Bacaan dan Inspirasi :
Ø Muluk,
M.R. Khairul. Dari Good ke Sound
Governance Pendorong Inovasi Administrasi Publik. Editor : Suaedi, Falih
& Wardiyanto, Bintoro “Revitalisasi
Administrasi Negara : Reformasi Birokrasi & E-Governance”. Yogyakarta :
Graha Ilmu, 2010
Ø
Rodiyah, Hj. Isnaini, M.Si. DIKTAT : Pengantar Ilmu Administrasi Negara.
Buku Ajar Mata Kuliah Pengantar
Ilmu Administrasi Negara. : 2007
Ø
Pemaparan Prof. Agus Suyanto (Peneliti
sejarah, penulis, juga salah satu dosen Unibra Malang) dalam acara komunitas Maiyah Bangbang Wetan : Balai
Pemuda-Surabaya, 29 November 2012.
terimakasi, sangat membantu
BalasHapussama sama...semoga bermanfaat
Hapus