Satu
pesawat melintas rendah di atas atap kedai, hendak mendarat di landasan bandara.
Sepasang muda-mudi duduk di pojok kedai. Di balik meja yang menghadap sawah,
nun beberapa puluh meter dari landasan bandara. Gelegar suara mesin pesawat tak
terlalu membuat bising telinga, mereka menikmati
suasana kesibukan pesawat turun dan lepas landas. Beberapa orang yang keluar
masuk kedai tersebut, tak hirau oleh mereka. Tetap saja mereka menikmati
suasana itu. Pun bakso mereka sudah habis sejak tadi. Mendung mulai
menghitamkan langit. Kawanan burung pipit terbang lincah melintasi persawahan,
hinggap di dahan pohon mangga yang ada di tengah sawah, terbang lagi, hinggap,
terbang, hinggap lagi, mereka mempunyai dunia sendiri. Sama seperti muda-mudi
itu, menciptakan dunia mereka sendiri di tengah kesibukan landasan pacu,
diantara para pengunjung yang silih berganti datang dan meninggalkan kedai.
“Mau
tambah?” tawar Ken Arok pada Shinta. “Tidak Ken, sudah kenyang. Kau saja” jawabnya
tanpa menoleh. Matanya jauh menerawang melintasi area persawahan, menelusuri landasan pacu dan entah mendarat ke
mana. Tangannya ia selojorkan di atas meja dengan kaku dan terasa berat.
Mendung di langit segera rata, dan tetes demi tetes air hanya menunggu mendung
kelebihan muatan untuk mulai berjatuhan kemudian. Dua orang tersebut lalu
hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Hening.
“Oke,
kalau gitu kita pulang sekarang” Ken Arok akhirnya berucap dengan sedikit
penekanan, memecah hening. “Sebentar lagi, Ken. Lagian kita baru saja makan,
gak baik kalo langsung berkendara” Jawab Shinta, kali ini dengan menoleh namun
bibirnya agak setengah manyun. “Oke, baik. Lima menit saja. Hujan segera turun,
kau mau kehujanan?” Dengan agak sedikit kesal Ken mencoba menuruti permintaan Shinta.
Ken tak pernah mampu menolak ajakan Shinta. Kalaupun mampu, ia dengan susah
payah menyusun alasan untuk menolaknya.
***
Wanita
yang duduk di sampingnya terlihat sedikit gugup. Beberapa kali ia menggigit
bibir bawahnya dan matanya berlompatan menyusuri kerumitan jalan di luar kaca
mobil. “Sudahlah, tenang saja, Vey. Lagian kerjaanmu udah hampir rampung toh?
Tak ada urgent target hari ini,
bukan?” Ucap Haris sekenanya, mencoba menenangkan Veronika di sampingnya. Meski
ia sendiri sebenarnya sudah mulai gusar. Tak tersadar olehnya, bahwa tangannya
menggenggam stang kemudi dengan erat. Mencoba mengalirkan energi khawatirnya ke
mesin mobil. Tetes demi tetes air mulai berjatuhan
di kaca mobil, menambah pengapnya suasana mobil tersebut oleh rasa khawatir. Sudah
terlalu sering ia mendapat teguran. Dan ultimatum atasannya cukup berhasil membuat
Haris rajin sebulan ini. Dan macet di siang ini hampir mencoreng lagi reputasi
yang coba dibangunnya kembali.
Waktu
istirahat karyawan hampir habis. Haris masih terjebak macet usai makan siang
bersama rekan kerjanya. Sengaja ia memilih restoran cepat saji yang berjarak
tiga kilometer dari kantornya. Sudah sebulan lebih ia hanya memesan makanan
lewat delivery call karena kerjaan yang menumpuk hampir tiap harinya. Siang ini
ia ingin menyempatkan waktu makan di sana, duduk dan bernostalgia di tempat
langganannya sambil menikmati makan siangnya. Macet
akan segera mencair. Namun harus menunggu gerombolan motor itu saling berebut
tempat teduh, entah berapa menit lagi macet akan berkurang.
“Oh,
dia sekarang di mana yah? Apa masih di Kampus?” bisiknya dalam hati. Sekejap ia
terlupa dengan segala hal di sekitarnya, termasuk Veronika yang sedari tadi terlihat
gugup memandangi kemacetan jalanan. Genggaman eratnya pada stang mulai
mengendur. Tangan kirinya meraih handphone di atas dashboard. Dicarinya nomer
itu, dan dengan cepat ditelponnya kemudian. “Kamu sudah pulang? ... Loh, emang
lagi di mana? ... Disini mulai turun hujan .... “ Percakapan Haris di telepon
dengan seseorang di ujung sana itu semakin menambah keruh suasana hati Veronika.
Siang ini, adalah momen yang sudah lama ia tunggu. Hanya saja, di momen ini
pula ia harus patah hati. Haris, rekan kerjanya itu tak pernah cerita bahwa ia
telah memiliki kekasih. Dan yang membuatnya lebih sakit, Haris seperti
memberinya harapan. Tiap hari ia mendapat perhatian darinya. Saat lembur, ia
sering diajak pulang bareng dan mampir untuk makan. Salah satu yang sering
adalah mampir di warung nasi goreng dekat taman kota. Teringat lagi dalam
bayangannya, saat Haris dengan penuh khawatir menuntunnya menuruni tangga lalu
memijat kakinya yang terkilir. Saat itu Veronika baru beberapa bulan bergabung
di kantornya. Dan kejadian itu menancap dalam hatinya.
Siang
ini, Veronika kalut. Tubuhnya melemas tapi tetap ia coba sekeras mungkin agar
terlihat tetap tegap. Seolah tak terjadi apa-apa, meski matanya mulai berkaca-kaca.
Haris masih hanyut dalam percakapannya dengan seseorang di ujung sana. Veronika
memandanginya sejenak, lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah luar kaca
mobil. “Kau, sungguh jahat sekali. Kenapa kau... kenapa juga kau... Oh, mungkin
memang salahku yang terlalu berharap padamu. Salahku yang terlalu dalam
memaknaimu... Kau...” Pergulatan hebat terjadi di hati Veronika hingga air mata
yang coba ia tahan tak terbendung lagi. Seperti mendung yang tak kuasa menahan
air hujan berlama-lama di atmosfer bumi.
“Hei,
kenapa kau ini?” Tanya Haris usai menutup percakapan handphone-nya. Veronika
tersentak. Spontan ia menggelengkan kepala – dengan wajah tetap memandang ke
depan. “Kau terlihat buruk. Sebentar lagi sudah nyampek kantor. Tenanglah” ucap
Haris sambil berusaha menyeka air mata Veronika. Belum juga tangannya sempat
menyentuh, Veronika sudah menangkalnya dengan keras. Haris masih belum
menyadarinya. “Kenapa Vey mendadak jadi sensitif? Apa hanya karena terjebak
macet? Dan ini tidak terjadi tiap hari. Ia memang pekerja tauladan. Tapi, apa
hanya telat semenit waktu selama setahun udah membuatnya sekalut ini?” Tanya
Haris tak mengerti dalam hatinya.
“Kau
tetap pegawai teladan, Vey..?” Haris
mencoba menghibur. Ia agak sedikit menyesal mengeluarkan kata-kata itu.
harusnya ia diam dan tak berkata apapun di saat seperti ini. Haris menjulurkan
tangannya. Disandarkannya di atas punggung tangan Veronika yang lemas.
Dielusnya lembut. Namun Veronika langsung menghempaskan elusan itu dengan
keras. Veronika semakin tak mampu menahan gejolak hatinya yang meledak-ledak.
Tangisnya semakin terisak dan menjadi. Ia tak mampu mengendalikan diri lagi.
Dipukul-pukulnya Haris. Kakinya menendang-nendang. “kau jahat, kau jahat...
kau...”
***
“Sudah dicari yah?” tanya ken penasaran. Shinta hanya menggelengkan kepala,
lalu tersenyum. Hujan turun tidak begitu deras. Tapi Ken, tiba-tiba ia ingin
menahan Shinta di sini. “Kita menunggu hujan reda saja, oke. Daripada
kenapa-napa, ntar aku yang disalahin mamamu”. “Halah Ken, aku tak semanja itu kali.
Ayo kita pulang!!” “kau serius???” “Kau pikir aku bercanda?”. “Oke, aku juga
ingin kehujanan, udah lama gak main hujan”. Lagi-lagi Ken tak bisa menolak
ajakan Shinta.
Di
tengah perjalanan, saat melintasi taman kota, Shinta meminta Ken menghentikan
motornya. Ia bergegas turun lalu berlari kecil menuju kursi taman di bawah
pohon. Melihat itu, Ken tergopoh memarkir motor lalu berlari menyusul Shinta.
“Hei, ada apa? Yuk, pulang !!” Shinta mendongakkan kepala, menyunggingkan
senyum, lalu berdiri. Ken menyambut, lalu membalikkan tubuh menuju tempat
motornya terparkir. Belum juga Ken melangkah . . . “Aaaaaaaaaaaahhh...!!!” Ken
menoleh lagi, teriakan Shinta mengagetkannya. Si pemilik teriakan justru
tertawa kemudian. “Hahahahah... kenapa, Ken?” Shinta memutar-mutar tubuhnya,
kedua tangannya ia luruskan ke atas, sambil tertawa lagi. “Shin, ada apa
denganmu?!” Shinta tidak menghiraukannya. Ia masih asyik. “Hahaha.. Katanya
kamu mau menikmati hujan tadi?” Ken masih belum mengerti pertanyaan Shinta.
“Tapi, Shin... “ “Hahaha... hahahah” Shinta justru tertawa menjadi. “Shin.., Shinta!!!”
Direngkuhnya tangan Shinta dan menyeretnya menuju motor. Shinta menolak,
berusaha bertahan di sana. Ken tetap bersikukuh menariknya pulang. Shinta
meneruskan tawa, seperti kesetanan. Dan akhirnya menangis, meluapkan emosi.
Tangis yang tak terlihat, air mata yang tercampur hujan. “Kau kenapa, Ken?!
Biarkan aku!! Biarkan aku...” Shinta memukul-mukul punggung Ken. Ken
memeluknya. Mencoba menenangkannya. Yang terjadi selanjutnya, seperti yang
sering terjadi diantara mereka, Shinta masih belum mau pulang dan Ken menjadi
pendengar baik dari seluruh curhatan Shinta. Mereka berdua duduk di kursi taman
di bawah kerindangan pohon yang menahan sedikit debit air hujan.
***
Malam
sebelumnya, di warung nasi goreng favorit Shinta...
Sudah
hampir sebulan Shinta tak memesan nasi goreng favoritnya itu. Malam itu entah
kenapa Shinta tiba-tiba ingin pergi dan memesan nasi goreng. Padahal sore
harinya ia sudah makan. Beberapa meter menjelang emperan warung, ia
memperlambat laju motornya. Ia melihat mobil Haris terparkir di depan warung.
Betapa senangnya Shinta. Ia memarkir motor dan bergegas menuju pintu masuk.
Namun, tak seperti kegairahannya saat menuju warung. Mendadak ia terperangah
dan berdiri kaku di pintu warung. Haris memang ada di sana, tapi tak sendiri.
Ia sedang bercanda dengan seorang cewek. Haris tak melihat Shinta, sibuk
bercanda dengan cewek itu.
Shinta
berbalik meninggalkan warung. Memacu motor dengan kencang dan langsung mengunci
diri dalam kamar ketika tiba di rumah.Betapapun
kesal hatinya, Shinta selalu tak meninggalkan kewajibannya. Esok harinya ia
masih berniat pergi kuliah. Ia menelpon Ken, seorang yang ia anggap selalu ada
saat ia membutuhkannya. Seorang yang selalu bisa menenangkan hatinya. Seorang
yang paling bisa mengerti dirinya. Ia meminta Ken menjemputnya. Dan ia, tidak
menghubungi Haris sama sekali seharian sampai akhirnya Haris menghubunginya di
siang itu. Telepon yang kehujanan, sebuah percakapan telepon yang telambat. Shinta
tak lagi mempercayai kata-kata Haris, meski ia masih belum melepas Haris. Ia
tak pernah menanyakan pada Haris tentang apa yang dilihatnya malam itu. Ia
bertahan, hanya demi hujan yang terlanjur membasahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar