TUGIEZLAND

Minggu, 22 Juni 2014

Telepon yang Kehujanan


Image

Satu pesawat melintas rendah di atas atap kedai, hendak mendarat di landasan bandara. Sepasang muda-mudi duduk di pojok kedai. Di balik meja yang menghadap sawah, nun beberapa puluh meter dari landasan bandara. Gelegar suara mesin pesawat tak terlalu membuat bising telinga, mereka menikmati suasana kesibukan pesawat turun dan lepas landas. Beberapa orang yang keluar masuk kedai tersebut, tak hirau oleh mereka. Tetap saja mereka menikmati suasana itu. Pun bakso mereka sudah habis sejak tadi. Mendung mulai menghitamkan langit. Kawanan burung pipit terbang lincah melintasi persawahan, hinggap di dahan pohon mangga yang ada di tengah sawah, terbang lagi, hinggap, terbang, hinggap lagi, mereka mempunyai dunia sendiri. Sama seperti muda-mudi itu, menciptakan dunia mereka sendiri di tengah kesibukan landasan pacu, diantara para pengunjung yang silih berganti datang dan meninggalkan kedai. 

“Mau tambah?” tawar Ken Arok pada Shinta. “Tidak Ken, sudah kenyang. Kau saja” jawabnya tanpa menoleh. Matanya jauh menerawang melintasi area persawahan,  menelusuri landasan pacu dan entah mendarat ke mana. Tangannya ia selojorkan di atas meja dengan kaku dan terasa berat. Mendung di langit segera rata, dan tetes demi tetes air hanya menunggu mendung kelebihan muatan untuk mulai berjatuhan kemudian. Dua orang tersebut lalu hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Hening. 

“Oke, kalau gitu kita pulang sekarang” Ken Arok akhirnya berucap dengan sedikit penekanan, memecah hening. “Sebentar lagi, Ken. Lagian kita baru saja makan, gak baik kalo langsung berkendara” Jawab Shinta, kali ini dengan menoleh namun bibirnya agak setengah manyun. “Oke, baik. Lima menit saja. Hujan segera turun, kau mau kehujanan?” Dengan agak sedikit kesal Ken mencoba menuruti permintaan Shinta. Ken tak pernah mampu menolak ajakan Shinta. Kalaupun mampu, ia dengan susah payah menyusun alasan untuk menolaknya.

***

Wanita yang duduk di sampingnya terlihat sedikit gugup. Beberapa kali ia menggigit bibir bawahnya dan matanya berlompatan menyusuri kerumitan jalan di luar kaca mobil. “Sudahlah, tenang saja, Vey. Lagian kerjaanmu udah hampir rampung toh? Tak ada urgent target hari ini, bukan?” Ucap Haris sekenanya, mencoba menenangkan Veronika di sampingnya. Meski ia sendiri sebenarnya sudah mulai gusar. Tak tersadar olehnya, bahwa tangannya menggenggam stang kemudi dengan erat. Mencoba mengalirkan energi khawatirnya ke mesin mobil. Tetes demi tetes air mulai berjatuhan di kaca mobil, menambah pengapnya suasana mobil tersebut oleh rasa khawatir. Sudah terlalu sering ia mendapat teguran. Dan ultimatum atasannya cukup berhasil membuat Haris rajin sebulan ini. Dan macet di siang ini hampir mencoreng lagi reputasi yang coba dibangunnya kembali. 

Waktu istirahat karyawan hampir habis. Haris masih terjebak macet usai makan siang bersama rekan kerjanya. Sengaja ia memilih restoran cepat saji yang berjarak tiga kilometer dari kantornya. Sudah sebulan lebih ia hanya memesan makanan lewat delivery call karena kerjaan yang menumpuk hampir tiap harinya. Siang ini ia ingin menyempatkan waktu makan di sana, duduk dan bernostalgia di tempat langganannya sambil menikmati makan siangnya. Macet akan segera mencair. Namun harus menunggu gerombolan motor itu saling berebut tempat teduh, entah berapa menit lagi macet akan berkurang.

“Oh, dia sekarang di mana yah? Apa masih di Kampus?” bisiknya dalam hati. Sekejap ia terlupa dengan segala hal di sekitarnya, termasuk Veronika yang sedari tadi terlihat gugup memandangi kemacetan jalanan. Genggaman eratnya pada stang mulai mengendur. Tangan kirinya meraih handphone di atas dashboard. Dicarinya nomer itu, dan dengan cepat ditelponnya kemudian. “Kamu sudah pulang? ... Loh, emang lagi di mana? ... Disini mulai turun hujan .... “ Percakapan Haris di telepon dengan seseorang di ujung sana itu semakin menambah keruh suasana hati Veronika. Siang ini, adalah momen yang sudah lama ia tunggu. Hanya saja, di momen ini pula ia harus patah hati. Haris, rekan kerjanya itu tak pernah cerita bahwa ia telah memiliki kekasih. Dan yang membuatnya lebih sakit, Haris seperti memberinya harapan. Tiap hari ia mendapat perhatian darinya. Saat lembur, ia sering diajak pulang bareng dan mampir untuk makan. Salah satu yang sering adalah mampir di warung nasi goreng dekat taman kota. Teringat lagi dalam bayangannya, saat Haris dengan penuh khawatir menuntunnya menuruni tangga lalu memijat kakinya yang terkilir. Saat itu Veronika baru beberapa bulan bergabung di kantornya. Dan kejadian itu menancap dalam hatinya.

Siang ini, Veronika kalut. Tubuhnya melemas tapi tetap ia coba sekeras mungkin agar terlihat tetap tegap. Seolah tak terjadi apa-apa, meski matanya mulai berkaca-kaca. Haris masih hanyut dalam percakapannya dengan seseorang di ujung sana. Veronika memandanginya sejenak, lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah luar kaca mobil. “Kau, sungguh jahat sekali. Kenapa kau... kenapa juga kau... Oh, mungkin memang salahku yang terlalu berharap padamu. Salahku yang terlalu dalam memaknaimu... Kau...” Pergulatan hebat terjadi di hati Veronika hingga air mata yang coba ia tahan tak terbendung lagi. Seperti mendung yang tak kuasa menahan air hujan berlama-lama di atmosfer bumi. 

“Hei, kenapa kau ini?” Tanya Haris usai menutup percakapan handphone-nya. Veronika tersentak. Spontan ia menggelengkan kepala – dengan wajah tetap memandang ke depan. “Kau terlihat buruk. Sebentar lagi sudah nyampek kantor. Tenanglah” ucap Haris sambil berusaha menyeka air mata Veronika. Belum juga tangannya sempat menyentuh, Veronika sudah menangkalnya dengan keras. Haris masih belum menyadarinya. “Kenapa Vey mendadak jadi sensitif? Apa hanya karena terjebak macet? Dan ini tidak terjadi tiap hari. Ia memang pekerja tauladan. Tapi, apa hanya telat semenit waktu selama setahun udah membuatnya sekalut ini?” Tanya Haris tak mengerti dalam hatinya. 

“Kau tetap pegawai teladan, Vey..?”  Haris mencoba menghibur. Ia agak sedikit menyesal mengeluarkan kata-kata itu. harusnya ia diam dan tak berkata apapun di saat seperti ini. Haris menjulurkan tangannya. Disandarkannya di atas punggung tangan Veronika yang lemas. Dielusnya lembut. Namun Veronika langsung menghempaskan elusan itu dengan keras. Veronika semakin tak mampu menahan gejolak hatinya yang meledak-ledak. Tangisnya semakin terisak dan menjadi. Ia tak mampu mengendalikan diri lagi. Dipukul-pukulnya Haris. Kakinya menendang-nendang. “kau jahat, kau jahat... kau...”  


***

“Sudah dicari yah?” tanya ken penasaran. Shinta hanya menggelengkan kepala, lalu tersenyum. Hujan turun tidak begitu deras. Tapi Ken, tiba-tiba ia ingin menahan Shinta di sini. “Kita menunggu hujan reda saja, oke. Daripada kenapa-napa, ntar aku yang disalahin mamamu”. “Halah Ken, aku tak semanja itu kali. Ayo kita pulang!!” “kau serius???” “Kau pikir aku bercanda?”. “Oke, aku juga ingin kehujanan, udah lama gak main hujan”. Lagi-lagi Ken tak bisa menolak ajakan Shinta.

Di tengah perjalanan, saat melintasi taman kota, Shinta meminta Ken menghentikan motornya. Ia bergegas turun lalu berlari kecil menuju kursi taman di bawah pohon. Melihat itu, Ken tergopoh memarkir motor lalu berlari menyusul Shinta. “Hei, ada apa? Yuk, pulang !!” Shinta mendongakkan kepala, menyunggingkan senyum, lalu berdiri. Ken menyambut, lalu membalikkan tubuh menuju tempat motornya terparkir. Belum juga Ken melangkah . . . “Aaaaaaaaaaaahhh...!!!” Ken menoleh lagi, teriakan Shinta mengagetkannya. Si pemilik teriakan justru tertawa kemudian. “Hahahahah... kenapa, Ken?” Shinta memutar-mutar tubuhnya, kedua tangannya ia luruskan ke atas, sambil tertawa lagi. “Shin, ada apa denganmu?!” Shinta tidak menghiraukannya. Ia masih asyik. “Hahaha.. Katanya kamu mau menikmati hujan tadi?” Ken masih belum mengerti pertanyaan Shinta. “Tapi, Shin... “ “Hahaha... hahahah” Shinta justru tertawa menjadi. “Shin.., Shinta!!!” Direngkuhnya tangan Shinta dan menyeretnya menuju motor. Shinta menolak, berusaha bertahan di sana. Ken tetap bersikukuh menariknya pulang. Shinta meneruskan tawa, seperti kesetanan. Dan akhirnya menangis, meluapkan emosi. Tangis yang tak terlihat, air mata yang tercampur hujan. “Kau kenapa, Ken?! Biarkan aku!! Biarkan aku...” Shinta memukul-mukul punggung Ken. Ken memeluknya. Mencoba menenangkannya. Yang terjadi selanjutnya, seperti yang sering terjadi diantara mereka, Shinta masih belum mau pulang dan Ken menjadi pendengar baik dari seluruh curhatan Shinta. Mereka berdua duduk di kursi taman di bawah kerindangan pohon yang menahan sedikit debit air hujan. 

***

Malam sebelumnya, di warung nasi goreng favorit Shinta...

Sudah hampir sebulan Shinta tak memesan nasi goreng favoritnya itu. Malam itu entah kenapa Shinta tiba-tiba ingin pergi dan memesan nasi goreng. Padahal sore harinya ia sudah makan. Beberapa meter menjelang emperan warung, ia memperlambat laju motornya. Ia melihat mobil Haris terparkir di depan warung. Betapa senangnya Shinta. Ia memarkir motor dan bergegas menuju pintu masuk. Namun, tak seperti kegairahannya saat menuju warung. Mendadak ia terperangah dan berdiri kaku di pintu warung. Haris memang ada di sana, tapi tak sendiri. Ia sedang bercanda dengan seorang cewek. Haris tak melihat Shinta, sibuk bercanda dengan cewek itu.

Shinta berbalik meninggalkan warung. Memacu motor dengan kencang dan langsung mengunci diri dalam kamar ketika tiba di rumah.Betapapun kesal hatinya, Shinta selalu tak meninggalkan kewajibannya. Esok harinya ia masih berniat pergi kuliah. Ia menelpon Ken, seorang yang ia anggap selalu ada saat ia membutuhkannya. Seorang yang selalu bisa menenangkan hatinya. Seorang yang paling bisa mengerti dirinya. Ia meminta Ken menjemputnya. Dan ia, tidak menghubungi Haris sama sekali seharian sampai akhirnya Haris menghubunginya di siang itu. Telepon yang kehujanan, sebuah percakapan telepon yang telambat. Shinta tak lagi mempercayai kata-kata Haris, meski ia masih belum melepas Haris. Ia tak pernah menanyakan pada Haris tentang apa yang dilihatnya malam itu. Ia bertahan, hanya demi hujan yang terlanjur membasahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar