TUGIEZLAND

Sabtu, 26 April 2014

Tidak Ada Demokrasi Untuk Orang-Orang Bodoh


LAPORAN PENGAMATAN PEMILU
Oleh : Rizky A. Prasojo *

Judul tersebut saya kutip dari suatu kalimat dalam novel berjudul Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye. Novel bergenre politik tersebut bercerita tentang seorang konsultan bisnis muda paling berpengaruh yang mencoba menjelajahi wilayah konsultan politik. Ia punya banyak tantangan di bidang tersebut. salah satu misi utamanya adalah memperbaiki kebobrokan dunia hukum. Ia harus berhadapan dengan para mafia besar yang menguasai hukum, termasuk para pejabat birokrasi dan jenderal militer yang kongkalikong dengan para mafia. Maksud dari kalimat tidak ada demokrasi untuk orang-orang bodoh adalah, bahwa bentuk demokrasi di Indonesia terlalu rumit untuk didefinisikan. Bodoh di sini bisa jadi merujuk pada para pemegang keputusan yang seringkali salah dalam menilai sebuah keadaan di masyarakatnya. mana yang penting diabaikan, yang tidak penting justru diutamakan.

Suatu ilustrasi : ada suatu jembatan di sebuah desa. Jembatan tersebut menurut para ahli konstruksi jembatan sudah sangat tidak memenuhi standar dan jika dibiarkan tak akan lama lagi ambruk. Para pemimpin setempat pun bermusyawarah dengan para warga sekitar jembatan. Demi asas prosedural dan demokrasi, dilakukanlah voting diantara pilihan : menunggu dana dari pemerintah pusat untuk memperbaiki jembatan, atau iuran sukarela warga untuk memperbaiki jembatan. Dan hasilnya sudah bisa ditebak, banyak warga lebih memilih menunggu dana dari pemerintah pusat untuk memperbaiki jembatan. Keputusan disahkan menurut suara terbanyak. Mayoritas warga yang tingkat ekonomi dan pendidikannya rendah, lebih mempunyai pandangan pragmatis. Daripada mengeluarkan uang, mending nunggu bantuan.

Dan itulah yang terjadi saat ini. demokrasi dipahami hanya sebagai “suara mayoritas”. Padahal suara mayoritas bisa saja tidak tepat dalam suatu kondisi tertentu. Tidak tepat dalam arti suara mayoritas belum siap untuk diajak berpikir jauh ke depan. Suara mayoritas belum mempunyai pemahaman yang tinggi akan suatu kondisi. Keputusan yang hanya didasarkan pada suara mayoritas tanpa dipertimbangkan urgensi yang seharusnya didahulukan, akan berdampak buruk. Apa konsekuensi yang didapat akibat keputusan musyawarah tersebut? jembatan ambruk beberapa hari kemudian, warga yang melintas di atasnya tewas. Sekali lagi, hanya demi asas prosedural dan demokrasi.

Demikian halnya demokrasi yang berjalan di era reformasi ini. kultur masyarakat yang masih terpengaruh budaya kerajaan, ditambah uniformitas “asal bapak suka” pada era orde baru, membuat masyarakat belum sepenuhnya siap untuk memasuki fase “real” demokrasi. Selain itu, tingkat pendidikan serta ekonomi mayoritas masyarakat Indonesia juga turut mempengaruhi ketidaksiapan tersebut. Dalam pemilu legislatif 2014 yang baru saja berlangsung, masih banyak ditemukan praktek money politic. Data Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) yang dilaporkan pada Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), menyebutkan bahwa terjadi kasus politik uang dan barang di 335 TPS (33%)[1]. Itu yang terdata. Bagaimana dengan praktek-praktek yang tidak terlapor? Di kampung saya sendiri saja, praktek tersebut dianggap wajar oleh warga. Ini tidak lain karena mayoritas masih berpikir pragmatis. Selain juga rasa kecewa terhadap beberapa oknum pemerintah selama ini yang kerap korupsi turut mempengaruhi.

Siapa salah? Masyarakat kah? Pemerintah kah? Tidak perlu kita mencari kesalahan. Karena demokrasi di Indonesia bisa dibilang masih berjalan pada fase bayi yang merangkak, perlu dituntun. Sudah ingin berdiri, tapi jatuh lagi. Masih perlu proses panjang. Nah, dalam proses tersebut, perbaikan segala sektor terutama pendidikan, hukum, dan ekonomi, sangatlah perlu. Ini untuk mengurangi sikap pragmatis, dan lebih jauh lagi, sikap apatis masyarakat sehingga mampu untuk berpikir jauh ke depan. Dan pada akhirnya suara mayoritas, meminjam istilah Gatut Saksono[2], bukan lagi suara rakyat yang hanya seolah-olah dilibatkan dalam demokrasi. Tapi suara mayoritas memang benar-benar suara keinginan rakyat. Money politic nantinya tidak akan mendapatkan tempat lagi di hati masyarakat.

Kenapa perbaikan sektor-sektor tersebut sangat diperlukan dalam demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa kembali merujuk pada UUD 1945 Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang merupakan salah satu landasan demokrasi tertuang dalam ayat 3 Pasal 28 E. Sementara pasal yang mendahului adalah Pasal 28 D yang berbunyi : (1) setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (2) setiap orang  berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sementara hak untuk mendapatkan pendidikan diletakkan pada Pasal 28 C ayat 1. Jadi jelas, bagaimana susunan pasal 28 UUD 1945 sangatlah sistematis. Hak untuk mendapatkan pendidikan diletakkan terlebih dahulu. Diikuti pasal selanjutnya tentang- hak kesamaan di mata hukum serta keadilan dalam hubungan kerja (perekonomian). Baru kemudian, di pasal 28 E tertuang hak untuk berpendapat, untuk berdemokrasi. Logikanya, bagaimana bisa menyuarakan pendapat sesuai pilihan hati jika tingkat pendidikan dan keadaan ekonomi masih rendah? Jika keadilan di mata hukum masih diinjak-injak? Tak heran jika pragmatis masih menjadi pilihan. Mendapat serangan fajar, masih dianggap wajar.

Jika kita amati, sektor-sektor vital pendukung demokrasi tersebut masih ambrul-adul. Dari sektor pendidikan, berapa kali sistem pendidikan kita diubah? Berapa kali sistem ujian nasional diubah? Bagaimana dengan pendidikan orang pinggiran? Deskriminasi pendidikan? Dan, ah, masih banyak lagi problem di sektor ini yang sangat urgen untuk diperbaiki. Di sektor hukum tak kalah memprihatinkan. Kasus-kasus besar dengan mudahnya menguap. Sementara kasus kecil diproses sedemikian detail. Mafia hukum merajalela. Praktek jual-beli putusan melenggang nyaman. Bagaimana dengan sektor ekonomi? Kita bisa lihat sendiri kerumitannya. Kalimat berbunyi : “...perlakuan yang adil dan layak” dalam ayat 2 Pasal 28 D agaknya masih jauh dari kenyataan. Masalah Upah Minimum Reguler (UMR) masih belum tuntas (ditambah oknum praktek politik praktis yang menunggangi). Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pahlawan devisa kita berjalan tanpa perlindungan. Penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) tanpa solusi masih marak. Harga kebutuhan terus melonjak tanpa pengendalian. Petani dicekik para cukong. Seperti inikah demokrasi? Seperti inikah suara mayoritas keinginan rakyat? Sementara para wakilnya masih sibuk dengan urusan berebut kursi, berbagi roti, politik praktis?

Jika perbaikan sektor-sektor vital tersebut masih dilaksanakan setengah hati. Bukan tidak mungkin demokrasi di Indonesia berjalan pincang, penuh intrik. Bahkan, bayi demokrasi yang masih merangkak dan ingin berdiri itu, akhirnya tak kuasa lagi berdiri. Jika kita mengharapkan ia berdiri tegak, maka sudah sepatutnya bersama-sama memperbaiki sektor-sektor vital tersebut. Tentu dimulai dari struktur teratas diantara warga negara : Para Penyelenggara Negara. Para penyelenggara negara sudah sepatutnya memikirkan sepenuh hati untuk memperbaiki sektor vital. Bukan hanya berfokus pada politik praktis. Kita belum memungkinkan untuk memberi pengertian masyarakat, bahwa pilihan mereka bisa menentukan lima tahun ke depan jika rasa keadilan mereka masih diinjak-injak. Jika kesamaan hak dasar mereka masih belum terpenuhi. Istilahnya, kita tidak bisa serta merta begitu saja melempar kesalahan yang “sulit diperbaiki” kepada rakyat. Kita tidak bisa berdalih bahwa ini kesalahan rakyat karena mereka tidak becus dalam memilih wakilnya. Hey, bagaimana bisa becus, jika tingkat pendidikan dan ekonomi mayoritas dari kami masih rendah? Jika kami masih mudah  engkau tipu dengan janji-jani, pencitraan, bantuan kemanusian, dan “uang”? 

Demokrasi akan otomatis berjalan sebagaimana mestinya apabila hak dasar warga negara terpenuhi dengan benar. Masyarakat akan menggunakan hak pilih sesuai pilihannya dengan berpikir jauh ke depan jika tingkat pendidikan mayoritas mereka sudah tinggi. Masyarakat akan memberikan kepercayaan sepenuh hati pada para wakilnya jika hukum yang berjalan benar-benar adil. Dan masyarakat juga tak akan lagi berpikir pragmatis apalagi menyentuh uang serangan fajar jika keadaan ekonomi mereka stabil. Jika semua itu tercapai, maka judul tulisan ini akan sangat memalukan untuk dibaca ulang. Karena orang-orang “bodoh” telah berproses dan telah berdemokrasi sebagaimana mestinya.

Pada akhirnya, untuk menutup tulisan ini, saya hanya ingin berdoa. Walau dikatakan selemah-lemahnya iman dalam melawan adalah melawan dengan doa. Semoga para wakil rakyat terpilih adalah benar-benar orang pilihan yang tahu mana yang penting dan mana yang seharusnya diabaikan. Mana yang mendesak, mana yang sebaiknya dibuang ke pasar loak. Semoga perbaikan pendidikan, hukum, ekonomi, dan lainnya berjalan ke arah yang lebih maju. Sehingga demokrasi bukan hanya suara mayoritas yang dibeli (dengan uang, dengan janji, dengan pencitraan), tapi benar-benar suara mayoritas yang disadari dari hati. [ ]

Quote :
“Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau. Turunkan harga secepatnya. Berikan kami pekerjaan. Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa”      -Iwan Fals-


Inspirasi dan Refrensi :
Liye, Tere. Negeri di Ujung Tanduk. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2013
Saksono, Gatut. Golput dan Masa Depan Bangsa : Golput Sebagai Koreksi Konstruktif terhadap Parpol, Negara, dan Realitas Hidup. Yogyakarta : Elmatera, 2013
 http://www.bawaslu.go.id/component/content/article/1-berita/392-bawaslu-terima-laporan-jppr-dan-kipp.html





[1] Pemantauan JPPR dilakukan di beberapa wilayah di 31 Provinsi di 65 Kabupaten/Kota dengan menggunakan metode purposive random sampling. Yaitu dengan memilih dan memetakan terlebih dahulu daerah rawan kecurangan.
[2] Gatut Saksono, Golput dan Masa depan bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar