LAPORAN PENGAMATAN PEMILU
|
Judul tersebut saya kutip dari suatu kalimat dalam novel berjudul
Negeri di Ujung Tanduk karya Tere
Liye. Novel bergenre politik tersebut bercerita tentang seorang konsultan
bisnis muda paling berpengaruh yang mencoba menjelajahi wilayah konsultan
politik. Ia punya banyak tantangan di bidang tersebut. salah satu misi utamanya
adalah memperbaiki kebobrokan dunia hukum. Ia harus berhadapan dengan para mafia
besar yang menguasai hukum, termasuk para pejabat birokrasi dan jenderal
militer yang kongkalikong dengan para mafia. Maksud dari kalimat tidak ada
demokrasi untuk orang-orang bodoh adalah, bahwa bentuk demokrasi di Indonesia
terlalu rumit untuk didefinisikan. Bodoh di sini bisa jadi merujuk pada para
pemegang keputusan yang seringkali salah dalam menilai sebuah keadaan di
masyarakatnya. mana yang penting diabaikan, yang tidak penting justru
diutamakan.
Suatu ilustrasi : ada suatu jembatan di sebuah desa. Jembatan
tersebut menurut para ahli konstruksi jembatan sudah sangat tidak memenuhi
standar dan jika dibiarkan tak akan lama lagi ambruk. Para pemimpin setempat
pun bermusyawarah dengan para warga sekitar jembatan. Demi asas prosedural dan
demokrasi, dilakukanlah voting diantara pilihan : menunggu dana dari pemerintah
pusat untuk memperbaiki jembatan, atau iuran sukarela warga untuk memperbaiki
jembatan. Dan hasilnya sudah bisa ditebak, banyak warga lebih memilih menunggu
dana dari pemerintah pusat untuk memperbaiki jembatan. Keputusan disahkan
menurut suara terbanyak. Mayoritas warga yang tingkat ekonomi dan pendidikannya
rendah, lebih mempunyai pandangan pragmatis. Daripada mengeluarkan uang, mending nunggu bantuan.
Dan itulah yang terjadi saat ini. demokrasi dipahami hanya
sebagai “suara mayoritas”. Padahal suara mayoritas bisa saja tidak tepat dalam
suatu kondisi tertentu. Tidak tepat dalam arti suara mayoritas belum siap untuk
diajak berpikir jauh ke depan. Suara mayoritas belum mempunyai pemahaman yang
tinggi akan suatu kondisi. Keputusan yang hanya didasarkan pada suara mayoritas
tanpa dipertimbangkan urgensi yang seharusnya didahulukan, akan berdampak
buruk. Apa konsekuensi yang didapat akibat keputusan musyawarah tersebut?
jembatan ambruk beberapa hari kemudian, warga yang melintas di atasnya tewas. Sekali
lagi, hanya demi asas prosedural dan demokrasi.
Demikian halnya demokrasi yang berjalan di era reformasi ini.
kultur masyarakat yang masih terpengaruh budaya kerajaan, ditambah uniformitas
“asal bapak suka” pada era orde baru, membuat masyarakat belum sepenuhnya siap
untuk memasuki fase “real” demokrasi.
Selain itu, tingkat pendidikan serta ekonomi mayoritas masyarakat Indonesia
juga turut mempengaruhi ketidaksiapan tersebut. Dalam pemilu legislatif 2014
yang baru saja berlangsung, masih banyak ditemukan praktek money politic. Data Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk
Rakyat (JPPR) yang dilaporkan pada Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu),
menyebutkan bahwa terjadi kasus politik uang dan barang di 335 TPS (33%)[1]. Itu yang terdata. Bagaimana
dengan praktek-praktek yang tidak terlapor? Di kampung saya sendiri saja,
praktek tersebut dianggap wajar oleh warga. Ini tidak lain karena mayoritas
masih berpikir pragmatis. Selain juga rasa kecewa terhadap beberapa oknum
pemerintah selama ini yang kerap korupsi turut mempengaruhi.
Siapa salah? Masyarakat kah? Pemerintah kah? Tidak perlu kita
mencari kesalahan. Karena demokrasi di Indonesia bisa dibilang masih berjalan
pada fase bayi yang merangkak, perlu dituntun. Sudah ingin berdiri, tapi jatuh
lagi. Masih perlu proses panjang. Nah, dalam proses tersebut, perbaikan segala
sektor terutama pendidikan, hukum, dan ekonomi, sangatlah perlu. Ini untuk
mengurangi sikap pragmatis, dan lebih jauh lagi, sikap apatis masyarakat
sehingga mampu untuk berpikir jauh ke depan. Dan pada akhirnya suara mayoritas,
meminjam istilah Gatut Saksono[2], bukan
lagi suara rakyat yang hanya seolah-olah dilibatkan dalam demokrasi. Tapi suara
mayoritas memang benar-benar suara keinginan rakyat. Money politic nantinya tidak akan mendapatkan tempat lagi di hati
masyarakat.
Kenapa perbaikan sektor-sektor tersebut sangat diperlukan
dalam demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa kembali merujuk
pada UUD 1945 Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang merupakan salah satu landasan
demokrasi tertuang dalam ayat 3 Pasal 28 E. Sementara pasal yang mendahului
adalah Pasal 28 D yang berbunyi : (1) setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum. (2) setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja. Sementara hak untuk mendapatkan pendidikan
diletakkan pada Pasal 28 C ayat 1. Jadi jelas, bagaimana susunan pasal 28 UUD
1945 sangatlah sistematis. Hak untuk mendapatkan pendidikan diletakkan terlebih
dahulu. Diikuti pasal selanjutnya tentang- hak kesamaan di mata hukum serta
keadilan dalam hubungan kerja (perekonomian). Baru kemudian, di pasal 28 E tertuang
hak untuk berpendapat, untuk berdemokrasi. Logikanya, bagaimana bisa
menyuarakan pendapat sesuai pilihan hati jika tingkat pendidikan dan keadaan ekonomi
masih rendah? Jika keadilan di mata hukum masih diinjak-injak? Tak heran jika
pragmatis masih menjadi pilihan. Mendapat serangan fajar, masih dianggap wajar.
Jika kita amati, sektor-sektor vital pendukung demokrasi
tersebut masih ambrul-adul. Dari
sektor pendidikan, berapa kali sistem pendidikan kita diubah? Berapa kali
sistem ujian nasional diubah? Bagaimana dengan pendidikan orang pinggiran? Deskriminasi
pendidikan? Dan, ah, masih banyak lagi problem di sektor ini yang sangat urgen
untuk diperbaiki. Di sektor hukum tak kalah memprihatinkan. Kasus-kasus besar
dengan mudahnya menguap. Sementara kasus kecil diproses sedemikian detail.
Mafia hukum merajalela. Praktek jual-beli putusan melenggang nyaman. Bagaimana
dengan sektor ekonomi? Kita bisa lihat sendiri kerumitannya. Kalimat berbunyi :
“...perlakuan yang adil dan layak” dalam ayat 2 Pasal 28 D agaknya masih jauh
dari kenyataan. Masalah Upah Minimum Reguler (UMR) masih belum tuntas (ditambah
oknum praktek politik praktis yang menunggangi). Tenaga Kerja Indonesia (TKI),
pahlawan devisa kita berjalan tanpa perlindungan. Penggusuran Pedagang Kaki
Lima (PKL) tanpa solusi masih marak. Harga kebutuhan terus melonjak tanpa
pengendalian. Petani dicekik para cukong. Seperti inikah demokrasi? Seperti
inikah suara mayoritas keinginan rakyat? Sementara para wakilnya masih sibuk
dengan urusan berebut kursi, berbagi roti, politik praktis?
Jika perbaikan sektor-sektor vital tersebut masih
dilaksanakan setengah hati. Bukan tidak mungkin demokrasi di Indonesia berjalan
pincang, penuh intrik. Bahkan, bayi demokrasi yang masih merangkak dan ingin
berdiri itu, akhirnya tak kuasa lagi berdiri. Jika kita mengharapkan ia berdiri
tegak, maka sudah sepatutnya bersama-sama memperbaiki sektor-sektor vital
tersebut. Tentu dimulai dari struktur teratas diantara warga negara : Para
Penyelenggara Negara. Para penyelenggara negara sudah sepatutnya memikirkan
sepenuh hati untuk memperbaiki sektor vital. Bukan hanya berfokus pada politik
praktis. Kita belum memungkinkan untuk memberi pengertian masyarakat, bahwa
pilihan mereka bisa menentukan lima tahun ke depan jika rasa keadilan mereka
masih diinjak-injak. Jika kesamaan hak dasar mereka masih belum terpenuhi.
Istilahnya, kita tidak bisa serta merta begitu saja melempar kesalahan yang
“sulit diperbaiki” kepada rakyat. Kita tidak bisa berdalih bahwa ini kesalahan
rakyat karena mereka tidak becus dalam
memilih wakilnya. Hey, bagaimana bisa becus,
jika tingkat pendidikan dan ekonomi mayoritas dari kami masih rendah? Jika kami
masih mudah engkau tipu dengan
janji-jani, pencitraan, bantuan kemanusian, dan “uang”?
Demokrasi akan otomatis berjalan sebagaimana mestinya apabila
hak dasar warga negara terpenuhi dengan benar. Masyarakat akan menggunakan hak
pilih sesuai pilihannya dengan berpikir jauh ke depan jika tingkat pendidikan mayoritas
mereka sudah tinggi. Masyarakat akan memberikan kepercayaan sepenuh hati pada
para wakilnya jika hukum yang berjalan benar-benar adil. Dan masyarakat juga
tak akan lagi berpikir pragmatis apalagi menyentuh uang serangan fajar jika
keadaan ekonomi mereka stabil. Jika semua itu tercapai, maka judul tulisan ini
akan sangat memalukan untuk dibaca ulang. Karena orang-orang “bodoh” telah
berproses dan telah berdemokrasi sebagaimana mestinya.
Pada akhirnya, untuk menutup tulisan ini, saya hanya ingin
berdoa. Walau dikatakan selemah-lemahnya iman dalam melawan adalah melawan
dengan doa. Semoga para wakil rakyat terpilih adalah benar-benar orang pilihan
yang tahu mana yang penting dan mana yang seharusnya diabaikan. Mana yang
mendesak, mana yang sebaiknya dibuang ke pasar loak. Semoga perbaikan
pendidikan, hukum, ekonomi, dan lainnya berjalan ke arah yang lebih maju.
Sehingga demokrasi bukan hanya suara mayoritas yang dibeli (dengan uang, dengan
janji, dengan pencitraan), tapi benar-benar suara mayoritas yang disadari dari
hati. [ ]
Quote :
“Masalah moral,
masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu.
Peraturan yang sehat yang kami mau. Turunkan harga secepatnya. Berikan kami
pekerjaan. Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa” -Iwan Fals-
Inspirasi dan Refrensi :
Liye, Tere. Negeri
di Ujung Tanduk. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2013
Saksono, Gatut. Golput
dan Masa Depan Bangsa : Golput Sebagai Koreksi Konstruktif terhadap Parpol,
Negara, dan Realitas Hidup. Yogyakarta : Elmatera, 2013
http://www.bawaslu.go.id/component/content/article/1-berita/392-bawaslu-terima-laporan-jppr-dan-kipp.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar