Senja di langit Sidoarjo, awal bulan September entah tahun
ke berapa . . .
Kau tau, mendung di kala senja itu selalu saja membuat
otakku menambahkan kayu untuk memanaskan tungku perapiannya, setidaknya ia
menghangatkan aura-aura suci yang berseliweran hadir agar mereka tak terbeku
oleh kedangkalan hasratku. Oh, mata itu, yang kusebut ia mata cinta, selalu
memberikanku imaji-imaji liar dan tak terkendali. Kau tau, saat mata cinta itu
menusuk tajam ke dalam pandangku, mataku semakin sulit membedakan kerlingan
awan yang membawa berkilo liter air surgawi yang tak lain dari daratan semu,
dengan tatapan tajam cahaya petir yang menyibak memecah tirai langit yang
mendung di kala senja.
Gadis itu, selalu hadir saat aku menanti asa, saat aku menanti
mendung menyibakkan tirainya agar ku lihat keemasan cahaya mentari yang kan
tenggelam di bawah horizon. Sialnya, mendung tak pernah bolos memayungi langkah
gadis itu, sekedar kau tau, dialah pemilik mata cinta yang kuceritakan tadi. “Oh, cantik, aku
sungguh menyayangimu. Tapi ku ragu, aku tak yakin aku benar-benar menyayangimu.
Saat pandanganku masuk jauh ke dalam mata cintamu, berbagai hasrat
menjilat-jilatkan ujungnya lalu mereka menggoreskan lukisan abstrak nan luas dan
indah dalam pikiranku. Bukankah ini hanya perasaan ingin memiliki saja?
Entahlah, semoga tidak...”, batinku tersiksa oleh kehadirannya, semakin ia
mendekat, semakin aku berada di tepian jurang, sebuah titik antara hidup-mati,
antara tenggelamnya mentari dengan pekatnya mendung di kala senja. Titik
keraguan.
Memang tak akan pernah lelah, buaian, belaian frase indah
menghiasi suaranya setiap kali kami bertukar komunikasi. Aku menggadaikan
sedikitnya berkilo keyakinan tiap detik hanya untuk merasakan buaian kata-kata
manisnya, kugadaikan bagai setetes air yang demi detik mendegradasi partikel
besi, dan korosi akhirnya menghantui.
Gadis bermata cinta itu selalu muncul di tepian senja, membuat wajahnya
buram – kontras oleh warna keemasan mentari yang bersiap sembunyi. Dan mendung,
entah siapa gerangan mendung, seperti seorang kekasih, mendung selalu
melindungi langkah gadis itu di kala senja, dan saat berpayung mendung wajah
gadis itu akan bercahaya cerah mengalahkan cahaya keemasan mentari silaukan
mata.
Terkadang, dan terkadang memang benar dari pandangan
kebenaran subyektifku sendiri bahwa seperti yang kebanyakan para tetua
nasehatkan kalau cinta bisa membutakan logika. Gadis berpayung mendung senja
itu sesekali menyibakkan sedikit payungnya sehingga sinar keemasan mentari
senja mengintip di samping wajahnya. Yang masuk dalam konsep pikirku atas apa
yang kulihat kala sinar mentari senja mengintip di samping wajahnya, adalah dua
mentari senja sedang bersiap sembunyi dalam singgasana peraduan. Gadis itu
tersenyum, aku hanya mendengar suara mistisnya, sementara imanku goyah untuk memilih
satu sinar mentari yang benar-benar bersiap tiap harinya mematuhi siklus alam.
Dua sinar mentari harus diseleksi, satu sinar datang dari wajah gadis berpayung
mendung senja, satu sinar lainnya datang dari senja itu sendiri.
“Hahahaha...” ia tertawa melihatku gundah. Ini sudah hampir
larut malam, tapi mentari masih berada di duniaku, dunia antara mimpi dan
nyata. Sinar mentari senja masih hadir, datang dari wajahnya yang semakin
merayu hasratku. Aku tau, ini hanyalah sinar semu yang terpancar dari keceriaan
wajah seorang gadis yang kucinta, atau lebih tepatnya yang kuhasrat-cintai. Aku
tau, ini adalah waktu larut malam, bukan antara siang-malam, bukan antara
mendung dan kecerahan langit. Tapi, cinta, cinta membuatku mencumbui keindahan
perasaan, perasaan yang tercipta di kala senja, di kala ia menyapa, saat ia
tertawa dalam kegundahanku bersamanya. “Hahahaha... Dosa yang terindah” satu
gema menyahut di bekas tempat perpisahan siang dan malam. Gadis itu
mengerlingkan mata, mempesonaku lalu ia melambaikan tangan menembus larut
malam.
***
“Hei, jangan kau pergi, jangan pergi dulu....” aku
mengingau selalu seperti itu, pun kusadari pagi telah menjelaskan cahaya
sejati, pun embun suci menetesi mataku yang setengah terpejam. Hari-hariku
keruh oleh imaji buta tentang gadis itu.
Tubuhku agaknya lebih senang untuk diajak bermalasan di bawah rindangnya
pohon mimpi. Kupaksakan beranjak, ia melawan, “sedetik saja sebentar...”
rayunya, kuturuti, ku ajaknya pergi, tapi tubuhku merayu lagi dengan berbagai
alibi logis, begitu seterusnya sehingga aku kalah dengan nafsu hewani tubuhku
sendiri. Seharian aku menenangkannya di bawah pohon mimpi, daunnya
melambai-lambai mengantarkan sepoi angin membuatku semakin betah memanjakan
diri di sana.
Senja tiba, tubuhku meloncat kegirangan. Ia menyeretku
menemui tempat pertemuan siang-malam. Mendung tak hadir sore ini, pertanda
gadis itu juga tak hadir. Pupus, perasaanku membaur mengiringi cahaya keemasan
mentari senja yang menikahkan siang dan malam di ujung horizon. Perasaan yang
memburamkan batas antara semu-nya keindahan mimpi dan jujurnya kenyataan. Aku
menjadi saksi pernikahan siklus alam itu, hingga aku benar-benar menyadari
pernikahan itu hanya berlangsung beberapa detik. Sang malam telah menelan siang,
dua sejoli itu menikmati kebersamaan hanya beberapa detik, atau bahkan tidak
sedetikpun mereka bercumbu, hanya nisbinya khayalku yang bersaksi atas
pernikahan itu.
Aku beranjak pulang menidurkan diri. Detik-detik waktu
terdengar jelas mengalun memainkan nada memancing khayalku tentang gadis berpayung
mendung senja itu. Malamku tak lagi sejelas malam-malam sebelum ku bertemu
dengannya. Gadis itu membawakan siang dalam malamku, dan menidurkanku di kala
siang. Tak jelas lagi kapan aku berada di waktu siang, kapan aku bersua malam.
Yang kupahami hanyalah waktu senja, aku benar-benar paham jika aku selalu
berada dalam senja, begitulah menurut khayalku. Aku benar-benar terobsesi
dengan waktu senja. Setiap detik pergantian waktu, kuhabiskan sisa hanya untuk
menanti kedatangan senja, menjemput pujaan hatiku – gadis berpayung mendung
senja.
***
“Hai ... apa kabar?”
sapanya menyadarkanku yang tengah tertidur di bawah rindangnya pohon mimpi pagi
itu, oh malam itu, entahlah, aku bingung. Yang jelas sudah lama sekali aku
menantinya, menanti senja menyapaku hingga tak tersadar bahwa setiap waktuku
berada dalam senja. Senja seperti ini yang hanya kunanti, senja yang melangkah
dari balik batas horizonnya seorang gadis berpayung mendung. Tubuhku menggelinjang
hebat merasakan dahsyatnya sensasi energi momentum romansa dua sejoli. Aku
menjemputnya, tak peduli lagi siang atau malamkah saat ini. Ku berlari
menerjang batas, melangkahi horizon samar tak berujung itu demi rasa yang
kusebut cinta. Ia menanti tepat di batas antara siang-malam, seperti seorang
penghulu menikahkan kedua mempelai siklus waktu. Mentari senja di sampingnya
menjadi saksi pernikahan waktu, sementara gadis itu tersenyum melihatku berlari
menjemputnya. Ia membuang mendung senjanya, menampakkan padaku wajah aslinya.
Berada di samping mentari senja membuatnya masih terlihat bersinar, pun payung
mendungnya telah ia buang. Seperti cahaya mentari di kala senja, bersiap
menikahkan siang-malam dan memisahkannya kemudian, gadis itu memberi penawaran
: “Melangkahlah padaku sayang, pilihlah siang atau malammu, ku ingin kau
menjadi imamku siang-malamku, dunia-akhiratku, pilihlah waktumu sebelum senja
benar-benar memisahkan kita sekejap perpisahan siang-malam...” Aku hanya
tertegun mendengar ucapannya. Aku tak memilih, karena kutau sedetik atau bahkan
sepermilyaran detik kenyataan malam akan segera menelan siang, tak kan berubah meski
aku bersikukuh memilih siang. Aku hanya menikmati wajahnya, kusadari, aku telah
menikahinya lalu melepasnya hanya dalam waktu sepersekian detik. Sekejap waktu
kebersamaan yang cukup untuk membuat seumur hidupku tak bisa melupakannya.
Cintaku, bagaimana dengan perasaan itu? ia tak pernah
padam, kusimpan dalam kesucian nurani agar ia tak ternoda lagi oleh keraguan
senja. Aku tetap menanti senja setiap hariku demi mengenang pernikahan dan
perpisahanku dengan gadis itu. Ku yakin, ia juga selalu setia mengenang masa
itu seperti kesetiaan mentari senja yang tak lelah menjalani rutinitas
menikahkan dan menceraikan siang-malam agar cinta manusia selalu mengingat
momen itu sebagai tanda Kebesaran
Pencipta. Agar manusia sadar cinta pada sesamanya selalu akan berujung
perpisahan nantinya, agar manusia sadar cinta semu itu bermuara pada ketetapan
waktu Sang Pemilik Waktu. Hanya sepermilyar, sepertriliun, dan tak terhitung
seperberapa detik siang-malam menikmati cumbuan kasih sayang lalu dipisahkan, tak membuat mereka berpaling dari hukum alam.
Begitulah kuusahakan selalu agar aku bersikap realistis terhadap siklus waktu,
agar cintaku pada gadis itu selalu terjaga tanpa melanggar batas hukum alam
agar semesta tak menangis penyesalan hanya karena melihat cinta buta manusia yang
tak disadari telah mengacaukan semesta, meski seringkali aku melanggarnya
sendiri demi bersua dan bermesra dengan gadis itu sekejap waktu. “Sayang, semoga kau memahami bagaimana
perasaan cintaku. Maafkan kemunafikanku yang tak berani memilih siang malammu,
sekedar kau tau, bagiku beginilah caraku mencintaimu – agar cinta kita tak
sebatas pernikahan semu, agar kesetiaan mengantarkan kita membedakan kesejatian
siang-malam sesunggunhnya, aku selalu mencintaimu, sayang...” Ia berlalu pergi,
menghilang di balik kegelapan malam. Setetes air matanya tertinggal dalam saku
kenanganku, aku simpan rapat-rapat dan kutempatkan di tempat terindah di
hatiku. Suara perpisahannya masih mengiang-ngiang di telingaku.
Gadis berpayung
mendung senja itu menyadarkan diriku bahwa aku benar-benar masih berada di
waktu senja. Dan aku masih akan mengenang senja, mengeja kata-kata yang
terselip diantara quark sinar surya, menanti malam menelan siang hingga aku
benar-benar sadar aku telah tinggal dalam kegelapan malam, atau aku tersadar
bahwa aku telah berjumpa lagi dengan sinar pagi.
Pergi ke : Gadis Berpayung Mendung Senja (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar