TUGIEZLAND

Kamis, 30 Mei 2013

Rokok, ataukah Motor dan Mobil? (just an argument)

Hari ini, 31 Mei, telah ditetapkan menjadi “Hari Anti Tembakau Sedunia” atau lebih dikenal dengan “Hari Anti Rokok Sedunia” sejak tahun 1987. Saya pribadi mengapresiasi adanya momen tersebut, karena rokok memang terbukti ‘tidak baik’ bagi kesehatan. Tapi sebentar, kalau ada hari anti rokok, kenapa tidak ada hari anti mobil dan motor sedunia? Tunggu, bukannya ada car free day? Bukan itu yang saya maksudkan, tapi . . . Okelah dari pada ambigu. Sebenarnya hari anti rokok juga bisa dibilang sebagai suatu paradoks. Momen tersebut mengandung ambiguitas yang belum saya pahami, misalnya data kematian akibat merokok, apa memang sepenuhnya orang terkena penyakit jantung koroner misalnya, akibat merokok? Kalaupun semasa hidup ia merokok, bisa jadi polusi udara selama ia bekerja dengan menghirup asap kendaraan tiap harinya saat pulang-pergi bekerja juga menjadi faktor? Bagaimana data itu benar-benar valid? Dunia kesehatan pasti punya banyak jawaban untuk menyangkal pertanyaan saya ini.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membela para perokok bahkan membuat semacam propaganda. Tulisan ini  hanya berniat mengajak kita untuk mengingat sedikit mengenai sejarah rokok serta beberapa kontroversi dan konspirasi yang menyertainya. Rokok, dengan bahan tembakau yang memang berasal dari sini (baca:Indonesia), dulu menjadi komoditi ekspor utama. Bangsa Eropa dulu berebut menjajah Indonesia dengan tujuan utama rempah-rempah termasuk tembakau dan hasil bumi lainnya yang memang tumbuh subur di sini. Bangsa Eropa membawa tembakau dari sini untuk dijadikan barang dagang. Mulanya tembakau diperkenalkan oleh bangsa Eropa ke Amerika Utara dan Amerika Latin sebagai bahan penenang dan perlahan menjadi produk rokok, industri rokok pun berkembang. (jika anda browsing tentu kebanyakan situs termasuk wikipedia memaparkan bahwa asal mula tembakau adalah dari Amerika Utara dan Amerika Latin, sangat kecil kemungkinan anda menemukan situs yang menyebut daerah asal tembakau adalah Indonesia. Sejarah itu saya kutip dari salah seorang sejarawan yang juga budayawan kondang Indonesia saat acara forum kajian komunitas yang tidak saya sebut namanya). Perlahan kemudian,  persediaan tembakau sebagai bahan utama rokok tidak mampu mencukupi permintaan pasar terutama pasar Eropa yang menjadi tujuan utama, harga tembakau melejit tinggi. Bangsa Eropa khawatir jika tembakau nantinya hanya menjadi monopoli pihak tertentu terutama pihak penghasil tembakau. Akhirnya mereka memilih meninggalkan komoditas tembakau serta membuat banyak penelitian dan pengembangan yang memaparkan bahwa rokok yang notabene terbuat dari tembakau mengandung zat adaktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan. (padahal jika anda ketik di google ‘manfaat tembakau’, akan muncul banyak situs yang memaparkan penelitian bahwa manfaat tembakau sangat berbanding terbalik dengan bahaya tembakau seperti yang dipercaya selama ini)

Hasil penelitian tersebut disebarluaskan ke seluruh dunia dengan berbagai pendekatan terutama dari pendekatan bidang akademis. Promosi bahwa tembakau berbahaya bagi kesehatan gencar dilakukan. Mereka membuat paradigma dengan metodologi dan kesimpulan yang kuat sehingga doktrin tersebut dengan mudah diterima, termasuk bagi negara penghasil tembakau ini. Tidak hanya itu, Badan Kesehatan Dunia atau yang lebih dikenal World Health Organization (WHO) pun digandeng dan pada tahun 1987 WHO menetapkan 31 Mei sebagai hari anti tembakau sedunia sebagai kelanjutan dukungan untuk mengurangi penggunaan produk tembakau. Selain itu, gerakan anti tembakau ini juga sangat dikontrol ketat dengan membentuk berbagai lembaga yang mengontrol setiap negara anggota WHO dan dunia secara umum untuk benar-benar menekan penggunaan tembakau.
 Ironi, alih-alih gencar melakukan promosi bahaya tembakau, mereka mengambil kesempatan dengan mengembangkan komoditi tembakau yang tidak banyak mengandung zat adiktif berbahaya dan memproduksi rokok dari bahan tembakau olahan tersebut. Perlahan, rokok kretek dengan bahan tembakau asli dari Indonesia mulai ditinggalkan konsumen, dunia rokok mulai mengenal embel-embel light, menthol, low tar ataupun mild yang dipercaya mengandung sedikit zat adaktif dan notabene mengunakan campuran tembakau hasil pengembangan tersebut daripada tembakau lokal (Lebih jelas lihat : Bisnis Surabaya- Edisi 66/Tahun- 02, 27 Agustus-2 September 2012). Pemerintah Indonesia sendiri juga mendukung (maaf) ‘penipuan halus’ tersebut. Pemerintah di masa presiden BJ Habibie mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) no 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Mungkin ini yang membuat salah satu Menteri di Malaysia menuduh Habibie sebagai penghianat Indonesia, dan kita sebagai bangsa dengan cepat menjadi geram mendengar kabar tersebut tanpa menelusuri historinya, hmmm... lagi-lagi media massa selalu berkuasa membentuk opini. 

Akibat aturan tersebut, konsumen rokok di Indonesia sendiri banyak meninggalkan rokok kretek dari bahan tembakau lokal dan beralih ke rokok mild, menthol, dan lain-lain seperti yang disebutkan di atas. Alhasil, produsen rokok kretek lokal banyak yang gulung tikar, budaya rokok tradisional bergeser. Sampai di sini saya melihat adanya kelucuan. Kita mempunyai tanaman anggur yang berbuah dan saat itu kita tidak tahu banyak tentang buah itu sehingga kita hanya memetik lalu membuangnya atau dijadikan mainan saja. Saat hendak memetik, ada orang asing lewat dan bilang pada kita bahwa itu buah yang mengandung racun. Kita lantas percaya begitu saja. Lalu ia berkata bahwa ia bisa mengambil racun itu dan memberikan buah tersebut kembali pada kita  kulitnya saja, yang oleh orang itu dibilang bahwa hanya kulitnya yang tidak berbahaya dan sudah dapat dimakan, sementara orang asing itu sendiri diam-diam sudah memakan isinya.
Nah, jika rokok atau lebih tepatnya tembakau ‘diintimidasi’ seperti itu, kenapa dengan mobil dan terutama motor yang laku keras di Indonesia dengan berbagai manfaat dan permasalahan yang ditimbulkan, negara kita nyaman-nyaman saja? Dan saya sendiri juga sangat mendukung peredaran motor dengan membelinya, ini kan paradoks? Bagaimanapun sistem memang sudah mengikat kita untuk bergantung pada motor, kita tak bisa mengelak. Saya bertanya demikian hanya karena tidak paham saja kenapa motor dan mobil seperti di-anak-emaskan peredarannya di Indonesia meskipun angka kematian akibat kecelakaan motor dan mobil juga sangat tinggi. Data Kepolisian RI menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per tahun (2,9% - 3,1 % dari Pendapatan Domestik Bruto/PDB Indonesia). Sedangkan data dari Kementrian Kesejahteraan Rakyat memaparkan bahwa kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh kecelakaan lalu lintas. Sementara data kematian akibat rokok seakan dibesar-besarkan. Beberapa situs membuat judul angka kematian akibat rokok sama dengan korban tsunami. Di Indonesia, kematian akibat rokok memang jauh lebih besar dibanding angka korban kecelakaan, yakni mencapai 293 ribu per tahun (Data Tobacco Control Support Center), namun jumlah itu adalah akibat jangka panjang yang ditimbulkan, bukan akibat secara langsung seperti yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Dari data tersebut, dapat dilihat jelas kerugian yang ditimbulkan karena kematian akibat kecelakaan lalu lintas, negara melalui Jasa Raharja akan memberi santunan pada keluarga korban meninggal karena kecelakaan. Nah, kalau kematian akibat rokok, pernahkah anda mendengar ada santunan dari misalnya Kementrian Kesehatan untuk korban meninggal karena rokok? Yang rugi kan cuma orang tersebut serta keluarga yang ditinggalkan ataupun juga para perokok pasif, tidak pernah berdampak langsung pada kerugian negara. Dari data tersebut juga dapat disimpulkan bahwa kendaraan khususnya motor justru terlihat ‘nyata’ mendominasi penyebab kematian. Bahkan, WHO sendiri menilai kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC. Data WHO mencatat pada tahun 2011 rata-rata  1.000 anak-anak dan remaja meninggal setiap harinya akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia. 

Sampai disini muncul pertanyaan, penyakit jantung dan TBC sebagian besar disebabkan polusi udara, dan polusi udara tidak hanya disebabkan asap rokok, asap kendaraan dan asap pabrik kan juga ikut? kenapa dunia hanya menyematkan ‘Hari Anti Rokok’ dalam kalendernya? 

Memang di banyak kota di berbagai negara sudah menerapkan car free day (hari bebas kendaraan), tapi promosi gerakan bebas kendaraan tersebut hanya menjadi semacam seremonial dan tidaklah segencar gerakan anti rokok yang bahkan sampai menyusup ke regulasi pemerintah dan menjadi keyakinan bersama. Iklan rokok di televisi hanya boleh tayang malam hari dengan sensor tak boleh menayangkan gambar rokok. Sementara iklan mobil dan motor dengan bebas dan kian gencar meramaikan media tanpa ada sensor sedikitpun. Padahal mereka berdua kan juga sama-sama menjadi penyebab kematian terbesar di dunia? Kok hanya rokok yang disensor? Tidak hanya itu, di setiap produk rokok selalu tertera tulisan peringatan “merokok dapat menyebabkan penyakit jantung, dan bla, bla, bla”. Nah, apakah di produk motor atau mobil juga tertera peringatan demikian, misalnya “Mengendarai motor dapat menyebabkan cedera, cacat fisik permanen, dan kematian jika tidak berhati-hati” (hehe). Mungkin pertimbangannya estetika sehingga biasanya diganti dengan peringatan yang isinya mengingatkan pengendara untuk memperhatikan alat keselamatan, kalau di motor biasanya ditempel dekat setir. Sekali lagi ini bukan pembelaan bagi pecandu rokok. Ini hanya untuk bahan refleksi saja untuk membandingkan.
Apa alasan iklan motor atau mobil tidak disensor, bahkan peredaran motor dan mobil semakin berkembang di Indonesia tanpa ada pembatasan misalnya dengan memperketat standar kelayakan pengguna sebelum membeli produk motor atau mobil? Kenapa hanya rokok yang dibatasi? Saya hanya bisa menduga. Alasannya mungkin begini : kalau motor atau mobil kan memang menjadi kebutuhan primer sebagai sarana mobilisasi dan distribusi perputaran kehidupan, sementara rokok hanya kebutuhan sekunder saja, atau tersier, atau bahkan seharusnya tidak dibutuhkan. Jadi dilarang mensensor iklan mobil atau motor serta dilarang menghalangi peredarannya khususnya di Indonesia, kalau bisa harus terus dipromosikan agar negara produsen motor dan mobil terus berkembang serta perekonomian dunia tidak terhenti karena tak ada sarana distribusi. Masalahnya, jika alasannya memang dari pertimbangan ekonomi, berarti pertanyaan selanjutnya untuk peringatan hari anti rokok juga harus dari kacamata ekonomi : Siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan? []
Quote : “selamat memperingati hari anti rokok dunia bagi yang menjalankan” ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar