Hari ini, 31 Mei, telah
ditetapkan menjadi “Hari Anti Tembakau Sedunia” atau lebih dikenal dengan “Hari
Anti Rokok Sedunia” sejak tahun 1987. Saya pribadi mengapresiasi adanya momen
tersebut, karena rokok memang terbukti ‘tidak baik’ bagi kesehatan. Tapi
sebentar, kalau ada hari anti rokok, kenapa tidak ada hari anti mobil dan motor
sedunia? Tunggu, bukannya ada car free
day? Bukan itu yang saya maksudkan, tapi . . . Okelah dari pada ambigu.
Sebenarnya hari anti rokok juga bisa dibilang sebagai suatu paradoks. Momen tersebut
mengandung ambiguitas yang belum saya pahami, misalnya data kematian akibat
merokok, apa memang sepenuhnya orang terkena penyakit jantung koroner misalnya,
akibat merokok? Kalaupun semasa hidup ia merokok, bisa jadi polusi udara selama
ia bekerja dengan menghirup asap kendaraan tiap harinya saat pulang-pergi
bekerja juga menjadi faktor? Bagaimana data itu benar-benar valid? Dunia
kesehatan pasti punya banyak jawaban untuk menyangkal pertanyaan saya ini.
Tulisan ini bukan bermaksud
untuk membela para perokok bahkan membuat semacam propaganda. Tulisan ini hanya berniat mengajak kita untuk mengingat
sedikit mengenai sejarah rokok serta beberapa kontroversi dan konspirasi yang
menyertainya. Rokok, dengan bahan tembakau yang memang berasal dari sini (baca:Indonesia), dulu menjadi komoditi ekspor utama. Bangsa Eropa dulu
berebut menjajah Indonesia dengan tujuan utama rempah-rempah termasuk tembakau
dan hasil bumi lainnya yang memang tumbuh subur di sini. Bangsa Eropa membawa
tembakau dari sini untuk dijadikan barang dagang. Mulanya tembakau diperkenalkan
oleh bangsa Eropa ke Amerika Utara dan Amerika Latin sebagai bahan penenang dan
perlahan menjadi produk rokok, industri rokok pun berkembang. (jika anda browsing tentu kebanyakan situs
termasuk wikipedia memaparkan bahwa asal mula tembakau adalah dari Amerika
Utara dan Amerika Latin, sangat kecil kemungkinan anda menemukan situs yang
menyebut daerah asal tembakau adalah Indonesia. Sejarah itu saya kutip dari
salah seorang sejarawan yang juga budayawan kondang Indonesia saat acara forum
kajian komunitas yang tidak saya sebut namanya). Perlahan kemudian, persediaan tembakau sebagai bahan utama rokok tidak
mampu mencukupi permintaan pasar terutama pasar Eropa yang menjadi tujuan utama,
harga tembakau melejit tinggi. Bangsa Eropa khawatir jika tembakau nantinya
hanya menjadi monopoli pihak tertentu terutama pihak penghasil tembakau.
Akhirnya mereka memilih meninggalkan komoditas tembakau serta membuat banyak
penelitian dan pengembangan yang memaparkan bahwa rokok yang notabene terbuat
dari tembakau mengandung zat adaktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan. (padahal jika anda ketik di google ‘manfaat
tembakau’, akan muncul banyak situs yang memaparkan penelitian bahwa manfaat
tembakau sangat berbanding terbalik dengan bahaya tembakau seperti yang
dipercaya selama ini)
Hasil penelitian
tersebut disebarluaskan ke seluruh dunia dengan berbagai pendekatan terutama
dari pendekatan bidang akademis. Promosi bahwa tembakau berbahaya bagi
kesehatan gencar dilakukan. Mereka membuat paradigma dengan metodologi dan
kesimpulan yang kuat sehingga doktrin tersebut dengan mudah diterima, termasuk
bagi negara penghasil tembakau ini. Tidak hanya itu, Badan Kesehatan Dunia atau
yang lebih dikenal World Health Organization (WHO) pun digandeng dan pada tahun
1987 WHO menetapkan 31 Mei sebagai hari anti tembakau sedunia sebagai
kelanjutan dukungan untuk mengurangi penggunaan produk tembakau. Selain itu,
gerakan anti tembakau ini juga sangat dikontrol ketat dengan membentuk berbagai
lembaga yang mengontrol setiap negara anggota WHO dan dunia secara umum untuk
benar-benar menekan penggunaan tembakau.
Ironi, alih-alih gencar melakukan promosi
bahaya tembakau, mereka mengambil kesempatan dengan mengembangkan komoditi
tembakau yang tidak banyak mengandung zat adiktif berbahaya dan memproduksi
rokok dari bahan tembakau olahan tersebut. Perlahan, rokok kretek dengan bahan
tembakau asli dari Indonesia mulai ditinggalkan konsumen, dunia rokok mulai
mengenal embel-embel light, menthol, low tar
ataupun mild yang dipercaya
mengandung sedikit zat adaktif dan notabene mengunakan campuran tembakau hasil
pengembangan tersebut daripada tembakau lokal (Lebih jelas lihat : Bisnis Surabaya- Edisi 66/Tahun- 02, 27
Agustus-2 September 2012). Pemerintah Indonesia sendiri juga mendukung
(maaf) ‘penipuan halus’ tersebut.
Pemerintah di masa presiden BJ Habibie mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
no 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Mungkin ini yang
membuat salah satu Menteri di Malaysia menuduh Habibie sebagai penghianat
Indonesia, dan kita sebagai bangsa dengan cepat menjadi geram mendengar kabar
tersebut tanpa menelusuri historinya, hmmm... lagi-lagi media massa selalu
berkuasa membentuk opini.
Akibat aturan
tersebut, konsumen rokok di Indonesia sendiri banyak meninggalkan rokok kretek dari
bahan tembakau lokal dan beralih ke rokok mild,
menthol, dan lain-lain seperti yang disebutkan di atas. Alhasil, produsen
rokok kretek lokal banyak yang gulung tikar, budaya rokok tradisional bergeser.
Sampai di sini saya melihat adanya kelucuan. Kita mempunyai tanaman anggur yang
berbuah dan saat itu kita tidak tahu banyak tentang buah itu sehingga kita
hanya memetik lalu membuangnya atau dijadikan mainan saja. Saat hendak memetik,
ada orang asing lewat dan bilang pada kita bahwa itu buah yang mengandung
racun. Kita lantas percaya begitu saja. Lalu ia berkata bahwa ia bisa mengambil
racun itu dan memberikan buah tersebut kembali pada kita kulitnya saja, yang oleh orang itu dibilang
bahwa hanya kulitnya yang tidak berbahaya dan sudah dapat dimakan, sementara
orang asing itu sendiri diam-diam sudah memakan isinya.
Nah, jika rokok atau lebih tepatnya tembakau ‘diintimidasi’ seperti itu,
kenapa dengan mobil dan terutama motor yang laku keras di Indonesia dengan
berbagai manfaat dan permasalahan yang ditimbulkan, negara kita nyaman-nyaman
saja? Dan saya sendiri juga sangat mendukung peredaran motor dengan membelinya,
ini kan paradoks? Bagaimanapun sistem memang sudah mengikat kita untuk
bergantung pada motor, kita tak bisa mengelak. Saya bertanya demikian hanya
karena tidak paham saja kenapa motor dan mobil seperti di-anak-emaskan peredarannya di Indonesia meskipun angka kematian
akibat kecelakaan motor dan mobil juga sangat tinggi. Data Kepolisian RI
menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal
dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp
203 triliun - Rp 217 triliun per tahun (2,9% - 3,1 % dari Pendapatan Domestik
Bruto/PDB Indonesia). Sedangkan data dari Kementrian Kesejahteraan Rakyat memaparkan
bahwa kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari
seluruh kecelakaan lalu lintas. Sementara data kematian akibat rokok seakan
dibesar-besarkan. Beberapa situs membuat judul angka kematian akibat rokok sama
dengan korban tsunami. Di Indonesia, kematian akibat rokok memang jauh lebih
besar dibanding angka korban kecelakaan, yakni mencapai 293 ribu per tahun (Data Tobacco Control Support Center),
namun jumlah itu adalah akibat jangka panjang yang ditimbulkan, bukan akibat secara
langsung seperti yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Dari data tersebut, dapat dilihat jelas kerugian yang ditimbulkan karena
kematian akibat kecelakaan lalu lintas, negara melalui Jasa Raharja akan
memberi santunan pada keluarga korban meninggal karena kecelakaan. Nah, kalau
kematian akibat rokok, pernahkah anda mendengar ada santunan dari misalnya
Kementrian Kesehatan untuk korban meninggal karena rokok? Yang rugi kan cuma
orang tersebut serta keluarga yang ditinggalkan ataupun juga para perokok pasif,
tidak pernah berdampak langsung pada kerugian negara. Dari data tersebut juga
dapat disimpulkan bahwa kendaraan khususnya motor justru terlihat ‘nyata’ mendominasi penyebab kematian.
Bahkan, WHO sendiri menilai kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar
ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC. Data WHO
mencatat pada tahun 2011 rata-rata 1.000
anak-anak dan remaja meninggal setiap harinya akibat kecelakaan lalu lintas yang
terjadi di Indonesia.
Sampai disini muncul pertanyaan, penyakit jantung dan TBC sebagian besar
disebabkan polusi udara, dan polusi udara tidak hanya disebabkan asap rokok,
asap kendaraan dan asap pabrik kan juga ikut? kenapa dunia hanya menyematkan ‘Hari
Anti Rokok’ dalam kalendernya?
Memang di banyak kota
di berbagai negara sudah menerapkan car
free day (hari bebas kendaraan), tapi promosi gerakan bebas kendaraan
tersebut hanya menjadi semacam seremonial dan tidaklah segencar gerakan anti
rokok yang bahkan sampai menyusup ke regulasi pemerintah dan menjadi keyakinan
bersama. Iklan rokok di televisi hanya boleh tayang malam hari dengan sensor
tak boleh menayangkan gambar rokok. Sementara iklan mobil dan motor dengan
bebas dan kian gencar meramaikan media tanpa ada sensor sedikitpun. Padahal
mereka berdua kan juga sama-sama menjadi penyebab kematian terbesar di dunia?
Kok hanya rokok yang disensor? Tidak hanya itu, di setiap produk rokok selalu
tertera tulisan peringatan “merokok dapat
menyebabkan penyakit jantung, dan bla, bla, bla”. Nah, apakah di produk
motor atau mobil juga tertera peringatan demikian, misalnya “Mengendarai motor dapat menyebabkan cedera,
cacat fisik permanen, dan kematian jika tidak berhati-hati” (hehe). Mungkin
pertimbangannya estetika sehingga biasanya diganti dengan peringatan yang
isinya mengingatkan pengendara untuk memperhatikan alat keselamatan, kalau di
motor biasanya ditempel dekat setir. Sekali lagi ini bukan pembelaan bagi
pecandu rokok. Ini hanya untuk bahan refleksi saja untuk membandingkan.
Apa alasan iklan
motor atau mobil tidak disensor, bahkan peredaran motor dan mobil semakin
berkembang di Indonesia tanpa ada pembatasan misalnya dengan memperketat
standar kelayakan pengguna sebelum membeli produk motor atau mobil? Kenapa
hanya rokok yang dibatasi? Saya hanya bisa menduga. Alasannya mungkin begini : kalau
motor atau mobil kan memang menjadi kebutuhan primer sebagai sarana mobilisasi
dan distribusi perputaran kehidupan, sementara rokok hanya kebutuhan sekunder
saja, atau tersier, atau bahkan seharusnya tidak dibutuhkan. Jadi dilarang
mensensor iklan mobil atau motor serta dilarang menghalangi peredarannya
khususnya di Indonesia, kalau bisa harus terus dipromosikan agar negara
produsen motor dan mobil terus berkembang serta perekonomian dunia tidak
terhenti karena tak ada sarana distribusi. Masalahnya, jika alasannya memang dari
pertimbangan ekonomi, berarti pertanyaan selanjutnya untuk peringatan hari anti
rokok juga harus dari kacamata ekonomi : Siapa
yang diuntungkan, siapa yang dirugikan? []
Quote : “selamat memperingati hari anti rokok
dunia bagi yang menjalankan” ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar