Suatu saat, aku berjalan menyusuri jalanan kota. Di malam yang dingin dan sunyi dimana lampu-lampu kota memancarkan kilaunya, aku melajukan motorku pelan. Udara di malam itu sangat dingin karena baru saja diguyur hujan. Suasana hampa menyelimuti gaya hidup hedonis metropolitan. Aku memandang kanan kiri, gedung-gedung menjulang tinggi. Kafe-kafe dan tempat hiburan penuh oleh cahaya lampu kelap-kelip. Pengunjung lalu lalang didalamnya. Sementara tukang parkir sibuk mengatur mobil dan motor pengunjung keluar masuk area parkir.
Hampa, kosong dan segala kata yang mewakili ketiadaan mengejar-ngejar dalam alam pikirku. Semuanya bertaruh bersama rasa kekaguman oleh mesin-mesin modernisme yang melarutkan kekosongan dan kehampaan itu dalam hiruk-pikuk keramaian canda tawa khas hedonis modernitas. Mesin modernisme menghasilkan produk kekerasan tersembunyi yang luar biasa kejam. Bahan bakar untuk menggerakkan mesin-mesin itu adalah hukum rimba. Sementara operator yang menjalankannya berduduk nyaman dengan sebatang rokok di tangannya, serta secangkir kopi yang terkadang ia seruput pelan, kopi yang terbuat dari darah penderitaan rakyat pribumi. Operator itu bernama konspirasi global penyebar ideologi ke-barat-an. Ia mendapatkan pekerjaan itu dengan ilmu pen-jilat-an dan untuk mengokohkan kursinya ia menggunakan iming-iming kesenangan dan penghargaan. Ideologi kebaratan membuat apapun yang dari barat itu bagus dan ideologi ini seperti ingin mengubah matahari muncul dari barat.
Perjalananku sampai pada seorang bapak setengah baya dengan pakaian lusuh. Ia menarik gerobaknya ke tepian jalanan. Seorang anak kecil berusia 7 tahunan bersama ibunya terlihat ikut mendorong gerobak itu. aku menguntitnya dari kejauhan. Sesekali kuhentikan motorku agar jarakku menguntit tidak terlalu berdekatan agar mereka tak curiga. Kenapa tak mencoba membaur dengan mereka saja? Tidak, kalau aku membaur dan mencoba mencari tahu sisi lain kehidupan mereka, sisi naturalnya tidak bisa kulihat. Aku sengaja menguntitnya agar mendapat gambaran yang alami.
Aku melajukan motorku lagi saat bayangan mereka sudah terlalu jauh untuk dilihat. Mereka kini sampai di depan gedung tua peninggalan belanda, gedung yang terlihat suram dan memang sudah tidak difungsikan. Namun begitu, pagar yang mengitari gedung tersebut dibiarkan terkunci rapat, entah untuk alasan apa. bapak penarik gerobak itu menghentikan gerobaknya. Ia memarkirkan gerobaknya di depan gedung tua itu itu. motorku juga kuhentikan lagi Aku masih penasaran dengan kehidupan mereka. Tak lama setelah gerobak berhenti, mereka kerja bakti mengeluarkan berang-barang dari dalam gerobak. Ada kompor minyak tanah, sejumlah perabotan piring dan gelas plastik, panci, wajan dan perabotan lainnya yang kondisinya memprihatinkan. Tak banyak yang dikeluarkannya dari gerobak tersebut. Namun kehangatan suasana diantara mereka mungkin bisa menjadi hiburan diantara mereka. Sesekali bapak itu bercanda dan bercengkrama dengan anaknya. Sementara sang ibu terlihat sedikit cemberut karena bapak dan anak itu sibuk bercengkrama sedangkan dia sibuk manata barang-barang yang baru saja dikeluarkan dari gerobak. Namun, kecemberutan itu tak lama. Karena si bapak cukup handal membuat istrinya riang kembali dengan sedikit sentuhan-sentuhan rayuan.
Sampai saat si anak terlihat cukup kelelahan dan masuk gerobak. Mungkin untuk tidur. Dan beberapa saat kemudian ibu dan bapaknya menyusul untuk masuk ke gerobak berukuran sekitar 2x1 meter tersebut.
Kulihat jam HP sudah menunjuk angka 23:17. Aku meneruskan perjalananku setelah baru saja menyaksikan drama kehidupan. Lampu kota masih berkilauan. Di dekat sebuah taman, sekumpulan anak muda asyik bercengkrama di pinggiran trotoar yang digelari karpet dan tikar oleh para pemilik angkringan kopi dadakan. Sementara penjual kopi sibuk melayani pelanggan. Beberapa diantaranya sedang berduaan dengan kekasihnya.
Sampai tiba saatnya aku memasuki perkampungan pelacur. Baleho berbagai merk alkohol menyambutku memasuki kawasan itu. Aku menyusuri jalanan yang semakin sempit di perkampungan itu. motor dan mobil berjejal dan harus bersabar di tengah macet karena jalan harus terbagi dengan area parkir. Pejalan kaki berlalu lalang di jalanan sempit sehingga menambah kemacetan. Para tukang parkir beberapa kali menawarkan padaku agar memarkirkan motorku di tempat parkirnya. Aku hanya membalasnya dengan senyum dan terkadang sama sekali tak menghiraukan mereka karena sebal dengan tawarannya yang agak mkemaksa. Kafe-kafe penuh sesak oleh pengunjung. Di dalamnya terlihat banyak orang berjoget riang dengan alunan musik dangdut koplo, hampir setiap meja kafe disuguhkan bir di atasnya, dan beberapa orang terlihat mabuk berat dan hanya terduduk lemas di kursinya. Aku bisa melihat suasana dalam kafe karena dinding depannya terbuat dari kaca transparan.
Aku masih berada di tengah kemacetan jalanan sempit kampung pelacuran. Beberapa wisma berdinding kaca transparan dan menampakkan para pelacur dengan pakaian minim di dalamnya. Mereka duduk di sofa panjang sedang menunggu pengunjung. Dalam hati, aku tersenyum kecil membayangkan mereka seperti ikan yang dipajang di sebuah aquarium. Libido alamiahku naik melihat pemandangan itu, namun segera kupaksa turun dengan memalingkan pandangan ke arah lain. Itu tak cukup berhasil karena di kanan kiri pemandangan yang disuguhkan hampir sama. Sampai akhirnya aku sedikit berhasil menurunkan libidoku karena melihat suasana yang agak tumpang. Aku melihat seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan di depan sebuah wisma biasa yang dinding depannya tidak terbuat dari kaca transparan. Hampir seperti rumah biasa yang disulap jadi sebuah wisma dengan menambahkan lampu kelap-kelip dan baliho bir dengan tulisan wisma “kencana” (nama samar) di bawah gambar botol bir. Ia tengah duduk di kursi plastik di pinggir jalan dengan kaki ia silangkan. Sementara di sebelahnya ada bedak penjual gorengan yang sedang sibuk melayani pelanggannya. Wanita itu sesekali mengibaskan rambut pirangnya. Ia mengenakan Pakaian sangat minim. Bagian atas hanya dibalut tangktop ketat sehingga menyembulkan payudaranya yang sudah terlihat kendur. Sementara bagian bawahnya ditutupi dengan celana pendek yang hanya bisa menutupi bagian vitalnya. Ia terlihat lelah dan frustasi. Sepertinya ia sudah mati, kehidupan selanjutnya seakan tidak punya arti sedikitpun baginya. Ia hanya menunggu, menunggu dan mungkin sesekali melayani lelaki hidung belang. Ia hidup dalam kematian, mati dalam kehidupan. hari-harinya akan sangat membosankan dan hanya tinggal menunggu saat ia keriput dan dicampakkan. Ia menunggu tanpa rasa apapun. Perasaannya mungkin juga sudah mati. Baginya penghargaan dan penghinaan adalah sama, sama kosongnya, sama bohongnya. Matanya memancarkan kehampaan yang sangat. Ia hanya berpikir mendapat pelanggan malam ini, mendapat uang dan menyambung hidup, Itu saja, hanya itu. Penyesalan masa lalu mungkin sudah bosan untuk hinggap di pikirannya, masa depan tidak ada lagi dalam progam pikirannya. Hampa, kosong, menggantikan semua perasaannya. Menyedihkan melihat pemandangan tersebut, meski libidoku masih bisa enjoy menikmati pemandangan tubuh dan parasnya yang masih cantik. Kekerasan modernitas menganiaya kehidupannya, dan aku kini juga secara tidak sadar ikut menganiyaya kehidupannya. Aku menikmati pemandangan tubuhnya di tengah kemacetan. Kejamnya aku, kejamnya modernitas, kejamnya kehidupan yang diderita wanita itu.
Aku akhirnya bisa keluar dari kemacetan perkampungan pelacur itu. seperti baru saja keluar dari lingkaran setan yang semakin menikmati, semakin lingkaran itu menyuguhkan berbagai kesenangan dan menghimpitmu dalam ketidaksadaran akan kehampaan. Aku sangat lega, selain bisa keluar dari kemacetan, aku baru saja keluar dari jeratan nafsu dan kehampaan kampung lacur. Aku menghentikan motor di kedai kopi di pinggiran kampung tersebut. Aku menikmati kopi di tengah udara dingin malam yang menusuk sambil mengingat kejadian-kejadian tadi. Berbagai perasaan hilir-mudik dalam jiwaku. Sedih, senang, jengkel, kagum, simpati, semua berbaur dan terkadang saling tendang.
Kulihat jam HP ku sudah menunjuk pukul 1 dinihari. Aku membayar kopi dan kemudian menyalakan mesin motorku untuk pulang ke rumah. Jalanan malam sangat dingin, bertambah dingin saat sampai di pinggiran kota. Angin malam persawahan menusuk tubuh memaksaku melambatkan laju motor. Terkadang harus kupercepat dan melawan hawa dingin yang menusuk, aku khawatir melaju seorang diri di tengah malam di jalanan sepi yang sekelilingnya hanyalah area persawahan. Perasaan khawatir seperti akan berjalan menuju lembah kematian semakin membuat perjalanan pulangku amat berat. Perasaan khawatirku agak sedikit reda saat beberapa motor menyalipku. Terkadang bus malam melaju kencang meramaikan suasana dalam hatiku.
Perasaan lega dan syukur menghinggapi setibaku di rumah dengan selamat. Kehangatan menyambut kedatanganku, bukan hanya kehangatan tubuh, namun kehangatan batin yang mungkin tak dirasakan orang-orang yang kutemui di jalanan tadi. Jika mengingat berbagai drama tadi, aku bisa lebih bersyukur lagi dengan apa yang aku punya selama ini. Aku punya orang tua, aku punya rumah yang meski tak besar apalagi mewah namun mampu membuatku tidur dengan nyaman, dan aku cukup punya segala kecukupan lahir batin dalam hidupku. Aku bersyukur kehidupanku masih jauh lebih baik dari orang-orang tadi, bukan bermaksud untuk menyombongkan diri. Namun hanya sebagai pengingat agar tidak mengeluh saat tertimpa kesulitan, karena di luar sana kesulitan hidup yang dihadapi orang-orang masih jauh lebih banyak dan jauh lebih besar ketimbang kesulitan yang kuhadapi.
Rizky- Desember 2012
Gambar-gambar yang termuat di atas diambil dari beberapa blog.
Gambar-gambar yang termuat di atas diambil dari beberapa blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar