Sabtu, seharusnya menjadi hari menyenangkan bagi anak muda seusiaku. Tapi sabtu ini aku menghabiskan waktu bersama teman sekelas di perkuliahan Hukum Administrasi Negara. Maksudku dengan kata seharusnya ‘menyenangkan’, adalah mainstraim bahwa hari sabtu merupakan harinya anak muda untuk bersenang-senang dengan pasangannya, khususnya di negeriku. Tapi, its oke. Aku cukup banyak kesenangan dengan teman-teman di kelasku. Selain juga menambah wawasan.
Materi
perkuliahan tentang hukum biasanya agak membosankan. Tapi tidak jika yang
membawakannya seorang dosen muda, dengan selingan percakapan yang menyenangkan.
Jadi, meskipun materinya sangat serius, tapi kami tetap bisa bercanda dan
mengalihkan topik ke berbagai persoalan di masyarakat terkait hukum. Topik yang
kadang terkesan menjadi ajang “rasan-rasan”.
Oh
iya, kenapa kutulis tentang ini? Alasannya sederhana. Tapi nanti saja
kuberitahu. Kita kembali dulu ke kelas perkuliahan. Topik yang kami
perbincangkan adalah tentang public domain,
nama keren dari “perlengkapan pemerintah”. Apa itu? adalah segala hal yang
digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan tugasnya memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Ini termasuk tanah negara, terminal, rumah sakit, dsb. Ini
pemahamanku. Lebih detailnya, google masih banyak menyediakan jawabannya. Aku
tidak ingin menjelaskan tentang itu di tulisan ini. Aku hanya sedikit
menyinggungnya.
Diskusi
santai berjalan ke arah persoaalan riil. Tentang bagaimana sistem
perundang-undangan negara dibuat. Oh, sebelumnya harus kita bedakan dulu mana
undang-undang, mana keputusan. Undang-undang dibuat oleh DPR sebagai legislator
bersama pemerintah, sementara keputusan dibuat secara mandiri oleh pemerintah
(eksekutif) sebagai pelaksana undang-undang yang telah dibuat. Keduanya
sama-sama merupakan produk hukum. Yang membedakan adalah pembuatnya. Nah, yang
perlu kita soroti adalah fungsi dari kedua lembaga pembuatnya. Fungsi
legislator tentu dijalankan oleh DPR. Sementara eksekutor dijalankan oleh
pemerintah (eksekutif). Namun, jika kita kaitkan dengan dikhotomi antara
undang-undang dan keputusan tadi, tentu kita bertanya-tanya, mengapa kedua
lembaga (legislatif dan eksekutif) tersebut mempunyai fungsi sama untuk membuat
produk hukum? Secara mendasar, hukum=aturan yang mengikat. Dan aturan hanya
dibuat oleh legislatif. Tapi kenapa eksekutif juga bisa membuatnya?
Jika
mendasarkan pertanyaan tersebut dalam konteks dikhotomi legislatif-eksekutif,
tentu kita akan menemukan jawaban bahwa telah terjadi penyimpangan sistem.
Eksekutif seharusnya hanya melaksanakan peraturan yang telah dibuat legislatif.
Tidak boleh membuat peraturan sendiri. Tapi kenyataannya? Yah, kenyataannya
tidak. Itu jika kita lihat dari persfektif tersebut. Bagaimana jika kita
melihat dari konteks lain? Bahwa keputusan dibuat eksekutif untuk melaksanakan
undang-undang yang telah ditetapkan. Oke, begini saja. Keputusan (pemerintah),
berdasarkan beberapa definisi dari google juga dari materi perkuliahan yang
saya dapat, bisa disimpulkan adalah pilihan untuk melakukan dan tidak melakukan
sesuatu. Hampir mirip dengan kebijakan, bukan? Yah, tapi ada perbedaannya.
Sayangnya, aku tidak mau membahasnya di sini. Lagi-lagi, kusarankan untuk searching di google. Kembali lagi, lalu
apa artinya keputusan yang merupakan produk hukum? Mengapa eksekutif bisa
membuat produk hukum? Sederhana, di awal sudah dijelaskan bahwa keputusan
dibuat untuk melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan. Artinya, fungsi
dari kedua produk hukum tersebut (undang-undang dan keputusan) sangatlah jelas.
Mereka mempunyai ranah tersendiri. Undang-undang diformulasikan oleh DPR untuk
mengatur kehidupan negara. DPR tidak berhak melaksanakan undang-undang
tersebut. Pelaksananya adalah pemerintah sebagai eksekutif. Nah, untuk
melaksanakannya dibutuhkan perintah dari atas hingga akar rumput. Perintah
tersebut hanya dapat dilegalkan melalui pembuatan keputusan dari eksekutor
terhadap lini di bawahnya. Bisa jadi, keputusan merupakan kepanjangan tangan
dari pemberlakuan undang-undang.
Tapi,
ada lagi permasalahan lain soal fungsi. Untuk fungsi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, telah terbedakan dengan jelas. Meski ketiganya mampu membuat produk
hukum, namun yang memformulasikan tetaplah legislatif. Pelaksananya eksekutif,
serta yudikatif sebagai pengawasnya. Yang masih remang-remang, adalah perbedaan
fungsi lembaga negara dan lembaga pemerintah. Keduanya sering melebur dan ini
membuat ketidaksinambungan. Sebagai contoh : KPK yang merupakan lembaga
pengawas penyelewengan pemerintah adalah termasuk lembaga negara. Sedangkan
Presiden, merupakan lembaga pemerintah ‘sekaligus’ lembaga negara. Nah ini yang
rancu pada akhirnya. KPK, bagaimana mungkin mengawasi (menelanjangi)
penyelewengan Presiden sebagai lembaga pemerintah jika yang melantik anggota
KPK juga Presiden sendiri dalam kapasitasnya sebagai lembaga negara? Lah ini
yang diawasi kok malah yang melantik? Dimana-mana orang yang melantik tentu
dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang dilantik. Sementara
yang dilantik, secara kultural mempunyai kesadaran bahwa ia lebih rendah
kedudukannya di hadapan pihak yang melantik. Secara logika, bagaimana anda
menelanjangi kebobrokan bos anda sendiri yang dulu anda direkrutnya?
Lalu,
jika bukan presiden, siapa lagi yang melantik anggota KPK? Ah, entahlah. Yang
jelas Presiden sebagai kepala pemerintah sekaligus kepala negara telah
membuatku galau beberapa lama. Pemisahan negara dan pemerintah sangat kabur dan
rawan penyelewengan sistem. Di era kejayaan Majapahit, ada pemisahan antara
kepala negara dan kepala pemerintahan. Hayam Wuruk, sebagai kepala negara
berfungsi sebagai ikon negara. Melantik anggota-anggota dari lembaga
pemerintahan. Menghadiri acara-acara kenegaraan. Pokoknya yang bersifat
seremonial. Sementara Gajah Mada sebagai kepala pemerintahan mempunyai fungsi
untuk menjalankan roda pemerintahan demi kemakmuran rakyat. Gajah Mada lebih
bersifat eksekutif. Bagaimana ia menggunakan strategi memperluas daerah
kekuasaan, membuat keputusan untuk perang, dsb. Pokoknya yang mengurusi
pemerintahan adalah Gajah Mada. Keduanya saling terkait. Gajah Mada harus
mendapat restu dari kepala negara (Hayam Wuruk) dalam mengambil keputusan.
Sementara Hayam Wuruk tidak bisa serta merta menjalankan keputusan secara
sepihak. Hayam Wuruk tidak boleh mencampuri jalannya pemerintahan. Ia yang
memberi nasehat dan restu. Demikian Gajah Mada juga tak bisa seenaknya membuat
keputusan tanpa ijin Hayam Wuruk. Jadi jelas pemisahannya. Mana yang melantik,
mana yang dilantik. Mana yang memutuskan, mana yang menjalankan. Mana lembaga negara,
mana lembaga pemerintah. Tapi kini kan
kita bukan negara kerajaan? Kita Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kepala
negara dan kepala pemerintahannya adalah Presiden. Itu yang masih membuatku
galau. Karena penyatuan itu, pada akhirnya lembaga negara dan lembaga
pemerintahan di bawahnya menjadi tidak jelas fungsinya. Dan, seperti yang kita
lihat, siapa yang mengurus negara juga tidak begitu jelas. Karena mereka sibuk
dengan kepentingan masing-masing. Ini mengingatkanku pada tulisan Pipit R.
Kartawidjaja dalam bukunya yang berjudul “Pemerintah Bukanlah Negara”. Pipit
dalam bukunya tersebut membandingkan bagaimana administrasi pemerintah di
Indonesia dengan administrasi negara di Jerman. Bagaimana sistem pemerintah di
Indonesia sering berubah berdasarkan ideologi dan kepentingan partai yang berkuasa.
Sementara sistem administrasi negara Jerman mampu menjamin sistem
pemerintahannya meskipun pemerintah yang berkuasa telah berganti.
Ketidakjelasan
ini juga memacu pikiranku menjadi lebih galau lagi ketika melihat bagaimana
lembaga-lembaga yang esensinya mempunyai fungsi sama namun terpecah secara
lembaga. Sebagai contoh, KPK dan BPK yang mempunyai fungsi pengawasan yang sama
terhadap penyelewengan kekuasaan. Polisi dan Satpol PP yang secara esensi
mempunyai fungsi sama sebagai lembaga penertiban kehidupan masyarakat. Juga
lembaga lainnya secara esensi banyak yang memiliki kesamaan fungsi namun
dipecah kelembagaannya. Ini yang pada akhirnya timbul ketidakjelasan dan
persaingan. Tentu kita masih ingat kasus KPK vs Polisi alias “Cicak vs Kadal”
lalu. Bagaimana kedua lembaga tersebut masing-masing mengklaim bahwa mereka
berhak melakukan penyidikan terhadap seorang terduga korupsi (dari oknum
polisi). Tidakkah ini disebabkan oleh kerancuan antara lembaga negara dan
lembaga pemerintah?
Entahlah.
Yang jelas ini tulisan dari pemuda yang galau di hari sabtunya. Tentu
seharusnya tulisan ini lebih menyenangkan untuk kau baca jika penulisnya tidak
galau. Dan yang kau baca tentu tidak akan melemparkan pertanyaan padamu di
akhir tulisannya seperti tulisan ini. Mungkin kau bisa tersenyum bahagia atau
menangis haru setelah membaca kisah romansa. Tapi maafkan aku kawan, tulisan
galauku mungkin semakin membuatmu galau. Terlebih kau yang mendambakan negeri
yang makmur dan damai. Tapi inilah kenyataannya. Oh aku hampir melupakan satu
hal. Kenapa aku membuat tulisan ini? Karena dosenku yang menyenangkan itu
menyuruhku menuliskan diskusi kelas tentang negara di hari sabtu yang
‘menyenangkan’, jika tak mau disebut ‘menggalaukan’. Selain juga, alasan
pribadi demi mengurangi kegalauanku. Alasan yang klise, bukan?
nb:
Terima
kasih untuk rasa galauku, terima kasih untuk teman-teman, terima kasih untuk
pembaca tulisan ini, dan spesial untuk dosen menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar