TUGIEZLAND

Sabtu, 10 Mei 2014

Negeriku di Hari Sabtu


Sabtu, seharusnya menjadi hari menyenangkan bagi anak muda seusiaku. Tapi sabtu ini aku menghabiskan waktu bersama teman sekelas di perkuliahan Hukum Administrasi Negara. Maksudku dengan kata seharusnya ‘menyenangkan’, adalah mainstraim bahwa hari sabtu merupakan harinya anak muda untuk bersenang-senang dengan pasangannya, khususnya di negeriku. Tapi, its oke. Aku cukup banyak kesenangan dengan teman-teman di kelasku. Selain juga menambah wawasan.
 
Materi perkuliahan tentang hukum biasanya agak membosankan. Tapi tidak jika yang membawakannya seorang dosen muda, dengan selingan percakapan yang menyenangkan. Jadi, meskipun materinya sangat serius, tapi kami tetap bisa bercanda dan mengalihkan topik ke berbagai persoalan di masyarakat terkait hukum. Topik yang kadang terkesan menjadi ajang “rasan-rasan”.

Oh iya, kenapa kutulis tentang ini? Alasannya sederhana. Tapi nanti saja kuberitahu. Kita kembali dulu ke kelas perkuliahan. Topik yang kami perbincangkan adalah tentang public domain, nama keren dari “perlengkapan pemerintah”. Apa itu? adalah segala hal yang digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ini termasuk tanah negara, terminal, rumah sakit, dsb. Ini pemahamanku. Lebih detailnya, google masih banyak menyediakan jawabannya. Aku tidak ingin menjelaskan tentang itu di tulisan ini. Aku hanya sedikit menyinggungnya.

Diskusi santai berjalan ke arah persoaalan riil. Tentang bagaimana sistem perundang-undangan negara dibuat. Oh, sebelumnya harus kita bedakan dulu mana undang-undang, mana keputusan. Undang-undang dibuat oleh DPR sebagai legislator bersama pemerintah, sementara keputusan dibuat secara mandiri oleh pemerintah (eksekutif) sebagai pelaksana undang-undang yang telah dibuat. Keduanya sama-sama merupakan produk hukum. Yang membedakan adalah pembuatnya. Nah, yang perlu kita soroti adalah fungsi dari kedua lembaga pembuatnya. Fungsi legislator tentu dijalankan oleh DPR. Sementara eksekutor dijalankan oleh pemerintah (eksekutif). Namun, jika kita kaitkan dengan dikhotomi antara undang-undang dan keputusan tadi, tentu kita bertanya-tanya, mengapa kedua lembaga (legislatif dan eksekutif) tersebut mempunyai fungsi sama untuk membuat produk hukum? Secara mendasar, hukum=aturan yang mengikat. Dan aturan hanya dibuat oleh legislatif. Tapi kenapa eksekutif juga bisa membuatnya?

Jika mendasarkan pertanyaan tersebut dalam konteks dikhotomi legislatif-eksekutif, tentu kita akan menemukan jawaban bahwa telah terjadi penyimpangan sistem. Eksekutif seharusnya hanya melaksanakan peraturan yang telah dibuat legislatif. Tidak boleh membuat peraturan sendiri. Tapi kenyataannya? Yah, kenyataannya tidak. Itu jika kita lihat dari persfektif tersebut. Bagaimana jika kita melihat dari konteks lain? Bahwa keputusan dibuat eksekutif untuk melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan. Oke, begini saja. Keputusan (pemerintah), berdasarkan beberapa definisi dari google juga dari materi perkuliahan yang saya dapat, bisa disimpulkan adalah pilihan untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Hampir mirip dengan kebijakan, bukan? Yah, tapi ada perbedaannya. Sayangnya, aku tidak mau membahasnya di sini. Lagi-lagi, kusarankan untuk searching di google. Kembali lagi, lalu apa artinya keputusan yang merupakan produk hukum? Mengapa eksekutif bisa membuat produk hukum? Sederhana, di awal sudah dijelaskan bahwa keputusan dibuat untuk melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan. Artinya, fungsi dari kedua produk hukum tersebut (undang-undang dan keputusan) sangatlah jelas. Mereka mempunyai ranah tersendiri. Undang-undang diformulasikan oleh DPR untuk mengatur kehidupan negara. DPR tidak berhak melaksanakan undang-undang tersebut. Pelaksananya adalah pemerintah sebagai eksekutif. Nah, untuk melaksanakannya dibutuhkan perintah dari atas hingga akar rumput. Perintah tersebut hanya dapat dilegalkan melalui pembuatan keputusan dari eksekutor terhadap lini di bawahnya. Bisa jadi, keputusan merupakan kepanjangan tangan dari pemberlakuan undang-undang.

Tapi, ada lagi permasalahan lain soal fungsi. Untuk fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, telah terbedakan dengan jelas. Meski ketiganya mampu membuat produk hukum, namun yang memformulasikan tetaplah legislatif. Pelaksananya eksekutif, serta yudikatif sebagai pengawasnya. Yang masih remang-remang, adalah perbedaan fungsi lembaga negara dan lembaga pemerintah. Keduanya sering melebur dan ini membuat ketidaksinambungan. Sebagai contoh : KPK yang merupakan lembaga pengawas penyelewengan pemerintah adalah termasuk lembaga negara. Sedangkan Presiden, merupakan lembaga pemerintah ‘sekaligus’ lembaga negara. Nah ini yang rancu pada akhirnya. KPK, bagaimana mungkin mengawasi (menelanjangi) penyelewengan Presiden sebagai lembaga pemerintah jika yang melantik anggota KPK juga Presiden sendiri dalam kapasitasnya sebagai lembaga negara? Lah ini yang diawasi kok malah yang melantik? Dimana-mana orang yang melantik tentu dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang dilantik. Sementara yang dilantik, secara kultural mempunyai kesadaran bahwa ia lebih rendah kedudukannya di hadapan pihak yang melantik. Secara logika, bagaimana anda menelanjangi kebobrokan bos anda sendiri yang dulu anda direkrutnya?

Lalu, jika bukan presiden, siapa lagi yang melantik anggota KPK? Ah, entahlah. Yang jelas Presiden sebagai kepala pemerintah sekaligus kepala negara telah membuatku galau beberapa lama. Pemisahan negara dan pemerintah sangat kabur dan rawan penyelewengan sistem. Di era kejayaan Majapahit, ada pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Hayam Wuruk, sebagai kepala negara berfungsi sebagai ikon negara. Melantik anggota-anggota dari lembaga pemerintahan. Menghadiri acara-acara kenegaraan. Pokoknya yang bersifat seremonial. Sementara Gajah Mada sebagai kepala pemerintahan mempunyai fungsi untuk menjalankan roda pemerintahan demi kemakmuran rakyat. Gajah Mada lebih bersifat eksekutif. Bagaimana ia menggunakan strategi memperluas daerah kekuasaan, membuat keputusan untuk perang, dsb. Pokoknya yang mengurusi pemerintahan adalah Gajah Mada. Keduanya saling terkait. Gajah Mada harus mendapat restu dari kepala negara (Hayam Wuruk) dalam mengambil keputusan. Sementara Hayam Wuruk tidak bisa serta merta menjalankan keputusan secara sepihak. Hayam Wuruk tidak boleh mencampuri jalannya pemerintahan. Ia yang memberi nasehat dan restu. Demikian Gajah Mada juga tak bisa seenaknya membuat keputusan tanpa ijin Hayam Wuruk. Jadi jelas pemisahannya. Mana yang melantik, mana yang dilantik. Mana yang memutuskan, mana yang menjalankan. Mana lembaga negara, mana lembaga pemerintah. Tapi kini kan kita bukan negara kerajaan? Kita Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kepala negara dan kepala pemerintahannya adalah Presiden. Itu yang masih membuatku galau. Karena penyatuan itu, pada akhirnya lembaga negara dan lembaga pemerintahan di bawahnya menjadi tidak jelas fungsinya. Dan, seperti yang kita lihat, siapa yang mengurus negara juga tidak begitu jelas. Karena mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing. Ini mengingatkanku pada tulisan Pipit R. Kartawidjaja dalam bukunya yang berjudul “Pemerintah Bukanlah Negara”. Pipit dalam bukunya tersebut membandingkan bagaimana administrasi pemerintah di Indonesia dengan administrasi negara di Jerman. Bagaimana sistem pemerintah di Indonesia sering berubah berdasarkan ideologi dan kepentingan partai yang berkuasa. Sementara sistem administrasi negara Jerman mampu menjamin sistem pemerintahannya meskipun pemerintah yang berkuasa telah berganti.   

Ketidakjelasan ini juga memacu pikiranku menjadi lebih galau lagi ketika melihat bagaimana lembaga-lembaga yang esensinya mempunyai fungsi sama namun terpecah secara lembaga. Sebagai contoh, KPK dan BPK yang mempunyai fungsi pengawasan yang sama terhadap penyelewengan kekuasaan. Polisi dan Satpol PP yang secara esensi mempunyai fungsi sama sebagai lembaga penertiban kehidupan masyarakat. Juga lembaga lainnya secara esensi banyak yang memiliki kesamaan fungsi namun dipecah kelembagaannya. Ini yang pada akhirnya timbul ketidakjelasan dan persaingan. Tentu kita masih ingat kasus KPK vs Polisi alias “Cicak vs Kadal” lalu. Bagaimana kedua lembaga tersebut masing-masing mengklaim bahwa mereka berhak melakukan penyidikan terhadap seorang terduga korupsi (dari oknum polisi). Tidakkah ini disebabkan oleh kerancuan antara lembaga negara dan lembaga pemerintah?

Entahlah. Yang jelas ini tulisan dari pemuda yang galau di hari sabtunya. Tentu seharusnya tulisan ini lebih menyenangkan untuk kau baca jika penulisnya tidak galau. Dan yang kau baca tentu tidak akan melemparkan pertanyaan padamu di akhir tulisannya seperti tulisan ini. Mungkin kau bisa tersenyum bahagia atau menangis haru setelah membaca kisah romansa. Tapi maafkan aku kawan, tulisan galauku mungkin semakin membuatmu galau. Terlebih kau yang mendambakan negeri yang makmur dan damai. Tapi inilah kenyataannya. Oh aku hampir melupakan satu hal. Kenapa aku membuat tulisan ini? Karena dosenku yang menyenangkan itu menyuruhku menuliskan diskusi kelas tentang negara di hari sabtu yang ‘menyenangkan’, jika tak mau disebut ‘menggalaukan’. Selain juga, alasan pribadi demi mengurangi kegalauanku. Alasan yang klise, bukan? 


nb: 
Terima kasih untuk rasa galauku, terima kasih untuk teman-teman, terima kasih untuk pembaca tulisan ini, dan spesial untuk dosen menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar