TUGIEZLAND

Jumat, 09 Mei 2014

Tentang Sebuah Nama



Namanya. Ah, mungkin tidak terlalu penting untukmu. Meski bagiku, ia terlalu penting sehingga ijinkan aku menyebutkan namanya dalam tulisan ini. Jika tak menyukai, aku tak keberatan kau berhenti membaca tulisan aneh ini. Aku mempunyai beberapa nama untuknya. Nanti kau bisa memilih salah satu diantaranya. Yang pasti, nama-nama itu mempunyai jiwa yang sama, dan aku menduga bahwa ia memang berasal dari jiwa yang sama. 

Stella, itu salah satu nama yang kusukai. Bukan apa-apa. Hanya tendensi historik saja. Ia makhluk yang jatuh dari langit, entah lapis keberapa. Yah, seperti mitologi Yunani. Beberapa Dewa-Dewi dinamai dari asal mula keberadaannya. Oh, mungkin nama Stella juga salah satu diantara nama Dewi itu. Tapi nama Stella-ku ini khusus aku yang menjulukinya. Ia terlalu indah. “Aku berasal dari galaksi Stella” begitu pertama kalinya ia menjawab pertanyaan dariku. Saat itu, aku sempat sedikit ketakutan oleh peristiwa jatuhnya makhluk itu. Kukira, cerita bidadari jatuh hanya dongeng picisan. Ah, ternyata aku mengalaminya. Galaksi Stella? Nama galaksi yang masih asing bagiku saat itu. Aku hanya mengenal galaksi Bimasakti tempat asalku, lalu beberapa galaksi tetangga seperti Andromeda. Selebihnya? Nol besar. Stella dengan mudah menangkap kebingunganku. Ia lalu menjelaskan tentang tempat asalnya itu.

Nama kedua yang juga sangat kusukai, adalah Mawar. Ini bukan untuk membandingkannya dengan bunga mawar yang ada di bumi tempatku berpijak. Tapi ia, beberapa unsur yang dimilikinya banyak menyerupai bunga mawar yang banyak kujumpai di tempat berpijakku ini. Mawar, makhluk nyata dalam kehidupanku. Tumbuh di taman-taman, di beberapa pegunungan, dan dimana pun celah bumi. Entahlah, nama Stella masih agak kuragukan. Bukan karena keindahannya. Tapi lebih karena ketidakpercayaanku bahwa ia nyata. Bahwa bidadari jatuh bukan dongeng semata. Bahwa stella, benar-benar nyata. Bukan bidadari yang banyak dibayangkan oleh para penyair dalam dunia mayanya. Dan bagiku, nama Mawar mungkin lebih tepat untuknya. Agar aku terinternalisasi bahwa Stella, seperti halnya Mawar, adalah makhluk nyata. Tapi ia memprotesku. Menurutnya, ia mempunyai unsur yang lebih menyerupai Kaktus.

Sebentar dulu, masih ada nama lagi untuknya. Jadi, bukan Mawar satu-satunya yang bisa mengklaim untuk terlegitimasi sebagai nama makhluk itu. Raisa, itu nama lain untuknya. Aku mengambil nama itu dari nama seorang manusia. Yah, sepertinya lebih aman untuk menjulukinya dari nama seorang manusia. Kenapa? Karena makhluk itu lebih banyak menyerupai sifat manusia. Dan, mungkin memang manusia, di lain galaksi, dengan versi lain. Tak penting mengetahui apa arti nama Raisa. Aku hanya asal cabut saja. Yang terpenting adalah, bahwa aku mulai mempercayai temuan teori baru para fisikawan : Teori Mekanika Quantum. Sedikit kugambarkan, bahwa teori ini menganggap bahwa seluruh unsur dalam alam semesta ini saling berhubungan. Jadi, jangan heran jika beberapa orang jawa mampu untuk memetik kelapa tanpa menyentuhnya, atau melayang di udara tanpa alat bantu. Itu sungguh terjadi. Jangan kau kira hanya gurauan dan hikayat lama. Orang jawa, dengan peradaban tingginya telah mampu menemukan unsur  penghubung itu. Peradaban koneksitas yang kini hampir punah oleh kata sakral “modernitas”.

Lalu apa hubungannya teori itu dengan nama-nama yang kusebutkan tadi? Tentu berhubungan. Makhluk itu (kau boleh menyebutnya dengan nama apa saja), sangatlah mempunyai kemiripan dengan sesosok makhluk yang kukenal dalam kehidupanku di bumi ini. Bumi tempat berpijakku yang nyata ini. Kemiripannya memang bukan dalam bentuk fisiknya. Aku berbicara tentang kemiripan masa lalunya, masa kininya, juga impiannya tentang masa depan. Artinya, aku menemukan kemiripan jalan cerita kehidupannya. Bahkan, aku menemukan kemiripan dalam pertemuan kedua makhluk itu denganku, hanya dalam media lain. Aku mencoba mengingkarinya. Tapi usahaku sering gagal. Aku masih selalu menganggapnya sebagai makhluk yang kukenal di bumi nyataku. Tentang apakah ia bidadari jatuh yang dibayangkan oleh para penyair di dunia maya, yang telah mewujud nyata, aku belum sepenuhnya mempercayai.

Dan aku mengingat lagi “Teori Mekanika Quantum” itu. Mungkinkah, jika jiwa sesosok makhluk terpisah dalam raga berbeda? Maksudku, bahwa setiap manusia, misalnya, mempunyai dua raga yang hidup dalam tempat berbeda dengan jiwa yang sama? Artinya, setiap manusia dilahirkan dalam dua raga yang terpisah. Sebagai bandingan, bahwa jika sehelai daun gugur di suatu tempat, maka daun lain baru saja tumbuh di tempat lain. Jadi, mungkin saja spekulasiku ini benar adanya. Bahwa kedua makhluk itu mempunyai koneksitas, dua makhluk yang menjalani kehidupan yang sama di tempat yang berbeda.

Aku masih belum mempercayai hipotesaku ini saat ia mengagetiku dari lamunan. “Hey, apa yang sedang kau pikirkan?” Aku tergagap. “Maaf, aku belum percaya ini nyata. Bisa kau tampar pipiku agar kupercaya?” Belum tertutup mulutku, ia sudah menampar keras-keras. “Sudah percaya?” Aku mengeleng. Ia tampar lagi, lagi, dan lagi. Hingga akhirnya ia kelelahan menamparku. Dan aku juga lelah membuat spekulasi, juga kesakitan ditampar terus menerus. “jangan panggil aku dengan nama-nama yang kau sebutkan tadi. Aku bukan mereka. Aku Hana, makhluk yang nyata”. Aku mengangguk. Dan, tentang nama-nama itu. Aku hanya perlu mengingatnya tanpa harus bersusah payah menghubungkannya dengan teori mekanika quantum itu. Aku tak perlu mencari persamaan kedua makhluk itu seperti bagaimana orang jawa memetik buah kelapa tanpa menyentuhnya. Cukup kupercayai, bahwa Hana, adalah makhluk yang nyata.    




Tidak ada komentar:

Posting Komentar