Namanya. Ah, mungkin tidak
terlalu penting untukmu. Meski bagiku, ia terlalu penting sehingga ijinkan aku
menyebutkan namanya dalam tulisan ini. Jika tak menyukai, aku tak keberatan kau
berhenti membaca tulisan aneh ini. Aku mempunyai beberapa nama untuknya. Nanti
kau bisa memilih salah satu diantaranya. Yang pasti, nama-nama itu mempunyai
jiwa yang sama, dan aku menduga bahwa ia memang berasal dari jiwa yang sama.
Stella, itu salah satu nama yang
kusukai. Bukan apa-apa. Hanya tendensi historik saja. Ia makhluk yang jatuh
dari langit, entah lapis keberapa. Yah, seperti mitologi Yunani. Beberapa
Dewa-Dewi dinamai dari asal mula keberadaannya. Oh, mungkin nama Stella juga
salah satu diantara nama Dewi itu. Tapi nama Stella-ku ini khusus aku yang
menjulukinya. Ia terlalu indah. “Aku berasal dari galaksi Stella” begitu
pertama kalinya ia menjawab pertanyaan dariku. Saat itu, aku sempat sedikit
ketakutan oleh peristiwa jatuhnya makhluk itu. Kukira, cerita bidadari jatuh
hanya dongeng picisan. Ah, ternyata aku mengalaminya. Galaksi Stella? Nama
galaksi yang masih asing bagiku saat itu. Aku hanya mengenal galaksi Bimasakti
tempat asalku, lalu beberapa galaksi tetangga seperti Andromeda. Selebihnya?
Nol besar. Stella dengan mudah menangkap kebingunganku. Ia lalu menjelaskan
tentang tempat asalnya itu.
Nama kedua yang juga sangat
kusukai, adalah Mawar. Ini bukan untuk membandingkannya dengan bunga mawar yang
ada di bumi tempatku berpijak. Tapi ia, beberapa unsur yang dimilikinya banyak
menyerupai bunga mawar yang banyak kujumpai di tempat berpijakku ini. Mawar,
makhluk nyata dalam kehidupanku. Tumbuh di taman-taman, di beberapa pegunungan,
dan dimana pun celah bumi. Entahlah, nama Stella masih agak kuragukan. Bukan
karena keindahannya. Tapi lebih karena ketidakpercayaanku bahwa ia nyata. Bahwa
bidadari jatuh bukan dongeng semata. Bahwa stella, benar-benar nyata. Bukan
bidadari yang banyak dibayangkan oleh para penyair dalam dunia mayanya. Dan
bagiku, nama Mawar mungkin lebih tepat untuknya. Agar aku terinternalisasi
bahwa Stella, seperti halnya Mawar, adalah makhluk nyata. Tapi ia memprotesku.
Menurutnya, ia mempunyai unsur yang lebih menyerupai Kaktus.
Sebentar dulu, masih ada nama
lagi untuknya. Jadi, bukan Mawar satu-satunya yang bisa mengklaim untuk
terlegitimasi sebagai nama makhluk itu. Raisa, itu nama lain untuknya. Aku
mengambil nama itu dari nama seorang manusia. Yah, sepertinya lebih aman untuk
menjulukinya dari nama seorang manusia. Kenapa? Karena makhluk itu lebih banyak
menyerupai sifat manusia. Dan, mungkin memang manusia, di lain galaksi, dengan
versi lain. Tak penting mengetahui apa arti nama Raisa. Aku hanya asal cabut
saja. Yang terpenting adalah, bahwa aku mulai mempercayai temuan teori baru
para fisikawan : Teori Mekanika Quantum. Sedikit kugambarkan, bahwa teori ini
menganggap bahwa seluruh unsur dalam alam semesta ini saling berhubungan. Jadi,
jangan heran jika beberapa orang jawa mampu untuk memetik kelapa tanpa menyentuhnya,
atau melayang di udara tanpa alat bantu. Itu sungguh terjadi. Jangan kau kira
hanya gurauan dan hikayat lama. Orang jawa, dengan peradaban tingginya telah
mampu menemukan unsur penghubung itu.
Peradaban koneksitas yang kini hampir punah oleh kata sakral “modernitas”.
Lalu apa hubungannya teori itu
dengan nama-nama yang kusebutkan tadi? Tentu berhubungan. Makhluk itu (kau
boleh menyebutnya dengan nama apa saja), sangatlah mempunyai kemiripan dengan
sesosok makhluk yang kukenal dalam kehidupanku di bumi ini. Bumi tempat
berpijakku yang nyata ini. Kemiripannya memang bukan dalam bentuk fisiknya. Aku
berbicara tentang kemiripan masa lalunya, masa kininya, juga impiannya tentang
masa depan. Artinya, aku menemukan kemiripan jalan cerita kehidupannya. Bahkan,
aku menemukan kemiripan dalam pertemuan kedua makhluk itu denganku, hanya dalam
media lain. Aku mencoba mengingkarinya. Tapi usahaku sering gagal. Aku masih
selalu menganggapnya sebagai makhluk yang kukenal di bumi nyataku. Tentang
apakah ia bidadari jatuh yang dibayangkan oleh para penyair di dunia maya, yang
telah mewujud nyata, aku belum sepenuhnya mempercayai.
Dan aku mengingat lagi “Teori
Mekanika Quantum” itu. Mungkinkah, jika jiwa sesosok makhluk terpisah dalam
raga berbeda? Maksudku, bahwa setiap manusia, misalnya, mempunyai dua raga yang
hidup dalam tempat berbeda dengan jiwa yang sama? Artinya, setiap manusia
dilahirkan dalam dua raga yang terpisah. Sebagai bandingan, bahwa jika sehelai
daun gugur di suatu tempat, maka daun lain baru saja tumbuh di tempat lain.
Jadi, mungkin saja spekulasiku ini benar adanya. Bahwa kedua makhluk itu
mempunyai koneksitas, dua makhluk yang menjalani kehidupan yang sama di tempat
yang berbeda.
Aku masih belum mempercayai
hipotesaku ini saat ia mengagetiku dari lamunan. “Hey, apa yang sedang kau
pikirkan?” Aku tergagap. “Maaf, aku belum percaya ini nyata. Bisa kau tampar
pipiku agar kupercaya?” Belum tertutup mulutku, ia sudah menampar keras-keras. “Sudah
percaya?” Aku mengeleng. Ia tampar lagi, lagi, dan lagi. Hingga akhirnya ia
kelelahan menamparku. Dan aku juga lelah membuat spekulasi, juga kesakitan
ditampar terus menerus. “jangan panggil aku dengan nama-nama yang kau sebutkan
tadi. Aku bukan mereka. Aku Hana, makhluk yang nyata”. Aku mengangguk. Dan,
tentang nama-nama itu. Aku hanya perlu mengingatnya tanpa harus bersusah payah
menghubungkannya dengan teori mekanika quantum itu. Aku tak perlu mencari
persamaan kedua makhluk itu seperti bagaimana orang jawa memetik buah kelapa
tanpa menyentuhnya. Cukup kupercayai, bahwa Hana, adalah makhluk yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar