TUGIEZLAND

Sabtu, 26 April 2014

NEGARA MILIK SIAPA?


Horizontal Scroll: ESSAI
MEMPERTANYAKAN PERAN PEMERINTAH DALAM PERSFEKTIF ETIKA


Oleh : Rizky A. Prasojo*

Judul tersebut memang terasa sangat ekstrim untuk menyebut kondisi Indonesia saat ini. Tapi kita tidak dapat menutup mata begitu saja pada kenyataan bahwa pemerintah (pusat) saat ini tak cukup mampu memproteksi kepentingan-kepentingan nasionalnya. Pemerintah layaknya macan ompong tersudut oleh gonggongan anjing. Penandatanganan pasar bebas ASEAN (AFTA, dan sebentar lagi dengan China) semakin membuat lemah daya tawar pemerintah untuk memproteksi kepentingan nasionalnya. Pemerintah takluk pada pemilik modal. Demokrasi yang berjalan, meminjam istilah Gatut Saksono dalam bukunya “Golput dan Masa Depan Bangsa”, hanyalah demokrasi semu. Dalam demokrasi ini rakyat seolah-olah dilibatkan. Padahal secara substansial rakyat tak banyak dilibatkan. Karena keputusan dan kebijakan yang diambil banyak dipengaruhi oleh keinginan para pemilik modal, baik asing maupun dalam negeri. Ini berakibat luas bagi kehidupan sosial, ekonomi, budaya di ranah akar rumput. Rakyat seolah hidup dalam hukum rimba, siapa kuat dia menang. Moral terabaikan. Rakyat semakin tak berdaya akibat keputusan-keputusan pemerintah tidak banyak menjamin perlindungan hukum, sosial, ekonomi, dsb. Sebagai contoh, carut marutnya penyelesaian kasus hukum yang begitu mudah dibeli. Ini yang membuat Tere Liye dalam novel bergenre politiknya beranggapan bahwa penegakan hukum menjadi prioritas utama untuk memperbaiki kebobrokan negara.
Lebih jauh lagi, hampir semua kebijakan yang dibuat pemerintah dipengaruhi pemilik modal. Terlebih kebijakan menyangkut penguasaan sumber daya alam. Ini tidak lain karena gelontoran bantuan dana asing baik dari IMF, World Bank, maupun IGGI mengikat kita. Terutama IMF, organisasi keuangan tersebut tentu tidak serta merta merta memberikan dana begitu saja. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya, kebijakan pemerintah harus banyak menguntungkan negara penyumbang (lihat : Relung Gelap Globalisasi 1: Sarat Konspirasi Negara Maju. Surabaya Pagi, 13 Juli 2013). Hal ini di kemudian hari tidak hanya berdampak pada penguasaan sumber daya alam, melainkan menjamah pada hampir semua sektor. Dalam sektor penguasaan sumber daya alam seperti yang dicontohkan Tamrin A. Tomagola dalam Republik Kapling-nya misalnya, lahan tambang telah dikapling. Perbukitan Timika untuk Freeport, Lhoksumawe untuk Exon Mobil, Sumbawa untuk Newmont, dsb. 

Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ada banyak bukti bahwa negara ini sedang mengalami chaos secara substansial. Dalam ranah industri sawit dan rokok, misalnya. Pemerintah tak kuasa memberikan proteksi pada industri tersebut dari serangan black campaign. Padahal industri tersebut adalah salah satu penyerap tenaga kerja dan penyumbang devisa. Minyak kelapa sawit digembar-gemborkan tidak sehat. Kampanye tersebut bisa mendorong berkurangnya penggunaan minyak kelapa sawit (lihat : Jawa Pos, Tanggal tidak diketahui. Kelapa Sawit, Komoditas Penghasil Devisa Terbesar Yang Dianaktirikan : Negara Maju Kampanye Bertubi-tubi, Pemerintah Membela Setengah Hati). Lalu perlahan terganti dengan minyak goreng nabati, notebene Amerika-lah produsen utamanya. Siapa yang diuntungkan? 

Sementara rokok, kampanye negatif terhadap produk rokok semakin gencar. Industri tembakau lokal ditekan. Padahal industri tersebut sangatlah berpengaruh terhadap perekonomian nasional (lihat : Bisnis Surabaya, edisi 66 (27 Agustus-2 September 2012). RPP Tembakau Ancam Produk Bangsa). World Health Organization (WHO) menyoroti kematian akibat rokok sangatlah tinggi. Lalu bagaimana dengan angka kecelakaan yang diakibatkan kendaraan bermotor? Kenapa hanya rokok yang diberi label khusus “Merokok Membunuhmu!!” sementara kendaraan bermotor (mobil dan motor) justru diiklankan kian gencar tanpa pembatasan? Padahal keduanya sama-sama menjadi penyebab kematian terbesar? (Lihat :http://rizkyprasojo.blogspot.com/2013/05/rokok-ataukah-motor-dan-mobil-just.html). Kenapa hanya rokok yang diintimidasi? Kalau memang tidak tebang pilih, sebaiknya pemerintah juga membatasi peredaran motor atau mobil yang terbukti tidak hanya menjadi penyebab kematian, tapi juga penyebab kesemrawutan dan kemacetan jalan?

Ah, pikiran saya terlalu sempit. Mobil dan motor kan menjadi pemasukan pajak yang juga cukup besar. Juga, kalau dibatasi, bagaimana solusi untuk masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan kendaraan pribadi? Berapa biaya untuk membangun transportasi masal? Pasti akan berdampak sangat luas jika pembatasan itu benar-benar dilakukan. Dan pada akhirnya, pembatasan terhadap produk rokok memang layak untuk dibatasi karena pemanfaatan produk tersebut lebih banyak merugikan, sedangkan mobil dan motor masih belum layak dibatasi karena kebelumsiapan segala solusi. Kebermanfaatannya pun juga masih cukup tinggi daripada kerugian yang ditimbulkan.

Kembali lagi pada masalah kebijakan. Contoh-contoh di atas cukup memberikan gambaran bagaimana lemahnya bargaining power pemerintah kita untuk melindungi produk dan kepentingan nasionalnya. Ketidakberpihakan pemerintah terhadap kepentingan nasional (khususnya rakyat) tersebut menimbulkan pertanyaan : Mengapa pemerintah masih harus ada? Sementara kepentingan rakyat banyak dikelabui?
Untuk menjawab pertanyaan yang profokatif tersebut, kita bisa menggunakan persfektif etika agar mendapat jawaban yang lebih objektif. Kita bisa memulai dari sejarah bagaimana kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah akhirnya terasa sangat lemah. Lemah dalam artian untuk mendahulukan kepentingan bersama.

Sisi lemah ini bemula saat “dinasti” Soeharto mulai memimpin negeri ini. IGGI, IMF dan World Bank memberi penawaran untuk membantu perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi saat kepemimpinan Soekarno. Soeharto menerima penawaran tersebut dengan syarat yang cukup bisa mempengaruhi berbagai pembuatan kebijakan pada nantinya. Diantaranya penandatanganan pengelolaan tambang emas di Timika, Papua. Gelontoran dana menyisakan utang yang tidak sedikit. Menjelang akhir masa pemerintahan Soeharto, krisis kembali melanda. Gelontoran dana asing mulai menjadi opsi lagi. Yang akhirnya hutang semakin melilit negeri ini. Pada akhirnya para pembuat keputusan (keputusan besar menyangkut hajat hidup orang banyak) tidak ada yang bertaring lagi. Kalaupun masih banyak kebijakan yang memihak rakyat, hanyalah dalam ranah yang tidak terlalu berpengaruh semisal Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dll. Hanya sebatas menyenangkan hati rakyat. Sementara kebijakan yang berpengaruh besar, tak ada yang berani dengan gagah angkat senjata membela kepentingan rakyat. Pengelolaan air (pemanfaatan air mineral) tetap dikuasai korporasi besar asing. Tambang-tambang tetap dieksploitasi besar-besaran. Ibarat menjual berhektar tanah dengan ganti permen setoples. Manis, untuk dibagi-bagi para pembuat kebijakan. Tanah, tak lagi milik negara. Bagaimana bisa melawan, lah wong taringnya sudah dicopot. Lah wong hutang menumpuk dan harus dibayar. Bagaimana bisa membayar, lah wong sawah sudah dijual. Pada akhirnya yang bisa dilakukan hanya manut pada si pemberi hutang.

Dasar pertimbangan etika sudah tidak mampu lagi melandasi para pembuat keputusan. Kemampuan untuk mengontrol apakah kebijakan yang akan diambil sudah baik atau buruk (etika), benar atau salah (logika), dan indah atau jelek (estetika) untuk rakyat, sudah menurun. Ini akibat, bisa disebut, kesalahan memutuskan untuk meminjam dana bantuan yang dilakukan pada pemerintahan Soeharto yang berdampak luas bagi masa depan negeri ini. sudahlah, tak baik mengutuk dan menghakimi masa lalu. Toh sudah terjadi. Lalu bagaimana (pemerintah) kita bisa keluar dari lubang setan ini? Bagaimana pertimbangan etika bisa kembali menjadi prioritas dalam membuat suatu kebijakan?  

Pertimbangan etika untuk membuat keputusan yang berpengaruh besar sebenarnya sangat sederhana : Baik atau Buruk. Meminjam istilah Dr. Heru Nugroho dalam bukunya Negara, Pasar, dan Pemerintah, sebuah kebijakan bisa kita nilai dari apakah kebijakan tersebut baik? kalau baik, baik untuk siapa? Pertanyaan ini yang kemudian membuat pertimbangan etika menjadi rancu dan seringkali dimodifikasi untuk segelintir golongan. Kata “baik” ini akhirnya menjadi prioritas : “baik” untuk golongannya dulu, baru untuk seluruh rakyat. Ini pada akhirnya menjadi senjata ampuh untuk bersembunyi. Para pembuat kebijakan saling bertarung dan berputar-putar dalam memperebutkan “baik” untuk golongan masing-masing. Contoh yang paling mudah, adalah tarik ulur kebijakan kenaikan BBM bersubsidi. Yang akhirnya “sah” naik juga.

Kalau kita benar-benar memang ingin keluar dari kubangan setan ini, sudah seharusnya kita (baca : pemerintah) mendalami lagi UUD 1945. Bahwa air, tanah, dan segala yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Okelah, jika kita masih suka berebut roti. Jika pemegang dan pembuat kebijakan masih berkutat pada perebutan kursi. Tapi harus diingat juga, mbok ya nasinya harus tetap diperuntukkan kenduri seluruh rakyat. Jangan hanya menafsirkan kata “baik” untuk prioritas golongan. Tapi ingat juga hajat hidup orang banyak sebisa mungkin dikuasai bersama. Untuk dibuat kenduri rakyat. Pertarungan perebutan kursi wajar dalam negara demokrasi. Tapi saat kursi sudah ditempati, pertimbangan etika harus menjadi kunci. Kamu, pemimpin yang kami pilih. Kamu memang harus berebut roti, makan roti bergizi. Agar bisa sepenuhnya memikirkan kepentingan bersama. Ada koalisi, ada oposisi, itu wajar. Yang tidak wajar adalah jika terlalu asyik memperebutkan roti, nasi untuk kenduri rakyat hilang dicuri. Lalu kemana rakyat harus mencari? Sementara engkau masih belum menyadari? 

Sudah sepatutnya pemerintah (khususnya), untuk bersama saling mendukung tanpa membawa latar belakang golongan untuk dijadikan prioritas. Sudah sepatutnya partai-partai bersatu mengangkat senjata. Bersama-sama melepas jeratan hutang yang telah melilit sedemikian parahnya. Berikan kepercayaan pada rakyat bahwa mereka bisa mengelola negerinya. Lalu secara bersama melunasi hutang yang demikian menyengsarakan. Jangan lagi mempecundangi “baik-buruk” demi kesejahteraan golongan. “Baik-buruk” adalah milik bersama. Etika adalah landasan agar pembuatan kebijakan menguntungkan kepentingan bersama. Jika tidak, jangan salahkan rakyat jika mereka bertanya : Negara Ini Milik Siapa?  

Pada akhirnya segala carut-marut negeri ini, segala kerusakan moral di ranah akar rumput, bisa jadi diakibatkan pula oleh kesemrawutan para penyelenggara negara yang membuat sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin ada benarnya juga jika Iwan Fals dalam salah satu lagunya mengatakan : “...Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau. Tegakkan hukum, setegak-tegaknya, adil dan tegas, tak pandang bulu....” Bahwa jika para pemimpin dan pembuat kebijakan di negeri ini menegakkan peraturan, membuat kebijakan berdasar persfektif etika dan tak mempecundangi kata baik-buruk, maka otomatis rakyat akan mendukung usaha pemerintah. Dengan sendirinya moral di akar rumput akan membaik jika penegakan hukum tidak lagi bisa direkayasa semaunya.





v  SUMBER REFRENSI DAN INSPIRASI 

Undang-undang Dasar 1945 

Buku :
Baswir, Refrisond, dkk. Terjajah di Negeri Sendiri : IMF dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta : ELSAM, 2003
Fauziah, DRA, Luluk. Diktat Teori Pembangunan
Liye, Tere. Negeri di Ujung Tanduk. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2013
Nugroho, DR, Heru. Negara Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001
Saksono, Gatut. Golput dan Masa Depan Bangsa : Golput Sebagai Koreksi Konstruktif terhadap Parpol, Negara, dan Realitas Hidup. Yogyakarta : Elmatera, 2013

Koran :
Bisnis Surabaya, edisi 66 (27 Agustus-2 September 2012). RPP Tembakau Ancam Produk Bangsa.
Jawa Pos, Tanggal tidak diketahui. Kelapa Sawit, Komoditas Penghasil Devisa Terbesar Yang Dianaktirikan : Negara Maju Kampanye Bertubi-tubi, Pemerintah Membela Setengah Hati.
Surabaya Pagi, 13 Juli 2013. Relung Gelap Globalisasi 1: Sarat Konspirasi Negara Maju.

Halaman Internet :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar