MEMPERTANYAKAN PERAN PEMERINTAH DALAM
PERSFEKTIF ETIKA
Oleh : Rizky A. Prasojo*
Judul tersebut memang
terasa sangat ekstrim untuk menyebut kondisi Indonesia saat ini. Tapi kita
tidak dapat menutup mata begitu saja pada kenyataan bahwa pemerintah (pusat)
saat ini tak cukup mampu memproteksi kepentingan-kepentingan nasionalnya.
Pemerintah layaknya macan ompong tersudut oleh gonggongan anjing.
Penandatanganan pasar bebas ASEAN (AFTA, dan sebentar lagi dengan China)
semakin membuat lemah daya tawar pemerintah untuk memproteksi kepentingan
nasionalnya. Pemerintah takluk pada pemilik modal. Demokrasi yang berjalan,
meminjam istilah Gatut Saksono dalam bukunya
“Golput dan Masa Depan Bangsa”, hanyalah demokrasi semu. Dalam demokrasi
ini rakyat seolah-olah dilibatkan. Padahal secara substansial rakyat tak banyak
dilibatkan. Karena keputusan dan kebijakan yang diambil banyak dipengaruhi oleh
keinginan para pemilik modal, baik asing maupun dalam negeri. Ini berakibat
luas bagi kehidupan sosial, ekonomi, budaya di ranah akar rumput. Rakyat seolah
hidup dalam hukum rimba, siapa kuat dia menang. Moral terabaikan. Rakyat
semakin tak berdaya akibat keputusan-keputusan pemerintah tidak banyak menjamin
perlindungan hukum, sosial, ekonomi, dsb. Sebagai contoh, carut marutnya
penyelesaian kasus hukum yang begitu mudah dibeli. Ini yang membuat Tere Liye
dalam novel bergenre politiknya beranggapan bahwa penegakan hukum menjadi
prioritas utama untuk memperbaiki kebobrokan negara.
Lebih jauh lagi,
hampir semua kebijakan yang dibuat pemerintah dipengaruhi pemilik modal.
Terlebih kebijakan menyangkut penguasaan sumber daya alam. Ini tidak lain
karena gelontoran bantuan dana asing baik dari IMF, World Bank, maupun IGGI
mengikat kita. Terutama IMF, organisasi keuangan tersebut tentu tidak serta
merta merta memberikan dana begitu saja. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Diantaranya, kebijakan pemerintah harus banyak menguntungkan negara penyumbang
(lihat : Relung Gelap Globalisasi 1: Sarat Konspirasi Negara Maju. Surabaya
Pagi, 13 Juli 2013). Hal ini di kemudian hari tidak hanya berdampak pada
penguasaan sumber daya alam, melainkan menjamah pada hampir semua sektor. Dalam
sektor penguasaan sumber daya alam seperti yang dicontohkan Tamrin A. Tomagola
dalam Republik Kapling-nya misalnya,
lahan tambang telah dikapling. Perbukitan Timika untuk Freeport, Lhoksumawe
untuk Exon Mobil, Sumbawa untuk Newmont, dsb.
Hal tersebut
sangatlah bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : “Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ada banyak bukti
bahwa negara ini sedang mengalami chaos
secara substansial. Dalam ranah industri sawit dan rokok, misalnya. Pemerintah
tak kuasa memberikan proteksi pada industri tersebut dari serangan black campaign. Padahal industri
tersebut adalah salah satu penyerap tenaga kerja dan penyumbang devisa. Minyak
kelapa sawit digembar-gemborkan tidak sehat. Kampanye tersebut bisa mendorong berkurangnya
penggunaan minyak kelapa sawit (lihat : Jawa Pos, Tanggal tidak diketahui. Kelapa Sawit, Komoditas Penghasil Devisa
Terbesar Yang Dianaktirikan : Negara Maju Kampanye Bertubi-tubi, Pemerintah
Membela Setengah Hati). Lalu perlahan terganti dengan minyak goreng nabati, notebene
Amerika-lah produsen utamanya. Siapa yang diuntungkan?
Sementara rokok,
kampanye negatif terhadap produk rokok semakin gencar. Industri tembakau lokal
ditekan. Padahal industri tersebut sangatlah berpengaruh terhadap perekonomian
nasional (lihat : Bisnis Surabaya, edisi 66 (27 Agustus-2
September 2012). RPP Tembakau Ancam
Produk Bangsa). World
Health Organization (WHO) menyoroti kematian akibat rokok sangatlah tinggi.
Lalu bagaimana dengan angka kecelakaan yang diakibatkan kendaraan bermotor?
Kenapa hanya rokok yang diberi label khusus “Merokok Membunuhmu!!” sementara
kendaraan bermotor (mobil dan motor) justru diiklankan kian gencar tanpa
pembatasan? Padahal keduanya sama-sama menjadi penyebab kematian terbesar? (Lihat :http://rizkyprasojo.blogspot.com/2013/05/rokok-ataukah-motor-dan-mobil-just.html).
Kenapa hanya rokok yang diintimidasi? Kalau memang tidak tebang pilih,
sebaiknya pemerintah juga membatasi peredaran motor atau mobil yang terbukti
tidak hanya menjadi penyebab kematian, tapi juga penyebab kesemrawutan dan
kemacetan jalan?
Ah, pikiran saya
terlalu sempit. Mobil dan motor kan
menjadi pemasukan pajak yang juga cukup besar. Juga, kalau dibatasi, bagaimana
solusi untuk masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan kendaraan pribadi?
Berapa biaya untuk membangun transportasi masal? Pasti akan berdampak sangat luas
jika pembatasan itu benar-benar dilakukan. Dan pada akhirnya, pembatasan
terhadap produk rokok memang layak untuk dibatasi karena pemanfaatan produk
tersebut lebih banyak merugikan, sedangkan mobil dan motor masih belum layak
dibatasi karena kebelumsiapan segala solusi. Kebermanfaatannya pun juga masih
cukup tinggi daripada kerugian yang ditimbulkan.
Kembali lagi pada
masalah kebijakan. Contoh-contoh di atas cukup memberikan gambaran bagaimana
lemahnya bargaining power pemerintah
kita untuk melindungi produk dan kepentingan nasionalnya. Ketidakberpihakan
pemerintah terhadap kepentingan nasional (khususnya rakyat) tersebut menimbulkan
pertanyaan : Mengapa pemerintah masih harus ada? Sementara kepentingan rakyat
banyak dikelabui?
Untuk menjawab
pertanyaan yang profokatif tersebut, kita bisa menggunakan persfektif etika
agar mendapat jawaban yang lebih objektif. Kita bisa memulai dari sejarah
bagaimana kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah akhirnya terasa sangat
lemah. Lemah dalam artian untuk mendahulukan kepentingan bersama.
Sisi lemah ini
bemula saat “dinasti” Soeharto mulai memimpin negeri ini. IGGI, IMF dan World
Bank memberi penawaran untuk membantu perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi
saat kepemimpinan Soekarno. Soeharto menerima penawaran tersebut dengan syarat
yang cukup bisa mempengaruhi berbagai pembuatan kebijakan pada nantinya. Diantaranya
penandatanganan pengelolaan tambang emas di Timika, Papua. Gelontoran dana
menyisakan utang yang tidak sedikit. Menjelang akhir masa pemerintahan
Soeharto, krisis kembali melanda. Gelontoran dana asing mulai menjadi opsi
lagi. Yang akhirnya hutang semakin melilit negeri ini. Pada akhirnya para
pembuat keputusan (keputusan besar menyangkut hajat hidup orang banyak) tidak
ada yang bertaring lagi. Kalaupun masih banyak kebijakan yang memihak rakyat,
hanyalah dalam ranah yang tidak terlalu berpengaruh semisal Bantuan Langsung
Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dll. Hanya sebatas menyenangkan
hati rakyat. Sementara kebijakan yang berpengaruh besar, tak ada yang berani dengan
gagah angkat senjata membela kepentingan rakyat. Pengelolaan air (pemanfaatan
air mineral) tetap dikuasai korporasi besar asing. Tambang-tambang tetap
dieksploitasi besar-besaran. Ibarat menjual berhektar tanah dengan ganti permen
setoples. Manis, untuk dibagi-bagi para pembuat kebijakan. Tanah, tak lagi
milik negara. Bagaimana bisa melawan, lah
wong taringnya sudah dicopot. Lah wong hutang menumpuk dan harus
dibayar. Bagaimana bisa membayar, lah
wong sawah sudah dijual. Pada akhirnya yang bisa dilakukan hanya manut pada si pemberi hutang.
Dasar
pertimbangan etika sudah tidak mampu lagi melandasi para pembuat keputusan.
Kemampuan untuk mengontrol apakah kebijakan yang akan diambil sudah baik atau
buruk (etika), benar atau salah (logika), dan indah atau jelek (estetika) untuk
rakyat, sudah menurun. Ini akibat, bisa disebut, kesalahan memutuskan untuk
meminjam dana bantuan yang dilakukan pada pemerintahan Soeharto yang berdampak
luas bagi masa depan negeri ini. sudahlah, tak baik mengutuk dan menghakimi
masa lalu. Toh sudah terjadi. Lalu bagaimana (pemerintah) kita bisa keluar dari
lubang setan ini? Bagaimana pertimbangan etika bisa kembali menjadi prioritas
dalam membuat suatu kebijakan?
Pertimbangan
etika untuk membuat keputusan yang berpengaruh besar sebenarnya sangat sederhana
: Baik atau Buruk. Meminjam istilah Dr. Heru Nugroho dalam bukunya Negara, Pasar, dan Pemerintah, sebuah
kebijakan bisa kita nilai dari apakah kebijakan tersebut baik? kalau baik, baik
untuk siapa? Pertanyaan ini yang kemudian membuat pertimbangan etika menjadi
rancu dan seringkali dimodifikasi untuk segelintir golongan. Kata “baik” ini
akhirnya menjadi prioritas : “baik” untuk golongannya dulu, baru untuk seluruh rakyat.
Ini pada akhirnya menjadi senjata ampuh untuk bersembunyi. Para pembuat
kebijakan saling bertarung dan berputar-putar dalam memperebutkan “baik” untuk
golongan masing-masing. Contoh yang paling mudah, adalah tarik ulur kebijakan
kenaikan BBM bersubsidi. Yang akhirnya “sah” naik juga.
Kalau kita
benar-benar memang ingin keluar dari kubangan setan ini, sudah seharusnya kita
(baca : pemerintah) mendalami lagi UUD 1945. Bahwa air, tanah, dan segala yang
menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Okelah, jika kita masih
suka berebut roti. Jika pemegang dan pembuat kebijakan masih berkutat pada
perebutan kursi. Tapi harus diingat juga, mbok
ya nasinya harus tetap diperuntukkan kenduri seluruh rakyat. Jangan hanya menafsirkan
kata “baik” untuk prioritas golongan. Tapi ingat juga hajat hidup orang banyak
sebisa mungkin dikuasai bersama. Untuk dibuat kenduri rakyat. Pertarungan
perebutan kursi wajar dalam negara demokrasi. Tapi saat kursi sudah ditempati,
pertimbangan etika harus menjadi kunci. Kamu, pemimpin yang kami pilih. Kamu
memang harus berebut roti, makan roti bergizi. Agar bisa sepenuhnya memikirkan
kepentingan bersama. Ada koalisi, ada oposisi, itu wajar. Yang tidak wajar
adalah jika terlalu asyik memperebutkan roti, nasi untuk kenduri rakyat hilang
dicuri. Lalu kemana rakyat harus mencari? Sementara engkau masih belum
menyadari?
Sudah sepatutnya
pemerintah (khususnya), untuk bersama saling mendukung tanpa membawa latar
belakang golongan untuk dijadikan prioritas. Sudah sepatutnya partai-partai
bersatu mengangkat senjata. Bersama-sama melepas jeratan hutang yang telah
melilit sedemikian parahnya. Berikan kepercayaan pada rakyat bahwa mereka bisa
mengelola negerinya. Lalu secara bersama melunasi hutang yang demikian
menyengsarakan. Jangan lagi mempecundangi “baik-buruk” demi kesejahteraan
golongan. “Baik-buruk” adalah milik bersama. Etika adalah landasan agar
pembuatan kebijakan menguntungkan kepentingan bersama. Jika tidak, jangan
salahkan rakyat jika mereka bertanya : Negara Ini Milik Siapa?
Pada akhirnya
segala carut-marut negeri ini, segala
kerusakan moral di ranah akar rumput, bisa jadi diakibatkan pula oleh
kesemrawutan para penyelenggara negara yang membuat sistem tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Mungkin ada benarnya juga jika Iwan Fals dalam salah satu
lagunya mengatakan : “...Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri.
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau. Tegakkan
hukum, setegak-tegaknya, adil dan tegas, tak pandang bulu....” Bahwa jika para pemimpin dan pembuat kebijakan di
negeri ini menegakkan peraturan, membuat kebijakan berdasar persfektif etika
dan tak mempecundangi kata baik-buruk, maka otomatis rakyat akan mendukung
usaha pemerintah. Dengan sendirinya moral di akar rumput akan membaik jika
penegakan hukum tidak lagi bisa direkayasa semaunya.
v SUMBER REFRENSI DAN INSPIRASI
Undang-undang Dasar 1945
Buku
:
Baswir, Refrisond, dkk. Terjajah di Negeri Sendiri : IMF dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Jakarta : ELSAM, 2003
Fauziah, DRA, Luluk. Diktat Teori Pembangunan
Liye, Tere. Negeri di Ujung Tanduk. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2013
Nugroho, DR, Heru. Negara Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2001
Saksono, Gatut. Golput dan Masa Depan Bangsa : Golput Sebagai Koreksi Konstruktif
terhadap Parpol, Negara, dan Realitas Hidup. Yogyakarta : Elmatera, 2013
Koran
:
Bisnis Surabaya, edisi 66 (27 Agustus-2
September 2012). RPP Tembakau Ancam
Produk Bangsa.
Jawa Pos, Tanggal tidak diketahui. Kelapa Sawit, Komoditas Penghasil Devisa
Terbesar Yang Dianaktirikan : Negara Maju Kampanye Bertubi-tubi, Pemerintah
Membela Setengah Hati.
Surabaya Pagi, 13 Juli 2013. Relung Gelap Globalisasi 1: Sarat Konspirasi
Negara Maju.
Halaman
Internet :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar