TUGIEZLAND

Minggu, 16 Maret 2014

KISAH DI NEGERI YANG (KATANYA) DAMAI



Sesuai judulnya, tulisan ini hanyalah sebuah kisah, tak lebih!!!

Di sebuah sawah subur, dengan binatang penghuni mayoritas Semut. Yang terlanjur dilemahkan mentalnya oleh pimpinan mereka turun temurun membentuk dinasti tak tertandingi : TIKUS. Mayoritas Semut cukuplah diberikan kesenangan kecil tiap harinya. Diberikannya sisa makanan, sisa kunyahan sang pemimpin mereka, untuk diperebutkan para wakil mereka yang membentuk berbagai koloni untuk saling beradu memperebutkan makanan tersebut. Demi kelangsungan hidup koloninya masing-masing. 


Bangsa Semut terlanjur ketakutan oleh gertakan Tikus. Padahal jumlah mayoritas mereka sebenarnya dengan mudah mengalahkan Tikus itu. Hanya saja, kisah perebutan makanan itu memecah belah mereka, ditambah mental mereka yang terlanjur kalah. Tapi tetap, sawah subur itu masih dianggap tempat kedamaian oleh mayoritas Semut. “Yang berebut kan yang ikut koloni” kilah kumpulan Semut yang tak masuk jaringan koloni. Mereka yang ini terlanjur asyik dengan dunia mereka sendiri. Jauh berbeda dengan bangsa Semut sesamanya. Dan, jumlah mereka juga tak kalah banyak. Mereka melakukan onani masal tiap harinya. Asyik berdendang dengan sedikit sentuhan halus bangsa Katak yang membujuk mereka tanpa mereka merasa terbujuk. Mengajak berdendang tiap malam dengan suara khas Katak, sebagai pemujaan sempurna yang tak pernah mereka sadari. Menganggap semua baik-baik saja, tak ada yang salah dengan kondisi sawah itu. Semua binatang damai hidup di sawah subur itu. Damai, sebab mereka tak pernah mengerti betapa menyedihkannya nasib mereka di mata pemimpin mereka : Tikus.

Tikus tentu saja bisa tertawa tiap harinya menikmati tontonan lucu yang ia buat sendiri itu. Dengan tetap dinobatkan sebagai pemimpin bijaksana yang selalu memberikan makanan untuk para koloni. Mayoritas Semut, tak pernah peduli dengan omong kosong itu. Betapapun pemimpinnya baik atau buruk, tetaplah mereka tau itu Tikus. Biarpun pemilihan pemimpin diadakan tiap tahunnya, mereka sudah bisa menebak : Tikus lah yang terpilih. Dan, perdebatan antar sesama mereka tak pernah lebih dari hujatan klise pada Tikus, hanya seputar masalah bau badannya. Selebihnya, mereka kembali beranjak pada kehidupan normal : Onani Masal.  Asal mereka tetap bisa onani masal tiap harinya, atau para koloni masih bisa berebut sisa makanan, mereka akan tetap tak peduli satu sama lain. Sibuk dengan dunia mereka sendiri. Biarkan perdebatan soal Tikus menjadi pekerjaan para bedebah, memberikan warna tersendiri bagi dunia Semut. Seruan para moralis Semut untuk bersatu melawan Tikus, hanya menjadi angin lalu bagi mayoritas. Selama Katak bernyanyi, dan Tikus melemparkan sisa makanannya, peduli setan untuk bersatu menyerang Tikus. Serangan pada Tikus, adalah bunuh diri masal bagi mereka. Maka, jika ada koloni yang berusaha mempengaruhi mayoritas Semut yang sedang beronani masal untuk menyerang Tikus, tidak lama saja koloni lain bergabung menghancurkan koloni tersebut. Mereka akan dianggap perusak kedamaian oleh mayoritas Semut. 

Kedamaian dinasti Tikus agaknya mula terusik oleh kedatangan Ular yang datang dari luar sawah. Tidak banyak Semut yang tahu pertemuan Ular dengan Tikus ini. Hanya beberapa Semut yang mengetahui dengan jelas. Dan tentu saja suara minoritas tak akan pernah bisa dipercaya oleh bangsa Semut. Alhasil, bisa ditebak, Semut yang benar-benar memergoki pertemuan itu hanya akan jadi bahan lelucon jika ia mencoba menceritakan pada mayoritas Semut. Dalam pertemuan itu, Ular yang mengeluh kelaparan dengan sigap hendak mamangsa Tikus. Tapi Tikus di sawah subur ini, punya seribu rencana dalam kondisi terpepet sekalipun. “Aku berani jamin, kau dengan segera akan muntah setelah menelanku. Dan rasa laparmu justru akan semakin kronis!! Atau lebih buruk lagi...” Tikus dengan cerdiknya mencoba menggertak Ular. “Haha, seperti inikah caramu lari dariku? Hah. Sayangnya justru membuatku tertawa. Hadapi saja takdirmu, tuan Tikus” Ular memotong gertakan Tikus dengan santainya. “Hmm. Aku tidak akan lari darimu, kawan. Aku hanya merasa iba terhadapmu. Tidakkah kau mendengar kisah Ular tangguh yang mati mengenaskan beberapa saat usai menelan pamanku dulu?” Tikus memberi jeda, membiarkan Ular mengingat kisah lama yang menyedihkan itu. “Aku punya tawaran menarik untukmu. Makanan yang jauh lebih lezat dariku. Dan tentu saja, tidak membahayakan keselamatanmu. Itu jika kau mau. Atau, silahkan telan aku sekarang juga. Dan kau segera menyusulku. Lalu kita bisa bermain bersama di surga” Tikus masih dengan tenang memberikan pilihan itu. Ular berpikir sejenak. Lalu memutuskan. “Baiklah, dengan satu syarat!!” Ular masih mengancam. “Sebutkan!” jawab Tikus lugas. “Sepertinya kau mengendalikan seluruh kehidupan binatang di sawah subur ini. Kau takkan keberatan untuk menyiapkan makanan lezat yang kau janjikan itu tiap harinya, bukan?” si Ular mencoba mengambil banyak keuntungan. “Oh, no problema, kawan. Makanan lezat itu telah siap sebelum kau merasa lapar tiap harinya” Tikus merasa mendapat angin segar. “Dan lagi!! Kau juga harus menuruti semua keinginanku untuk kehidupan sawah ini, Setuju?” seloroh Ular memanfaatkan keadaan. Tikus merasa keberatan. Ia berpikir sejenak sebelum memutuskan. “Baiklah. Asal aku tetap bisa pura-pura memimpin mereka. Kau keberatan?” Tikus balik menawar, dengan berat hati ia akan segera jadi jongos si Ular. Tapi, itu lebih baik baginya daripada ia harus berada dalam perut Ular. “Tentu saja, kau memang harus tetap menjadi pemimpin mereka, maksudku kau harus tetap berpura-pura dihadapan mereka. Tapi akulah yang mengatur semuanya. Kau harus menjalankan perintahku!!” mereka akhirnya mencapai kesepakatan. Bagi mereka, ini pilihan yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme!!!

Ular. Tentu saja lebih memilih bersembunyi di balik layar, memberi perintah pada Tikus, dan semua berjalan seperti seharusnya. Ia tidak akan tertarik untuk memimpin para binatang di sawah itu. Ia muak menghadapi mayoritas penghuninya, bangsa Semut. Satu Semut saja bisa merepotkannya. Dengan satu gigitan kecil di kulitnya, ia akan kualahan. Terlebih, di masa silam, ia pernah direpotkan seekor Semut yang dengan garang menggigit matanya. Lalu dengan mudah kawanan Semut lain bersatu mengerubunginya. Hampir saja ia tewas mengenaskan jika kawanan belalang tak menolong. Ia berhasil melarikan diri dari kawanan Semut. Tepat di sawah subur ini. Kisah lama yang tidak pernah dilihat bangsa Tikus, atau memang sengaja dilupakan. Jika saja Tikus tahu kelemahan Ular ini, tentu negosiasi tadi akan dengan mudah ia menangkan. Sayangnya, takdir berkata lain. Tikus kini menyerahkan seluruh harga dirinya pada Ular. Mematuhi perintahnya. Dan cukup sedikit bebangga tetap menjadi pemimpin para binatang, meski kali ini hanya berpura-pura.

Tikus segera mengajak Ular menemui makanan yang ia janjikan. Tikus menahan Ular untuk menunggu sebentar saat mereka mendekati aliran irigasi. “Ingat, aku tetap mengawasimu!!” bentak Ular, sedikit ragu dengan perjanjian itu. “Tenanglah, kawan, sudah kubilang, aku takkan melarikan diri darimu” ucap Tikus sambil berlari menuju pinggiran aliran irigasi. Di sana tempat para Katak berkumpul. Menyusun rencana propaganda para pemimpin koloni Semut untuk acara rutin : onani masal Semut nanti malam, bersanding pesta paduan suara Katak. “Maaf, aku mengganggu rapat kalian. Tapi ini juga untuk kebaikan kalian. Maksudku, untuk kebaikan generasi penerus bangsa kalian”  Tikus memberi salam hormat lalu memanggil salah satu Katak. “Forgi!” salah satu Katak muda meloncat mendekati Tikus. “Apa kabarmu, Nak?” tanya Tikus basa-basi. Forgi tersenyum membalas salam hangat itu. Seluruh bangsa Katak selalu takzim pada pemimpin sawah subur ini. Mereka takzim karena selama memimpin, Tikus tak pernah menggangu keberadaan mereka. Acara propaganda mereka terhadap Semut leluasa dijalankan tiap malam. Termasuk onani masal. “Forgi, kau salah satu generasi muda terbaik, Nak. Semua bangsamu tentu tahu. Hari ini aku membawa kabar baik untukmu. Kau mau mendengar?” Forgi mengangguk. Seluruh Katak dalam rapat itu memandangi mereka berdua. Menatap penuh penasaran pada Tikus. Tikus melihat ke sekeliling, merasa mendapat angin segar. “Baiklah. Akan kuceritakan. Kau tentu tahu cerita tentang negeri seberang di dekat sungai, bukan? Yah, negeri yang paling diimpikan bangsa Katak untuk hidup dan tinggal di sana. Saat ini mereka sedang mencari Katak terbaik untuk bergabung dalam paduan suara mereka. Nanti malam, konser besar tahunan akan dimulai. Dengan acara utamanya onani masal terbesar yang pernah dilakukan sepanjang sejarah.  Mereka membutuhkan Katak-Katak muda terbaik dari segala penjuru. Dan aku mendapat undangan untuk mengirimkan Katak terbaik dari negeriku ini. Aku memilihmu. kau takkan menolak, bukan?” Tikus dengan mudah menguasai pikiran para Katak yang sedang berkumpul itu. Forgi, sebagaimana Katak lain, selalu memimpikan untuk bergabung di acara itu. Dan dengan mata berbinar, ia mengangguk mantap menerima tawaran itu. Seluruh Katak dalam rapat itu bersorak bangga. Tikus segera pamit mengajak Forgi meninggalkan tempat itu. Mereka, terutama orang tua Forgi, dengan bangga melepas Forgi. “Satu makanan akan kupersembahkan” suara Katak dalam hati. Lega telah berhasil membujuk korban untuk disantap Ular yang telah menunggu. Katak malang itu segera tertelan di perut Ular. “Benar janjimu, makanan ini sungguh lezat” ungkap Ular penuh kegirangan. “Aku tak pernah berbohong” Tikus tersenyum bangga.

Demikian hari-hari berlalu di sawah tersebut. Kehidupan berjalan normal dan damai menurut kebanyakan penghuninya. Kecuali beberapa Semut yang memergoki Ular. Mereka yang bercerita soal Ular hanya akan menjadi bahan lelucon oleh yang lain. Atau, jika pengaruhnya dinilai cukup besar dan membahayakan, Tikus dengan mudah membereskannya melalui sedikit propaganda para pemimpin koloni Semut. Begitulah seterusnya kehidupan yang dinilai damai oleh mayoritas penghuni berjalan. Mayoritas Semut yang berdebat soal hal kecil dan menghujat Tikus tiap harinya, tetap bisa bersenang-senang memuja bangsa Katak yang menyuguhkan pesta tiap malamnya. Koloni Semut yang memperebutkan sisa makanan Tikus, juga masih merasa baik-baik saja asal perutnya terisi. Sementara Katak tetap leluasa mengadakan propaganda, sambil menunggu kabar baik dari Tikus yang menjanjikan salah satu diantara mereka untuk tinggal di negeri seberang sungai, tempat para Katak dari segala penjuru berkumpul. Janji yang hanya pemanis untuk mengantarkan Katak terpilih masuk ke perut Ular. Apa boleh buat, Tikus terlanjur terlibat perjanjian ekstradisi dengan Ular. Sebuah konspirasi besar! Demi memenuhi perjanjian itu, juga demi keselamatan dirinya, Tikus rela berbuat apapun meski rakyatnya jadi korban. Asal ia tetap bisa hidup, tentu saja. 

Hari berlalu, persediaan Katak, tepatnya keberadaan bangsa Katak hampir punah. Tikus segera menemukan cara. Dibuatnya progam wajib kawin bagi para Katak. Pasangan Katak yang tidak bisa menghasilkan anak, tidak akan dikirim ke negeri seberang sungai, tentu saja negeri ‘omong kosong’ Tikus agar Katak bersedia dibujuk tuk dijadikan santapan lezat Ular. Tidak hanya itu. Pasangan Katak yang tidak bisa menghasilkan keturunan itu, akan dikebumikan hidup-hidup. Progam ini berjalan dengan baik dan didukung oleh hampir semua Katak. Tentu saja, progam wajib kawin bukanlah hal yang membebani, justru amat menyenangkan serta menguntungkan mereka. Para Katak tentu senang punya mainan baru, hingga lupa dengan acara propaganda onani masal yang sudah membudaya itu.  Tak ada Katak yang menghawatirkan tidak bisa beranak. Kesehatan reproduksi mereka hampir seratus persen sempurna. Sebelum kebijakan ini dijalankan, para Katak tak leluasa kawin. Progam sebelumnya membatasi Katak untuk berkembang biak dengan alasan terancamnya persediaan makanan akibat ledakan penghuni bangsa Katak. Karena itu, acara onani masal dilegalkan. Dan, betapa senang mereka, saat kebijakan lama itu digantikan dengan kebijakan wajib kawin. Terlebih, Tikus juga menyediakan iming-iming bahan makanan untuk mereka yang kawin dan menghasilkan keturunan. Kini acara onani masal hanya menjadi sampah untuk mempropaganda bangsa Semut.

Begitulah semua berjalan. Semua tipu daya Tikus untuk mengabdikan diri pada Ular tak pernah disadari oleh rakyatnya. Mereka menganggap semua berjalan normal. Kalaupun ada yang menganggap tidak normal, hanya menjadi nyanyian dan kicauan sementara. Tak ada kesadaran akan kebenaran cerita tentang Ular yang dibawakan beberapa Semut yang telah memergokinya. Kalaupun masih ada banyak kumpulan penghuni sawah yang menghujat Tikus, hujatan itu masih hanya sebatas ditujukan untuk bau busuk Tikus. Tidak pernah ada yang sadar betapa Tikus saat ini hanyalah jongos Ular. Tidak pernah ada yang mengakui kebenaran cerita tentang Ular. Dan, minoritas Semut yang pernah melihat Ular itu hanya bisa menikmati keterasingan di negerinya sendiri tanpa bisa sedikitpun melawan duel Ular dengan Tikus. Di negeri yang katanya damai, di sebuah sawah yang subur itu. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar