Sesuai
judulnya, tulisan ini hanyalah sebuah kisah, tak lebih!!!
Di
sebuah sawah subur, dengan binatang penghuni mayoritas Semut. Yang terlanjur
dilemahkan mentalnya oleh pimpinan mereka turun temurun membentuk dinasti tak
tertandingi : TIKUS. Mayoritas Semut cukuplah diberikan kesenangan kecil tiap
harinya. Diberikannya sisa makanan, sisa kunyahan sang pemimpin mereka, untuk
diperebutkan para wakil mereka yang membentuk berbagai koloni untuk saling
beradu memperebutkan makanan tersebut. Demi kelangsungan hidup koloninya
masing-masing.
Bangsa
Semut terlanjur ketakutan oleh gertakan Tikus. Padahal jumlah mayoritas mereka sebenarnya
dengan mudah mengalahkan Tikus itu. Hanya saja, kisah perebutan makanan itu
memecah belah mereka, ditambah mental mereka yang terlanjur kalah. Tapi tetap,
sawah subur itu masih dianggap tempat kedamaian oleh mayoritas Semut. “Yang
berebut kan yang ikut koloni” kilah kumpulan Semut yang tak masuk jaringan
koloni. Mereka yang ini terlanjur asyik dengan dunia mereka sendiri. Jauh
berbeda dengan bangsa Semut sesamanya. Dan, jumlah mereka juga tak kalah
banyak. Mereka melakukan onani masal tiap harinya. Asyik berdendang dengan
sedikit sentuhan halus bangsa Katak yang membujuk mereka tanpa mereka merasa
terbujuk. Mengajak berdendang tiap malam dengan suara khas Katak, sebagai
pemujaan sempurna yang tak pernah mereka sadari. Menganggap semua baik-baik
saja, tak ada yang salah dengan kondisi sawah itu. Semua binatang damai hidup
di sawah subur itu. Damai, sebab mereka tak pernah mengerti betapa
menyedihkannya nasib mereka di mata pemimpin mereka : Tikus.
Tikus
tentu saja bisa tertawa tiap harinya menikmati tontonan lucu yang ia buat
sendiri itu. Dengan tetap dinobatkan sebagai pemimpin bijaksana yang selalu
memberikan makanan untuk para koloni. Mayoritas Semut, tak pernah peduli dengan
omong kosong itu. Betapapun pemimpinnya baik atau buruk, tetaplah mereka tau
itu Tikus. Biarpun pemilihan pemimpin diadakan tiap tahunnya, mereka sudah bisa
menebak : Tikus lah yang terpilih. Dan, perdebatan antar sesama mereka tak
pernah lebih dari hujatan klise pada Tikus, hanya seputar masalah bau badannya.
Selebihnya, mereka kembali beranjak pada kehidupan normal : Onani Masal. Asal mereka tetap bisa onani masal tiap
harinya, atau para koloni masih bisa berebut sisa makanan, mereka akan tetap
tak peduli satu sama lain. Sibuk dengan dunia mereka sendiri. Biarkan
perdebatan soal Tikus menjadi pekerjaan para bedebah, memberikan warna
tersendiri bagi dunia Semut. Seruan para moralis Semut untuk bersatu melawan Tikus,
hanya menjadi angin lalu bagi mayoritas. Selama Katak bernyanyi, dan Tikus
melemparkan sisa makanannya, peduli setan untuk bersatu menyerang Tikus.
Serangan pada Tikus, adalah bunuh diri masal bagi mereka. Maka, jika ada koloni
yang berusaha mempengaruhi mayoritas Semut yang sedang beronani masal untuk
menyerang Tikus, tidak lama saja koloni lain bergabung menghancurkan koloni
tersebut. Mereka akan dianggap perusak kedamaian oleh mayoritas Semut.
Kedamaian
dinasti Tikus agaknya mula terusik oleh kedatangan Ular yang datang dari luar
sawah. Tidak banyak Semut yang tahu pertemuan Ular dengan Tikus ini. Hanya
beberapa Semut yang mengetahui dengan jelas. Dan tentu saja suara minoritas tak
akan pernah bisa dipercaya oleh bangsa Semut. Alhasil, bisa ditebak, Semut yang
benar-benar memergoki pertemuan itu hanya akan jadi bahan lelucon jika ia
mencoba menceritakan pada mayoritas Semut. Dalam pertemuan itu, Ular yang
mengeluh kelaparan dengan sigap hendak mamangsa Tikus. Tapi Tikus di sawah
subur ini, punya seribu rencana dalam kondisi terpepet sekalipun. “Aku berani
jamin, kau dengan segera akan muntah setelah menelanku. Dan rasa laparmu justru
akan semakin kronis!! Atau lebih buruk lagi...” Tikus dengan cerdiknya mencoba
menggertak Ular. “Haha, seperti inikah caramu lari dariku? Hah. Sayangnya
justru membuatku tertawa. Hadapi saja takdirmu, tuan Tikus” Ular memotong
gertakan Tikus dengan santainya. “Hmm. Aku tidak akan lari darimu, kawan. Aku
hanya merasa iba terhadapmu. Tidakkah kau mendengar kisah Ular tangguh yang mati
mengenaskan beberapa saat usai menelan pamanku dulu?” Tikus memberi jeda,
membiarkan Ular mengingat kisah lama yang menyedihkan itu. “Aku punya tawaran
menarik untukmu. Makanan yang jauh lebih lezat dariku. Dan tentu saja, tidak
membahayakan keselamatanmu. Itu jika kau mau. Atau, silahkan telan aku sekarang
juga. Dan kau segera menyusulku. Lalu kita bisa bermain bersama di surga” Tikus
masih dengan tenang memberikan pilihan itu. Ular berpikir sejenak. Lalu
memutuskan. “Baiklah, dengan satu syarat!!” Ular masih mengancam. “Sebutkan!”
jawab Tikus lugas. “Sepertinya kau mengendalikan seluruh kehidupan binatang di
sawah subur ini. Kau takkan keberatan untuk menyiapkan makanan lezat yang kau
janjikan itu tiap harinya, bukan?” si Ular mencoba mengambil banyak keuntungan.
“Oh, no problema, kawan. Makanan
lezat itu telah siap sebelum kau merasa lapar tiap harinya” Tikus merasa
mendapat angin segar. “Dan lagi!! Kau juga harus menuruti semua keinginanku
untuk kehidupan sawah ini, Setuju?” seloroh Ular memanfaatkan keadaan. Tikus
merasa keberatan. Ia berpikir sejenak sebelum memutuskan. “Baiklah. Asal aku
tetap bisa pura-pura memimpin mereka. Kau keberatan?” Tikus balik menawar,
dengan berat hati ia akan segera jadi jongos si Ular. Tapi, itu lebih baik
baginya daripada ia harus berada dalam perut Ular. “Tentu saja, kau memang
harus tetap menjadi pemimpin mereka, maksudku kau harus tetap berpura-pura
dihadapan mereka. Tapi akulah yang mengatur semuanya. Kau harus menjalankan
perintahku!!” mereka akhirnya mencapai kesepakatan. Bagi mereka, ini pilihan
yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme!!!
Ular.
Tentu saja lebih memilih bersembunyi di balik layar, memberi perintah pada Tikus,
dan semua berjalan seperti seharusnya. Ia tidak akan tertarik untuk memimpin
para binatang di sawah itu. Ia muak menghadapi mayoritas penghuninya, bangsa Semut.
Satu Semut saja bisa merepotkannya. Dengan satu gigitan kecil di kulitnya, ia
akan kualahan. Terlebih, di masa silam, ia pernah direpotkan seekor Semut yang
dengan garang menggigit matanya. Lalu dengan mudah kawanan Semut lain bersatu
mengerubunginya. Hampir saja ia tewas mengenaskan jika kawanan belalang tak
menolong. Ia berhasil melarikan diri dari kawanan Semut. Tepat di sawah subur
ini. Kisah lama yang tidak pernah dilihat bangsa Tikus, atau memang sengaja
dilupakan. Jika saja Tikus tahu kelemahan Ular ini, tentu negosiasi tadi akan
dengan mudah ia menangkan. Sayangnya, takdir berkata lain. Tikus kini menyerahkan
seluruh harga dirinya pada Ular. Mematuhi perintahnya. Dan cukup sedikit
bebangga tetap menjadi pemimpin para binatang, meski kali ini hanya
berpura-pura.
Tikus
segera mengajak Ular menemui makanan yang ia janjikan. Tikus menahan Ular untuk
menunggu sebentar saat mereka mendekati aliran irigasi. “Ingat, aku tetap
mengawasimu!!” bentak Ular, sedikit ragu dengan perjanjian itu. “Tenanglah,
kawan, sudah kubilang, aku takkan melarikan diri darimu” ucap Tikus sambil berlari
menuju pinggiran aliran irigasi. Di sana tempat para Katak berkumpul. Menyusun
rencana propaganda para pemimpin koloni Semut untuk acara rutin : onani masal Semut
nanti malam, bersanding pesta paduan suara Katak. “Maaf, aku mengganggu rapat
kalian. Tapi ini juga untuk kebaikan kalian. Maksudku, untuk kebaikan generasi
penerus bangsa kalian” Tikus memberi
salam hormat lalu memanggil salah satu Katak. “Forgi!” salah satu Katak muda
meloncat mendekati Tikus. “Apa kabarmu, Nak?” tanya Tikus basa-basi. Forgi
tersenyum membalas salam hangat itu. Seluruh bangsa Katak selalu takzim pada
pemimpin sawah subur ini. Mereka takzim karena selama memimpin, Tikus tak
pernah menggangu keberadaan mereka. Acara propaganda mereka terhadap Semut
leluasa dijalankan tiap malam. Termasuk onani masal. “Forgi, kau salah satu
generasi muda terbaik, Nak. Semua bangsamu tentu tahu. Hari ini aku membawa
kabar baik untukmu. Kau mau mendengar?” Forgi mengangguk. Seluruh Katak dalam
rapat itu memandangi mereka berdua. Menatap penuh penasaran pada Tikus. Tikus
melihat ke sekeliling, merasa mendapat angin segar. “Baiklah. Akan kuceritakan.
Kau tentu tahu cerita tentang negeri seberang di dekat sungai, bukan? Yah,
negeri yang paling diimpikan bangsa Katak untuk hidup dan tinggal di sana. Saat
ini mereka sedang mencari Katak terbaik untuk bergabung dalam paduan suara
mereka. Nanti malam, konser besar tahunan akan dimulai. Dengan acara utamanya
onani masal terbesar yang pernah dilakukan sepanjang sejarah. Mereka membutuhkan Katak-Katak muda terbaik
dari segala penjuru. Dan aku mendapat undangan untuk mengirimkan Katak terbaik
dari negeriku ini. Aku memilihmu. kau takkan menolak, bukan?” Tikus dengan
mudah menguasai pikiran para Katak yang sedang berkumpul itu. Forgi,
sebagaimana Katak lain, selalu memimpikan untuk bergabung di acara itu. Dan
dengan mata berbinar, ia mengangguk mantap menerima tawaran itu. Seluruh Katak
dalam rapat itu bersorak bangga. Tikus segera pamit mengajak Forgi meninggalkan
tempat itu. Mereka, terutama orang tua Forgi, dengan bangga melepas Forgi.
“Satu makanan akan kupersembahkan” suara Katak dalam hati. Lega telah berhasil
membujuk korban untuk disantap Ular yang telah menunggu. Katak malang itu
segera tertelan di perut Ular. “Benar janjimu, makanan ini sungguh lezat”
ungkap Ular penuh kegirangan. “Aku tak pernah berbohong” Tikus tersenyum
bangga.
Demikian
hari-hari berlalu di sawah tersebut. Kehidupan berjalan normal dan damai
menurut kebanyakan penghuninya. Kecuali beberapa Semut yang memergoki Ular.
Mereka yang bercerita soal Ular hanya akan menjadi bahan lelucon oleh yang
lain. Atau, jika pengaruhnya dinilai cukup besar dan membahayakan, Tikus dengan
mudah membereskannya melalui sedikit propaganda para pemimpin koloni Semut. Begitulah
seterusnya kehidupan yang dinilai damai oleh mayoritas penghuni berjalan.
Mayoritas Semut yang berdebat soal hal kecil dan menghujat Tikus tiap harinya,
tetap bisa bersenang-senang memuja bangsa Katak yang menyuguhkan pesta tiap
malamnya. Koloni Semut yang memperebutkan sisa makanan Tikus, juga masih merasa
baik-baik saja asal perutnya terisi. Sementara Katak tetap leluasa mengadakan
propaganda, sambil menunggu kabar baik dari Tikus yang menjanjikan salah satu
diantara mereka untuk tinggal di negeri seberang sungai, tempat para Katak dari
segala penjuru berkumpul. Janji yang hanya pemanis untuk mengantarkan Katak terpilih
masuk ke perut Ular. Apa boleh buat, Tikus terlanjur terlibat perjanjian
ekstradisi dengan Ular. Sebuah konspirasi besar! Demi memenuhi perjanjian itu,
juga demi keselamatan dirinya, Tikus rela berbuat apapun meski rakyatnya jadi
korban. Asal ia tetap bisa hidup, tentu saja.
Hari
berlalu, persediaan Katak, tepatnya keberadaan bangsa Katak hampir punah. Tikus
segera menemukan cara. Dibuatnya progam wajib kawin bagi para Katak. Pasangan Katak
yang tidak bisa menghasilkan anak, tidak akan dikirim ke negeri seberang
sungai, tentu saja negeri ‘omong kosong’ Tikus agar Katak bersedia dibujuk tuk
dijadikan santapan lezat Ular. Tidak hanya itu. Pasangan Katak yang tidak bisa
menghasilkan keturunan itu, akan dikebumikan hidup-hidup. Progam ini berjalan
dengan baik dan didukung oleh hampir semua Katak. Tentu saja, progam wajib
kawin bukanlah hal yang membebani, justru amat menyenangkan serta menguntungkan
mereka. Para Katak tentu senang punya mainan baru, hingga lupa dengan acara
propaganda onani masal yang sudah membudaya itu. Tak ada Katak yang menghawatirkan tidak bisa
beranak. Kesehatan reproduksi mereka hampir seratus persen sempurna. Sebelum
kebijakan ini dijalankan, para Katak tak leluasa kawin. Progam sebelumnya
membatasi Katak untuk berkembang biak dengan alasan terancamnya persediaan
makanan akibat ledakan penghuni bangsa Katak. Karena itu, acara onani masal
dilegalkan. Dan, betapa senang mereka, saat kebijakan lama itu digantikan
dengan kebijakan wajib kawin. Terlebih, Tikus juga menyediakan iming-iming
bahan makanan untuk mereka yang kawin dan menghasilkan keturunan. Kini acara
onani masal hanya menjadi sampah untuk mempropaganda bangsa Semut.
Begitulah
semua berjalan. Semua tipu daya Tikus untuk mengabdikan diri pada Ular tak
pernah disadari oleh rakyatnya. Mereka menganggap semua berjalan normal.
Kalaupun ada yang menganggap tidak normal, hanya menjadi nyanyian dan kicauan
sementara. Tak ada kesadaran akan kebenaran cerita tentang Ular yang dibawakan
beberapa Semut yang telah memergokinya. Kalaupun masih ada banyak kumpulan
penghuni sawah yang menghujat Tikus, hujatan itu masih hanya sebatas ditujukan
untuk bau busuk Tikus. Tidak pernah ada yang sadar betapa Tikus saat ini hanyalah
jongos Ular. Tidak pernah ada yang mengakui kebenaran cerita tentang Ular. Dan,
minoritas Semut yang pernah melihat Ular itu hanya bisa menikmati keterasingan
di negerinya sendiri tanpa bisa sedikitpun melawan duel Ular dengan Tikus. Di negeri
yang katanya damai, di sebuah sawah yang subur itu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar