TUGIEZLAND

Senin, 03 Februari 2014

Pertanyaan, Kenyataan


Ia bertanya soal masa depan. Tentang tujuan-tujuan yang akan aku raih. “Aku bukan peramal, sayang...” jawabku. Suara gemercik air terdengar dari balik jendela kamarku. Hujan dari siang tadi belum juga reda. Di luar kamar, tepatnya di ruang keluarga, sayup-sayup suara televisi terdengar. Sepertinya sedang menayangkan acara YKS. Acara yang menarik bagi kebanyakan orang disekitarku, tapi tidak bagiku. Acara yang lucu? Memang. Tapi tidak untuk kelucuan yang diulang-ulang.

Riuh rendah tawa keluargaku bak merepresentasikan keriuhan hatiku ketika membaca sms yang menanyakanku tentang masa depan. Masa depan, kata itu seperti hantu yang jelas-jelas segera menerkamku tanpa aku tau darimana datangnya. Ia menghembuskan aura ketakutan sebelum ia benar-benar mendatangiku. Sosoknya, lebih menyeramkan dari semua jenis hantu pop yang pernah ditayangkan di TV. “Tapi kita hidup kan harus punya tujuan, sayang?” balasnya menyemangati, cenderung menggurui. Tapi bagiku, pertanyaan itu adalah pukulan telak. Betapa tidak. Baru saja dadaku tersedak oleh kata masa depan, sekarang harus menerima pernyataan seperti itu. Pernyataan yang kenyataannya benar, namun menyesakkan. Semua orang hidup harus punya tujuan, yah. Lalu, apa tujuan hidupku?

Setiap perjalanan mempunyai tempat tujuan. Tujuan hidup adalah kematian. Semua orang tau itu. Tapi yang dimaksudnya bukanlah seperti itu. Ia menanyakan tujuan apa yang akan kuraih selama masih diberikan kesempatan hidup. Dan aku tak pernah paham soal itu. Entahlah, aku merasa hidup di zaman berabad lalu. Ketika manusia belum mempunyai banyak inovasi seperti di zaman modern ini. Ketika manusia hidup tanpa tujuan. Ketika manusia hanya memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup, lalu mati. Ketika manusia hidup hanya untuk melakukan pencarian. Seperti Adam yang baru diturunkan dari surga untuk mencari Hawa. Pertanyaan yang ia ajukan tidaklah membutuhkan jawaban sesederhana ini. Jawaban yang ia harapkan dariku adalah tentang target yang akan kucapai. Target tentang dunia hidup, dunia modern, tentang pekerjaan, profesi, kepemilikan rumah, mobil, atau apapun tentang materi yang akan kucapai. Itu yang dimaksud tujuan hidup. Tujuan hidup manusia modern. Bukan sesederhana mencukupi kebutuhan dasar saja. 

Getir. Aku tak bisa membayangkannya sedikitpun. Aku memang punya mimpi tentang masa depan. Aku ingin jadi pengusaha kaya, aku ingin jadi sastrawan terkenal, aku ingin jadi pelukis ternama, aku ingin melanjutkan studi ke luar negeri, aku ingin ini, aku ingin itu, dan banyak lagi keinginanku. Tapi itu bukan tujuanku. Banyak orang di sekitarku menyarankan untuk menetapkan satu keinginan untuk kuwujudkan. Dengan begitu aku punya tujuan hidup yang jelas untuk diraih. Dengan  begitu hidupku tak mengambang. Tapi saran-saran itu kurasa hanya melintas sesaat di otakku. Aku justru merasa terintimidasi oleh saran-saran mereka. “Tujuan hidupku adalah mati”. Begitu pikirku yang entah menurut orang terdekatku sangat meracuni pikiranku.“Hidupku hanya mengalir seperti aliran sungai. Semua aliran menuju satu muara, lautan”. Selalu kujawab seperti itu pada mereka yang menanyakan masa depanku. Dan mereka lantas banyak menceramahiku tentang tujuan hidup. Selalu seperti itu. Bagi mereka, jawabanku itu terlalu absurd. “Ya jelas, semua orang tahu aliran air sungai menuju muara. Tapi bagaimana jika aliran airmu justru menuju got, dan tersumbat oleh sampah?” seseorang terkadang menanyakan itu. Tak kujawab. Dan ia tertawa merasa menang lalu menceramahiku. “Tapi bukankah partikel air masih mampu meresap di sela-sela sampah lalu mengalir lagi menuju tempat yang lebih rendah, bergabung dengan partikel air lain di aliran sungai kecil, mengalir lagi ke aliran sungai besar, dan menuju muaranya, bergabung dengan partikel air di lautan?” pikirku. 

Sayup-sayup suara TV di ruang keluarga sudah tak terdengar lagi. Riuh rendah tawa keluargaku juga hilang. Agaknya mereka sudah beranjak ke kamar masing-masing. Tapi keriuhan dalam hatiku masih menyesakkan. Aku kebingungan untuk menjawab pertanyaan singkat itu : “Apa yang akan kau tuju?” Pertanyaan yang sering berlalu-lalang kuterima dari orang-orang di sekitarku. Pertanyaan yang sering kujawab dengan mudah : “hidupku mengalir seperti aliran air”. Tapi entah mengapa pertanyaan yang sama itu terasa sangat menyesakkanku di malam ini. Bahkan aku kesulitan menjawabnya. “Belum waktunya untuk menetapkan tujuan” kubalas demikian mengakhiri kerisauanku. Dan benar saja, jawaban itu cukup ampuh untuk ia meredam pertanyaan selanjutnya akan masa depanku.

Epilouge :
X : Kau punya tujuan untuk masa depan?
Y : Yah, aku punya
X : Apa itu?
Y : Kematian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar