Ia bertanya soal masa depan. Tentang tujuan-tujuan yang
akan aku raih. “Aku bukan peramal, sayang...” jawabku. Suara gemercik air
terdengar dari balik jendela kamarku. Hujan dari siang tadi belum juga reda. Di
luar kamar, tepatnya di ruang keluarga, sayup-sayup suara televisi terdengar.
Sepertinya sedang menayangkan acara YKS. Acara yang menarik bagi kebanyakan
orang disekitarku, tapi tidak bagiku. Acara yang lucu? Memang. Tapi tidak untuk
kelucuan yang diulang-ulang.
Riuh rendah tawa keluargaku bak merepresentasikan
keriuhan hatiku ketika membaca sms yang menanyakanku tentang masa depan. Masa
depan, kata itu seperti hantu yang jelas-jelas segera menerkamku tanpa aku tau
darimana datangnya. Ia menghembuskan aura ketakutan sebelum ia benar-benar
mendatangiku. Sosoknya, lebih menyeramkan dari semua jenis hantu pop yang
pernah ditayangkan di TV. “Tapi kita hidup kan harus punya tujuan, sayang?”
balasnya menyemangati, cenderung menggurui. Tapi bagiku, pertanyaan itu adalah
pukulan telak. Betapa tidak. Baru saja dadaku tersedak oleh kata masa depan,
sekarang harus menerima pernyataan seperti itu. Pernyataan yang kenyataannya benar,
namun menyesakkan. Semua orang hidup harus punya tujuan, yah. Lalu, apa tujuan
hidupku?
Setiap perjalanan mempunyai tempat tujuan. Tujuan hidup
adalah kematian. Semua orang tau itu. Tapi yang dimaksudnya bukanlah seperti
itu. Ia menanyakan tujuan apa yang akan kuraih selama masih diberikan
kesempatan hidup. Dan aku tak pernah paham soal itu. Entahlah, aku merasa hidup
di zaman berabad lalu. Ketika manusia belum mempunyai banyak inovasi seperti di
zaman modern ini. Ketika manusia hidup tanpa tujuan. Ketika manusia hanya
memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup, lalu mati. Ketika manusia hidup hanya untuk
melakukan pencarian. Seperti Adam yang baru diturunkan dari surga untuk mencari
Hawa. Pertanyaan yang ia ajukan tidaklah membutuhkan jawaban sesederhana ini.
Jawaban yang ia harapkan dariku adalah tentang target yang akan kucapai. Target
tentang dunia hidup, dunia modern, tentang pekerjaan, profesi, kepemilikan
rumah, mobil, atau apapun tentang materi yang akan kucapai. Itu yang dimaksud
tujuan hidup. Tujuan hidup manusia modern. Bukan sesederhana mencukupi
kebutuhan dasar saja.
Getir. Aku tak bisa membayangkannya sedikitpun. Aku
memang punya mimpi tentang masa depan. Aku ingin jadi pengusaha kaya, aku ingin
jadi sastrawan terkenal, aku ingin jadi pelukis ternama, aku ingin melanjutkan
studi ke luar negeri, aku ingin ini, aku ingin itu, dan banyak lagi
keinginanku. Tapi itu bukan tujuanku. Banyak orang di sekitarku menyarankan
untuk menetapkan satu keinginan untuk kuwujudkan. Dengan begitu aku punya
tujuan hidup yang jelas untuk diraih. Dengan
begitu hidupku tak mengambang. Tapi saran-saran itu kurasa hanya
melintas sesaat di otakku. Aku justru merasa terintimidasi oleh saran-saran
mereka. “Tujuan hidupku adalah mati”. Begitu pikirku yang entah menurut orang
terdekatku sangat meracuni pikiranku.“Hidupku hanya mengalir seperti aliran
sungai. Semua aliran menuju satu muara, lautan”. Selalu kujawab seperti itu
pada mereka yang menanyakan masa depanku. Dan mereka lantas banyak
menceramahiku tentang tujuan hidup. Selalu seperti itu. Bagi mereka, jawabanku
itu terlalu absurd. “Ya jelas, semua orang tahu aliran air sungai menuju muara.
Tapi bagaimana jika aliran airmu justru menuju got, dan tersumbat oleh sampah?”
seseorang terkadang menanyakan itu. Tak kujawab. Dan ia tertawa merasa menang
lalu menceramahiku. “Tapi bukankah partikel air masih mampu meresap di
sela-sela sampah lalu mengalir lagi menuju tempat yang lebih rendah, bergabung
dengan partikel air lain di aliran sungai kecil, mengalir lagi ke aliran sungai
besar, dan menuju muaranya, bergabung dengan partikel air di lautan?” pikirku.
Sayup-sayup suara TV di ruang keluarga sudah tak
terdengar lagi. Riuh rendah tawa keluargaku juga hilang. Agaknya mereka sudah
beranjak ke kamar masing-masing. Tapi keriuhan dalam hatiku masih menyesakkan.
Aku kebingungan untuk menjawab pertanyaan singkat itu : “Apa yang akan kau
tuju?” Pertanyaan yang sering berlalu-lalang kuterima dari orang-orang di
sekitarku. Pertanyaan yang sering kujawab dengan mudah : “hidupku mengalir
seperti aliran air”. Tapi entah mengapa pertanyaan yang sama itu terasa sangat
menyesakkanku di malam ini. Bahkan aku kesulitan menjawabnya. “Belum waktunya
untuk menetapkan tujuan” kubalas demikian mengakhiri kerisauanku. Dan benar
saja, jawaban itu cukup ampuh untuk ia meredam pertanyaan selanjutnya akan masa
depanku.
Epilouge :
X : Kau punya tujuan untuk masa depan?
Y : Yah, aku punya
X : Apa itu?
Y : Kematian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar