TUGIEZLAND

Minggu, 26 Januari 2014

PAIJO, PERJALANAN DAN ASONGAN KERETA


“Sudah, kau tunggu sini saja” kata Paijo padaku begitu kereta berhenti di Stasiun Blitar. “Loh, jadi kau membawaku sejauh ini hanya untuk menemanimu dalam kereta, dan setibanya kau hanya menyuruhku tuk menunggumu di peron stasiun?” tanyaku kesal. “Lah memangnya aku mengajakmu? Ndak toh?” sangkalnya. “Tapi kan waktu pamit tadi kau bilang gini : Aku mau ke Blitar, kalau mau ikut bayar sendiri. Gitu kan, Jo?” Belaku. Tapi mungkin kalimat pembelaanku sudah tak digubrisnya lagi. Ia sudah berjalan membelakangiku. “Loh, Cuma pamitan, bukan?” sangkalnya dari kejauhan, dengan menolehkan kepalanya ke belakang. Ternyata dia masih mendengarku. Akhirnya kusadari, berdebat dengannya tak mungkin menang. “Oke aku tunggu disini” kataku seperti berbicara dengan diri sendiri. Paijo nampaknya tak mendengar lagi. Ia sudah berlalu tanpa menolehku lagi.

“Ah, biar dia dengan dunianya sendiri. Menunggu disini tak begitu buruk” pikirku sambil menuju warung kopi dekat stasiun. Paijo mungkin memang ingin sendiri hari ini. Bodohnya aku saja yang terburu ikut dengannya. Dasar Paijo. Ia pernah bercerita padaku bahwa Kota Blitar adalah tempat istimewa baginya. Di kota ini Paijo bertemu dengan kekasih hatinya, Painem, yang lantas menghilang dari kehidupannya sebelum Paijo mengungkapkan perasaannya. Pantas saja ia menyuruhku menunggu disini. Agaknya ia tak ingin diganggu olehku. Paijo mungkin ingin menikmati kesendiriannya bernostalgia dengan bayangan pujaan hatinya itu. “Ah, aku jadi korban Paijo” pikirku menyadari Paijo menjebakku untuk merasakan kesendirian sepertinya. “Kau memang jancuk’an, Jo” umpatku.

Ah, duduk sendiri membuat pikiranku melayang tak karuan. Tapi kopi hitam ini membuatku mengingat kejadian di kereta tadi. Dan mungkin hitamnya kopi yang sering diminum Paijo  juga  yang membuatnya suka berpikiran aneh-aneh. Cenderung negatif.

“Coba lihat dua pemuda itu” kata Paijo dalam kereta tadi
“Iya, kenapa? Ada yang salah?” jawabku enteng
“Coba perhatikan lagi” katanya.
Aku memperhatikan lagi dua pemuda di kursi samping. Tidak ada yang salah. Dua pemuda berkacamata sepertiku. Keduanya memakai headset di telinga. Yang satu memegang tablet ukuran 8 inchi. Satunya lagi membaca buku ‘Sepuluh Jurus Terlarang’. “Entah apa yang terlarang. Sudah dilarang kok dibaca?”pikirku. Dan, beberapa kali pemuda itu terlihat bercakap-cakap dengan gadis cantik berkerudung sebaya denganku yang duduk di depan kedua pemuda itu. Agaknya ingin berkenalan.
“Tak ada yang aneh, Jo. Apa bukunya itu?” jawabku heran. Mencoba menerka apa isi pikiran Paijo
“Ya pantas kau tak merasa aneh. Kau sendiri juga sering seperti itu” Jawabnya sinis
“Seperti itu bagaimana, Jo?”
“Ah, kau ini. Makanya jadi orang itu yang punya kepekaan sosial. Katanya saja kuliah di jurusan sosial” ucapan Paijo semakin membuatku kesal. Selalu saja ia sangkutkan dengan latarbelakangku. Apa dia lupa dia sendiri juga lulusan sosial politik? Belum sempat aku membantahnya, ia sudah meneruskan kalimatnya lagi.
“Kau lihat lagak pemuda itu. Pake tanya-tanya soal kuliah segala pada mbak cantik itu. Huh. Lagaknya, wong niatnya pengen kenalan saja” cerucusnya dengan nada kesal
 “Hahaha... Jo, Paijo. Bilang saja kau iri tak bisa berkenalan dengan mbak cantik itu. Haha” ledekku puas.
“Gundulmu!! Buat apa kenalan dengan modus gak bermutu seperti itu. Kalau aku langsung saja gak pake embel-embel. Bawa-bawa latarbelakang mahasiswa segala. Huh. Menjijikkan. Coba lihat lebih jernih lagi. Setelah berbasa-basi dengan mbak cantik, mereka mengeluarkan tablet, HP, dan buku. Ini apalagi? Apa kau tak melihat kekonyolan?”
“Haha. Kau menyuruhku berpikiran jernih. Kau sendiri tak sadar, kau itu yang berpikir kotor, Jo. Sudahlah. Suka-suka mereka toh mau ngapain. Wong hak mereka. Kok kamu yang repot?”
“Dasar mahasiswa. Makin lama makin koplak. Atau emang hanya orang berkacamata sepertimu saja yang koplak. Suka-suka mereka bagaimana kau itu. Ini bukan kendaraan pribadi. Ini kereta ekonomi. Transportasi umum, kawan. Penumpangnya ya orang umum, umumnya wong cilik. Ya harus mengikuti norma umum. Baru saja jadi mahasiswa, lagaknya. Coba bayangkan. Sedari tadi banyak pemuda sebaya denganmu wira-wiri di lorong kereta. Ada yang menyapu kolong kursi, ada yang mengamen, ada yang jualan berbagai macam makanan, minuman, dsb. Kau tak lihat? Mereka tak seberuntung kedua pemuda itu. Apa kau tak berpikir bahwa tingkah mereka menimbulkan kecemburuan sosial?” gerutu Paijo
“Iya, kecemburuanmu lebih tepatnya. Haha” 
“Kau ini, susah sekali diajak berpikir. Kau ini mahasiswa, harus tau soal ini. Coba perhatikan lagi. Seandainya .....” Paijo berceramah panjang lebar. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tak begitu menggubrisnya. Semakin lama semakin menyebalkan pembicaraannya. Betapa tidak, ia mulai membawa-bawa nama mahasiswa untuk menyemprotku. Dikiranya aku seburuk manusia yang tak punya kepedulian. Merasa tersinggung, aku meninggalkannya. Pura-pura ke toilet kereta. Aku berjalan menuju gerbong paling belakang. Kududukkan tubuhku di lantai kereta, tepatnya di lantai samping mulut pintu kereta. Aku tak kembali ke kursiku hingga kereta tiba di Stasiun Blitar.


***

Kopi yang kupesan sudah mendingin. Jenuh juga menunggu Paijo di warung ini. Satu dua orang keluar masuk warung. Memesan kopi. Berbincang sejenak atau hanya melempar senyum. Kubayar uang kopi ini pada pemilik warung, wanita setengah baya yang antusias ketika bercerita panjang lebar tentang wisata di Blitar, dengan berbagai sejarah dan mitosnya yang entah kebenarannya. Padahal baru saja aku menanyainya satu pertanyaan. Tapi ia jawab dengan cerita. Mungkin itu gaya khasnya untuk menarik pelanggan.

Berjalan kaki sendirian di kota yang nampak asing bagiku sungguh menimbulkan perasaan beragam. Antara kenikmatan, dan juga kegelisahan. Cinta dan benci di saat yang sama. Yang menyebalkan, adalah mata-mata yang berpapasan denganku. Seperti hendak menelanjangiku dengan kasarnya. Mata orang-orang yang memandangku dengan aneh. Mungkin bagi mereka aku alien. Ah mungkin hanya perasaanku saja. Barangkali bukan mereka yang mengawasiku penuh curiga, tapi akulah yang mencurigai mereka.

Langit Blitar siang ini nampaknya mendukung perjalanan kakiku menyusuri pedestarian. Mendung memayungiku menambah kenikmatan berjalan kaki. Kata “kenikmatan” menjadi terasa ampuh sebagai pembelaan seorang pelancong dengan uang pas-pasan dan cenderung kurang. Sambil berjalan, aku mengawasi tiap tempat-tempat keramaian, barangkali kupergoki Paijo. Tapi sepanjang jalan dan tempat-tempat yang kulalui, tak ada tanda-tanda Paijo.

Aku menyusuri alun-alun, terminal wisata, makam Sang Proklamator, dan masuk ke perpustakaan Bung Karno. Lumayan juga untuk melepas kejenuhan mencari Paijo. Tak ada tanda-tanda Paijo disini. Akhirnya jenuh juga membaca buku-buku sejarah. Aku beranjak dan masuk ke museum yang menyimpan foto-foto presiden pertama Indonesia itu. Tetap saja, membosankan dan tanda-tanda keberadaan Paijo tak berhasil kutemui. Aku menelusuri jalanan lagi pada akhirnya. Tapi mendung semakin menghitam. Kilatan cahaya menghiasi langit. Tetes demi tetes air mulai turun. Nampaknya mendung sudah tak mampu menahan tangisnya. Segera kupercepat langkah. Beruntung di depan terlihat menara masjid. Meski terlihat agak jauh jika ditempuh pejalan kaki, tetap saja akan kutuju. Sebelum hujan benar-benar turun, baiknya berlari menuju ke sana. Daripada harus berteduh di emperan toko dengan kebosanan yang menyebalkan, tanpa bisa membaringkan tubuh seperti saat berteduh di masjid.  

***

“Kau ini kemana saja. Disuruh menunggu disini malah keluyuran” ucap Paijo dengan suara yang tinggi. Terdengar seperti orang marah. Ia berdiri di depan stasiun dengan kedua tangannya disilangkan di dada. “Sebentar lagi sudah tertinggal kereta kau!!” tambahnya.
“Lah hak-ku toh. Kaki-kakiku. Terserah aku mau melangkah kemana!!” jawabku tak ingin kalah.
“Yo hakmu emang. Tapi tiket keretanya kau yang bawa!! Kau tertinggal kereta, aku juga tertinggal. Koplak!! Sudah buruan sini”

“Salah sendiri tiket dititipkan” gerutuku. Paijo tak menjawab. Mungkin terlalu lelah meladeniku. “Haha, akhirnya aku bisa bikin Paijo kesal” pikirku.

Seorang pedagang telur terlihat sibuk menyiapkan telur-telur yang tertumpuk rapi di atas trim. Ia membagi-bagi tumpukan trim itu. Mungkin agar mudah meletakkannya di rak barang dalam kereta nanti. Syukurlah kereta datang terlambat. Aku jadi merasa menang atas perdebatan Paijo. Coba jika kereta itu tepat waktu, barangkali Paijo memarahiku semalaman gara-gara aku datang ke stasiun lebih 10 menit dari jadwal kereta. 
ilustrasi oleh : Rizky

Paijo tak tenang duduk di kursi tunggu penumpang di peron stasiun. Ia langkahkan kaki mendekati pedagang telur itu. Baru saja Paijo berbincang dengan pedagang telur, kereta sudah datang. Pedagang itu terlihat cekatan memasukkan telur-telurnya ke dalam kereta. Sementara aku mencari-cari tempat duduk yang sesuai dengan nomor tiket. Pedagang telur itu masih sibuk meletakkan tumpukan trim telurnya di rak barang, rak yang terbuat dari semacam baja stainless yang menjulur sepanjang gerbong tepatnya di atas kursi penumpang. Tempat duduk yang kucari sudah kutemukan. Paijo menyusul kemudian. 

“Loh disini juga mas?” sapa Paijo. Pedagang telur itu ternyata mendapat tiket dengan nomor kursi bersebelahan dengan Paijo. Perbincangan yang sempat terpotong pun kembali dilanjutkan. Nampaknya mereka berdua mempunyai kecocokan. Perbincangan pun menjadi panjang lebar mulai dari masalah dunia telur hingga masalah politik Indonesia menjelang pemilu, bahkan merembet ke dunia lain, tepatnya dunia para jin. Keberadaanku sedari tadi agaknya tak dianggap oleh mereka berdua. Aku hanya menyimak mereka berbincang. Tapi menyimak mereka juga tak begitu membosankan. Tak buruk juga. Pedagang telur itu jago debat ternyata. Beberapa kali ia menyangkal pendapat Paijo yang dirasa kurang pas. Ini bagian yang kusuka. Kadang sesekali aku ikut tertawa, dan sengaja kukencangkan, saat Paijo diserang pedagang telur itu. Dan Paijo melirikku dengan sinis. Belakangan kuketahui nama pedagang itu Sarjono. Sarjono yang tak pernah mendapat gelar sarjana. Sarjono, si profesor pengasin telur. Begitulah ia menyebut dirinya sendiri. Ironis. 

Waktu bergulir secepat laju kereta. Matahari mulai menenggelamkan diri di ufuk. Kereta berjalan membelah malam. Tapi perbincangan dalam kereta, tepatnya di blok kursiku semakin seru saja. Sarjono tak pernah mau kalah mengungkapkan argumentasinya. Beberapa pedagang asongan menyelingi perbincangan, menyapa Sarjono. Keseringannya bolak-balik dari Blitar ke Surabaya untuk mengulak telur membuatnya dikenal banyak para pedagang asongan kereta.    

Seorang pedagang asongan ikut nimbrung dalam perbincangan ini. Kebetulan kursi depanku kosong. 

“Nah ini dia, ke mana saja kau? lama tak jumpa” sapa Sarjono pada Didit, pedagang asongan itu.
Didit tersenyum, “yah beginilah. Beberapa hari ini ikut teman-teman memperjuangkan nasib asongan”
“Loh, belum selesai?”
“Selesai bagaimana. Lah wong kemarin lusa malah para marinir yang ikut menghadang. Para asongan tak boleh lagi naik kereta dari stasiun Jombang. Beberapa teman memilih naik dari stasiun-stasiun kecil. Lah ini negara apa? Kami cari makan, di negara sendiri, kok dilarang. Apa maksudnya ini? Para marinir, yang harusnya menjaga keutuhan NKRI, kok malah melawan rakyat sendiri. Rakyat yang harusnya diberikan rasa aman kok malah diintimidasi. Ini yang goblok siapa?”

“Oh, begitu. Terus kau kok masih bisa melenggang di kereta. Naik dari stasiun Jombang pula?” tanya Sarjono penasaran. Paijo hanya terlihat menyimak. Sama sepertiku. Seorang kakek tua berjalan menyusuri gerbong menawarkan nasi bungkus. Kakek tua itu hanya tersenyum melihat wajah-wajah yang tak asing baginya saat melintasi kursi kami. Dan berlalu.
“Nah, itu mbah Legiman, kemarin juga ikut berjuang” ungkap Didit sambil menunjuk kakek yang barusan melintas itu. “Halo mbah!!” sapa Didit. “Iyo woy, halo!!” jawab si mbah. “Terus, terus?” Selidik Sarjono masih penasaran. “Aku bilang pada marinir itu : ‘silahkan saja pak, kalau mau bunuh saja saya’. aku tantang dia. Aku buka bajuku. ‘Ini, silahkan tembak dadaku. Daripada hidup dan pulang tanpa membawa apa-apa. Lebih baik saya mati. Iya kalau anda sudah jelas dapat gaji tiap bulannya. Lah saya. saya hanya ingin memenuhi kewajiban saya sebagai suami. Kami tak takut mati. Kami hanya takut anak istri kelaparan di rumah. Lah kalau anda hadang layaknya anda penjajah, kami harus hidup dimana lagi? Wong marinir kok kerjaannya malah gini. Mana janji setia jabatanmu? Setia membela tanah air? Apa guna anda tiap pagi nyanyi padamu negeri, aku berjanji, sambil lari-lari. Prett...Apa anda tak malu, hah?’ marinir itu hanya terdiam. Tak bisa bicara dia. Si mbah Man malah lebih berani lagi. ‘mati sekarang atau esok sama saja. Lebih baik bunuh saja sekarang’ tantangnya pada marinir. Senjata laras panjang milik si marinir itu diarahkan sendiri oleh mbah Man ke dadanya. Meminta ditembak. Haha. Wis, pokoknya seru kemarin” cerita Didit mengenang aksi heroiknya bersama kawan-kawannya sesama asongan. Kami dibuatnya terkagum-kagum oleh ceritanya. Cerita yang sedikit propokatif. Tapi mengesankan, karena ia membawakannya setangah berparodi.

Pedagang asongan memang dilarang berjualan di dalam stasiun, maupun di kereta, sejak PT. KAI berganti direktur utamanya, yang sekarang dipegang oleh pak Jonathan, atas instruksi menteri BUMN, Dahlan Iskan. Perombakan manajemen banyak dilakukan. Inovasi untuk membuat kereta api nyaman diterapkan. Sayangnya, solusi untuk pedagang asongan tidak diberikan. Tak heran jika beberapa pedagang asongan masih nekat menjajakan dagangan dalam kereta. 

“Lah kita mau cari makan di negeri sendiri kok dilarang. Kalau emang dilarang kenapa gak dari dulu? Itu loh, si mbah Man, pedagang veteran. Sejak jaman Belanda ia dagang di kereta. Tak pernah tuh dilarang. Kok sekarang, sudah merdeka, malah dilarang. Pemerintah macam apa ini? kalau emang dilarang, yah diberikan solusi dong? Gak kok dibiarkan gini. Kita ini akhirnya merasa dijajah bangsa sendiri. Dan itu lebih sakit. Iya gak, mas?” lanjut Didit, sambil memandang ke arahku. Paijo tersenyum. Seakan berpesta melihatku disindir. Padahal aku tak merasa demikian. “Iya mas, lanjutkan!! Merdeka!!” ucapku menyemangati. Sambil melirik Paijo dengan rasa lega. “Harus!! Dan mbah Legiman inspirasi kami. Merdeka!! Selama kami mencari rejeki halal. Kami tak takut mati. Kami hanya takut anak istri kelaparan di rumah. Apapun yang menghadang, kami tak takut. ini negeri kami. orang mencari rejeki halal kok dilarang. Kecuali kami pencopet, pencuri, penjambret, dilarang itu wajar. Selama benar, kami wani tok!! Sebenarnya ini akal-akalan saja biar restorasi kereta bisa laku. Ini intrik politik. Kami tau itu. rakyat kecil sekarang gak bisa dibodohi. Rakyat sudah pintar!!” lanjut Didit penuh semangat. Lalu ia berdiri dan pamit hendak turun di stasiun Mojokerto.

Perjalanan kami tak terasa sudah hampir berakhir. Paijo masih terlihat meneruskan perbincangan dengan Sarjono. Agaknya ia penasaran dengan fenomena yang diceritakan Didit tadi. “Tuh, begitu seharusnya tugas mahasiswa juga. Gak kok cuma bikin komunitas rea-reo saja. Bener gak mas?” tanya Paijo pada sarjono. Dengan menoleh ke arahku. Melihat sinis, memojokkanku. 

Kereta tiba di stasiun Krian. Aku dan Paijo berpamitan pada Sarjono, si profesor pengasin telur. Tanah basah menyambut kami ketika turun dari kereta. Agaknya hujan baru saja menginjakkan rintiknya di bumi Krian. Layar HP memunculkan angka 22:18, sudah lumayan malam untuk kesibukan di stasiun kecil ini. Nampaknya kereta Dhoho yang kami tumpangi tadi adalah kereta terakhir yang berhenti di stasiun Krian malam ini. 

Paijo merangkul pundakku. Selalu seperti itu saat ia merasa menang. Seperti seorang kakak menenangkan hati adiknya. Dan ini pula yang membuatku tak bisa marah padanya. Ia seakan menunjukkan bahwa semua sindirannya padaku hanya untuk menyentil kesadarkanku. Sambil berjalan ia berbisik “tadi waktu di perpustakaan Bung Karno, aku berjumpa dengan kedua pemuda sok yang ada di dalam kereta, masih ingat wajah kedua pemuda itu kan?” Paijo melempar senyum. “Loh, jadi kau tadi ke perpustakaan? Kok aku tak melihatmu?” balasku penasaran. “Haha, ya jelas gak melihatku. Wong saat kau masuk, aku sembunyi diantara rak buku. Hahaha!!” seloroh Paijo sambil berlari. Aku mengejarnya. “Jancuk’an koe, Jo!! Asu tenan!!” umpatku. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar