“Sudah, kau tunggu sini saja” kata Paijo padaku begitu
kereta berhenti di Stasiun Blitar. “Loh, jadi kau membawaku sejauh ini hanya
untuk menemanimu dalam kereta, dan setibanya kau hanya menyuruhku tuk menunggumu
di peron stasiun?” tanyaku kesal. “Lah memangnya aku mengajakmu? Ndak toh?” sangkalnya. “Tapi kan waktu
pamit tadi kau bilang gini : Aku mau ke
Blitar, kalau mau ikut bayar sendiri. Gitu kan, Jo?” Belaku. Tapi mungkin
kalimat pembelaanku sudah tak digubrisnya lagi. Ia sudah berjalan
membelakangiku. “Loh, Cuma pamitan, bukan?” sangkalnya dari kejauhan, dengan
menolehkan kepalanya ke belakang. Ternyata dia masih mendengarku. Akhirnya
kusadari, berdebat dengannya tak mungkin menang. “Oke aku tunggu disini” kataku
seperti berbicara dengan diri sendiri. Paijo nampaknya tak mendengar lagi. Ia
sudah berlalu tanpa menolehku lagi.
“Ah, biar dia dengan dunianya sendiri. Menunggu disini
tak begitu buruk” pikirku sambil menuju warung kopi dekat stasiun. Paijo
mungkin memang ingin sendiri hari ini. Bodohnya aku saja yang terburu ikut
dengannya. Dasar Paijo. Ia pernah bercerita padaku bahwa Kota Blitar adalah
tempat istimewa baginya. Di kota ini Paijo bertemu dengan kekasih hatinya,
Painem, yang lantas menghilang dari kehidupannya sebelum Paijo mengungkapkan
perasaannya. Pantas saja ia menyuruhku menunggu disini. Agaknya ia tak ingin
diganggu olehku. Paijo mungkin ingin menikmati kesendiriannya bernostalgia
dengan bayangan pujaan hatinya itu. “Ah, aku jadi korban Paijo” pikirku
menyadari Paijo menjebakku untuk merasakan kesendirian sepertinya. “Kau memang jancuk’an, Jo” umpatku.
Ah, duduk sendiri membuat pikiranku melayang tak karuan.
Tapi kopi hitam ini membuatku mengingat kejadian di kereta tadi. Dan mungkin hitamnya
kopi yang sering diminum Paijo juga yang membuatnya suka berpikiran aneh-aneh.
Cenderung negatif.
“Coba lihat dua pemuda itu” kata Paijo dalam kereta tadi
“Iya, kenapa? Ada yang salah?” jawabku enteng
“Coba perhatikan lagi” katanya.
Aku memperhatikan lagi dua pemuda di kursi samping. Tidak
ada yang salah. Dua pemuda berkacamata sepertiku. Keduanya memakai headset di
telinga. Yang satu memegang tablet ukuran 8 inchi. Satunya lagi membaca buku ‘Sepuluh Jurus Terlarang’. “Entah apa
yang terlarang. Sudah dilarang kok dibaca?”pikirku. Dan, beberapa kali pemuda
itu terlihat bercakap-cakap dengan gadis cantik berkerudung sebaya denganku
yang duduk di depan kedua pemuda itu. Agaknya ingin berkenalan.
“Tak ada yang aneh, Jo. Apa bukunya itu?” jawabku heran.
Mencoba menerka apa isi pikiran Paijo
“Ya pantas kau tak merasa aneh. Kau sendiri juga sering
seperti itu” Jawabnya sinis
“Seperti itu bagaimana, Jo?”
“Ah, kau ini. Makanya jadi orang itu yang punya kepekaan
sosial. Katanya saja kuliah di jurusan sosial” ucapan Paijo semakin membuatku
kesal. Selalu saja ia sangkutkan dengan latarbelakangku. Apa dia lupa dia
sendiri juga lulusan sosial politik? Belum sempat aku membantahnya, ia sudah
meneruskan kalimatnya lagi.
“Kau lihat lagak pemuda itu. Pake tanya-tanya soal kuliah
segala pada mbak cantik itu. Huh. Lagaknya, wong
niatnya pengen kenalan saja”
cerucusnya dengan nada kesal
“Hahaha... Jo,
Paijo. Bilang saja kau iri tak bisa berkenalan dengan mbak cantik itu. Haha”
ledekku puas.
“Gundulmu!! Buat apa kenalan dengan modus gak bermutu
seperti itu. Kalau aku langsung saja gak pake
embel-embel. Bawa-bawa latarbelakang
mahasiswa segala. Huh. Menjijikkan. Coba lihat lebih jernih lagi. Setelah
berbasa-basi dengan mbak cantik, mereka mengeluarkan tablet, HP, dan buku. Ini
apalagi? Apa kau tak melihat kekonyolan?”
“Haha. Kau menyuruhku berpikiran jernih. Kau sendiri tak
sadar, kau itu yang berpikir kotor, Jo. Sudahlah. Suka-suka mereka toh mau ngapain. Wong hak mereka. Kok kamu yang repot?”
“Dasar mahasiswa. Makin lama makin koplak. Atau emang hanya orang berkacamata sepertimu saja yang koplak. Suka-suka mereka bagaimana kau
itu. Ini bukan kendaraan pribadi. Ini kereta ekonomi. Transportasi umum, kawan.
Penumpangnya ya orang umum, umumnya wong
cilik. Ya harus mengikuti norma umum. Baru saja jadi mahasiswa, lagaknya. Coba
bayangkan. Sedari tadi banyak pemuda sebaya denganmu wira-wiri di lorong
kereta. Ada yang menyapu kolong kursi, ada yang mengamen, ada yang jualan
berbagai macam makanan, minuman, dsb. Kau tak lihat? Mereka tak seberuntung
kedua pemuda itu. Apa kau tak berpikir bahwa tingkah mereka menimbulkan
kecemburuan sosial?” gerutu Paijo
“Iya, kecemburuanmu lebih tepatnya. Haha”
“Kau ini, susah sekali diajak berpikir. Kau ini
mahasiswa, harus tau soal ini. Coba perhatikan lagi. Seandainya .....” Paijo
berceramah panjang lebar. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tak begitu
menggubrisnya. Semakin lama semakin menyebalkan pembicaraannya. Betapa tidak,
ia mulai membawa-bawa nama mahasiswa untuk menyemprotku. Dikiranya aku seburuk
manusia yang tak punya kepedulian. Merasa tersinggung, aku meninggalkannya.
Pura-pura ke toilet kereta. Aku berjalan menuju gerbong paling belakang.
Kududukkan tubuhku di lantai kereta, tepatnya di lantai samping mulut pintu
kereta. Aku tak kembali ke kursiku hingga kereta tiba di Stasiun Blitar.
***
Kopi yang kupesan sudah mendingin. Jenuh juga menunggu
Paijo di warung ini. Satu dua orang keluar masuk warung. Memesan kopi. Berbincang
sejenak atau hanya melempar senyum. Kubayar uang kopi ini pada pemilik warung,
wanita setengah baya yang antusias ketika bercerita panjang lebar tentang
wisata di Blitar, dengan berbagai sejarah dan mitosnya yang entah kebenarannya.
Padahal baru saja aku menanyainya satu pertanyaan. Tapi ia jawab dengan cerita.
Mungkin itu gaya khasnya untuk menarik pelanggan.
Berjalan kaki sendirian di kota yang nampak asing bagiku
sungguh menimbulkan perasaan beragam. Antara kenikmatan, dan juga kegelisahan. Cinta
dan benci di saat yang sama. Yang menyebalkan, adalah mata-mata yang berpapasan
denganku. Seperti hendak menelanjangiku dengan kasarnya. Mata orang-orang yang
memandangku dengan aneh. Mungkin bagi mereka aku alien. Ah mungkin hanya
perasaanku saja. Barangkali bukan mereka yang mengawasiku penuh curiga, tapi
akulah yang mencurigai mereka.
Langit Blitar siang ini nampaknya mendukung perjalanan
kakiku menyusuri pedestarian. Mendung memayungiku menambah kenikmatan berjalan
kaki. Kata “kenikmatan” menjadi terasa ampuh sebagai pembelaan seorang pelancong
dengan uang pas-pasan dan cenderung kurang. Sambil berjalan, aku mengawasi tiap
tempat-tempat keramaian, barangkali kupergoki Paijo. Tapi sepanjang jalan dan
tempat-tempat yang kulalui, tak ada tanda-tanda Paijo.
Aku menyusuri alun-alun, terminal wisata, makam Sang
Proklamator, dan masuk ke perpustakaan Bung Karno. Lumayan juga untuk melepas
kejenuhan mencari Paijo. Tak ada tanda-tanda Paijo disini. Akhirnya jenuh juga
membaca buku-buku sejarah. Aku beranjak dan masuk ke museum yang menyimpan
foto-foto presiden pertama Indonesia itu. Tetap saja, membosankan dan
tanda-tanda keberadaan Paijo tak berhasil kutemui. Aku menelusuri jalanan lagi
pada akhirnya. Tapi mendung semakin menghitam. Kilatan cahaya menghiasi langit.
Tetes demi tetes air mulai turun. Nampaknya mendung sudah tak mampu menahan tangisnya.
Segera kupercepat langkah. Beruntung di depan terlihat menara masjid. Meski
terlihat agak jauh jika ditempuh pejalan kaki, tetap saja akan kutuju. Sebelum
hujan benar-benar turun, baiknya berlari menuju ke sana. Daripada harus
berteduh di emperan toko dengan kebosanan yang menyebalkan, tanpa bisa
membaringkan tubuh seperti saat berteduh di masjid.
***
“Kau ini kemana saja. Disuruh menunggu disini malah keluyuran” ucap Paijo dengan suara yang
tinggi. Terdengar seperti orang marah. Ia berdiri di depan stasiun dengan kedua
tangannya disilangkan di dada. “Sebentar lagi sudah tertinggal kereta kau!!”
tambahnya.
“Lah hak-ku toh. Kaki-kakiku. Terserah aku mau melangkah kemana!!”
jawabku tak ingin kalah.
“Yo hakmu emang.
Tapi tiket keretanya kau yang bawa!! Kau tertinggal kereta, aku juga
tertinggal. Koplak!! Sudah buruan
sini”
“Salah sendiri tiket dititipkan” gerutuku. Paijo tak
menjawab. Mungkin terlalu lelah meladeniku. “Haha, akhirnya aku bisa bikin
Paijo kesal” pikirku.
Seorang pedagang telur terlihat sibuk menyiapkan
telur-telur yang tertumpuk rapi di atas trim. Ia membagi-bagi tumpukan trim
itu. Mungkin agar mudah meletakkannya di rak barang dalam kereta nanti. Syukurlah
kereta datang terlambat. Aku jadi merasa menang atas perdebatan Paijo. Coba jika
kereta itu tepat waktu, barangkali Paijo memarahiku semalaman gara-gara aku
datang ke stasiun lebih 10 menit dari jadwal kereta.
ilustrasi oleh : Rizky |
Paijo tak tenang duduk di kursi tunggu penumpang di peron
stasiun. Ia langkahkan kaki mendekati pedagang telur itu. Baru saja Paijo
berbincang dengan pedagang telur, kereta sudah datang. Pedagang itu terlihat
cekatan memasukkan telur-telurnya ke dalam kereta. Sementara aku mencari-cari
tempat duduk yang sesuai dengan nomor tiket. Pedagang telur itu masih sibuk
meletakkan tumpukan trim telurnya di rak barang, rak yang terbuat dari semacam
baja stainless yang menjulur
sepanjang gerbong tepatnya di atas kursi penumpang. Tempat duduk yang kucari
sudah kutemukan. Paijo menyusul kemudian.
“Loh disini juga mas?” sapa Paijo. Pedagang telur itu
ternyata mendapat tiket dengan nomor kursi bersebelahan dengan Paijo.
Perbincangan yang sempat terpotong pun kembali dilanjutkan. Nampaknya mereka
berdua mempunyai kecocokan. Perbincangan pun menjadi panjang lebar mulai dari
masalah dunia telur hingga masalah politik Indonesia menjelang pemilu, bahkan
merembet ke dunia lain, tepatnya dunia para jin. Keberadaanku sedari tadi
agaknya tak dianggap oleh mereka berdua. Aku hanya menyimak mereka berbincang.
Tapi menyimak mereka juga tak begitu membosankan. Tak buruk juga. Pedagang
telur itu jago debat ternyata. Beberapa kali ia menyangkal pendapat Paijo yang
dirasa kurang pas. Ini bagian yang kusuka. Kadang sesekali aku ikut tertawa,
dan sengaja kukencangkan, saat Paijo diserang pedagang telur itu. Dan Paijo
melirikku dengan sinis. Belakangan kuketahui nama pedagang itu Sarjono. Sarjono
yang tak pernah mendapat gelar sarjana. Sarjono, si profesor pengasin telur.
Begitulah ia menyebut dirinya sendiri. Ironis.
Waktu bergulir secepat laju kereta. Matahari mulai
menenggelamkan diri di ufuk. Kereta berjalan membelah malam. Tapi perbincangan
dalam kereta, tepatnya di blok kursiku semakin seru saja. Sarjono tak pernah
mau kalah mengungkapkan argumentasinya. Beberapa pedagang asongan menyelingi
perbincangan, menyapa Sarjono. Keseringannya bolak-balik dari Blitar ke
Surabaya untuk mengulak telur membuatnya dikenal banyak para pedagang asongan
kereta.
Seorang pedagang asongan ikut nimbrung dalam perbincangan
ini. Kebetulan kursi depanku kosong.
“Nah ini dia, ke mana saja kau? lama tak jumpa” sapa
Sarjono pada Didit, pedagang asongan itu.
Didit tersenyum, “yah beginilah. Beberapa hari ini ikut
teman-teman memperjuangkan nasib asongan”
“Loh, belum selesai?”
“Selesai bagaimana. Lah wong kemarin lusa malah para marinir yang ikut menghadang. Para
asongan tak boleh lagi naik kereta dari stasiun Jombang. Beberapa teman memilih
naik dari stasiun-stasiun kecil. Lah ini negara apa? Kami cari makan, di negara
sendiri, kok dilarang. Apa maksudnya ini? Para marinir, yang harusnya menjaga
keutuhan NKRI, kok malah melawan rakyat sendiri. Rakyat yang harusnya diberikan
rasa aman kok malah diintimidasi. Ini yang goblok siapa?”
“Oh, begitu. Terus kau kok masih bisa melenggang di
kereta. Naik dari stasiun Jombang pula?” tanya Sarjono penasaran. Paijo hanya
terlihat menyimak. Sama sepertiku. Seorang kakek tua berjalan menyusuri gerbong
menawarkan nasi bungkus. Kakek tua itu hanya tersenyum melihat wajah-wajah yang
tak asing baginya saat melintasi kursi kami. Dan berlalu.
“Nah, itu mbah Legiman, kemarin juga ikut berjuang”
ungkap Didit sambil menunjuk kakek yang barusan melintas itu. “Halo mbah!!”
sapa Didit. “Iyo woy, halo!!” jawab si mbah. “Terus, terus?” Selidik Sarjono
masih penasaran. “Aku bilang pada marinir itu : ‘silahkan saja pak, kalau mau
bunuh saja saya’. aku tantang dia. Aku buka bajuku. ‘Ini, silahkan tembak
dadaku. Daripada hidup dan pulang tanpa membawa apa-apa. Lebih baik saya mati.
Iya kalau anda sudah jelas dapat gaji tiap bulannya. Lah saya. saya hanya ingin
memenuhi kewajiban saya sebagai suami. Kami tak takut mati. Kami hanya takut
anak istri kelaparan di rumah. Lah kalau anda hadang layaknya anda penjajah,
kami harus hidup dimana lagi? Wong marinir
kok kerjaannya malah gini. Mana janji
setia jabatanmu? Setia membela tanah air? Apa guna anda tiap pagi nyanyi padamu
negeri, aku berjanji, sambil lari-lari. Prett...Apa anda tak malu, hah?’
marinir itu hanya terdiam. Tak bisa bicara dia. Si mbah Man malah lebih berani
lagi. ‘mati sekarang atau esok sama saja. Lebih baik bunuh saja sekarang’
tantangnya pada marinir. Senjata laras panjang milik si marinir itu diarahkan
sendiri oleh mbah Man ke dadanya. Meminta ditembak. Haha. Wis, pokoknya seru
kemarin” cerita Didit mengenang aksi heroiknya bersama kawan-kawannya sesama
asongan. Kami dibuatnya terkagum-kagum oleh ceritanya. Cerita yang sedikit
propokatif. Tapi mengesankan, karena ia membawakannya setangah berparodi.
Pedagang asongan memang dilarang berjualan di dalam
stasiun, maupun di kereta, sejak PT. KAI berganti direktur utamanya, yang
sekarang dipegang oleh pak Jonathan, atas instruksi menteri BUMN, Dahlan Iskan.
Perombakan manajemen banyak dilakukan. Inovasi untuk membuat kereta api nyaman
diterapkan. Sayangnya, solusi untuk pedagang asongan tidak diberikan. Tak heran
jika beberapa pedagang asongan masih nekat menjajakan dagangan dalam kereta.
“Lah kita mau cari makan di negeri sendiri kok dilarang.
Kalau emang dilarang kenapa gak dari
dulu? Itu loh, si mbah Man, pedagang veteran. Sejak jaman Belanda ia dagang di
kereta. Tak pernah tuh dilarang. Kok sekarang, sudah merdeka, malah dilarang.
Pemerintah macam apa ini? kalau emang
dilarang, yah diberikan solusi dong? Gak kok dibiarkan gini. Kita ini akhirnya
merasa dijajah bangsa sendiri. Dan itu lebih sakit. Iya gak, mas?” lanjut
Didit, sambil memandang ke arahku. Paijo tersenyum. Seakan berpesta melihatku
disindir. Padahal aku tak merasa demikian. “Iya mas, lanjutkan!! Merdeka!!”
ucapku menyemangati. Sambil melirik Paijo dengan rasa lega. “Harus!! Dan mbah
Legiman inspirasi kami. Merdeka!! Selama kami mencari rejeki halal. Kami tak
takut mati. Kami hanya takut anak istri kelaparan di rumah. Apapun yang
menghadang, kami tak takut. ini negeri kami. orang mencari rejeki halal kok
dilarang. Kecuali kami pencopet, pencuri, penjambret, dilarang itu wajar. Selama
benar, kami wani tok!! Sebenarnya ini
akal-akalan saja biar restorasi kereta bisa laku. Ini intrik politik. Kami tau
itu. rakyat kecil sekarang gak bisa dibodohi. Rakyat sudah pintar!!” lanjut
Didit penuh semangat. Lalu ia berdiri dan pamit hendak turun di stasiun
Mojokerto.
Perjalanan kami tak terasa sudah hampir berakhir. Paijo
masih terlihat meneruskan perbincangan dengan Sarjono. Agaknya ia penasaran
dengan fenomena yang diceritakan Didit tadi. “Tuh, begitu seharusnya tugas
mahasiswa juga. Gak kok cuma bikin komunitas rea-reo saja. Bener gak mas?” tanya Paijo pada sarjono. Dengan
menoleh ke arahku. Melihat sinis, memojokkanku.
Kereta tiba di stasiun Krian. Aku dan Paijo berpamitan
pada Sarjono, si profesor pengasin telur. Tanah basah menyambut kami ketika
turun dari kereta. Agaknya hujan baru saja menginjakkan rintiknya di bumi
Krian. Layar HP memunculkan angka 22:18, sudah lumayan malam untuk kesibukan di
stasiun kecil ini. Nampaknya kereta Dhoho yang kami tumpangi tadi adalah kereta
terakhir yang berhenti di stasiun Krian malam ini.
Paijo merangkul pundakku. Selalu seperti itu saat ia
merasa menang. Seperti seorang kakak menenangkan hati adiknya. Dan ini pula
yang membuatku tak bisa marah padanya. Ia seakan menunjukkan bahwa semua
sindirannya padaku hanya untuk menyentil kesadarkanku. Sambil berjalan ia
berbisik “tadi waktu di perpustakaan Bung Karno, aku berjumpa dengan kedua
pemuda sok yang ada di dalam kereta,
masih ingat wajah kedua pemuda itu kan?” Paijo melempar senyum. “Loh, jadi kau
tadi ke perpustakaan? Kok aku tak melihatmu?” balasku penasaran. “Haha, ya
jelas gak melihatku. Wong saat kau
masuk, aku sembunyi diantara rak buku. Hahaha!!” seloroh Paijo sambil berlari.
Aku mengejarnya. “Jancuk’an koe, Jo!! Asu
tenan!!” umpatku. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar