TUGIEZLAND

Kamis, 16 Januari 2014

Gadis Berpayung Mendung Senja (5)



“Sayang, pagi t’lah menjelang. Tidakkah kau menjemput sinar?” ucap bidadari itu padaku, selalu seperti itu hampir tiap pagi. Sayang, yah, sayang. Kata sayang tak lagi berkisah pada keraguan senja. Kata sayang bukanlah merujuk pada bayangan nun jauh di sana. Sayang, kata itu tak lagi mewakili gadis berpayung mendung senja. Dia telah membuatku kehilangan sesuatu yang belum pernah sekalipun kumiliki. Yah, kata sayang untuknya redup termakan usangnya kegetiran. “Bagaimana mungkin kau masih mengiang-ngiang senja?” sergah suara dari dapur. Ia membawakanku teh hangat, sehangat senyumnya di tiap pagi. Tapi tidak untuk pagi ini. Manyun menggelayut hiasi rona bibirnya.

“Ah, tidak. Aku, aa.. a.. aku hanya mencoba melawan diriku sendiri, sayang. Terima kasih untuk semuanya” jawabku tergagap. Berat sekali tubuhku ini untuk kuajak beranjak dari ranjang bertabur mimpi. Matahari mulai meninggi. Memanggilku tuk segera berlalu menjemput sinarnya. Bergelayut dengan kerasnya hidup di luar sana. Menyingsingkan lengan, meninggalkan kenyamanan kamar mimpiku. Dan, bidadari yang dikirimkan bulan untukku malam lalu, selalu berusaha menyemangatiku. “Terima kasih” ucapku lagi. 

“Engkau terlalu banyak berterima kasih. Aku belum sekalipun melakukan apa-apa untukmu?” tolaknya. “Tapi ini lebih dari cukup, sayang” ucapku. “Tapi aku . . .” belum selesai dia membantah, mulutnya sudah kututup. “Terima kasih untuk semuanya. Kau telah menyadarkanku untuk hidup dalam siang atau malamku. Bukan dalam keraguan senja, antara siang-malam. Kau membukakan jendelaku di tiap pagi agar ku mengejar cahaya. Dan menutup selambuku di tiap malam. Agar ku yakin akan mimpi bahwa esok cahaya mentari kan datang menghapus kegelapan. Terima kasih, sayang”. Dia hanya melongo. Pipinya memerah. Mulutnya menganga hendak berucap tapi tak sepatah kata pun keluar darinya. 

“Aku hanya berharap, kau tak lagi memikirkan masalalumu” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Wajahnya menunduk. Ia berada di sampingku, saat aku duduk di bawah pohon rindang di atas bukit, seperti biasa yang kulakukan kala senja. “Aku hanya suka momen ini” belaku mencoba meyakinkan. “Tapi kau terlihat menerawang jauh kedalam masalalumu. Pada gadis yang menghampirimu tiap senja dengan payung mendungnya itu” nadanya agak meninggi. Ia membuang muka dariku. “Sayang, aku hanya suka momen pergantian waktu ini. Banyak hal yang dapat kupelajari disini. Dan, masalalu itu, ia tak kan pernah terulang. Gadis itu takkan pernah lagi kembali seperti mendung melepas debit airnya dan hilang tak terbekas. Sayang, aku...” suaraku melemah. Tanganku menyentuh punggung jemarinya. Berharap dapat meyakinkan. Entah, aku sendiri tak yakin ini bisa meyakinkannya. “Setiap orang punya masalalu, sayang” suara itu keluar dengan susah payah. Setelah itu, tak ada lagi suara yang keluar. Hening.


***

Gadis berpayung mendung senja :

“Senja memang tak seindah yang ada di Bumi. Meski bintang disini jauh lebih besar dari Matahari. Entahlah, planet ini mempunyai ranah yang hampir sama di tiap permukaannya. Oh, tapi bintang ini selalu punya cara tuk menghiburku. Planet dingin ini, mampu dikalahkannya hingga hangat terasa menyelimutiku. Meski tetap, dataran salju kokoh membentang di tiap permukaan”.

“Kadang, aku benar-benar merindukan suasana di Bumi. Diam-diam aku terbang keluar dari galaksi ini saat bintangku terlelap. Hanya beberapa jarak kecepatan cahaya aku melambung, tak berani lagi kuteruskan perjalananku. Aku menampar pipiku sendiri, menyadarkan bahwa semua masalalu itu sangat menyakitkan. Dan aku tak boleh sedikitpun memikirkannya lagi. Tapi tetap, terkadang aku hampir saja mendarat di Bumi. Lalu secepatnya kusadari dan kembali ke galaksi tempatku tinggal. Jejakku mungkin membuat resah penghuni Bumi. Api menyembur dari kakiku. Saat aku tiba-tiba berhenti lalu terbang kembali ke angkasa menuju galaksi tempat tinggalku. Seperti mobil sport mengeluarkan NOS-nya”.

“Duhai, masih saja aku mengenang perpisahan menyakitkan itu. bukankah aku menemukan bahagiaku disini? Dengan bintang besar yang selalu berusaha menuruti setiap keinginanku. Dengan cahaya senja yang jauh lebih terang menghiasi planetku. Dengan berbagai harapan yang hampir pasti terwujudkan. Dan, dengan kebanggaan silaunya yang dapat kuceritakan pada mama, dengan kawan-kawannya sesama bidadari di galaksi Stella. Tidakkah aku bahagia disini? Entahlah. Mungkin aku perlu banyak merenungi lagi tentang arti bahagia. Karena, segala kemewahan di tempat baruku ini, masih menyisakan suatu kekosongan dalam sudut bagian tubuhku. Entah dimana. Aku masih merasa kehilangan sesuatu dalam hidupku, yang entah itu apa”’. 

***



Pemuda penanti senja :

Ada yang berbeda pada senja kali ini. Bukan hanya karena aku ditemani bidadari yang selalu menyemangatiku ini. Tapi, memang benar-benar berbeda. Bidadari disampingku terlihat khawatir. Cahaya merah merona menghiasi langit. Ini memang mengerikan. Cahaya surya sangat berbeda dari biasanya. Bukan lagi kuning kemerahan khas senja. Tapi merah, benar-benar merah yang mencolok. 

“Sayang, ada apa gerangan?” Tanyanya mencairkan keheningan yang sempat tercipta tadi. Tangannya mencengkram lenganku erat. Duduknya ia rapatkan dengan gigi menggigit bibir bawahnya. “Tidak ada apa-apa sayang, tenanglah” ucapku mencoba menenangkan. Meski aku sendiri khawatir. “Tapi langit tak seperti biasanya?” Aku tak menjawabnya. Kupeluk tubuhnya. Kuajaknya pulang.

Malam mulai menutup hari. Langit merah merona kala senja tadi terhapus pekatnya malam. Di sini, dalam kamar mimpi ini. Aku berbaring dengan mata tak mampu kupejamkan, menatap langit-langit kamar. “Ada apa?” Pikirku mengingat kejadian senja tadi. Baru kali ini aku melihat senja semerah apel Washington. Memang, di masa kecilku aku pernah melihat matahari memerah saat senja, tapi tak semerah senja tadi. “Ada apa?” Pertanyaan itu menggema, membisingkan pikiranku.

“Oh, mungkinkah?” Dugaku. Tidak, tidak. Jangan lagi membayangkannya. Kenangan itu menyakitkan. Ia harus hilang. Bidadari yang dikirim bulan malam lalu, sungguh membahagiakan. Tak boleh kurusak sendiri kebahagiaanku hanya oleh bayangan semu. Aku hidup dalam kenyataan, bukan alam mimpi. Tak boleh lagi kesemuan bayangan itu meracuniku. “Mungkinkah ia datang?” Suara lain meracuni pikirku. Aku menampar pipiku sendiri. “Tidak, jangan, jangan” aku tiba-tiba histeris. Bidadari di sampingku terkaget dan melonjak dari tidurnya. “Sayang, sayang. Tenanglah. Tenangkan dirimu, sayang... “bidadari itu mencoba menenangkanku. “Maaf sayang, aku hanya....” Dia menunduk mendengar permintaan maafku. “Kau memikirkannya lagi?” Sergahnya tanpa menoleh. “Maafkan aku” ucapku lagi, kali ini sambil memeluknya. Tubuhnya tetap kaku menegaskan kemarahan. “Aku hanya khawatir kejadian tadi” belaku. Terdengar konyol di saat seperti ini. Biarpun begitu aku tetap meneruskan. “Aku khawatir kau semakin tak yakin denganku karena kejadian senja tadi. Entahlah, aku tak punya cara lagi meyakinkanmu. Maafkan aku” nadaku melemah. “Aku hanya ingin kau hidup di masa ini, bukan masalalumu” kata-kata akhirnya keluar dari mulutnya, meski sangat pelan, hampir tak terdengar. “Aku sangat berterima kasih atas kehadiranmu. Dan selalu berusaha meyakinkanmu. Tapi inilah batasanku. Usahaku mungkin masih belum mampu meyakinkanmu. Terlebih dengan kejadian tadi. Maafkan aku, sayang. Aku sudah mencoba” suaraku perlahan melemah. Aku tak berani menatap wajahnya. “Sudahlah, asal mulai saat ini kau tak lagi berdiri di atas bukit menanti senja” dia mengultimatumku. Aku hanya mengangguk. Tak ada lagi kata yang mampu keluar dari mulutku. “Terima kasih” suara itu tertahan di kerongkonganku. Dalam hati, aku berharap dia mendengarku. 

Pergi ke- :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar