“Sayang, pagi
t’lah menjelang. Tidakkah kau menjemput sinar?” ucap bidadari itu padaku,
selalu seperti itu hampir tiap pagi. Sayang, yah, sayang. Kata sayang tak lagi
berkisah pada keraguan senja. Kata sayang bukanlah merujuk pada bayangan nun
jauh di sana. Sayang, kata itu tak lagi mewakili gadis berpayung mendung senja.
Dia telah membuatku kehilangan sesuatu yang belum pernah sekalipun kumiliki.
Yah, kata sayang untuknya redup termakan usangnya kegetiran. “Bagaimana mungkin
kau masih mengiang-ngiang senja?” sergah suara dari dapur. Ia membawakanku teh
hangat, sehangat senyumnya di tiap pagi. Tapi tidak untuk pagi ini. Manyun
menggelayut hiasi rona bibirnya.
“Ah, tidak. Aku, aa..
a.. aku hanya mencoba melawan diriku sendiri, sayang. Terima kasih untuk semuanya”
jawabku tergagap. Berat sekali tubuhku ini untuk kuajak beranjak dari ranjang
bertabur mimpi. Matahari mulai meninggi. Memanggilku tuk segera berlalu
menjemput sinarnya. Bergelayut dengan kerasnya hidup di luar sana.
Menyingsingkan lengan, meninggalkan kenyamanan kamar mimpiku. Dan, bidadari
yang dikirimkan bulan untukku malam lalu, selalu berusaha menyemangatiku.
“Terima kasih” ucapku lagi.
“Engkau terlalu
banyak berterima kasih. Aku belum sekalipun melakukan apa-apa untukmu?”
tolaknya. “Tapi ini lebih dari cukup, sayang” ucapku. “Tapi aku . . .” belum
selesai dia membantah, mulutnya sudah kututup. “Terima kasih untuk semuanya.
Kau telah menyadarkanku untuk hidup dalam siang atau malamku. Bukan dalam
keraguan senja, antara siang-malam. Kau membukakan jendelaku di tiap pagi agar
ku mengejar cahaya. Dan menutup selambuku di tiap malam. Agar ku yakin akan
mimpi bahwa esok cahaya mentari kan datang menghapus kegelapan. Terima kasih,
sayang”. Dia hanya melongo. Pipinya memerah. Mulutnya menganga hendak berucap
tapi tak sepatah kata pun keluar darinya.
“Aku hanya
berharap, kau tak lagi memikirkan masalalumu” ucapnya pelan, hampir tak
terdengar. Wajahnya menunduk. Ia berada di sampingku, saat aku duduk di bawah
pohon rindang di atas bukit, seperti biasa yang kulakukan kala senja. “Aku
hanya suka momen ini” belaku mencoba meyakinkan. “Tapi kau terlihat menerawang
jauh kedalam masalalumu. Pada gadis yang menghampirimu tiap senja dengan payung
mendungnya itu” nadanya agak meninggi. Ia membuang muka dariku. “Sayang, aku
hanya suka momen pergantian waktu ini. Banyak hal yang dapat kupelajari disini.
Dan, masalalu itu, ia tak kan pernah terulang. Gadis itu takkan pernah lagi
kembali seperti mendung melepas debit airnya dan hilang tak terbekas. Sayang,
aku...” suaraku melemah. Tanganku menyentuh punggung jemarinya. Berharap dapat
meyakinkan. Entah, aku sendiri tak yakin ini bisa meyakinkannya. “Setiap orang
punya masalalu, sayang” suara itu keluar dengan susah payah. Setelah itu, tak
ada lagi suara yang keluar. Hening.
***
Gadis berpayung mendung senja :
“Senja memang tak
seindah yang ada di Bumi. Meski bintang disini jauh lebih besar dari Matahari.
Entahlah, planet ini mempunyai ranah yang hampir sama di tiap permukaannya. Oh,
tapi bintang ini selalu punya cara tuk menghiburku. Planet dingin ini, mampu
dikalahkannya hingga hangat terasa menyelimutiku. Meski tetap, dataran salju
kokoh membentang di tiap permukaan”.
“Kadang, aku benar-benar
merindukan suasana di Bumi. Diam-diam aku terbang keluar dari galaksi ini saat
bintangku terlelap. Hanya beberapa jarak kecepatan cahaya aku melambung, tak
berani lagi kuteruskan perjalananku. Aku menampar pipiku sendiri, menyadarkan
bahwa semua masalalu itu sangat menyakitkan. Dan aku tak boleh sedikitpun
memikirkannya lagi. Tapi tetap, terkadang aku hampir saja mendarat di Bumi.
Lalu secepatnya kusadari dan kembali ke galaksi tempatku tinggal. Jejakku
mungkin membuat resah penghuni Bumi. Api menyembur dari kakiku. Saat aku
tiba-tiba berhenti lalu terbang kembali ke angkasa menuju galaksi tempat
tinggalku. Seperti mobil sport mengeluarkan NOS-nya”.
“Duhai, masih
saja aku mengenang perpisahan menyakitkan itu. bukankah aku menemukan bahagiaku
disini? Dengan bintang besar yang selalu berusaha menuruti setiap keinginanku.
Dengan cahaya senja yang jauh lebih terang menghiasi planetku. Dengan berbagai
harapan yang hampir pasti terwujudkan. Dan, dengan kebanggaan silaunya yang
dapat kuceritakan pada mama, dengan kawan-kawannya sesama bidadari di galaksi
Stella. Tidakkah aku bahagia disini? Entahlah. Mungkin aku perlu banyak
merenungi lagi tentang arti bahagia. Karena, segala kemewahan di tempat baruku ini,
masih menyisakan suatu kekosongan dalam sudut bagian tubuhku. Entah dimana. Aku
masih merasa kehilangan sesuatu dalam hidupku, yang entah itu apa”’.
Pemuda penanti senja :
Ada yang berbeda
pada senja kali ini. Bukan hanya karena aku ditemani bidadari yang selalu
menyemangatiku ini. Tapi, memang benar-benar berbeda. Bidadari disampingku
terlihat khawatir. Cahaya merah merona menghiasi langit. Ini memang mengerikan.
Cahaya surya sangat berbeda dari biasanya. Bukan lagi kuning kemerahan khas
senja. Tapi merah, benar-benar merah yang mencolok.
“Sayang, ada apa gerangan?” Tanyanya mencairkan keheningan
yang sempat tercipta tadi. Tangannya mencengkram lenganku erat. Duduknya ia
rapatkan dengan gigi menggigit bibir bawahnya. “Tidak ada apa-apa sayang, tenanglah”
ucapku mencoba menenangkan. Meski aku sendiri khawatir. “Tapi langit tak
seperti biasanya?” Aku tak menjawabnya. Kupeluk tubuhnya. Kuajaknya pulang.
Malam mulai menutup hari. Langit merah merona kala senja tadi
terhapus pekatnya malam. Di sini, dalam kamar mimpi ini. Aku berbaring dengan
mata tak mampu kupejamkan, menatap langit-langit kamar. “Ada apa?” Pikirku mengingat
kejadian senja tadi. Baru kali ini aku melihat senja semerah apel Washington.
Memang, di masa kecilku aku pernah melihat matahari memerah saat senja, tapi
tak semerah senja tadi. “Ada apa?” Pertanyaan itu menggema, membisingkan
pikiranku.
“Oh, mungkinkah?” Dugaku. Tidak, tidak. Jangan lagi
membayangkannya. Kenangan itu menyakitkan. Ia harus hilang. Bidadari yang
dikirim bulan malam lalu, sungguh membahagiakan. Tak boleh kurusak sendiri
kebahagiaanku hanya oleh bayangan semu. Aku hidup dalam kenyataan, bukan alam
mimpi. Tak boleh lagi kesemuan bayangan itu meracuniku. “Mungkinkah ia datang?”
Suara lain meracuni pikirku. Aku menampar pipiku sendiri. “Tidak, jangan,
jangan” aku tiba-tiba histeris. Bidadari di sampingku terkaget dan melonjak
dari tidurnya. “Sayang, sayang. Tenanglah. Tenangkan dirimu, sayang...
“bidadari itu mencoba menenangkanku. “Maaf sayang, aku hanya....” Dia menunduk
mendengar permintaan maafku. “Kau memikirkannya lagi?” Sergahnya tanpa menoleh.
“Maafkan aku” ucapku lagi, kali ini sambil memeluknya. Tubuhnya tetap kaku
menegaskan kemarahan. “Aku hanya khawatir kejadian tadi” belaku. Terdengar
konyol di saat seperti ini. Biarpun begitu aku tetap meneruskan. “Aku khawatir
kau semakin tak yakin denganku karena kejadian senja tadi. Entahlah, aku tak
punya cara lagi meyakinkanmu. Maafkan aku” nadaku melemah. “Aku hanya ingin kau
hidup di masa ini, bukan masalalumu” kata-kata akhirnya keluar dari mulutnya,
meski sangat pelan, hampir tak terdengar. “Aku sangat berterima kasih atas
kehadiranmu. Dan selalu berusaha meyakinkanmu. Tapi inilah batasanku. Usahaku
mungkin masih belum mampu meyakinkanmu. Terlebih dengan kejadian tadi. Maafkan
aku, sayang. Aku sudah mencoba” suaraku perlahan melemah. Aku tak berani
menatap wajahnya. “Sudahlah, asal mulai saat ini kau tak lagi berdiri di atas
bukit menanti senja” dia mengultimatumku. Aku hanya mengangguk. Tak ada lagi
kata yang mampu keluar dari mulutku. “Terima kasih” suara itu tertahan di
kerongkonganku. Dalam hati, aku berharap dia mendengarku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar