TUGIEZLAND

Senin, 30 Desember 2013

Gadis berpayung mendung senja (4)

Pemuda penanti senja :


“Sayang, kau tak kan lagi datang mengiringi senja. Aku tahu itu. Senja sepertinya benar-benar memisahkan kita seperti ia memisahkan antara siang dan malam. Dan aku yakin, bintang baru di tempat yang kau tinggali kini jauh lebih besar dari matahari di tempat yang kudiami ini. mungkin kau menemukan payung yang lebih besar lagi untuk meneduhkanmu dari penderitaan hidup. Bintang barumu sepertinya menyediakanmu banyak hal agar kau bisa tumbuh optimal. Merasakan keindahan hidup diantara berjuta kehidupan galaksi yang terus berproses mengitari poros edarnya – menuju satu cahaya sejati”. 

“Setiap harinya aku meneropong ke langit, mencari berbagai kemungkinan keberadaanmu. Tapi kau tak pernah lagi muncul dengan lugas. Kau hanya membalasku dengan sinyal cahaya kecil dari butiran air matamu. Kau tak pernah lagi menengok bumi. Tapi tak mengapa sayang, dengan itu aku tahu kau telah hidup bahagia di tempat barumu. Entah di galaksi mana”


Gadis berpayung mendung senja :

“Wahai bumi, ingin rasanya aku terbang lagi kesana. Mengiringi langkah senja bersama payung mendungnya. Aku sudah lama tak jumpa dengan pemuda penanti mentari senja. Pemuda bumi yang selalu berdiri di dekat pohon rimbun di atas bukit dengan kepala mengadah penuh harap. Aku tau, dia slalu mengirimkan sinyalnya melalui pantulan cahaya airmataku yang telah mengkristal, airmata yang kutinggalkan untuknya di waktu perpisahan itu. Aku ingat benar perpisahan itu terjadi. Hanya karena ia tak mau memilih salah satu diantara siang atau malam. Aku masih bisa merasakan betapa pahit saat aku meninggalkan bumi seiring menghilangnya siang oleh malam. Dan aku masih merasakan bagaimana aku hampa, berjalan tanpa arah hingga aku terdampar di galaksi Andromeda ini. hingga aku terlelap di atas dinginnya planet M-28 ini. lalu saat ku terbangun, sebuah bintang besar menyapaku dengan kehangatan. Ukurannya jauh melebihi matahari di galaksi bimasakti. Meski tetap, dingin menyelimutiku. Entah, karena terbiasa, aku kini tak lagi kedinginan di tempat baruku ini. Hanya, saat ini aku benar-benar merindukan pemuda itu. jika saja waktu mau menunggu sejenak, aku ingin datang lagi ke bumi hanya sekedar melihatnya sekejap mata”


Pemuda penanti senja : 

“Oh sayangku, gadis berpayung mendung senja. Kau tau, sejak kau pergi meninggalkanku seiring tenggelamnya matahari saat itu. aku merasakan kehilangan yang dalam. Aku tahu, dan aku sadar kesalahanku yang tak memilih siang atau malamku untukmu. Membuatmu terpaksa memilih meninggalkan kemunafikan bumi. Aku terus menyesali kesalahan itu Hingga akhirnya aku bertemu dengan bunga aneh yang melilitku. Lalu dia juga berlalu pergi meninggalkanku saat aku menceritakan tentangmu. Sejak saat itu, aku mencoba untuk membiasakan diri tak lagi berdiri di puncak bukit menanti senja. Tak lagi mengharap kehadiranmu hanya untuk sekedar menyapa. Aku mencoba menerima kenyataan bahwa aku hidup di Bumi untuk masadepanku. Dan kau telah menemukan galaksi baru tempat kau hidup untuk masadepanmu pula. Mungkin dengan bintang yang jauh lebih hebat dari matahari. Dan aku juga mulai menyadari, aku t’lah memilih tuk berada di waktu malam. Waktu dimana kesunyian menghembuskan kekhawatirannya melalui pori-pori. Itu pilihanku, pilihan yang terlalu terlambat”.

“Tapi aku sedikit merasa senang karena telah memilih malamku. Aku tak lagi berada dalam keraguan senja. Aku menghapus demi sedikit kenanganmu, seperti kau berlalu perlahan menghapus jejak langkahmu di bumi. Hingga kau hanya menyisakan airmata ini untukku. Aku tersadar, di sunyi malam, bulan selalu menggantikan matahari. Meski seringkali ia tak menampakkan diri dengan sempurna, bahkan bersembunyi. Tapi aku mulai terbiasa menikmatinya. Bulan hadir dengan membawakanku bidadarinya. Ia muncul tanpa berpayung sepertimu. Kehadirannya membawa kabut putih yang perlahan menyelimutiku dengan halus. Kau tahu, sayang, bidadari itu memperlakukanku seperti matahari menyentuhkan quark sinarnya pada tetumbuhan bumi. Bidadari itu menyentuhku tanpa menyentuh, melihatku tanpa memandang, dan memelukku tanpa ia mendekapkan tubuhnya. Bidadari itu juga yang meyakinkanku, bahwa esok matahari selalu datang menghapus sunyi malam. Dengannya, aku memilih malam dan memberanikan diri tuk merajut kembali mimpi-mimpi yang sempat pudar seperti memudarnya bayanganmu saat senja memisahkan kita dulu”. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar