“Naik lagi?” tanyanya dengan nada tinggi penuh penasaran,
juga kekesalan.
“Yah, hampir segala bahan baku dimonopoly para cukong
(tengkulak besar, pen). Permainan harga pada akhirnya dianggap wajar. Hukum
rimba memainkan logikanya”
“Lalu apa yang bisa kita lakukan?”
“Entahlah, saya rasa ayam pun punya rejekinya sendiri
asal ia mau mengais, berusaha terus-menerus”
“Iya, tapi ini sungguh merisaukan. Kau tak lihat, betapa
usaha kita sangat terancam. Kita di ambang jurang, sayang”
Jefri menunduk lesu. Ia menghela nafas panjang. Tubuhnya
dengan malas ia selonjorkan di kursi panjang yang ada di ruang tamu. Tangan
kanannya ditangkupkan pada kening. “Pasti masih tersisa” bisiknya. Hampir tak
terdengar.
Kenaikan harga bahan baku merica sungguh tak wajar. Baru
beberapa hari lalu, per kilonya berharga Rp. 98.000, dua hari lalu Rp. 105.000
dan pagi ini sudah pada kisaran Rp.120.000. Jefri tak habis pikir. Bagaimana
mungkin stok merica di Pabean tiba-tiba habis hanya dalam hitungan hari dan
membuat harga melambung. Ia tahu selama ini memang selalu ada pemain nakal.
Tapi kecurangan itu tak pernah separah ini. Seminggu lebih ia meliburkan para pekerjanya.
Geliat pasar tradisional menurun drastis. Berimbas pada omzet penjualannya yang
juga menurun.
Perjanjian China-ASEAN
Free Trade Area sangat berdampak pada rakyat
kecil. Para pedagang kecil, termasuk Jefri, belum siap untuk bersaing dengan
produk luar negeri. Gencarnya pembangunan pasar modern membuat pasar
tradisional mulai kehilangan kekuatan. Pasar tradisional mati suri ditinggal
konsumennya yang lebih memilih belanja ke pasar modern. Harga dan kenyamanan
yang ditawarkan jauh meninggalkan apa yang ditawarkan di pasar tradisional.
Tapi Jefri, sebagaimana pedagang kecil lainnya, tak sedikitpun mampu melawan.
Bahkan terkadang, dan lebih sering, ia juga membeli beberapa kebutuhan
keluarganya di pasar modern.
“Bagaimana mungkin kita bertahan sementara kau hanya
berselonjoran malas di atas kursi” sergah istrinya lagi.
Nayla, anak bungsunya keluar dari kamarnya sambil
menenteng buku tabungannya. Ia berjalan menghampiri ibunya. “Bu, tambahin dong. Teman-teman kalau nabung
loh banyak, bu” pintanya polos. Anak kelas dua SD itu tidak paham sama
sekali keadaan orang tuanya. Yang ia tahu, teman sekolahnya selalu menabungkan
uang dengan nominal yang lebih banyak darinya. Ia anak penurut. Uang sakunya tak pernah lebih
banyak dari uang saku temannya. Tapi
untuk urusan menabung, ia sangat berambisi untuk ikut bersaing. “Nak, gunanya menabung itu agar kita bisa berhemat.
Kita menabung itu seharusnya untuk menghemat uang jajan kita. Bukan malah minta
uang lagi, yah” ucap ibunya. Selalu seperti itu saat ia mencoba memberi pengertian pada anak bungsunya itu.
Tapi Nayla, ia hanya gadis kecil yang sulit untuk mencerna kata-kata ibunya
tersebut.
Jefri menggeliat, ia membangunkan diri dari selonjoran
malasnya. Diambilnya dompet di saku celananya. Beberapa lembar kertas bertulis
nominal angka dikeluarkannya dan disodorkan pada Nayla. Diciumlah kening gadis
kecil itu. Dielus rambut Nayla, matanya menatap penuh arti. “Sekolah yang
rajin, sayang” ucapnya menasehati. Nayla tak terlalu memperhatikan ucapan
ayahnya. Sejurus gadis kecil itu melonjak kegirangan. Ia berteriak sambil
mengipaskan uang yang baru diterimanya itu. Dengan cepat ia membenahi tali
sepatunya. Lalu Nayla berangkat sekolah.
“Kau lihat sendiri, kan? Kebutuhan anak sekarang tidak
hanya soal uang jajan, rasa gengsi sudah menjangkiti mereka. Masih beruntung
anakmu tidak terlalu menuntut aneh-aneh. Dia mudah diarahkan. Tapi kita tetap tak bisa-terus-terusan
seperti ini”
“Mau bagaimana lagi? Geliat pasar seperti kuburan? “
“Setidaknya kau masih berangkat ke pasar hari ini. Bukan
malah bermalasan!!”
“Ah, kau ini. Kau tak tahu situasi pasar. Memangnya
semudah itu? Terlebih kondisi hujan di pagi ini. Sudahlah sayang, aku tahu ini
berat bagimu. Aku sedang memikirkan cara”
“Entahlah, aku hanya ingin melihat suamiku bergairah”
ungkapnya melemah. Beberapa menit mereka terdiam. Sesekali saling berpandangan.
Jefri duduk dengan kaku. Sesekali berdiri, lalu duduk lagi. Rambutnya yang kaku
diacak-acaknya. Jefri menghela nafas panjang beberapa kali.
“Salah apa kami, sehingga situasi ekonomi seperti ini.
Orang-orang bekerja seperti dikejar setan. Maunya instan semua. Apa-apa maunya
dibikin cepat. Para istri muda tak mau memasak.
Mal-mal kebanjiran pengunjung. Pedagang kecil menjerit. Dulu, di jaman
pak Harto, katanya rakyat dikekang kemiskinan di tengah kemajuan pembangunan.
Sekarang reformasi tak banyak mengubah. Yang miskin tetap miskin. Yang kaya
makin kaya. Apa yang salah? Apa tak ada usaha perlawanan? Apa tak ada semacam
unjukrasa besar-besaran?” keluh istri Jefri dengan menunduk lesu. Sesekali
melirik Jefri dengan tajam.
“Sudahlah, sayang. Jangan mengeluh seperti itu Selama
kita yakin, rejeki tak pernah tertukar. Ayam selalu mendapat makanannya. Kita
akan tetap bertahan. Untuk hari ini aku memang tak bisa berangkat ke pasar.
Tapi semoga esok cuaca cerah bersamaan geliat pasar yang kembali bergairah” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar