TUGIEZLAND

Rabu, 18 Desember 2013

Pedagang Kecil



“Naik lagi?” tanyanya dengan nada tinggi penuh penasaran, juga kekesalan.
“Yah, hampir segala bahan baku dimonopoly para cukong (tengkulak besar, pen). Permainan harga pada akhirnya dianggap wajar. Hukum rimba memainkan logikanya”
“Lalu apa yang bisa kita lakukan?”
“Entahlah, saya rasa ayam pun punya rejekinya sendiri asal ia mau mengais, berusaha terus-menerus”
“Iya, tapi ini sungguh merisaukan. Kau tak lihat, betapa usaha kita sangat terancam. Kita di ambang jurang, sayang”

Jefri menunduk lesu. Ia menghela nafas panjang. Tubuhnya dengan malas ia selonjorkan di kursi panjang yang ada di ruang tamu. Tangan kanannya ditangkupkan pada kening. “Pasti masih tersisa” bisiknya. Hampir tak terdengar.

Kenaikan harga bahan baku merica sungguh tak wajar. Baru beberapa hari lalu, per kilonya berharga Rp. 98.000, dua hari lalu Rp. 105.000 dan pagi ini sudah pada kisaran Rp.120.000. Jefri tak habis pikir. Bagaimana mungkin stok merica di Pabean tiba-tiba habis hanya dalam hitungan hari dan membuat harga melambung. Ia tahu selama ini memang selalu ada pemain nakal. Tapi kecurangan itu tak pernah separah ini. Seminggu lebih ia meliburkan para pekerjanya. Geliat pasar tradisional menurun drastis. Berimbas pada omzet penjualannya yang juga menurun.  

Perjanjian China-ASEAN Free Trade Area sangat berdampak pada rakyat kecil. Para pedagang kecil, termasuk Jefri, belum siap untuk bersaing dengan produk luar negeri. Gencarnya pembangunan pasar modern membuat pasar tradisional mulai kehilangan kekuatan. Pasar tradisional mati suri ditinggal konsumennya yang lebih memilih belanja ke pasar modern. Harga dan kenyamanan yang ditawarkan jauh meninggalkan apa yang ditawarkan di pasar tradisional. Tapi Jefri, sebagaimana pedagang kecil lainnya, tak sedikitpun mampu melawan. Bahkan terkadang, dan lebih sering, ia juga membeli beberapa kebutuhan keluarganya di pasar modern.

“Bagaimana mungkin kita bertahan sementara kau hanya berselonjoran malas di atas kursi” sergah istrinya lagi.

Nayla, anak bungsunya keluar dari kamarnya sambil menenteng buku tabungannya. Ia berjalan menghampiri ibunya. “Bu, tambahin dong. Teman-teman kalau nabung loh banyak, bu” pintanya polos. Anak kelas dua SD itu tidak paham sama sekali keadaan orang tuanya. Yang ia tahu, teman sekolahnya selalu menabungkan uang dengan nominal yang lebih banyak darinya.  Ia anak penurut. Uang sakunya tak pernah lebih banyak dari uang saku temannya.  Tapi untuk urusan menabung, ia sangat berambisi untuk ikut bersaing.  “Nak, gunanya menabung itu agar kita bisa berhemat. Kita menabung itu seharusnya untuk menghemat uang jajan kita. Bukan malah minta uang lagi, yah” ucap ibunya. Selalu seperti itu saat ia mencoba  memberi pengertian pada anak bungsunya itu. Tapi Nayla, ia hanya gadis kecil yang sulit untuk mencerna kata-kata ibunya tersebut.

Jefri menggeliat, ia membangunkan diri dari selonjoran malasnya. Diambilnya dompet di saku celananya. Beberapa lembar kertas bertulis nominal angka dikeluarkannya dan disodorkan pada Nayla. Diciumlah kening gadis kecil itu. Dielus rambut Nayla, matanya menatap penuh arti. “Sekolah yang rajin, sayang” ucapnya menasehati. Nayla tak terlalu memperhatikan ucapan ayahnya. Sejurus gadis kecil itu melonjak kegirangan. Ia berteriak sambil mengipaskan uang yang baru diterimanya itu. Dengan cepat ia membenahi tali sepatunya. Lalu Nayla berangkat sekolah.

“Kau lihat sendiri, kan? Kebutuhan anak sekarang tidak hanya soal uang jajan, rasa gengsi sudah menjangkiti mereka. Masih beruntung anakmu tidak terlalu menuntut aneh-aneh. Dia mudah diarahkan. Tapi kita tetap tak bisa-terus-terusan seperti ini”
“Mau bagaimana lagi? Geliat pasar seperti kuburan? “
“Setidaknya kau masih berangkat ke pasar hari ini. Bukan malah bermalasan!!”
“Ah, kau ini. Kau tak tahu situasi pasar. Memangnya semudah itu? Terlebih kondisi hujan di pagi ini. Sudahlah sayang, aku tahu ini berat bagimu. Aku sedang memikirkan cara”
“Entahlah, aku hanya ingin melihat suamiku bergairah” ungkapnya melemah. Beberapa menit mereka terdiam. Sesekali saling berpandangan. Jefri duduk dengan kaku. Sesekali berdiri, lalu duduk lagi. Rambutnya yang kaku diacak-acaknya. Jefri menghela nafas panjang beberapa kali. 

“Salah apa kami, sehingga situasi ekonomi seperti ini. Orang-orang bekerja seperti dikejar setan. Maunya instan semua. Apa-apa maunya dibikin cepat. Para istri muda tak mau memasak.  Mal-mal kebanjiran pengunjung. Pedagang kecil menjerit. Dulu, di jaman pak Harto, katanya rakyat dikekang kemiskinan di tengah kemajuan pembangunan. Sekarang reformasi tak banyak mengubah. Yang miskin tetap miskin. Yang kaya makin kaya. Apa yang salah? Apa tak ada usaha perlawanan? Apa tak ada semacam unjukrasa besar-besaran?” keluh istri Jefri dengan menunduk lesu. Sesekali melirik Jefri dengan tajam.

“Sudahlah, sayang. Jangan mengeluh seperti itu Selama kita yakin, rejeki tak pernah tertukar. Ayam selalu mendapat makanannya. Kita akan tetap bertahan. Untuk hari ini aku memang tak bisa berangkat ke pasar. Tapi semoga esok cuaca cerah bersamaan geliat pasar yang kembali bergairah” []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar