Saat memulai
tulisan ini, ditemani secangkir kopi (sok keren), dalam benak saya tiba-tiba
saja terpikirkan tentang golput alias golongan putih alias absen dalam suatu
pemilu. Awalnya saya hanya ingin menulis tentang cerpen atau puisi-puisi cinta.
Tapi mungkin kopi hitam ini membuat pikiran saya keruh hingga tertarik untuk
sok mengamati masalah pemilu. Tentunya dengan pandangan pribadi saya (dan tak
patut ditiru).
Ah, mendengar
pemilu. Jujur saya sebenarnya bosan. Yah, lima tahun sekali otak saya merasa
dipaksa untuk selalu diaduk-aduk seperti kopi hitam ini. Padahal baru beberapa
tahun saya berhak ikut pemilu. Maklum, umur saya masih muda – baru beranjak
dari teenager, hehe. Tapi tiap kali
pemilu, saya merasa dipaksa memilih salah satu dari sekian calon yang akan
menjadi pemimpin negeri ini. Dan itu membuat otak saya berpikir keras karena
takut salah pilih (wong memilih pacar
saja susah – karena tak ada pilihan, sih).
Itu bagi saya. Saya membayangkan, bagaimana muternya
kepala orang tua saya, kakek-nenek, dan para tetua lainnya yang berapa kali
ikut pemilu. Mulai orde lama dengan pertempuran ideologi yang begitu dahsyat.
Di orde baru yang ‘memaksa’ mereka untuk loyal pada warna kuning. Hingga orde
reformasi yang kebingungan. Hah. Otak saya tak muat untuk sekedar membayangkan.
Dan jelas, saya juga membayangkan betapa bosannya mereka yang sejak dulu kala
dijadikan kambing ternak. Digiring ke ladang tiap paginya. Lalu dilepaskan
untuk mencari makanan sak karep’e dewe.
Dan menjelang malam. Mereka digiring lagi. Lalu bagi yang gemuk, siap dijual atau
disembelih. Yah, tiap menjelang pemilu. Janji-janji manis menggiring mereka
untuk memilih salah satu pemimpin. Usai itu, mereka dilepaskan. Menjelang
pemilu lagi, seperti itu lagi. Ah betapa bosannya. Tapi itu hanya pikiran saya
saja. Buktinya mereka sampai sekarang juga masih giat mencoblos. Masih mesem ketika dapat uang serangan fajar.
Dan masih nyaman-nyaman saja tiap lima tahun digiring ke TPS untuk mencoblos.
Bahkan sekarang ditambah ada pemilu kepala daerah. Belum lagi pemilu kepala
desa. Mungkin mereka sudah terbiasa. Jadi tak perlu pusing seperti saya. Dengan
mata tertutup pun mereka sudah bisa memilih. Apalagi kalau ada serangan fajar.
Tak perlu lagi merasa galau seperti saya saat mencoblos.
Beberapa tahun
terakhir, akhirnya saya punya pilihan baru. Tiap ada pemilu (kecuali pilihan
lurah atau kades), saya dengan mantap mencoblos lambang Komisi Pemilihan Umum
atawa KPU (pengennya sih KPK saja,
berhubung tak dicantumkan). Dengan begitu kopi saya tak perlu diaduk-aduk lagi
karena sudah mixing sama gulanya.
Anda mungkin bisa umpat saya tak punya pendirian, atau takut menanggung resiko,
atau umpatan yang lain (mungkin bisa lebih kasar) silahkan susun sendiri kata
umpatannya .................................(tempat
mengumpat). Saya punya saran : umpat saja dengan menjuluki saya sebagai seorang
“Jomblowan Negara”. Yah, anda bisa menyimpulkan saya tak punya negara. Tak
punya pemimpin, dan wajib diusir dari wilayah NKRI (saya lari kemana ya?). Loh,
tadi dianggap tak mau menanggung resiko?
Tapi kok... ternyata golput atau jomblowan negara beresiko tinggi. Dari
yang dianggap apatis lah, gak butuh negara lah, sok pinter lah, sok kaya lah,
dan sok lain lah. Dan kini Majelis Ulama Indoinesia (MUI) ikut-ikutan
mengintervensi dengan menyebut bahwa golput haram. Nah, ini dasarnya apa? Lah, kalau
misalnya anda menyuguhkan beragam makanan pada saya. Lalu saya merasa tak
tertarik dengan semua makanan tersebut lantas tidak memakannya satupun. Apakah
hukum makanan tersebut lantas jadi haram? Ini MUI membuat kesimpulan yang
dibangun dari premis seperti apa, sih?
Ah, sudahlah.
Mungkin itulah resikonya. Tapi tetap, saya akan memilih mendukung KPU.
Sampai....... sampai kapan ya?(sampek
tuwek, sampek elek, sampek matek. Ledek tuan Bonek). Yang pasti alasan saya
adalah agar tidak dianggap jomblowan negara murni – jadi masih ada sedikit
darah keturunan pendukung demokrasi. Saya akhirnya memilih KPU sebagai kekasih.
Menurut saya itu pilihan. Jadi saya masih mendukung demokrasi, bukan? Dan saya
berharap banyak pada KPU untuk mengubah tatanan pemilu Indonesia sehingga tidak
ada celah lagi untuk melakukan politik uang, politik pencitraan, politik balas
budi, dll.
Biarlah saya
dianggap penghianat bangsa. Provokator kemunduran. Apatis legiun. Indonesia KTP. Selama sistem demokrasi, proses perekrutan
kader partai, pencalonan pemimpin, serta pemilu berjalan dalam status quo-nya,
KPU akan tetap saya dukung. Betapa banyak rupiah yang dikeluarkan oleh negara tiap
hajatan pemilu. Betapa banyak pemilukada rusuh. Betapa banyak massa yang diadu
demi kepentingan segelintir orang. Betapa banyak sumber daya alam yang dikeruk
dengan sekelumit ‘bagi untung’ untuk segelintir elite demi pelicinan eksploitasi. Betapa banyak masyarakat miskin
yang diperalat. Dan betapa banyak, oh, saya tak sanggup meneruskan. Karena itu
saya memilih. Memilih untuk tidak memilih lubang yang sama. Boleh saya dibilang
jomblowan negara. Boleh saya dijuluki Indonesia KTP, tak punya negara. Tapi
pembelaan sok-sok’an ini saya persembahkan hanya untuk negara. Untuk Negara Kesatuan
Republik (yang konon katanya ‘milik
rakyat’) Indonesia. Yang justru dikuasai oleh para pembantunya. Dan yang saya
tak berhak sedikitpun untuk mengakui, sebagai warganya sekalipun. Karena NKRI –
sudah dinikahi kepentingan penguasa. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar