TUGIEZLAND

Minggu, 08 Desember 2013

Apology Jomblowan Negara (Sekelumit Paradoks)



Kalau ada istilah Islam KTP, Anda bisa mengatakan saya ini Indonesia KTP. Kenapa? Karena saya tak layak mengaku-ngaku jadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski KTP saya melegitimasi saya sebagai warga NKRI (Terus saya warga mana, lahir dan tinggal di mana ya? Anda bingung? terlebih saya).

Saat memulai tulisan ini, ditemani secangkir kopi (sok keren), dalam benak saya tiba-tiba saja terpikirkan tentang golput alias golongan putih alias absen dalam suatu pemilu. Awalnya saya hanya ingin menulis tentang cerpen atau puisi-puisi cinta. Tapi mungkin kopi hitam ini membuat pikiran saya keruh hingga tertarik untuk sok mengamati masalah pemilu. Tentunya dengan pandangan pribadi saya (dan tak patut ditiru).

Ah, mendengar pemilu. Jujur saya sebenarnya bosan. Yah, lima tahun sekali otak saya merasa dipaksa untuk selalu diaduk-aduk seperti kopi hitam ini. Padahal baru beberapa tahun saya berhak ikut pemilu. Maklum, umur saya masih muda – baru beranjak dari teenager, hehe. Tapi tiap kali pemilu, saya merasa dipaksa memilih salah satu dari sekian calon yang akan menjadi pemimpin negeri ini. Dan itu membuat otak saya berpikir keras karena takut salah pilih (wong memilih pacar saja susah – karena tak ada pilihan, sih). Itu bagi saya. Saya membayangkan, bagaimana muternya kepala orang tua saya, kakek-nenek, dan para tetua lainnya yang berapa kali ikut pemilu. Mulai orde lama dengan pertempuran ideologi yang begitu dahsyat. Di orde baru yang ‘memaksa’ mereka untuk loyal pada warna kuning. Hingga orde reformasi yang kebingungan. Hah. Otak saya tak muat untuk sekedar membayangkan. Dan jelas, saya juga membayangkan betapa bosannya mereka yang sejak dulu kala dijadikan kambing ternak. Digiring ke ladang tiap paginya. Lalu dilepaskan untuk mencari makanan sak karep’e dewe. Dan menjelang malam. Mereka digiring lagi. Lalu bagi yang gemuk, siap dijual atau disembelih. Yah, tiap menjelang pemilu. Janji-janji manis menggiring mereka untuk memilih salah satu pemimpin. Usai itu, mereka dilepaskan. Menjelang pemilu lagi, seperti itu lagi. Ah betapa bosannya. Tapi itu hanya pikiran saya saja. Buktinya mereka sampai sekarang juga masih giat mencoblos. Masih mesem ketika dapat uang serangan fajar. Dan masih nyaman-nyaman saja tiap lima tahun digiring ke TPS untuk mencoblos. Bahkan sekarang ditambah ada pemilu kepala daerah. Belum lagi pemilu kepala desa. Mungkin mereka sudah terbiasa. Jadi tak perlu pusing seperti saya. Dengan mata tertutup pun mereka sudah bisa memilih. Apalagi kalau ada serangan fajar. Tak perlu lagi merasa galau seperti saya saat mencoblos.

Beberapa tahun terakhir, akhirnya saya punya pilihan baru. Tiap ada pemilu (kecuali pilihan lurah atau kades), saya dengan mantap mencoblos lambang Komisi Pemilihan Umum atawa KPU (pengennya sih KPK saja, berhubung tak dicantumkan). Dengan begitu kopi saya tak perlu diaduk-aduk lagi karena sudah mixing sama gulanya. Anda mungkin bisa umpat saya tak punya pendirian, atau takut menanggung resiko, atau umpatan yang lain (mungkin bisa lebih kasar) silahkan susun sendiri kata umpatannya .................................(tempat mengumpat). Saya punya saran : umpat saja dengan menjuluki saya sebagai seorang “Jomblowan Negara”. Yah, anda bisa menyimpulkan saya tak punya negara. Tak punya pemimpin, dan wajib diusir dari wilayah NKRI (saya lari kemana ya?). Loh, tadi dianggap tak mau menanggung resiko?  Tapi kok... ternyata golput atau jomblowan negara beresiko tinggi. Dari yang dianggap apatis lah, gak butuh negara lah, sok pinter lah, sok kaya lah, dan sok lain lah. Dan kini Majelis Ulama Indoinesia (MUI) ikut-ikutan mengintervensi dengan menyebut bahwa golput haram. Nah, ini dasarnya apa? Lah, kalau misalnya anda menyuguhkan beragam makanan pada saya. Lalu saya merasa tak tertarik dengan semua makanan tersebut lantas tidak memakannya satupun. Apakah hukum makanan tersebut lantas jadi haram? Ini MUI membuat kesimpulan yang dibangun dari premis seperti apa, sih?

Ah, sudahlah. Mungkin itulah resikonya. Tapi tetap, saya akan memilih mendukung KPU. Sampai....... sampai kapan ya?(sampek tuwek, sampek elek, sampek matek. Ledek tuan Bonek). Yang pasti alasan saya adalah agar tidak dianggap jomblowan negara murni – jadi masih ada sedikit darah keturunan pendukung demokrasi. Saya akhirnya memilih KPU sebagai kekasih. Menurut saya itu pilihan. Jadi saya masih mendukung demokrasi, bukan? Dan saya berharap banyak pada KPU untuk mengubah tatanan pemilu Indonesia sehingga tidak ada celah lagi untuk melakukan politik uang, politik pencitraan, politik balas budi, dll.

Biarlah saya dianggap penghianat bangsa. Provokator kemunduran. Apatis legiun. Indonesia KTP. Selama sistem demokrasi, proses perekrutan kader partai, pencalonan pemimpin, serta pemilu berjalan dalam status quo-nya, KPU akan tetap saya dukung. Betapa banyak rupiah yang dikeluarkan oleh negara tiap hajatan pemilu. Betapa banyak pemilukada rusuh. Betapa banyak massa yang diadu demi kepentingan segelintir orang. Betapa banyak sumber daya alam yang dikeruk dengan sekelumit ‘bagi untung’ untuk segelintir elite demi pelicinan eksploitasi. Betapa banyak masyarakat miskin yang diperalat. Dan betapa banyak, oh, saya tak sanggup meneruskan. Karena itu saya memilih. Memilih untuk tidak memilih lubang yang sama. Boleh saya dibilang jomblowan negara. Boleh saya dijuluki Indonesia KTP, tak punya negara. Tapi pembelaan sok-sok’an ini saya persembahkan hanya untuk negara. Untuk Negara Kesatuan Republik  (yang konon katanya ‘milik rakyat’) Indonesia. Yang justru dikuasai oleh para pembantunya. Dan yang saya tak berhak sedikitpun untuk mengakui, sebagai warganya sekalipun. Karena NKRI – sudah dinikahi kepentingan penguasa. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar