Sekuat apapun untuk melawan, senja tetaplah datang tiap hari menyapaku.
Dan seperti yang kau tau, senja selalu mengingatkanku akan gadis berpayung
mendung itu. Gairahnya yang menggelora, yang menjadikannya penengah antara
siang-malam membuat mentari senja tak pernah jemu untuk menikah-ceraikan siklus
waktu, antara siang-malam. Ini semakin membuat bumi terlilit akan kepalsuan
yang ia buat sendiri. Yah, kau tau, gadis itu semakin memburamkan mata senja,
siang-malam masih dikira malam-siang. Pun pagi sudah jelas menyapa
kunang-kunang. Ini semakin aneh. Apakah gadis senja itu membalikkan bumi saat
ia meninggalkanku dulu? Agar ku semakin tertipu oleh duniaku sendiri. Oh,
entahlah.
Bunga anehku masih mendekap erat bahuku. Terkadang ia melilitkan batang
tubuhnya erat sehingga tanganku tak mampu bebas bergerak mengambil benda-benda
kesukaanku. Entahlah, aku tak pernah melarangnya berbuat demikian. Meski agak
risih, aku tak merasa terganggu kehadirannya. Hanya saja agak sebal saat ia
menggelitiku dengan mahkota anehnya yang bisa terbang berputar-putar itu.
Perlahan, aku mencoba untuk terbiasa hidup dengan bunga aneh yang menempel di
bahuku ini, meski kenangan senja selalu membuntutiku.
Pernah suatu kali kupandangi langit lekat-lekat. Kupanggil ia, tak juga
menjawab hingga tiga kalinya ia baru mendengarku. Aku meminta mendung darinya
di tiap senja, mendung yang amat pekat sehingga aku tak lagi menyaksikan senja
menyapaku. Tapi tetap saja, mentari senja masih mampu menyibakkan mendung dengan
senyuman indahnya dan bayangan wajah gadis senja melintasinya kemudian.
Oh, tak terpungkiri, gadis berpayung mendung senja ternyata tak hanya
meninggalkan airmatanya yang mengkristal. Ia juga meninggalkan sejuta hal-hal
yang sulit untuk ditutupi oleh kehancuran otak, yang sulit dihapus oleh
pekatnya mendung. Melupakannya tak semudah pagi menghapus kesunyian malam.
Satu bintang berkelip berulang-ulang saat ku tengah terbaring di tepi
pantai kala purnama menjenguk bumi. Semakin kutatap ia, semakin berkelip ia.
Segera kuambil butiran airmata kristal peninggalan gadis berpayung senja. Lalu
dengan cepat kembali ke pantai. Kupanggil bunga anehku untuk menyanyi riang
agar kunang-kunang datang. Kuhadapkan butiran airmata gadis berpayung mendung
senja pada sinar purnama yang tersenyum cerah. Sementara bunga anehku
memancarkan cahaya temaram pantulan kunang-kunang yang mengelilinginya. “Untuk apa kau lakukan ini sayang?”
tanyanya. Aku tak menjawab. “Kau tak
pernah menjawabku, kumohon, untuk kali ini jawablah wahai kesatria” Ia
memelas. Aku akhirnya tak tega dan menceritakan tentang gadis berpayung mendung
senja itu. ia tenggelam dalam ceritaku.
***
Di sini sangat dingin. Planet yang kuinjak amat beku. Meski bintang di
sini jauh lebih cerah dan besar dari matahari. Tapi kenapa di sini amat dingin?
Bukankah ini yang kucari saat aku meninggalkan galaksi Bimasakti? Bintang ini
jauh lebih besar bukan? Sungguh sangat menyenangkan jika mama di galaksi Stella
melihat apa yang kutemukan ini. ia akan dengan bangga menceritakan tentang
bintang temuanku pada teman-temannya sesama bidadari Stella. Tapi, bagaimana
dengan kebutuhanku sendiri, kebutuhan akan sentuhan kehangatan? Oh tidak, aku
telah menerima semuanya di sini. Bintang ini selalu mencoba menghangatkanku
dengan ucapan sayangnya melalui pancaran sinar mewahnya. Tapi, kehangatanku tak
sampai menghilangkan rasa dinginku dalam planet ini. atau, mungkin butuh waktu
untuk penyesuaian diri sebelum aku benar-benar tinggal di sini, bersama bintang
besar ini.
Kerlap-kerlip di langit semakin lama semakin membiusku. Aku tengah
mengadahkan wajah ke langit malam di planet beku ini. Kerlipan itu kurasa
datang dari wilayah galaksi Bimasakti, tempat bumi berada mengelilingi
mataharinya. Oh, kenapa ia lagi. Sinyal itu ia kirimkan lagi. Sungguh sangat
menyebalkan, merusak suasana malamku. Suasana malam yang kucoba nikmati dengan
kedinginan planet beku ini. kenapa ia datang lagi saat aku mulai terbiasa
berselimut salju di sini? Bukankah aku bertekad untuk tetap teguh hidup di
planet ini, dengan bintang baruku yang amat besar. Yang tiap hari berusaha
keras menghangatkanku dengan cara apapun. Tapi, kerlipan dari bumi itu membawa
perasaanku kembali lagi bernostalgia.
***
Bunga aneh ini masih menempel di bahuku. Hanya ia agak sedikit
merenggang. Kekangannya perlahan ia lepaskan kala ia tahu – aku tak pernah
mencintainya. Dan aku, agaknya mulai senang bisa terlepas dari kekangan
itu, meski beberapa saat merasa sedih.
Yah, keanehan bunga itu akan hilang dari kehidupanku bersama hilangnya
kunang-kunang.
Senja, seperti yang kau tau. Selalu ku tunggu setiap harinya. Aku masih
menanti bayangan semu gadis berpayung mendung senja itu. Seperti rasa percayaku
bahwa matahari selalu datang – di pagi harinya, meski ia terkadang tak terlihat
karena tertutup mendung. Seperti itulah bagaimana aku mempercayai adanya cinta
yang dihembuskan pada gadis itu, padaku. Aku mempercayai perasaan itu melebihi
penglihatanku tentangnya. Ia, aku tau ia tak mungkin kembali. Tapi tetap, senja
akan terus kunanti.[ ]
pergi ke :
Gadis Berpayung Mendung Senja (4)
Gadis Berpayung Mendung Senja (5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar