TUGIEZLAND

Senin, 02 Desember 2013

Gadis Berpayung Mendung Senja (3)



Sekuat apapun untuk melawan, senja tetaplah datang tiap hari menyapaku. Dan seperti yang kau tau, senja selalu mengingatkanku akan gadis berpayung mendung itu. Gairahnya yang menggelora, yang menjadikannya penengah antara siang-malam membuat mentari senja tak pernah jemu untuk menikah-ceraikan siklus waktu, antara siang-malam. Ini semakin membuat bumi terlilit akan kepalsuan yang ia buat sendiri. Yah, kau tau, gadis itu semakin memburamkan mata senja, siang-malam masih dikira malam-siang. Pun pagi sudah jelas menyapa kunang-kunang. Ini semakin aneh. Apakah gadis senja itu membalikkan bumi saat ia meninggalkanku dulu? Agar ku semakin tertipu oleh duniaku sendiri. Oh, entahlah. 

Bunga anehku masih mendekap erat bahuku. Terkadang ia melilitkan batang tubuhnya erat sehingga tanganku tak mampu bebas bergerak mengambil benda-benda kesukaanku. Entahlah, aku tak pernah melarangnya berbuat demikian. Meski agak risih, aku tak merasa terganggu kehadirannya. Hanya saja agak sebal saat ia menggelitiku dengan mahkota anehnya yang bisa terbang berputar-putar itu. Perlahan, aku mencoba untuk terbiasa hidup dengan bunga aneh yang menempel di bahuku ini, meski kenangan senja selalu membuntutiku.

Pernah suatu kali kupandangi langit lekat-lekat. Kupanggil ia, tak juga menjawab hingga tiga kalinya ia baru mendengarku. Aku meminta mendung darinya di tiap senja, mendung yang amat pekat sehingga aku tak lagi menyaksikan senja menyapaku. Tapi tetap saja, mentari senja masih mampu menyibakkan mendung dengan senyuman indahnya dan bayangan wajah gadis senja melintasinya kemudian.

Oh, tak terpungkiri, gadis berpayung mendung senja ternyata tak hanya meninggalkan airmatanya yang mengkristal. Ia juga meninggalkan sejuta hal-hal yang sulit untuk ditutupi oleh kehancuran otak, yang sulit dihapus oleh pekatnya mendung. Melupakannya tak semudah pagi menghapus kesunyian malam.

Satu bintang berkelip berulang-ulang saat ku tengah terbaring di tepi pantai kala purnama menjenguk bumi. Semakin kutatap ia, semakin berkelip ia. Segera kuambil butiran airmata kristal peninggalan gadis berpayung senja. Lalu dengan cepat kembali ke pantai. Kupanggil bunga anehku untuk menyanyi riang agar kunang-kunang datang. Kuhadapkan butiran airmata gadis berpayung mendung senja pada sinar purnama yang tersenyum cerah. Sementara bunga anehku memancarkan cahaya temaram pantulan kunang-kunang yang mengelilinginya. “Untuk apa kau lakukan ini sayang?” tanyanya. Aku tak menjawab. “Kau tak pernah menjawabku, kumohon, untuk kali ini jawablah wahai kesatria” Ia memelas. Aku akhirnya tak tega dan menceritakan tentang gadis berpayung mendung senja itu. ia tenggelam dalam ceritaku.

***

Di sini sangat dingin. Planet yang kuinjak amat beku. Meski bintang di sini jauh lebih cerah dan besar dari matahari. Tapi kenapa di sini amat dingin? Bukankah ini yang kucari saat aku meninggalkan galaksi Bimasakti? Bintang ini jauh lebih besar bukan? Sungguh sangat menyenangkan jika mama di galaksi Stella melihat apa yang kutemukan ini. ia akan dengan bangga menceritakan tentang bintang temuanku pada teman-temannya sesama bidadari Stella. Tapi, bagaimana dengan kebutuhanku sendiri, kebutuhan akan sentuhan kehangatan? Oh tidak, aku telah menerima semuanya di sini. Bintang ini selalu mencoba menghangatkanku dengan ucapan sayangnya melalui pancaran sinar mewahnya. Tapi, kehangatanku tak sampai menghilangkan rasa dinginku dalam planet ini. atau, mungkin butuh waktu untuk penyesuaian diri sebelum aku benar-benar tinggal di sini, bersama bintang besar ini.

Kerlap-kerlip di langit semakin lama semakin membiusku. Aku tengah mengadahkan wajah ke langit malam di planet beku ini. Kerlipan itu kurasa datang dari wilayah galaksi Bimasakti, tempat bumi berada mengelilingi mataharinya. Oh, kenapa ia lagi. Sinyal itu ia kirimkan lagi. Sungguh sangat menyebalkan, merusak suasana malamku. Suasana malam yang kucoba nikmati dengan kedinginan planet beku ini. kenapa ia datang lagi saat aku mulai terbiasa berselimut salju di sini? Bukankah aku bertekad untuk tetap teguh hidup di planet ini, dengan bintang baruku yang amat besar. Yang tiap hari berusaha keras menghangatkanku dengan cara apapun. Tapi, kerlipan dari bumi itu membawa perasaanku kembali lagi bernostalgia.

***

Bunga aneh ini masih menempel di bahuku. Hanya ia agak sedikit merenggang. Kekangannya perlahan ia lepaskan kala ia tahu – aku tak pernah mencintainya. Dan aku, agaknya mulai senang bisa terlepas dari kekangan itu,  meski beberapa saat merasa sedih. Yah, keanehan bunga itu akan hilang dari kehidupanku bersama hilangnya kunang-kunang.

Senja, seperti yang kau tau. Selalu ku tunggu setiap harinya. Aku masih menanti bayangan semu gadis berpayung mendung senja itu. Seperti rasa percayaku bahwa matahari selalu datang – di pagi harinya, meski ia terkadang tak terlihat karena tertutup mendung. Seperti itulah bagaimana aku mempercayai adanya cinta yang dihembuskan pada gadis itu, padaku. Aku mempercayai perasaan itu melebihi penglihatanku tentangnya. Ia, aku tau ia tak mungkin kembali. Tapi tetap, senja akan terus kunanti.[ ]

 pergi ke :

         Gadis Berpayung Mendung Senja (4)
         Gadis Berpayung Mendung Senja (5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar