Di sofa lusuh yang
beberapa bagiannya telah sobek, di dekat etalase kantin milik bu Jum, Eko terduduk mematung. Kepalanya
bersandar malas di punggung kursi. Kakinya ia selonjorkan sehingga ia dapat
duduk setengah berbaring. Matanya menerawang jauh entah kemana. Kopi panas yang
ia pesan sedari tadi, telah dingin, belum diminumnya sedikitpun. Putih, seekor
kucing berseliweran di kakinya. Si Putih mengelus-eluskan ekornya pada kaki
Eko, mengeong meminta makanan. Eko tak menggubris. Tak biasanya ia demikian.
Kucing itu hafal, Eko selalu memberi makanan untuknya. Tapi si Putih tak
mengerti. Eko sedang tak ingin diganggu. “Hari ini proyek di sisi SS-82 wajib
rampung” begitu teguran pengawas proyek padanya pada rapat terbatas tadi pagi.
Sardi, pekerja yang loyal bekerja untuk Eko
selama belasan tahun itu beranjak dari pekerjaanya menuju kamar mandi tuk buang
air kecil. Kamar mandi itu tepat berada di samping kantin bu Jum. Saat melewati
kantin, ia melihat Eko berada di dalamnya. Ia melongok sejenak, hendak masuk.
Tapi ia melangkah lagi. Belum genap menjejakkan langkah keduanya, ia balik
melongok lagi. Eko memergokinya. Dengan wajah pucat Sardi memutuskan menghampiri
Eko. Ia menjejakkan kaki pelan. Langkahnya sangat berat. Kedua tangannya saling
mengait dan mengelus menghilangkan kegugupan.
“Sardi?! Jam berapa ini sudah mau makan siang?”tegur
Eko.
“Maaf pak, saya tadi dari kamar mandi”
“Lha kok mampir ke sini?” Eko menegapkan duduknya,
lalu melanjutkan pertanyaannya. ”Bagaimana kerjaanmu, apa nanti sore sudah bisa
clear?”
“Kita sudah tinggal 10% pak”
“Ada kendala?”
“Ya, bagian kontruksi las sambungan V-joint pak”
“Apa kendalanya? saya mau itu segera diatasi. Karena
sore ini proyek kita harus diserahkan pada owner dan pengawas proyek untuk
ditinjau. Jika tidak, kontraktor lain akan mengambil alih pekerjaan kita”
“Kendalanya ya itu pak. Pihak kontraktor sebelumnya
mewarisi kita kontruksi sambungan dengan Gape
yang terlalu lebar dan harus di-backingcramic
dulu pak. Saya hanya butuh satu meter backingcramic”
“Oh begitu, dimana Rudy? kenapa gak bilang ke dia?”
“Saya tadi sudah laporkan ini padanya, tapi tak dipedulikan.
Terus terang saya selalu bertentagan. Dia slalu bersama argumennya yang sering
konyol. Mandor ingusan itu berpendapat bahwa ini bisa dikerjakan tanpa backingcramic. Maaf pak saya harus
mengatakan demikian” ungkapnya dengan nada tinggi penuh kekesalan.
“Hmmm…ya sudah,nanti
saya ambilkan. kamu kerjakan yang lain”
Eko menyandarkan
tubuhnya lagi ke sofa. Dua tahun lalu, saat mandor Sarwono meninggal akibat
kecelakaan lalu lintas, Eko berjanji pada Sardi. “Kamu akan kupersiapkan jadi
mandor baru perusahaan kontraktor kita” ucapnya pada Sardi sesaat setelah
pemakaman mandor Sarwono dua tahun lalu. Rudy datang melamar setahun kemudian.
Penampilan dan trackreccord Rudy
selama kuliah mencuri hati Eko pada waktu itu. Dan Eko menempatkannya pada
posisi mandor. Posisi yang terlanjur ia janjikan pada Sardi yang belum juga
dianggapnya siap dan pantas mendudukinya. Eko terlalu lama menunggu momen yang
tepat untuk mengangkat Sardi.
Sardi masih belum
beranjak dari kantin. Ia berharap bisa mengutarakan maksudnya. Sakit istrinya
harus segera dioperasi. Tapi uang yang tersisa hanya cukup untuk makan seminggu
lagi. Belum sempat ia menyusun kata, Eko
sudah tersadar dari lamunan.”Lho, kok masih di sini. Tunggu apa?” tegur Eko.
”Iya pak, maaf…” Sardi segera beranjak meninggalkan kantin dengan kecewa. Ia
sebenarnya masih berharap banyak, tapi mulutnya terkunci rapat. Selalu demikian
saat ia berhadapan dengan orang berbadan kurus dan tinggi yang matanya selalu
tajam mengikuti lawan bicaranya ini.
Langkahnya lemah menuju
proyek. Rasanya ia sudah tak bisa lagi mengharapkan janji Eko. Ia mengumpat lirih.
Hampir tak terdengar oleh telinganya sendiri. Tangan kanannya mengepal erat,
dipukul-pukulkannya ke telapak tangan kirinya. ”Bangsat?!! Bertahun-tahun aku
bersabar. Kencur itu meludahiku saat aku tinggal ambil buahnya, Sialan…!! Aku
tertipu janji manis atasan..ahh, sial..!! Presetan Semua!!! brengsek!!” suaranya
semakin mengeras. Kakinya menendang-nendang udara. Amarahnya memuncak seolah
ingin mengakhiri ketidakpuasan yang ia pendam bertahun-tahun.
Rudy mondar-mandir tak
jelas arahnya. Langkahnya memburu cepat. Matanya melirik kesana-kemari dengan
bibir yang ia sunggingkan. Hampir setiap anak buah yang ditemuinya ditegur. Tak
jelas masalahnya. “Sudah gak usah banyak omong, kerja yang benar!!!” umpatnya
pada pekerja yang mencoba melawan. “Dasar mandor kencur” gerutu pekerja yang baru bergabung 2 bulan lalu itu. Ia
merasa pekerjaannya telah benar, namun masih dimarahi. Mandor muda ini tak
pernah memasang raut muka cerah. Wajahnya tegas dengan alis yang tebal.
Kegarangannya semakin jelas oleh mulut yang selalu manyun. Langkahnya kaku,
menghentak ke tanah. Tubuh kekarnya seakan ingin melahap habis segala yang ada
di depan matanya. Tak ada pekerja yang berani melawan. Kalaupun ada, hanya
sebatas memarahi balik. Dan berangsur mengalah kemudian, tersadar bahwa si
mandor muda itu anak emas Eko, pemilik perusahaan kontraktor yang memenangi
tender proyek itu.
”Hei,di mana pak tua?!” tanya Rudy pada Dulmaji, satu-satunya
pekerja paling loyal pada Edy. Karenanya para pekerja lain mengukuhkannya
sebagai juara penjilat.
“Saya ndak tahu pak, tadi sih pamitnya mau kencing”
Jawab Dulmaji dengan suara khas berlogat Madura.
“Berapa lama ia keluar?” tanyanya lagi setengah membentak.
“Kurang tahu pak, kira-kira sih sudah lebih setengah
jam” jawab Dulmaji ketus. Padahal Sardi baru meninggalkan tempatnya lima belas
menit yang lalu. Rudy sangat geram. Tangannya mengepal erat. Ia menunggu Sardi
tuk dihakimi. Tak lama Sardi datang dengan langkah gontai. Rudy segera
menghampiri.
“Anda tahu ini jam
kerja kan?!!!” bentaknya. Sardi hanya diam, matanya menatap Rudy dengan penuh
dendam seperti macan yang tak sabar ingin segera menerkam mangsanya yang sudah
lama ia buru ini. Tangannya mengepal kuat. Hening beberapa saat. Rudy tak sabar
mendekatinya. Rudy lalu menepuk bahunya. “Hei pak tua, apa telinga anda sudah
tak berfungsi, hahh!!!”, Sardi sudah tak tahan. Sudah lama sekali ia menunggu
momen ini. Sudah lama ia menunggu Rudy menyiramkan bensin pada api yang ia
pendam. Tangan kirinya menarik baju Rudy lalu dikekangnya hingga hampir
mencekik leher Rudy. Sementara tangan kanannya mengepal bersiap menghajar.
“Apa, hah? Hajar saja jika kau mampu!!!” seloroh Edy. Sardi hanya diam. Ia
melepas kekangannya. “Jika tidak karena aku masih butuh Eko...” ucap Sardi
melemah.
Sardi melangkah lemas
hendak balik ke tempat bekerja. Rudy tersenyum mengejek kekalahan Sardi.
Dihalanginya langkah Sardi. Sardi menatap mata Rudy dengan penuh kegeraman. Sardi
mencoba menghela tangan Rudy yang berusaha menghalangi. Entah siapa yang
memulai, mereka sudah saling memukul dan menendang. Semua pekerja berhenti
bekerja, melihat perkelahian yang kian seru. Tak ada yang mencoba melerai.
“Ayo, ayo, hajar,
hajar, tendang !!!” suara riuh rendah menimbulkan kegaduhan hingga terdengar
oleh Yoga yang duduk di dalam kantor. keponakan Sardi itu berlari ke arah kerumunan
yang menimbulkan gaduh itu. Dengan cekatan ia menerobos masuk kerumunan. Betapa
terkejutnya ia saat melihat apa yang dikerumuni para pekerja itu. Sejurus ia
melerai perkelahian itu. Namun tubuh kecilnya tak kuasa menahan perkelahian. Ia
terlempar ditendang pamannya sendiri. ”Minggir..!! Jangan ikut campur!!!” bentak
Sardi sembari menendang. Yoga berusaha bangun. Dengan masih sempoyongan, ia
menatap ke sekeliling. ”Ahhhh...” keluhnya. “Hai!? Kenapa semua hanya melongo?
Kalian pikir ini arena gulat? Hah?! Dimana otak kalian!!! Ayo lerai!!”
bentaknya kesal. Para pekerja yang mengerumuni perkelahian itu akhirnya mencoba
melerai. Beberapa dari mereka acuh tak acuh balik meninggalkan tempat itu,
merasa keasyikan menontonnya diganggu.
Sardi tak bisa lagi
berbuat. Tubuhnya ditahan 5 orang. Kakinya berusaha menendang-nendang. Tapi
tetap tak berpengaruh apapun. Ia tak bisa lagi berontak. Mereka menjauhkannya
dari Rudy. Yoga berusaha meredam amarah Sardi. ”Paman, sudahlah, kita hanya
anak buah. Jangan akhiri hidup ini, Paman. Anak dan istri Paman menanti di
rumah. Ingat tangisan mereka. Ingat penderitaan istri di rumah, Paman!!” Sardi
tak menggubris, ia masih bersikukuh. Ia masih berusaha keluar dari himpitan 5
orang pekerja yang menahannya itu. Akhirnya pertahanan 5 orang itu jebol juga
oleh pemberontakan Sardi yang belum juga menyerah itu. Dengan cepat ia berlari
ke arah Rudy. Ia menghentikan larinya sejenak, memungut sepotong besi.
Orang-orang mengejarnya. Namun Sardi sudah melemparkan besi tepat mengenai
kepala Rudy. Rudy terkapar seketika. Darah bercucur deras dari kepalanya. Para
pekerja berusaha menolong. Tapi na’as, Rudy sudah tak lagi bernafas sebelum
ambulan datang.
Sardi tertawa terbahak
seolah ingin menutupi air mata yang ia muntahkan deras. Tubuhnya lemas dan
hampir pingsan saat polisi menggelendengnya menuju mobil tahanan. “Maafkan aku
nak, maafkan aku Susi sayang. Semoga kalian tabah hidup tanpa aku,. Semoga
keajaiban menyembuhkanmu, Susi. Maafkan...” suaranya melemah hampir tak
terdengar.
Semua petinggi proyek
berkumpul sore itu untuk rapat terbatas. Hanya Eko yang tak datang di rapat
sore itu. Eko pergi seketika mendengar kejaadian itu. ia tak pernah lagi
kembali. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar