TUGIEZLAND

Selasa, 03 Desember 2013

DUKA DENDAM



Di sofa lusuh yang beberapa bagiannya telah sobek, di dekat etalase  kantin milik bu Jum, Eko terduduk mematung. Kepalanya bersandar malas di punggung kursi. Kakinya ia selonjorkan sehingga ia dapat duduk setengah berbaring. Matanya menerawang jauh entah kemana. Kopi panas yang ia pesan sedari tadi, telah dingin, belum diminumnya sedikitpun. Putih, seekor kucing berseliweran di kakinya. Si Putih mengelus-eluskan ekornya pada kaki Eko, mengeong meminta makanan. Eko tak menggubris. Tak biasanya ia demikian. Kucing itu hafal, Eko selalu memberi makanan untuknya. Tapi si Putih tak mengerti. Eko sedang tak ingin diganggu. “Hari ini proyek di sisi SS-82 wajib rampung” begitu teguran pengawas proyek padanya pada rapat terbatas tadi pagi.


   Sardi, pekerja yang loyal bekerja untuk Eko selama belasan tahun itu beranjak dari pekerjaanya menuju kamar mandi tuk buang air kecil. Kamar mandi itu tepat berada di samping kantin bu Jum. Saat melewati kantin, ia melihat Eko berada di dalamnya. Ia melongok sejenak, hendak masuk. Tapi ia melangkah lagi. Belum genap menjejakkan langkah keduanya, ia balik melongok lagi. Eko memergokinya. Dengan wajah pucat Sardi memutuskan menghampiri Eko. Ia menjejakkan kaki pelan. Langkahnya sangat berat. Kedua tangannya saling mengait dan mengelus menghilangkan kegugupan.

“Sardi?! Jam berapa ini sudah mau makan siang?”tegur Eko.
“Maaf pak, saya tadi dari kamar mandi”
“Lha kok mampir ke sini?” Eko menegapkan duduknya, lalu melanjutkan pertanyaannya. ”Bagaimana kerjaanmu, apa nanti sore sudah bisa clear?”
“Kita sudah tinggal 10% pak”
“Ada kendala?”
“Ya, bagian kontruksi las sambungan V-joint pak”
“Apa kendalanya? saya mau itu segera diatasi. Karena sore ini proyek kita harus diserahkan pada owner dan pengawas proyek untuk ditinjau. Jika tidak, kontraktor lain akan mengambil alih pekerjaan kita”
“Kendalanya ya itu pak. Pihak kontraktor sebelumnya mewarisi kita kontruksi sambungan dengan Gape yang terlalu lebar dan harus di-backingcramic dulu pak. Saya hanya butuh satu meter backingcramic
“Oh begitu, dimana Rudy? kenapa gak bilang ke dia?”
“Saya tadi sudah laporkan ini padanya, tapi tak dipedulikan. Terus terang saya selalu bertentagan. Dia slalu bersama argumennya yang sering konyol. Mandor ingusan itu berpendapat bahwa ini bisa dikerjakan tanpa backingcramic. Maaf pak saya harus mengatakan demikian” ungkapnya dengan nada tinggi penuh kekesalan.
“Hmmm…ya sudah,nanti saya ambilkan. kamu kerjakan yang lain”

Eko menyandarkan tubuhnya lagi ke sofa. Dua tahun lalu, saat mandor Sarwono meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, Eko berjanji pada Sardi. “Kamu akan kupersiapkan jadi mandor baru perusahaan kontraktor kita” ucapnya pada Sardi sesaat setelah pemakaman mandor Sarwono dua tahun lalu. Rudy datang melamar setahun kemudian. Penampilan dan trackreccord Rudy selama kuliah mencuri hati Eko pada waktu itu. Dan Eko menempatkannya pada posisi mandor. Posisi yang terlanjur ia janjikan pada Sardi yang belum juga dianggapnya siap dan pantas mendudukinya. Eko terlalu lama menunggu momen yang tepat untuk mengangkat Sardi.

Sardi masih belum beranjak dari kantin. Ia berharap bisa mengutarakan maksudnya. Sakit istrinya harus segera dioperasi. Tapi uang yang tersisa hanya cukup untuk makan seminggu lagi. Belum sempat ia menyusun kata,  Eko sudah tersadar dari lamunan.”Lho, kok masih di sini. Tunggu apa?” tegur Eko. ”Iya pak, maaf…” Sardi segera beranjak meninggalkan kantin dengan kecewa. Ia sebenarnya masih berharap banyak, tapi mulutnya terkunci rapat. Selalu demikian saat ia berhadapan dengan orang berbadan kurus dan tinggi yang matanya selalu tajam mengikuti lawan bicaranya ini. 

Langkahnya lemah menuju proyek. Rasanya ia sudah tak bisa lagi mengharapkan janji Eko. Ia mengumpat lirih. Hampir tak terdengar oleh telinganya sendiri. Tangan kanannya mengepal erat, dipukul-pukulkannya ke telapak tangan kirinya. ”Bangsat?!! Bertahun-tahun aku bersabar. Kencur itu meludahiku saat aku tinggal ambil buahnya, Sialan…!! Aku tertipu janji manis atasan..ahh, sial..!! Presetan Semua!!! brengsek!!” suaranya semakin mengeras. Kakinya menendang-nendang udara. Amarahnya memuncak seolah ingin mengakhiri ketidakpuasan yang ia pendam bertahun-tahun.

Rudy mondar-mandir tak jelas arahnya. Langkahnya memburu cepat. Matanya melirik kesana-kemari dengan bibir yang ia sunggingkan. Hampir setiap anak buah yang ditemuinya ditegur. Tak jelas masalahnya. “Sudah gak usah banyak omong, kerja yang benar!!!” umpatnya pada pekerja yang mencoba melawan. “Dasar mandor kencur” gerutu pekerja  yang baru bergabung 2 bulan lalu itu. Ia merasa pekerjaannya telah benar, namun masih dimarahi. Mandor muda ini tak pernah memasang raut muka cerah. Wajahnya tegas dengan alis yang tebal. Kegarangannya semakin jelas oleh mulut yang selalu manyun. Langkahnya kaku, menghentak ke tanah. Tubuh kekarnya seakan ingin melahap habis segala yang ada di depan matanya. Tak ada pekerja yang berani melawan. Kalaupun ada, hanya sebatas memarahi balik. Dan berangsur mengalah kemudian, tersadar bahwa si mandor muda itu anak emas Eko, pemilik perusahaan kontraktor yang memenangi tender proyek itu.
”Hei,di mana pak tua?!” tanya Rudy pada Dulmaji, satu-satunya pekerja paling loyal pada Edy. Karenanya para pekerja lain mengukuhkannya sebagai juara penjilat.
“Saya ndak tahu pak, tadi sih pamitnya mau kencing” Jawab Dulmaji dengan suara khas berlogat Madura.
“Berapa lama ia keluar?” tanyanya lagi setengah membentak.
“Kurang tahu pak, kira-kira sih sudah lebih setengah jam” jawab Dulmaji ketus. Padahal Sardi baru meninggalkan tempatnya lima belas menit yang lalu. Rudy sangat geram. Tangannya mengepal erat. Ia menunggu Sardi tuk dihakimi. Tak lama Sardi datang dengan langkah gontai. Rudy segera menghampiri.
“Anda tahu ini jam kerja kan?!!!” bentaknya. Sardi hanya diam, matanya menatap Rudy dengan penuh dendam seperti macan yang tak sabar ingin segera menerkam mangsanya yang sudah lama ia buru ini. Tangannya mengepal kuat. Hening beberapa saat. Rudy tak sabar mendekatinya. Rudy lalu menepuk bahunya. “Hei pak tua, apa telinga anda sudah tak berfungsi, hahh!!!”, Sardi sudah tak tahan. Sudah lama sekali ia menunggu momen ini. Sudah lama ia menunggu Rudy menyiramkan bensin pada api yang ia pendam. Tangan kirinya menarik baju Rudy lalu dikekangnya hingga hampir mencekik leher Rudy. Sementara tangan kanannya mengepal bersiap menghajar. “Apa, hah? Hajar saja jika kau mampu!!!” seloroh Edy. Sardi hanya diam. Ia melepas kekangannya. “Jika tidak karena aku masih butuh Eko...” ucap Sardi melemah.

Sardi melangkah lemas hendak balik ke tempat bekerja. Rudy tersenyum mengejek kekalahan Sardi. Dihalanginya langkah Sardi. Sardi menatap mata Rudy dengan penuh kegeraman. Sardi mencoba menghela tangan Rudy yang berusaha menghalangi. Entah siapa yang memulai, mereka sudah saling memukul dan menendang. Semua pekerja berhenti bekerja, melihat perkelahian yang kian seru. Tak ada yang mencoba melerai.

“Ayo, ayo, hajar, hajar, tendang !!!” suara riuh rendah menimbulkan kegaduhan hingga terdengar oleh Yoga yang duduk di dalam kantor. keponakan Sardi itu berlari ke arah kerumunan yang menimbulkan gaduh itu. Dengan cekatan ia menerobos masuk kerumunan. Betapa terkejutnya ia saat melihat apa yang dikerumuni para pekerja itu. Sejurus ia melerai perkelahian itu. Namun tubuh kecilnya tak kuasa menahan perkelahian. Ia terlempar ditendang pamannya sendiri. ”Minggir..!! Jangan ikut campur!!!” bentak Sardi sembari menendang. Yoga berusaha bangun. Dengan masih sempoyongan, ia menatap ke sekeliling. ”Ahhhh...” keluhnya. “Hai!? Kenapa semua hanya melongo? Kalian pikir ini arena gulat? Hah?! Dimana otak kalian!!! Ayo lerai!!” bentaknya kesal. Para pekerja yang mengerumuni perkelahian itu akhirnya mencoba melerai. Beberapa dari mereka acuh tak acuh balik meninggalkan tempat itu, merasa keasyikan menontonnya diganggu.

Sardi tak bisa lagi berbuat. Tubuhnya ditahan 5 orang. Kakinya berusaha menendang-nendang. Tapi tetap tak berpengaruh apapun. Ia tak bisa lagi berontak. Mereka menjauhkannya dari Rudy. Yoga berusaha meredam amarah Sardi. ”Paman, sudahlah, kita hanya anak buah. Jangan akhiri hidup ini, Paman. Anak dan istri Paman menanti di rumah. Ingat tangisan mereka. Ingat penderitaan istri di rumah, Paman!!” Sardi tak menggubris, ia masih bersikukuh. Ia masih berusaha keluar dari himpitan 5 orang pekerja yang menahannya itu. Akhirnya pertahanan 5 orang itu jebol juga oleh pemberontakan Sardi yang belum juga menyerah itu. Dengan cepat ia berlari ke arah Rudy. Ia menghentikan larinya sejenak, memungut sepotong besi. Orang-orang mengejarnya. Namun Sardi sudah melemparkan besi tepat mengenai kepala Rudy. Rudy terkapar seketika. Darah bercucur deras dari kepalanya. Para pekerja berusaha menolong. Tapi na’as, Rudy sudah tak lagi bernafas sebelum ambulan datang.

Sardi tertawa terbahak seolah ingin menutupi air mata yang ia muntahkan deras. Tubuhnya lemas dan hampir pingsan saat polisi menggelendengnya menuju mobil tahanan. “Maafkan aku nak, maafkan aku Susi sayang. Semoga kalian tabah hidup tanpa aku,. Semoga keajaiban menyembuhkanmu, Susi. Maafkan...” suaranya melemah hampir tak terdengar.

Semua petinggi proyek berkumpul sore itu untuk rapat terbatas. Hanya Eko yang tak datang di rapat sore itu. Eko pergi seketika mendengar kejaadian itu. ia tak pernah lagi kembali. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar