Troloyo, 7’
Mobil melaju memecah sunyi malam Jum’at Kliwon, menyusuri
jalanan yang basah oleh rintik hujan. Agaknya cuaca sangat mendukung dengan
menjadi background kesedihan seorang pemuda di dalamnya. Ia tak sendirian di
dalam mobil. Sekeluarganya di dalam sana, dengan celotehan adik-adiknya yang
tak henti sepanjang jalan. Tapi, ia masih merasa sendiri, jiwanya tertinggal di
rumah, di dalam kamar, di atas kasur, berbaring kaku dan terlelap di sana. “Kita temenan aja, yah?” Kalimat itu terngiang-ngiang
selalu sepanjang jalan olehnya. Ada sedikit kegetiran, ada kebahagiaan dan
kebebasan. Yah, tidak lebih dari sebulan ia berpacaran dengan seorang yang
mungkin sangat ideal baginya. Dan pagi ini, ia meminta putus. Satu sisi, ia
merasa sangat puas telah meninggalkan kegundahannya – ia tak benar-benar
mencintai gadis itu, bahkan ia tak mengenali pribadinya. Ada perasaan lega, ada
beban berat yang seakan telah dibuangnya. Selama 5 hari ia tak menghubungi
gadis itu. Memang disengaja. Dan kalimat yang selalu terngiang itu, sebenarnya
adalah harapan yang ia tunggu-tunggu selama ini.
Lalu kenapa ia
bersedih? Ia tersadar, bahwa gadis itu – gadis terbaik yang pernah dikenalnya.
Agaknya ia menyesali mengapa ia lakukan itu dengan mudahnya. Ia menyesal menyiakan
kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. Ada kegetiran yang sangat menyesakkan
dada. Udara dalam mobil semakin pengap. Ia lebih memilih untuk menikmati cinta
sepihaknya pada gadis lain yang jelas-jelas telah memiliki kekasih. Ia memilih
mempertahankan prinsip idealisnya – mencintai apa yang benar-benar ia cintai. Cinta
yang bukan karena obsesi, cinta yang bernyawa. “Bodoh, absurd sekali, alasan yang terlalu naif untuk menyiakan cinta
yang jelas-jelas menyambutku” pikirnya dalam hati.
Tiris,
24’
Seharian Nadia di sini menghabiskan waktu bersama keluarga
dan rekan-rekan ibunya. Ini adalah kali pertama ia mengikuti petualangan para pecinta
alam. Ia tak pernah mengunjungi lokasi-lokasi wisata yang terlalu pelosok dan
ekstrim. Biasanya ia hanya nikmati pantai – itupun pantai yang telah dikelola
sebagai destinasi wisata populer. Kalaupun ke pegunungan, ia hanya berkutat di tempat
wisata sekeliling villa milik ayahnya.
Petualangannya dimulai dari tempat parkir basecamp ‘Noars Rafting’. Ia harus
menaiki mobil bak terbuka bekas digunakan memuat kambing. Tercium dari bau kotoran kambing yang tersisa meski mobil telah
dibersihkan. Mobil berangkat menyusuri jalanan pedesaan, melintasi persawahan,
hutan, dengan jalanan tak beraspal. Nadia berdiri di pinggir, bersandar di
palangan pipa besi, di dekat ibunya, dengan perasaan yang keruh, antara senang,
sedih, takut, kagum, getir, bercampur aduk. Satu bayangan wajah tergambar dari
balik pohon-pohon melintasi angan Nadia. Wajah itu mendominasi lamunannya di
perjalanan menuju start rafting. Ada
rasa kesal – wajah itu tak juga hilang dari pikirannya, meski ia telah pergi
sejauh ini, di pelosok desa ini. Nadia tak ingin mengingat pemuda pecinta alam
itu lagi. Tapi alam terus mengingatkannya. “Ah, kenapa juga aku setuju dengan
ajakan ibu kemarin. Alih-alih meredam ingatanku tentangnya, malah segala hal
disini akan membawaku kembali bernostalgia dengannya” pikir Nadia dalam hati
menyadari kesalahannya.
Ibunya terus
berteriak kala mobil melaju kencang menuruni perbukitan terjal, berbelok dengan
lincahnya, menelusuri pinggiran jurang yang curam. “Aaaahhh... Ini bukan roller coester....” teriak
ibunya sekali lagi disambut tawa para penumpang lain. “Mbeeeek...mbeeekk...” beberapa
menirukan suara kambing, beberapa berceloteh riang. Tapi, hiruk-pikuk keriangan
penumpang mobil itu hanya terdengar sayup-sayup oleh Nadia yang sesekali ikut
tersenyum. Pikirannya melayang jauh di rumahnya, di kampus tempatnya kuliah, di
tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama
Elang, mantan kekasihnya, seorang pecinta alam.
Celep,
25’
Hujan tak juga reda. Memaksa mereka menahan diri untuk
pulang. Tak ada percakapan diantara mereka. Sesekali saling melirik dan
diam-diam tersenyum dalam hati masing-masing. Sunyi. Mata mereka kadang saling
bertemu. Tapi tetap tak mengubah keheningan. Ada perasaan berat menghinggapi
keduanya, seakan menyetujui untuk diam dalam keheningan masing-masing.
“Rey..” ucap Elena memecah sunyi. Suara itu ia keluarkan
dengan susah-payah. Ada yang menahannya selama setengah jam ia berteduh di
kantin yang telah kosong. Mahasiswa telah banyak yang pulang sejak tadi siang. Hanya
mereka berdua yang terjebak hujan sore hari, di kantin itu. Perasaan lega mengaliri
darah Nadia, seakan mencairkan es yang membelit dan membekukan tubuhnya sejak
tadi, es yang menahan kata-kata keluar dari mulutnya. “Yah...” Jawab Reyhan. Ada perasaan yang sangat senang, sekaligus
benci ketika Reyhan mendengar Elena memanggilnya. Telah berusaha keras agar ia
menghilangkan rasa cinta itu pada Elena. Rasa cinta yang membuatnya
meninggalkan gadis ideal yang mencintainya. Dan sialnya, momen ini membuat
cintanya pada Elena semakin membara lagi. “Entahlah, kita dipertemukan lagi”
sambung Reyhan sambil mengangkat bahunya. Jantungnya berdetak lebih kencang.
Elena tersenyum.“Kau menyesal?” tanyanya dengan sangat hati-hati. Elena
menyadari, ia pernah menanamkan benih cinta itu padanya, tanpa ia menuai buahnya.
Ia sadar telah membuat Rey sedemikian sedih oleh ulahnya. “Aku tak pernah
menyesali setiap pertemuanku denganmu” jawab Reyhan dengan sedikit senyum.
Terasa kecut. Dalam hatinya ada gejolak yang membuat ia terbagi dua, antara
ingin segera meninggalkan tempat itu, dan yang ingin berlama-lama disitu
bersama Elena. “Kau baru keluar fakultas, kenapa?” Tanya Reyhan mengalihkan
perasaannya agar seolah tak terjadi apa-apa. “Ya, ada pelatihan membuat
proposal dari pak dekan tadi. Kau sendiri?” Sahut Elena. “Oh, seperti biasa,
memanfaatkan fasilitas wifi kampus” jawab Reyhan dengan tersenyum. Senyum yang
semakin memperjelas kegundahannya. Mereka terdiam lagi. Hening.
Elena
menghela nafas panjang. “Aku tau, Rey. Ini sangat berat. Tapi, bukankah
pertemuan dan takdir memang telah digariskan?” ucap Elena dengan menatap mata Rey
lekat-lekat, memecah sunyi. Ada perasaan menyesal dalam dirinya setelah
mengucapkan itu. Namun kepalang tanggung, ia meneruskan dengan menundukkan
kepala, berharap tak bertatapan langsung dengan mata Reyhan, kali ini, untuk
menguatkan hatinya. “Rey, aku sudah tau semuanya. Kenapa kau lakukan, Rey? Kau
tak bisa menungguku lagi. Aku telah memutuskan hidup untuk hari ini. Bukan masa
depan, juga masa lalu. Rey. Kau tak bisa terus-menerus membayangkan kita akan
bersama di masa depan. Takdir melebihi prasangka perasaan, Rey. Kau tau itu.
Sekuat apapun perasaan kita, kita tak kan mampu menolak bagaimana jodoh kita
nanti. Aku.. Aku hanya ingin menjalani masa ini, bersama kekasihku saat ini, Rey.
Ku harap kau mengerti” kalimat terakhir Elena semakin diucapkannya melemah,
seperti tersangkut di antara kerongkongan. Ucapan Elena membuat hati Reyhan
semakin getir. Meski satu sisi ia lega telah mendengar langsung ungkapan Elena,
menegaskan ia memang tak berhak lagi mencintainya. Tangannya mengelus pipi Elena,
mendongakkan kepalanya sehingga mata Elena bertatapan langsung dengan matanya.
“Len, aku tau itu. Dan kau tau mengapa ku lakukan itu. Aku tak pernah
mencintainya, Len. Aku tak bisa memaksakan perasaanku. Aku tau dia sahabatmu.
Tapi, aku.... “ Rey tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. “..Aku
mencintaimu, Len” terusnya dalam hati. Reyhan merasa telah melihat jelas ada
cinta di mata Elena. Rey paham, Elena hanya berusaha realistis. Ada desakan
untuk segara meninggalkan tempat itu, semakin kuat. Rey tak ingin lagi
membebaninya. Meski ia tahu, ia sangat ingin mengucapkannya. Rey berlalu pergi
menembus hujan, membasahi seluruh tubuh serta pakaian dan tas yang melakat di
tubuhnya. “Rey.. Rey.. ” suara Elena memanggil, tak terdengar oleh Reyhan.
Tertelan suara derasnya air hujan menimpa tanah.
Troloyo,
7’
Mobil memasuki area parkir
yang penuh. Sangat sulit mencari area kosong untuk memarkirkan mobil. Dan
akhirnya ada satu tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Itupun dengan
menyerobot mobil yang baru saja meninggalkan area parkir. Di malam Jum’at Kliwon,
kompleks pemakaman Syekh Jumadil Kubro memang selalu penuh sesak oleh berbagai
pengunjung dari berbagai daerah. Ada banyak tujuan diantara mereka. Ada yang sekedar
jalan-jalan di sekitar area makam yang mendadak jadi pasar, ada yang berdo’a
khusyuk dan melantunkan tahlil, ada yang menyendiri bertapa di makam raja-raja
yang telah masuk islam, ada yang meminta pesugihan – membawa kemenyan yang
dibakar, ada yang mengemis, berpacaran, dan bahkan berjudi. Keluarga Reyhan
sendiri sering datang ke tempat ini. Hanya berniat mendoakan dan mengucap
syukur karena ada Syekh Jumadil Kubro datang disini, dahulu kala. Mereka
membayangkan, bila saja pengusung ajaran islam pertama di tanah jawa itu tak
pernah datang, mungkin mereka tak kan pernah mengenal islam. Keluarga Reyhan
memang memprioritaskan religiuitas dalam keseharian mereka. Reyhan sendiri,
masih baru kedua kalinya datang ke sini. Itupun karena dipaksa. Reyhan malas
mendatangi tempat-tempat seperti itu. Alasannya jelas, ia melihat banyak terjadi
kesalahan niatan yang dilakukan orang-orang. Dan malam ini Reyhan
membuktikannya lagi, betapa makam – lebih terkesan dijadikan tempat hiburan.
Lamunan Reyhan selama perjalanan dalam mobil tadi terhenti dan berangsur meninggalkannya pergi.
Pikiran dan hatinya kini tertarik pada ironi-ironi yang terjadi di sekitar
kompleks makam. Betapa banyaknya orang-orang berbusana muslim dengan seenaknya
membuang sampah. Betapa kotornya pendopo tempat peristirahatan pengunjung.
Betapa mirisnya, para ibu berkerudung duduk bersimpuh memangku seorang-dua-tiga
orang anak meminta-minta receh dari pengunjung. Betapa ia melihat para sejoli
bergandengan mesra di keramaian , di tengah suara-suara tahlil, tahmid, yaasin,
yang mendengung seperti kumpulan lebah. Yah, suasana itu berhasil mengalihkan
lamunannya, selalu. Selalu ia tertarik dengan suasana seperti itu.
Hujan mulai turun membasahi
kompleks pemakaman. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Reyhan
sendiri memilih berlari ke pendopo tempat peristirahatan pengunjung untuk
berteduh. Belum juga sampai di pendopo, seorang gadis berlari dan menabraknya
dari belakang. “Oh, maaf..” Katanya. Reyhan berlari lagi dan berhasil menuju
pendopo. “Maaf tadi menabrakmu. Aku.. Aku tergopoh. Maaf” ucap seorang gadis
sambil menjulurkan tangan, dengan kepala yang menunduk. “Oh, tidak apa, aku
paham” sambut Reyhan dan menyalami gadis itu. Gadis itu mendongakkan kepala “Terima
kasih, namaku Nadia. Terima kasih”. “Yah, lain kali hati-hati”. Gadis itu
mengangguk. Seketika keheningan merasukinya diantara riuh rendah suara
percakapan orang-orang di pendopo peristirahatan. “Oh, iya. Aku Reyhan” ucap Reyhan
seketika menyadarinya. “Kau sendirian?” Tanyanya. “Tidak, tadi aku bersama ibu
dan ayah. Tapi aku mencoba berkeliling melihat-lihat sekeliling kompleks ini.
Sekarang entah mereka ada di mana” jawab Nadia dengan nada agak khawatir. “Jadi
kau kehilangan jejak yah?” Nadia mengangguk. Reyhan mengernyitkan dahi. “Apa baru
pertama kali kesini?” tanya Reyhan lagi. “Hehe, bisa dibilang seperti itu” jawab
Nadia dengan melebarkan senyumnya, mencoba menyembunyikan rasa khawatirnya. “Lalu
bagaimana kau nanti pulang?” Tanya Reyhan yang melihat kekhawatiran itu. “Oh, tenang.
Aku bawa HP kok. Aku sudah sms ibu. Nanti aku tunggu di mobil... Tapi... Aku
lupa tempat parkirnya” ungkap Nadia sedikit menyunggingkan bibir, setengah
berharap Reyhan dapat mengantarnya ke tempat parkir. Tak dapat lagi ia
menyembunyikan rasa khawatirnya demi gengsi.
Hujan segera reda. Orang-orang
kembali meneruskan aktivitasnya. Keluarga Reyhan masuk ke pendopo kompleks
makam Syekh Jumadil Kubro. Pendopo paling besar di antara pendopo lain di kompleks makam tersebut. Reyhan memilih tak
mengikuti mereka masuk pendopo makam. Ia dengan sembunyi-sembunyi memilih balik
ke area parkir mobil mengantarkan Nadia. Setelah berputar-putar mengelilingi
area parkir. Akhirnya Nadia menemukan tempat mobil ayahnya diparkir. Dan tempat
itu tepat di sebelah mobil keluarga Reyhan terparkir. Di sana keluarga Nadia
telah menyambut dan bersiap pulang. “Kemana saja kau ini?” tanya ibunya penuh
khawatir. Nadia hanya menunduk. Dan Rayhan segera kembali ke kompleks makam.
Wonokromo, 27’
Tidak ada jadwal kuliah hari ini.
Reyhan berniat pergi ke toko buku Gramedia. Sudah lama sekali ia tak membeli
buku bacaan lagi. Mendung dengan cepat merata dan tak kuasa menahan debit air
yang dikandungnya. Hujan turun saat ia baru saja sampai di dekat halte depan Royal
Plasa. Reyhan meminggirkan motornya dan berteduh di halte itu. Hanya ada
beberapa orang di sana. Tapi tak dihiraukan oleh Raihan. Segera ia mencari
tempat bersandar. Di tiang penyangga halte. Ia keluarkan headset dari dalam
tasnya. Digantungnya di daun telinga, lalu musik ia putar dari handphone-nya.
Reyhan larut dalam dunianya sendiri.
Nadia, yang tengah menunggu
kedatangan bus sedari tadi mengamati kedatangan Reyhan. Ia masih belum percaya
ia dipertemukan lagi dengan Reyhan. Dengan ragu ia melangkah mendekat ke Reyhan
yang berdiri di pojokan halte, bersandar pada tiang halte dengan headset
menggantung di telinga. Nadia memastikan itu Reyhan. Ditatapnya lekat-lekat,
lalu ia menepuk lengan Reyhan. Reyhan yang tengah terpejam dan asyik mendengar
musik sontak terkaget. Di hadapannya seorang gadis yang pernah ia temui – entah
dimana. Rayhan belum teringat. “Hai, masih ingat gak?” tanya nadia dengan
tersenyum lebar. Rayhan melepas headsetnya. Mulut Rayhan masih menganga dan ia
masih mencoba mengingat-ingat. “Maaf.. Sebentar...” Rayhan memejamkan mata,
berusaha keras mengingat wajah itu. “Troloyo, makam, hujan, mobil... “ Nadia
mencoba membantunya. “Aha.. Nadia..” Lontar Rayhan dengan penuh semangat. Ia
tertawa senang. Antara bisa menebak, dan belum mempercayai pertemuan ini. “Maaf,
belum sempat terima kasih sudah mengantarkanku ke area parkir waktu itu” ucap Nadia
menyesal. “Oh, no problem.. “ balas Reyhan dengan melebarkan senyumnya. “Dengerin
lagu apa sih, sampe menghayati banget ...?” Ledek Nadia. Reyhan mengenakan
headsetnya ke telinga Nadia. “....then darlin’
don’t refrain.. Or i’ll just end up
walking, in the cold November rain.. Do you need sometimes, on your own... Do
you need sometimes, all alone.. Everybody need sometimes.. On their own...”
Nadia menikmati dan menirukan lagu itu hingga lirik terakhir. Ia melepas dan
mengembalikan headset Reyhan. “Suka juga?” tanya Reyhan yang daritadi menyimak Nadia
menyanyi menirukan lagu. “Yah, November rain. Pas banget. Hehe” ungkapnya. “Penggemar
Guns n' Roses?” “Ah, gak juga. Hanya beberapa lagunya aku suka”. “Suaramu
bagus juga, cocok buat diajak ngamen, hehe” Goda Reyhan. Nadia hanya tertawa.
“Kau sendirian saja, mau kemana?” tanya Reyhan berbasa-basi. “Kau juga
sendirian..” Balas Nadia merasa tersindir. “Hehe.. Everybody need sometimes.. On their own..” Jawab Reyhan , menirukan
lagu yang baru saja didengar nadia. Mereka tertawa bersama. [ ]
“ Sebagaimana pertemuan setiap helai daun yang
berguguran dengan tanah, begitulah DIA mengatur dan merencanakannya. Tak ada
yang kebetulan di semesta ini. Termasuk pertemuanku denganmu, dengan setiap
orang, dengan setiap hewan, dengan setiap tumbuhan, dengan panas, dengan hujan,
dengan sedih, dengan riang, dengan cinta, dengan pupus.... semua telah
terencana oleh-NYA “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar