TUGIEZLAND

Kamis, 28 November 2013

NOVEMBER RAIN

Troloyo, 7’
Mobil melaju memecah sunyi malam Jum’at Kliwon, menyusuri jalanan yang basah oleh rintik hujan. Agaknya cuaca sangat mendukung dengan menjadi background kesedihan seorang pemuda di dalamnya. Ia tak sendirian di dalam mobil. Sekeluarganya di dalam sana, dengan celotehan adik-adiknya yang tak henti sepanjang jalan. Tapi, ia masih merasa sendiri, jiwanya tertinggal di rumah, di dalam kamar, di atas kasur, berbaring kaku dan terlelap di sana. “Kita temenan aja, yah?” Kalimat itu terngiang-ngiang selalu sepanjang jalan olehnya. Ada sedikit kegetiran, ada kebahagiaan dan kebebasan. Yah, tidak lebih dari sebulan ia berpacaran dengan seorang yang mungkin sangat ideal baginya. Dan pagi ini, ia meminta putus. Satu sisi, ia merasa sangat puas telah meninggalkan kegundahannya – ia tak benar-benar mencintai gadis itu, bahkan ia tak mengenali pribadinya. Ada perasaan lega, ada beban berat yang seakan telah dibuangnya. Selama 5 hari ia tak menghubungi gadis itu. Memang disengaja. Dan kalimat yang selalu terngiang itu, sebenarnya adalah harapan yang ia tunggu-tunggu selama ini.

Lalu kenapa ia bersedih? Ia tersadar, bahwa gadis itu – gadis terbaik yang pernah dikenalnya. Agaknya ia menyesali mengapa ia lakukan itu dengan mudahnya. Ia menyesal menyiakan kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. Ada kegetiran yang sangat menyesakkan dada. Udara dalam mobil semakin pengap. Ia lebih memilih untuk menikmati cinta sepihaknya pada gadis lain yang jelas-jelas telah memiliki kekasih. Ia memilih mempertahankan prinsip idealisnya – mencintai apa yang benar-benar ia cintai. Cinta yang bukan karena obsesi, cinta yang bernyawa. “Bodoh, absurd sekali, alasan yang terlalu naif untuk menyiakan cinta yang jelas-jelas menyambutku” pikirnya dalam hati.


Tiris, 24’
Seharian Nadia di sini menghabiskan waktu bersama keluarga dan rekan-rekan ibunya. Ini adalah kali pertama ia mengikuti petualangan para pecinta alam. Ia tak pernah mengunjungi lokasi-lokasi wisata yang terlalu pelosok dan ekstrim. Biasanya ia hanya nikmati pantai – itupun pantai yang telah dikelola sebagai destinasi wisata populer. Kalaupun ke pegunungan, ia hanya berkutat di tempat wisata sekeliling villa milik ayahnya.


Petualangannya dimulai dari tempat parkir basecamp ‘Noars Rafting’. Ia harus menaiki mobil bak terbuka bekas digunakan memuat kambing. Tercium dari bau kotoran kambing yang tersisa meski mobil telah dibersihkan. Mobil berangkat menyusuri jalanan pedesaan, melintasi persawahan, hutan, dengan jalanan tak beraspal. Nadia berdiri di pinggir, bersandar di palangan pipa besi, di dekat ibunya, dengan perasaan yang keruh, antara senang, sedih, takut, kagum, getir, bercampur aduk. Satu bayangan wajah tergambar dari balik pohon-pohon melintasi angan Nadia. Wajah itu mendominasi lamunannya di perjalanan menuju start rafting. Ada rasa kesal – wajah itu tak juga hilang dari pikirannya, meski ia telah pergi sejauh ini, di pelosok desa ini. Nadia tak ingin mengingat pemuda pecinta alam itu lagi. Tapi alam terus mengingatkannya. “Ah, kenapa juga aku setuju dengan ajakan ibu kemarin. Alih-alih meredam ingatanku tentangnya, malah segala hal disini akan membawaku kembali bernostalgia dengannya” pikir Nadia dalam hati menyadari kesalahannya. 

Ibunya terus berteriak kala mobil melaju kencang menuruni perbukitan terjal, berbelok dengan lincahnya, menelusuri pinggiran jurang yang curam.  “Aaaahhh... Ini bukan roller coester....” teriak ibunya sekali lagi disambut tawa para penumpang lain. “Mbeeeek...mbeeekk...” beberapa menirukan suara kambing, beberapa berceloteh riang. Tapi, hiruk-pikuk keriangan penumpang mobil itu hanya terdengar sayup-sayup oleh Nadia yang sesekali ikut tersenyum. Pikirannya melayang jauh di rumahnya, di kampus tempatnya kuliah, di tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama  Elang, mantan kekasihnya, seorang pecinta alam.

Celep, 25’
Hujan tak juga reda. Memaksa mereka menahan diri untuk pulang. Tak ada percakapan diantara mereka. Sesekali saling melirik dan diam-diam tersenyum dalam hati masing-masing. Sunyi. Mata mereka kadang saling bertemu. Tapi tetap tak mengubah keheningan. Ada perasaan berat menghinggapi keduanya, seakan menyetujui untuk diam dalam keheningan masing-masing.

“Rey..” ucap Elena memecah sunyi. Suara itu ia keluarkan dengan susah-payah. Ada yang menahannya selama setengah jam ia berteduh di kantin yang telah kosong. Mahasiswa telah banyak yang pulang sejak tadi siang. Hanya mereka berdua yang terjebak hujan sore hari, di kantin itu. Perasaan lega mengaliri darah Nadia, seakan mencairkan es yang membelit dan membekukan tubuhnya sejak tadi, es yang menahan kata-kata keluar dari mulutnya. “Yah...” Jawab Reyhan. Ada perasaan yang sangat senang, sekaligus benci ketika Reyhan mendengar Elena memanggilnya. Telah berusaha keras agar ia menghilangkan rasa cinta itu pada Elena. Rasa cinta yang membuatnya meninggalkan gadis ideal yang mencintainya. Dan sialnya, momen ini membuat cintanya pada Elena semakin membara lagi. “Entahlah, kita dipertemukan lagi” sambung Reyhan sambil mengangkat bahunya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Elena tersenyum.“Kau menyesal?” tanyanya dengan sangat hati-hati. Elena menyadari, ia pernah menanamkan benih cinta itu padanya, tanpa ia menuai buahnya. Ia sadar telah membuat Rey sedemikian sedih oleh ulahnya. “Aku tak pernah menyesali setiap pertemuanku denganmu” jawab Reyhan dengan sedikit senyum. Terasa kecut. Dalam hatinya ada gejolak yang membuat ia terbagi dua, antara ingin segera meninggalkan tempat itu, dan yang ingin berlama-lama disitu bersama Elena. “Kau baru keluar fakultas, kenapa?” Tanya Reyhan mengalihkan perasaannya agar seolah tak terjadi apa-apa. “Ya, ada pelatihan membuat proposal dari pak dekan tadi. Kau sendiri?” Sahut Elena. “Oh, seperti biasa, memanfaatkan fasilitas wifi kampus” jawab Reyhan dengan tersenyum. Senyum yang semakin memperjelas kegundahannya. Mereka terdiam lagi. Hening.  

Elena menghela nafas panjang. “Aku tau, Rey. Ini sangat berat. Tapi, bukankah pertemuan dan takdir memang telah digariskan?” ucap Elena dengan menatap mata Rey lekat-lekat, memecah sunyi. Ada perasaan menyesal dalam dirinya setelah mengucapkan itu. Namun kepalang tanggung, ia meneruskan dengan menundukkan kepala, berharap tak bertatapan langsung dengan mata Reyhan, kali ini, untuk menguatkan hatinya. “Rey, aku sudah tau semuanya. Kenapa kau lakukan, Rey? Kau tak bisa menungguku lagi. Aku telah memutuskan hidup untuk hari ini. Bukan masa depan, juga masa lalu. Rey. Kau tak bisa terus-menerus membayangkan kita akan bersama di masa depan. Takdir melebihi prasangka perasaan, Rey. Kau tau itu. Sekuat apapun perasaan kita, kita tak kan mampu menolak bagaimana jodoh kita nanti. Aku.. Aku hanya ingin menjalani masa ini, bersama kekasihku saat ini, Rey. Ku harap kau mengerti” kalimat terakhir Elena semakin diucapkannya melemah, seperti tersangkut di antara kerongkongan. Ucapan Elena membuat hati Reyhan semakin getir. Meski satu sisi ia lega telah mendengar langsung ungkapan Elena, menegaskan ia memang tak berhak lagi mencintainya. Tangannya mengelus pipi Elena, mendongakkan kepalanya sehingga mata Elena bertatapan langsung dengan matanya. “Len, aku tau itu. Dan kau tau mengapa ku lakukan itu. Aku tak pernah mencintainya, Len. Aku tak bisa memaksakan perasaanku. Aku tau dia sahabatmu. Tapi, aku.... “ Rey tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. “..Aku mencintaimu, Len” terusnya dalam hati. Reyhan merasa telah melihat jelas ada cinta di mata Elena. Rey paham, Elena hanya berusaha realistis. Ada desakan untuk segara meninggalkan tempat itu, semakin kuat. Rey tak ingin lagi membebaninya. Meski ia tahu, ia sangat ingin mengucapkannya. Rey berlalu pergi menembus hujan, membasahi seluruh tubuh serta pakaian dan tas yang melakat di tubuhnya. “Rey.. Rey.. ” suara Elena memanggil, tak terdengar oleh Reyhan. Tertelan suara derasnya air hujan menimpa tanah.

Troloyo, 7’
Mobil memasuki area parkir yang penuh. Sangat sulit mencari area kosong untuk memarkirkan mobil. Dan akhirnya ada satu tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Itupun dengan menyerobot mobil yang baru saja meninggalkan area parkir. Di malam Jum’at Kliwon, kompleks pemakaman Syekh Jumadil Kubro memang selalu penuh sesak oleh berbagai pengunjung dari berbagai daerah. Ada banyak tujuan diantara mereka. Ada yang sekedar jalan-jalan di sekitar area makam yang mendadak jadi pasar, ada yang berdo’a khusyuk dan melantunkan tahlil, ada yang menyendiri bertapa di makam raja-raja yang telah masuk islam, ada yang meminta pesugihan – membawa kemenyan yang dibakar, ada yang mengemis, berpacaran, dan bahkan berjudi. Keluarga Reyhan sendiri sering datang ke tempat ini. Hanya berniat mendoakan dan mengucap syukur karena ada Syekh Jumadil Kubro datang disini, dahulu kala. Mereka membayangkan, bila saja pengusung ajaran islam pertama di tanah jawa itu tak pernah datang, mungkin mereka tak kan pernah mengenal islam. Keluarga Reyhan memang memprioritaskan religiuitas dalam keseharian mereka. Reyhan sendiri, masih baru kedua kalinya datang ke sini. Itupun karena dipaksa. Reyhan malas mendatangi tempat-tempat seperti itu. Alasannya jelas, ia melihat banyak terjadi kesalahan niatan yang dilakukan orang-orang. Dan malam ini Reyhan membuktikannya lagi, betapa makam – lebih terkesan dijadikan tempat hiburan.


Lamunan Reyhan selama perjalanan dalam mobil tadi terhenti dan berangsur meninggalkannya pergi. Pikiran dan hatinya kini tertarik pada ironi-ironi yang terjadi di sekitar kompleks makam. Betapa banyaknya orang-orang berbusana muslim dengan seenaknya membuang sampah. Betapa kotornya pendopo tempat peristirahatan pengunjung. Betapa mirisnya, para ibu berkerudung duduk bersimpuh memangku seorang-dua-tiga orang anak meminta-minta receh dari pengunjung. Betapa ia melihat para sejoli bergandengan mesra di keramaian , di tengah suara-suara tahlil, tahmid, yaasin, yang mendengung seperti kumpulan lebah. Yah, suasana itu berhasil mengalihkan lamunannya, selalu. Selalu ia tertarik dengan suasana seperti itu. 

Hujan mulai turun membasahi kompleks pemakaman. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Reyhan sendiri memilih berlari ke pendopo tempat peristirahatan pengunjung untuk berteduh. Belum juga sampai di pendopo, seorang gadis berlari dan menabraknya dari belakang. “Oh, maaf..” Katanya. Reyhan berlari lagi dan berhasil menuju pendopo. “Maaf tadi menabrakmu. Aku.. Aku tergopoh. Maaf” ucap seorang gadis sambil menjulurkan tangan, dengan kepala yang menunduk. “Oh, tidak apa, aku paham” sambut Reyhan dan menyalami gadis itu. Gadis itu mendongakkan kepala “Terima kasih, namaku Nadia. Terima kasih”. “Yah, lain kali hati-hati”. Gadis itu mengangguk. Seketika keheningan merasukinya diantara riuh rendah suara percakapan orang-orang di pendopo peristirahatan. “Oh, iya. Aku Reyhan” ucap Reyhan seketika menyadarinya. “Kau sendirian?” Tanyanya. “Tidak, tadi aku bersama ibu dan ayah. Tapi aku mencoba berkeliling melihat-lihat sekeliling kompleks ini. Sekarang entah mereka ada di mana” jawab Nadia dengan nada agak khawatir. “Jadi kau kehilangan jejak yah?” Nadia mengangguk. Reyhan mengernyitkan dahi. “Apa baru pertama kali kesini?” tanya Reyhan lagi. “Hehe, bisa dibilang seperti itu” jawab Nadia dengan melebarkan senyumnya, mencoba  menyembunyikan rasa khawatirnya. “Lalu bagaimana kau nanti pulang?” Tanya Reyhan yang melihat kekhawatiran itu. “Oh, tenang. Aku bawa HP kok. Aku sudah sms ibu. Nanti aku tunggu di mobil... Tapi... Aku lupa tempat parkirnya” ungkap Nadia sedikit menyunggingkan bibir, setengah berharap Reyhan dapat mengantarnya ke tempat parkir. Tak dapat lagi ia menyembunyikan rasa khawatirnya demi gengsi.

Hujan segera reda. Orang-orang kembali meneruskan aktivitasnya. Keluarga Reyhan masuk ke pendopo kompleks makam Syekh Jumadil Kubro. Pendopo paling besar di antara pendopo lain di  kompleks makam tersebut. Reyhan memilih tak mengikuti mereka masuk pendopo makam. Ia dengan sembunyi-sembunyi memilih balik ke area parkir mobil mengantarkan Nadia. Setelah berputar-putar mengelilingi area parkir. Akhirnya Nadia menemukan tempat mobil ayahnya diparkir. Dan tempat itu tepat di sebelah mobil keluarga Reyhan terparkir. Di sana keluarga Nadia telah menyambut dan bersiap pulang. “Kemana saja kau ini?” tanya ibunya penuh khawatir. Nadia hanya menunduk. Dan Rayhan segera kembali ke kompleks makam. 

Wonokromo, 27’
Tidak ada jadwal kuliah hari ini. Reyhan berniat pergi ke toko buku Gramedia. Sudah lama sekali ia tak membeli buku bacaan lagi. Mendung dengan cepat merata dan tak kuasa menahan debit air yang dikandungnya. Hujan turun saat ia baru saja sampai di dekat halte depan Royal Plasa. Reyhan meminggirkan motornya dan berteduh di halte itu. Hanya ada beberapa orang di sana. Tapi tak dihiraukan oleh Raihan. Segera ia mencari tempat bersandar. Di tiang penyangga halte. Ia keluarkan headset dari dalam tasnya. Digantungnya di daun telinga, lalu musik ia putar dari handphone-nya. Reyhan larut dalam dunianya sendiri.

Nadia, yang tengah menunggu kedatangan bus sedari tadi mengamati kedatangan Reyhan. Ia masih belum percaya ia dipertemukan lagi dengan Reyhan. Dengan ragu ia melangkah mendekat ke Reyhan yang berdiri di pojokan halte, bersandar pada tiang halte dengan headset menggantung di telinga. Nadia memastikan itu Reyhan. Ditatapnya lekat-lekat, lalu ia menepuk lengan Reyhan. Reyhan yang tengah terpejam dan asyik mendengar musik sontak terkaget. Di hadapannya seorang gadis yang pernah ia temui – entah dimana. Rayhan belum teringat. “Hai, masih ingat gak?” tanya nadia dengan tersenyum lebar. Rayhan melepas headsetnya. Mulut Rayhan masih menganga dan ia masih mencoba mengingat-ingat. “Maaf.. Sebentar...” Rayhan memejamkan mata, berusaha keras mengingat wajah itu. “Troloyo, makam, hujan, mobil... “ Nadia mencoba membantunya. “Aha.. Nadia..” Lontar Rayhan dengan penuh semangat. Ia tertawa senang. Antara bisa menebak, dan belum mempercayai pertemuan ini. “Maaf, belum sempat terima kasih sudah mengantarkanku ke area parkir waktu itu” ucap Nadia menyesal. “Oh, no problem.. “ balas Reyhan dengan melebarkan senyumnya. “Dengerin lagu apa sih, sampe menghayati banget ...?” Ledek Nadia. Reyhan mengenakan headsetnya ke telinga Nadia. “....then darlin’ don’t refrain..  Or i’ll just end up walking, in the cold November rain.. Do you need sometimes, on your own... Do you need sometimes, all alone.. Everybody need sometimes.. On their own...” Nadia menikmati dan menirukan lagu itu hingga lirik terakhir. Ia melepas dan mengembalikan headset Reyhan. “Suka juga?” tanya Reyhan yang daritadi menyimak Nadia menyanyi menirukan lagu. “Yah, November rain. Pas banget. Hehe” ungkapnya. “Penggemar Guns n' Roses?” “Ah, gak juga. Hanya beberapa lagunya aku suka”. “Suaramu bagus juga, cocok buat diajak ngamen, hehe” Goda Reyhan. Nadia hanya tertawa. “Kau sendirian saja, mau kemana?” tanya Reyhan berbasa-basi. “Kau juga sendirian..” Balas Nadia merasa tersindir. “Hehe.. Everybody need sometimes.. On their own..” Jawab Reyhan , menirukan lagu yang baru saja didengar nadia. Mereka tertawa bersama. [ ]

Sebagaimana pertemuan setiap helai daun yang berguguran dengan tanah, begitulah DIA mengatur dan merencanakannya. Tak ada yang kebetulan di semesta ini. Termasuk pertemuanku denganmu, dengan setiap orang, dengan setiap hewan, dengan setiap tumbuhan, dengan panas, dengan hujan, dengan sedih, dengan riang, dengan cinta, dengan pupus.... semua telah terencana oleh-NYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar