TUGIEZLAND

Selasa, 05 November 2013

STELLA



“Tidak, terlalu rumit membayangkan seperti apa bersanding di pelaminan, dengan pandangan mata yang saling bertolak satu sama lain. Dunianya, adalah berjuta bintang mengerlip indah, di sana, di angkasa – yang tak kan pernah ia capai. Mereka menawarkan mimpi-mimpi, hingga tiap malam ia rela menyempatkan waktu sejenak, menghitung cahaya gemerlap bintang – berharap suatu saat ia dapat peluk, pun satu saja. Dunianya, adalah dunia orang modern kebanyakan : berbelanja, mengikuti trend, nonton film, jalan-jalan, dan kesenangan-kesenangan lainnya. Dunianya, adalah kesibukan melototi layar HP tiap menitnya. Yah, dunianya adalah dunia orang-orang kebanyakan : dunia wajar manusia modern. Dunia Stella, gadis berdarah Jawa-Manado yang kusayangi, adalah dunia yang diimpikan kebanyakan orang masa kini.

Aku Damar, aku menganggap dunia Stella adalah dunia yang diluar jangkauan anganku. Bagiku, dunia seperti itu hanya menawarkan mimpi semu, seperti yang ditawarkan para binrang pada Stella. Aku menganggap, entah kenapa, dunia modernitas membuat banyak terbuai mimpi-mimpi kesejahteraan. Yang demi mimpi itu, banyak orang rela mengorbankan apapun – termasuk mungkin : harkat-martabat sebagai ”manusia”. Jalan pintas dianggap pantas demi tercapainya tujuan, instan adalah keseharian modernitas – agar lebih efektif-efisien, katanya. Idealku, selalu memandang bahwa orang-orang yang terlarut buai modernitas – adalah orang-orang yang tertidur dalam keindahan mimpi. Meski kenyataan, aku sendiri seringkali mempunyai hasrat yang cukup besar untuk juga memiliki dunia seperti itu. Dan kenyataan pula, aku hidup dalam keglamoran modernitas : motor, TV, HP, laptop, adalah keseharianku juga. Lantas, siapa yang sedang bermimpi? 

Yah, engkau bisa jawab akulah orang yang sedang bermimpi dalam dunianya sendiri : Dunia Utopis. Tapi aku sebenarnya sangat ingin mengungkapkan mengapa aku seperti demikian? Tapi aku ragu, adakah engkau mau mendengarku.”

***

“Aku Stella, senang sekali bisa belanja bareng mama. Kalau sama mama, pasti keturutan semua yang ku ingin, dengan sedikit rayuan tentunya. Hari ini aku bawa belanjaan banyak sekali. Dan yang kuidam-idamkan bulan lalu, kini sudah tercapai : tablet i-phone keluaran terbaru. Sebenarnya sudah punya tablet di rumah, tapi kemarin belinya yang murahan : merk lokal, malu kalau dibawa ke kampus. Selain tablet, beberapa stel baju juga kuborong, mumpung lagi diskon besar-besaran. Hehe, mama sendiri juga belanja banyak banget, mentang-mentang baru gajian.

Ini hidupku, mungkin engkau menganggap aku orang yang boros sekali. Tapi bagiku tidak, inilah hidup. Siapa bilang aku boros, aku menyisihkan uang sakuku tiap harinya untuk ku tabung. Dengan begitu aku mencukupi hasratku. Sebenarnya barang-barang yang kubeli tidak terlalu kubutuhkan, tapi hanya dengan itu eksistensiku diakui. Ah, siapa yang tidak ingin memiliki barang-barang seperti itu, di masa kini. Kita hidup di masa ini, bukan masa lalu. Aku heran melihat orang-orang yang sok gak mau nonton film, belanja ke mall, atau lambang-lambang modernitas lainnya, padahal tiap harinya mereka menggunakan barang-barang hasil inovasi modernitarian.

Tapi, entah kenapa, aku tertarik dengan seorang cowok di kelasku yang dandanannya kacau sekali. Ia terlihat norak, kurang pergaulan, culun, pokoknya dia sangat aneh untuk ukuran orang kebanyakan. Dunianya, sepertinya ia hidup dalam dunianya sendiri, mencoba melawan arus besar. Mungkin itu yang membuatku tertarik, ia punya pendirian kuat untuk melawan arus. Seperti ikan teri yang mencoba menyebrangi samudra, melawan ombak, dengan tubuh sekecil itu. apa yang dipikirkannya, itu yang membuatku penasaran. Ia sering membuatku terkagum oleh aksinya yang tak terduga. Pernah suatu kali di hari ulang tahunku, ia tiba-tiba memberikanku pesawat dari kertas, lalu disuruhnya aku untuk memainkannya. Sebuah kesederhanaan yang mampu membuatku tersrenyum saat itu. Entah, kenapa hanya dengan pemberian itu saja aku merasa spesial di hari ulang tahunku. Mungkin karena sisi lain dari kebiasaanku yang selalu menerima kado berupa barang-barang mahal dari keluarga atau mantan-mantan pacarku dulu.

Tapi jangan, aku tak bisa membayangkan bagaimana menjadi kekasihnya bahkan untuk tinggal serumah dengannya kelak. Ini merusak eksistensiku, di hadapan keluarga dan teman-temanku. Kalaupun toh penampilannya jauh lebih bagus, aku tak mungkin bisa membayangkan suatu saat nanti menjadi istrinya. Keinginan dan kebiasaanku mengikuti trend akan terhalang oleh prinsipnya. Oh tidak, jangan... 
***

“Barangkali, sedikit saja kuikuti kehendak bebas arus besar modernitas. Toh tak ada salah jika aku berenang melepas penat hidup. Yah, barangkali aku perlu mencoba untuk berlajar berenang di kolam modernitas untuk kemudian aku dengan bebas bisa menyelam di arus sungai besar modernitas untuk menangkap ikan. Yah, secuil kenikmatan yang nantinya akan kudapatkan setelah kuberanikan diri mencebur ke air. Dan, toh tak selamanya aku berenang setiap waktu, hanya melepas penat saja bukan? “
***

“Kulihat ia sedikit mengikutiku. Ah, ternyata dia seperti kebanyakan cowok lain. Hanya bersemangat dengan gairah imajinasinya. Ah, dia juga plagiat ulung dengan mengikutiku memandangi bintang-bintang di langit lalu menghitungnya. Semakin terlihat culun saja itu cowok. Dan kini, aku tahu, ia tak lagi memberiku rasa penasaran akan dunianya. Dunia yang ia hinggapi kini sungguh sangat jauh dari apa yang kulihat di awal pertemuanku dengannya dulu. Ia benar-benar kehilangan diri.

Kudengar dari teman-temanku, ia menyukaiku. Dan karena itu ia rela untuk berusaha keras menceburkan diri ke dalam air kolam untuk belajar berenang. Dan, sayang sekali, ia terlalu sok akan kemampuannya. Kurasa dia belum terlalu mahir saat menceburkan diri ke dalam sungai besar modernitas itu. Jika kau tanya bagaimana perasaanku? Yah, aku sedih. Aku sedih bukan karena dia tenggelam. Aku sedih menyesali sikapku sendiri yang tak acuh terhadapnya meski ku tau aku juga menyukainya. Entahlah, di satu sisi aku juga senang. Yah, aku tak lagi ragu dan kini semakin mantap bahwa dia memang tidak pantas untuk bersanding di pelaminan denganku. Aku senang melihat ia tenggelam, terseret ganas modernitas. Dan aku kini lebih leluasa untuk memilih pria idealku tanpa harus terbelenggu ikatan perasaan yang diam-diam kurajut untuknya...”

***

“... Aku benar-benar tak pernah memikirkan resiko buruk yang akan kuhadapi saat aku mencoba untuk menceburkan diri ke sungai itu. Yang kulihat saat itu adalah ikan dan kesenangan kecil yang akan kudapatkan nanti. Aku lupa bahwa air dalam kolam dengan air dalam sungai besar sangatlah berbeda. Aku terlalu percaya diri akan kemampuan berenangku yang padahal baru saja bisa, itupun hanya di dalam kolam. Dan alhasil, kini baru kusadari betapa cerobohnya diriku. Aku tenggelam dan terseret arus besar sungai modernitas tanpa bisa memilahnya. Aku terjebak oleh ulah sok-sok’an ku sendiri. Dan kini, aku terkatung-katung kebimbangan tanpa mendapatkan satupun kesenangan, juga ikan yang kuidamkan. Dari kejauhan, kulihat Stella, gadis pujaanku itu tersenyum simpul melihatku terhuyung-huyung, meski beberapa kali terkadang kupergoki ia mengusap airmatanya.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar