Dalam suatu masa, dimana langit-langit gelap tanpa bintang, Burung-burung menghentikan kicaunya, hujan tak mau menginjakkan jidatnya ke bumi. Petir meraung-raung bersiap memangsa, angin berteriak menyapu segala apa yang ia lewati. Hari itu sangat keruh, kerusakan dimanapun. Kehampaan menyelimuti mereka yang tak bertopeng. Ketakutan akan kegelapan yang membuat mata manusia saling menabrak, memakan sesama. Tak jelas mana lelaki mana wanita, mana hitam mana putih, mana asli mana palsu.
Sementara mereka yang bertopeng takkan merasakan apapun. Dalam
dunia mereka, hari itu sangatlah cerah, mentari bersinar cerah seolah menyapa
mereka dengan penuh senyuman. Mereka masih riang berpesta. Beberapa wanita
berjoget riang. Burung burung masih terdengar berkicau oleh mereka, namun dari
kejauhan terlihat penderitaan yang amat mendalam, petir-petir menyambar, burung
bangkai melatuki kepala manusia. Angin memutar-mutar menerbangkan gunung-gunung.
Lahar muncat tak terarah ke segala
penjuru, dan orang orang juga berlarian tak terarah..
Sementara kaum yang setengah bertopeng
terlihat kebingungan. Ia hidup diantara dua dunia yang amat kontras. Ia menoleh
ke kanan dan ke kiri. Di sebelah kirinya, ia melihat kesenangan, kecerahan, dan
kebahagaiaan. Namun, jauh dibalik itu semua ia melihat penderitaan yang
mendalam. Sementaara di sisi kanannya ia berduka, ia agak takut menatapnya.
Terlihat olehnya kesedihan yang amat mendalam, penderitaan, jeritan riuh
dimana-mana, dan segala kesakitan lainnya menakuti jiwanya. Tapi dari kejauhan,
di balik semua itu, ia melihat kedamaian yang sempurna. Matanya berbinar
melihat itu. tapi ia ragu untuk melangkah ke arah kanannya. Itu karena ia harus
melewati segala penderitaan untuk menuju pulau kedamaian yang ia lihat dari
kejauhan. Ia ragu melangkah, apakah yang ia lihat itu nyata, atau hanya ilusi
belaka. Ia bingang manakah diantara keduanya yang nyata.
Sementara Dajjal melenggong ria di depan kaum
peragu. Ditampakkan oleh Dajjal padanya surga yang sangatlah indah. Para
bidadari bertopeng menggoyang-goyangkan pinggul, makanan apapun tersedia, surga
yang teramat indah. Namun kaum peragu melihat neraka di balik itu semua. Nampak
jelas di mata mereka siksa-siksa yang dialami – namun, kaum peragu tak juga
mengambil langkah, kiri atau ke kanan. Ia masih saja melihat sebuah fatamorgana
dari kacamata logika dan perasaannya semata, bukan dari buku petunjuk – kitab
suci Al-Qur’an yang tak diragukan kebenarannya. Pandangannya semakin lama
semakin kabur, dan mereka semakin sulit menemukan kesejatian. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar