TUGIEZLAND

Kamis, 21 November 2013

KEBEBASAN


Suatu malam dimana langit tak menampakkan bulan bintang karena tertutup mendung,  aku didatangi sesosok makhluk dengan wajah berseri seakan ia baru saja mendapat harta karun berlimpah. Makhluk itu berwujud seperti setan, eh tapi bukan, malaikat juga bukan, (lah aku sendiri saja belum pernah melihat keduanya). Entahlah, aku menyebutnya Brokotok. Ia menghampiriku membawakan kursi, ia menyebutnya kursi perenungan. Ia menyuruhku menduduki kursi tersebut, tapi aku ragu-ragu. Ia membentak dan mendorongku keras hingga aku terduduk di kursi itu.

Kursinya sangat mewah dengan bantalan yang empuk. Kaki-kakinya berlapis ukiran emas. Sementara di bagian atasnya terdapat atap yang juga berlapis emas, jadi semacam singgasana raja, yah begitulah. Namun, sebagus dan senyaman apapun kursi itu, aku tak merasa nyaman untuk berlama-lama di kursi tersebut. Aku segera ingin pergi dari jeratan makhluk itu. Brokotok. Ia tersenyum kecut melihatku yang masih tak tenang dan terlihat gusar menduduki kursi itu. Aku mencoba melompat, tapi ia menahanku. Semakin keras usahaku untuk melawannya, ia semakin justru kuat untuk menahanku. Ia tertawa memperolokku. Akhirnya aku hanya bisa diam, pasrah terduduk di kursi tersebut. Setelah puas tertawa, segera ia menatapku dengan muka sangat serius melebihi keseriusan wajahnya sendiri. Aku kini tegang dibuatnya. 


“Hai anak manusia!! Makhluk dengan segala potensi untuk menentukan pilihan!!!  Tidakkah kau tau apa yang akan kuceritakan padamu, Hah?!” Ia membentak keras. Suaranya membahana seakan dapat memecah langit malam yang sunyi itu. Aku terpojok kaku tak tergerak. Ia terbahak melihat kegugupanku. Aku gugup dan kebingungan melihat tingkahnya, ia membiarkanku berada dalam kegugupan dengan tetap terbahak sambil lalu ia mulai bercerita “kau tau, aku baru saja singgah di suatu negeri, negeri dimana makhluk-makhluk sepertimu membicarakan kebebasan setiap harinya. Bahkan mereka menyembah kebebasan layaknya tuhan”. Aku masih kebingungan, tapi ia tetap melanjutkan kisahnya, “Aku tak mengerti benar sejarah dari negeri itu. Tapi hari ini aku lihat mereka sungguh amat konyol. Lebih konyol dari anjing yang memutar-mutar memburu ekornya sendiri. Betapa tidak, mereka mendengungkan kebebasan, tapi tak tau tentang arti kebebasan. Aku sendiri terheran. Apa kau juga demikian konyol?! Apa yang kau tau tentang kebebasan?” aku yang masih bingung dengan apa yang diceritakannya, malah ditanya dengan pertanyaan yang menyudutkan. Lagi-lagi aku hanya terdiam tak menjawab juga tak bergerak. Aku juga agak tersinggung dengan ucapannya yang seakan melecehkan manusia.

Ia terbahak kembali, kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya. Sampai-sampai menggugurkan dedaunan pohon mangga disebelahku. Ia menyodorkan telunjuknya tepat diantara kedua mataku. Matanya menatapku lebih tajam dibandingkan tadi, seakan hendak menerkam dan merasuki tubuhku. Momentum itu berlangsung beberapa menit, keheningan seakan ikut mendukung suasana. Suara dedaunan yang tertiup angin pun terdengar jelas meresapi suasana tegang itu. tubuhku bergetar, jantung berdetak kencang, nafas memburu tak karuan, bulu kudukku kaku merinding. Meski begitu mataku tak mampu terpejam, masih tetap menatap mata Brokotok yang tajam menatapku itu. “Juhhh..!!!” Ia meludahi wajahku, sontak aku terkaget menerima sikap kasarnya. Spontan aku terperanjat dari kursi perenungan atau yang kusebut ‘pesakitan’ itu. tapi lagi-lagi tubuhnya menghalangiku beranjak. Aku memberontak kesal, tapi percuma saja, mulutku pun tak mampu untuk bergerak. “Dengarkan ini baik-baik, waktu pertama kali singgah di negeri itu, aku menemui manusia dengan otak kerdil sepertimu. Ia masih sangat lugu untuk mendengar bahkan mengartikan kata ‘kebebasan’. Yang hanya ia tau bahwa kebebasan adalah pergi kemanapun dan dengan siapaun yang ia mau. Kebebasan menurutnya adalah hilangnya sebuah batas, menerjang apapun sesukanya. Ia menjawab setiap pertanyaanku tentang kebebasan dengan penuh keraguan. Wajahnya datar serta gagap dalam bercerita. Sama sepertimu yang duduk di kursi dengan penuh kebimbangan ini. Bukankah begitu anak manusia?” kali ini aku agak sedikit tenang dan tidak merinding oleh aura Brokotok, mungkin karena aku muak oleh ingauan ceritanya. Aku mencoba beranjak dari kursi ini, tapi lagi-lagi tak kuasa. Ia mendorongku kembali. “hahahaha...santai saja, mau kemana kau, ceritanya belum klimaks” ia membujukku agar betah mendengar ingauannya, kali ini sikapnya agak lebih sopan. “Dengar ini!!! Setelah beranjak dari orang kerdil itu, aku bertemu dengan lelaki setengah baya yang tangannya tak pernah lepas dari botol. Di sebelahnya aku lihat pemuda sebaya denganmu tengah menyayat lengannya dengan pisau, sementara temannya yang lain terlihat beberapa kali menancapkan jarum suntik ke tangannya. Aku heran dengan tingkah mereka. Saat kutanya tentang kebebasan, mereka menjawab kebebasan adalah bebas dari candu ini. ‘Loh, bukankah kalian sudah merasakan kebebasan dengan tingkah kalian ini? Kalian kan sudah bebas merasakan kenikmatan candu ini?’ Dengan kompak mereka menjawab bahwa tingkah mereka ini sungguh telah mengekangnya yang awalnya mereka mengira sebagai kebebasan”. Si Brokotok semakin membuatku bingung. Apa gerangan yang membuat makhluk aneh ini mendatangi pemuda yang masih mencari kesejatian diri ini dan bercerita tak karuan. Apa dia kesurupan? Oh, bukan. Dia mungkin jin yang sakit jiwa. Atau...”Hei, hentikan pertanyaan dalam otak kerdilmu itu!!!” Brokotok mengagetiku, ia seolah tau tentang semua yang kupikirkan.

“Selanjutnya aku berjalan-jalan di pusat keramaian” Brokotok melanjutkan ceritanya. “Ada para gadis cantik sebaya denganmu cekikikan kesana kemari. Beberapa diantaranya terlihat berpasangan. Mereka sering terlihat di tempat ini. Entah apa yang dicari, saya sering lihat mereka bermain-main disini. Aku pernah dengar dari manusia yang agak sedikit ‘berilmu’, mereka ini disebutnya gaya hidup hedonis”. Aku masih belum tau jalan cerita makhluk satu ini. Ia bercerita seolah filsuf sedang mengajari muridnya yang lugu. “Lha wong sing dicritani ae gak ngerti kok, dipekso ngrungokno, oh kampret!!!”(Lha yang mendengar critanya saja gak ngerti kok, dipaksa mendengarkan) Gerutuku dalam batin. “Sudah tak usah mengeluh, cukup dengar saja apa susahnya, Hah?!” lagi-lagi ia menguping pembicaraan dalam batinku, sangat menyebalkan. “Terkadang, aku juga lihat mereka menari-nari dengan tatapan mata yang hampa. Mereka juga tidak mengenal dirinya sendiri, itu terlihat dari tatapan matanya. Adakah kau juga demikian?” Lanjutnya.

“Ayo dengar baik-baik yang ini, pasti kau suka” Bujuknya kala melihatku seakan tak menghiraukan ingauan doongengnya. “Di suatu tempat di negeri itu aku juga temui beberapa rumah yang desainnya dibuat mirip aquarium atau toko baju. Dinding depannya terbuat dari kaca sehingga memperlihatkan apapun di dalamnya. Di rumah-rumah itu terpajang para wanita berbusana amat minim, tubuhnya seksi dan juga mulus, tanpa digoda setan pun manusia sudah lalai melihatnya. Mereka beberapa kali keluar masuk kamar dengan beberapa pria. Aku terheran-heran dengan suasana ini. Aku datangi salah satu dari mereka. Aku menanyakan padanya ‘Apa yang kau lakukan disini?’ Mendengar pertanyaan itu, ia menangis. ‘Apakah kau sedang mencari kebebasan?’ Tangisannya semakin menjadi , tubuhnya mengelinjang hebat membuatku lari terbirit ketakutan melihat reaksi wanita itu. Aku terheran dengan kelakuan orang-orang di negeri itu. Lalu aku coba mencari jawaban di negerimu, nak. Tapi kau disini justru lebih konyol dari mereka. Bahkan kau belum mengenal kata kebebasan”.

Aku mulai sedikit mengerti apa yang diceritakan Brokotok ini. Beberapa detik dalam keheningan. Sayup angin terdengar jelas di telinga. Tapi, hanya sesaat kunikmati bahasa alam itu, Brokotok meraih tanganku dan mengajakku terbang ke suatu tempat. Tempat yang sangat jauh, entah dimana. Kami melewati berjuta bintang. Saat berada di angkasa raya, terbesit keinginan dalam benakku untuk menjelajahi semua bintang itu, sungguh penciptaan yang Maha Agung. Bagaimanapun, aku tak bisa berbuat apapun, hanya menikmati perjalanan tur angkasa gratis yang diberikan Brokotok. Aku tak pernah tau kemana Brokotok mengajakku pergi. Sampai akhirnya, aku diberhentikannya di ruang gelap dan hampa. Dari kejauhan terlihat lubang kecil yang sangat gelap, lebih gelap dari tempat pemberhentianku ini. lubang itu tergantung pada langit. Brokotok terus melanjutkan perjalanannya, aku dibawanya mendekati lubang itu. saat mendekati lubang itu, aku tertarik dengan kencang. Memutar-mutar seperti terserap dalam pusaran air. Aku terlepas dari pegangan Brokotok. Aku panik, nafasku terasa sesak dan jantung hampir tak berdenyut. Beberapa saat kemudian, tubuhku sudah tak berputar-putar lagi dan nafasku kembali normal. Namun, aku masih tetap berada dalam ruang gelap, aku tak bisa melihat apapun disini, hanya mendengar sayup-sayup gerakan dan suara Brokotok yang mendekatiku kembali setelah aku terlepas di pusaran tadi. Aku merasakan kedatangannya kembali saat tangannya memegang bahuku. 

“Nikmatilah tempat ini nak, gelap, sesak, sempit dan hampa bukan?”aku hanya terdiam dan berusaha keras menikmati kehampaan tempat ini. “Tadi kau lewati jutaan bintang yang tiada habis. Tentunya kau ingin menjelajahi semuanya bukan? Tapi, percayalah kau takkan pernah puas mengelilinginya. Tempat ini jauh lebih indah nak, kau tau kita sedang berada dimana?” aku hanya tertunduk “aku mengajakmu menyelami dirimu sendiri nak. Dirimu yang suram ini. Jangan mengeluh dengannya, karena kau kan temukan cahaya sebentar lagi. percayalah” mendengar ucapannya, aku sedikit yakin. Walau aku masih bimbang, tentang keberadaan cahaya itu. dan yang belum melegakanku daritadi adalah pertanyaan tentang makhluk apakah Brokotok ini. Semoga saja dia bukan setan yang merasuki pikiranku.

“Tuhan menciptakan manusia untuk menyembahNYA. Tuhan memberikan kebebasan pada manusia untuk menyelami kesejatian penciptaannya di bumi. Tapi manusia sering salah mengartikan kebebasan. Mereka justru mencari kebebasan di luar jiwa dan raganya yang sesungguhnya itu semua adalah nafsu dan kebebasan semu. Mereka sering tidak sadar bahwa mereka sedang dijajah dan diperbudak nafsu. Dunia di luar jiwanya terlihat penuh kebebasan. Padahal kebebasan ada dalam jiwanya. Hanya manusia yang menyelami sesak dan gelap dalam jiwanya-lah yang mengerti hakekat kebebasan. Mereka yang mengenal Tuhannya-lah yang sesungguhnya terbebas dari penjajahan makhluk apapun. Kau mungkin masih belum mengerti ucapanku nak, tapi jika kau sering pergi ke tempat yang gelap dan sesak di jiwamu ini, cahaya yang kuceritakan tadi sedikit demi sedikit akan muncul. Percayalah..percayalah ...” suaranya semakin jauh tenggelam dan berlalu meninggalkanku di kegelapan ini. Perlahan aku berangsur mulai kembali ke alamku. Seperti terbangun dari mimpi. Sebelah tempatku terduduk, pohon mangga masih berdendang bersama suara angin. Suhu udara disini terasa semakin mencekikku. Aku berlalu masuk ke rumah, kulihat jam dinding menunjuk ke angka satu tengah malam. Aku seperti baru saja bertamasya tak karuan arah. Mataku langsung saja terpejam saat kubaringkan tubuh di kasur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar