Suatu malam dimana langit tak menampakkan bulan bintang karena tertutup
mendung, aku didatangi sesosok makhluk
dengan wajah berseri seakan ia baru saja mendapat harta karun berlimpah.
Makhluk itu berwujud seperti setan, eh tapi bukan, malaikat juga bukan, (lah
aku sendiri saja belum pernah melihat keduanya). Entahlah, aku menyebutnya
Brokotok. Ia menghampiriku membawakan kursi, ia menyebutnya kursi perenungan.
Ia menyuruhku menduduki kursi tersebut, tapi aku ragu-ragu. Ia membentak dan
mendorongku keras hingga aku terduduk di kursi itu.
Kursinya sangat mewah dengan bantalan
yang empuk. Kaki-kakinya berlapis ukiran emas. Sementara di bagian atasnya
terdapat atap yang juga berlapis emas, jadi semacam singgasana raja, yah
begitulah. Namun, sebagus dan senyaman apapun kursi itu, aku tak merasa nyaman
untuk berlama-lama di kursi tersebut. Aku segera ingin pergi dari jeratan
makhluk itu. Brokotok. Ia tersenyum kecut melihatku yang masih tak tenang dan
terlihat gusar menduduki kursi itu. Aku mencoba melompat, tapi ia menahanku. Semakin
keras usahaku untuk melawannya, ia semakin justru kuat untuk menahanku. Ia
tertawa memperolokku. Akhirnya aku hanya bisa diam, pasrah terduduk di kursi
tersebut. Setelah puas tertawa, segera ia menatapku dengan muka sangat serius
melebihi keseriusan wajahnya sendiri. Aku kini tegang dibuatnya.
“Hai anak manusia!! Makhluk dengan
segala potensi untuk menentukan pilihan!!! Tidakkah kau tau apa yang akan kuceritakan
padamu, Hah?!” Ia membentak keras. Suaranya membahana seakan dapat memecah
langit malam yang sunyi itu. Aku terpojok kaku tak tergerak. Ia terbahak
melihat kegugupanku. Aku gugup dan kebingungan melihat tingkahnya, ia
membiarkanku berada dalam kegugupan dengan tetap terbahak sambil lalu ia mulai
bercerita “kau tau, aku baru saja singgah di suatu negeri, negeri dimana
makhluk-makhluk sepertimu membicarakan kebebasan setiap harinya. Bahkan mereka
menyembah kebebasan layaknya tuhan”. Aku masih kebingungan, tapi ia tetap
melanjutkan kisahnya, “Aku tak mengerti benar sejarah dari negeri itu. Tapi hari
ini aku lihat mereka sungguh amat konyol. Lebih konyol dari anjing yang
memutar-mutar memburu ekornya sendiri. Betapa tidak, mereka mendengungkan
kebebasan, tapi tak tau tentang arti kebebasan. Aku sendiri terheran. Apa kau juga
demikian konyol?! Apa yang kau tau tentang kebebasan?” aku yang masih bingung
dengan apa yang diceritakannya, malah ditanya dengan pertanyaan yang
menyudutkan. Lagi-lagi aku hanya terdiam tak menjawab juga tak bergerak. Aku
juga agak tersinggung dengan ucapannya yang seakan melecehkan manusia.
Ia terbahak kembali, kali ini jauh
lebih keras dari sebelumnya. Sampai-sampai menggugurkan dedaunan pohon mangga
disebelahku. Ia menyodorkan telunjuknya tepat diantara kedua mataku. Matanya
menatapku lebih tajam dibandingkan tadi, seakan hendak menerkam dan merasuki
tubuhku. Momentum itu berlangsung beberapa menit, keheningan seakan ikut
mendukung suasana. Suara dedaunan yang tertiup angin pun terdengar jelas
meresapi suasana tegang itu. tubuhku bergetar, jantung berdetak kencang, nafas
memburu tak karuan, bulu kudukku kaku merinding. Meski begitu mataku tak mampu
terpejam, masih tetap menatap mata Brokotok yang tajam menatapku itu. “Juhhh..!!!”
Ia meludahi wajahku, sontak aku terkaget menerima sikap kasarnya. Spontan aku
terperanjat dari kursi perenungan atau yang kusebut ‘pesakitan’ itu. tapi
lagi-lagi tubuhnya menghalangiku beranjak. Aku memberontak kesal, tapi percuma
saja, mulutku pun tak mampu untuk bergerak. “Dengarkan ini baik-baik, waktu pertama
kali singgah di negeri itu, aku menemui manusia dengan otak kerdil sepertimu.
Ia masih sangat lugu untuk mendengar bahkan mengartikan kata ‘kebebasan’. Yang hanya
ia tau bahwa kebebasan adalah pergi kemanapun dan dengan siapaun yang ia mau. Kebebasan
menurutnya adalah hilangnya sebuah batas, menerjang apapun sesukanya. Ia
menjawab setiap pertanyaanku tentang kebebasan dengan penuh keraguan. Wajahnya
datar serta gagap dalam bercerita. Sama sepertimu yang duduk di kursi dengan
penuh kebimbangan ini. Bukankah begitu anak manusia?” kali ini aku agak sedikit
tenang dan tidak merinding oleh aura Brokotok, mungkin karena aku muak oleh
ingauan ceritanya. Aku mencoba beranjak dari kursi ini, tapi lagi-lagi tak
kuasa. Ia mendorongku kembali. “hahahaha...santai saja, mau kemana kau,
ceritanya belum klimaks” ia membujukku agar betah mendengar ingauannya, kali
ini sikapnya agak lebih sopan. “Dengar ini!!! Setelah beranjak dari orang
kerdil itu, aku bertemu dengan lelaki setengah baya yang tangannya tak pernah
lepas dari botol. Di sebelahnya aku lihat pemuda sebaya denganmu tengah menyayat
lengannya dengan pisau, sementara temannya yang lain terlihat beberapa kali menancapkan
jarum suntik ke tangannya. Aku heran dengan tingkah mereka. Saat kutanya tentang
kebebasan, mereka menjawab kebebasan adalah bebas dari candu ini. ‘Loh,
bukankah kalian sudah merasakan kebebasan dengan tingkah kalian ini? Kalian kan
sudah bebas merasakan kenikmatan candu ini?’ Dengan kompak mereka menjawab
bahwa tingkah mereka ini sungguh telah mengekangnya yang awalnya mereka mengira
sebagai kebebasan”. Si Brokotok semakin membuatku bingung. Apa gerangan yang
membuat makhluk aneh ini mendatangi pemuda yang masih mencari kesejatian diri
ini dan bercerita tak karuan. Apa dia kesurupan? Oh, bukan. Dia mungkin jin
yang sakit jiwa. Atau...”Hei, hentikan pertanyaan dalam otak kerdilmu itu!!!”
Brokotok mengagetiku, ia seolah tau tentang semua yang kupikirkan.
“Selanjutnya aku berjalan-jalan di
pusat keramaian” Brokotok melanjutkan ceritanya. “Ada para gadis cantik sebaya
denganmu cekikikan kesana kemari. Beberapa diantaranya terlihat berpasangan.
Mereka sering terlihat di tempat ini. Entah apa yang dicari, saya sering lihat
mereka bermain-main disini. Aku pernah dengar dari manusia yang agak sedikit ‘berilmu’,
mereka ini disebutnya gaya hidup hedonis”. Aku masih belum tau jalan cerita
makhluk satu ini. Ia bercerita seolah filsuf sedang mengajari muridnya yang
lugu. “Lha wong sing dicritani ae gak
ngerti kok, dipekso ngrungokno, oh kampret!!!”(Lha yang mendengar critanya
saja gak ngerti kok, dipaksa mendengarkan) Gerutuku dalam batin. “Sudah tak
usah mengeluh, cukup dengar saja apa susahnya, Hah?!” lagi-lagi ia menguping
pembicaraan dalam batinku, sangat menyebalkan. “Terkadang, aku juga lihat
mereka menari-nari dengan tatapan mata yang hampa. Mereka juga tidak mengenal
dirinya sendiri, itu terlihat dari tatapan matanya. Adakah kau juga demikian?”
Lanjutnya.
“Ayo dengar baik-baik yang ini, pasti
kau suka” Bujuknya kala melihatku seakan tak menghiraukan ingauan doongengnya.
“Di suatu tempat di negeri itu aku juga temui beberapa rumah yang desainnya
dibuat mirip aquarium atau toko baju. Dinding depannya terbuat dari kaca
sehingga memperlihatkan apapun di dalamnya. Di rumah-rumah itu terpajang para
wanita berbusana amat minim, tubuhnya seksi dan juga mulus, tanpa digoda setan
pun manusia sudah lalai melihatnya. Mereka beberapa kali keluar masuk kamar
dengan beberapa pria. Aku terheran-heran dengan suasana ini. Aku datangi salah
satu dari mereka. Aku menanyakan padanya ‘Apa yang kau lakukan disini?’
Mendengar pertanyaan itu, ia menangis. ‘Apakah kau sedang mencari kebebasan?’
Tangisannya semakin menjadi , tubuhnya mengelinjang hebat membuatku lari
terbirit ketakutan melihat reaksi wanita itu. Aku terheran dengan kelakuan
orang-orang di negeri itu. Lalu aku coba mencari jawaban di negerimu, nak. Tapi
kau disini justru lebih konyol dari mereka. Bahkan kau belum mengenal kata
kebebasan”.
Aku mulai sedikit mengerti apa yang
diceritakan Brokotok ini. Beberapa detik dalam keheningan. Sayup angin
terdengar jelas di telinga. Tapi, hanya sesaat kunikmati bahasa alam itu,
Brokotok meraih tanganku dan mengajakku terbang ke suatu tempat. Tempat yang
sangat jauh, entah dimana. Kami melewati berjuta bintang. Saat berada di
angkasa raya, terbesit keinginan dalam benakku untuk menjelajahi semua bintang
itu, sungguh penciptaan yang Maha Agung. Bagaimanapun, aku tak bisa berbuat
apapun, hanya menikmati perjalanan tur angkasa gratis yang diberikan Brokotok.
Aku tak pernah tau kemana Brokotok mengajakku pergi. Sampai akhirnya, aku
diberhentikannya di ruang gelap dan hampa. Dari kejauhan terlihat lubang kecil
yang sangat gelap, lebih gelap dari tempat pemberhentianku ini. lubang itu
tergantung pada langit. Brokotok terus melanjutkan perjalanannya, aku dibawanya
mendekati lubang itu. saat mendekati lubang itu, aku tertarik dengan kencang.
Memutar-mutar seperti terserap dalam pusaran air. Aku terlepas dari pegangan
Brokotok. Aku panik, nafasku terasa sesak dan jantung hampir tak berdenyut. Beberapa
saat kemudian, tubuhku sudah tak berputar-putar lagi dan nafasku kembali
normal. Namun, aku masih tetap berada dalam ruang gelap, aku tak bisa melihat
apapun disini, hanya mendengar sayup-sayup gerakan dan suara Brokotok yang
mendekatiku kembali setelah aku terlepas di pusaran tadi. Aku merasakan
kedatangannya kembali saat tangannya memegang bahuku.
“Nikmatilah tempat ini nak, gelap,
sesak, sempit dan hampa bukan?”aku hanya terdiam dan berusaha keras menikmati kehampaan
tempat ini. “Tadi kau lewati jutaan bintang yang tiada habis. Tentunya kau
ingin menjelajahi semuanya bukan? Tapi, percayalah kau takkan pernah puas
mengelilinginya. Tempat ini jauh lebih indah nak, kau tau kita sedang berada
dimana?” aku hanya tertunduk “aku mengajakmu menyelami dirimu sendiri nak.
Dirimu yang suram ini. Jangan mengeluh dengannya, karena kau kan temukan cahaya
sebentar lagi. percayalah” mendengar ucapannya, aku sedikit yakin. Walau aku
masih bimbang, tentang keberadaan cahaya itu. dan yang belum melegakanku
daritadi adalah pertanyaan tentang makhluk apakah Brokotok ini. Semoga saja dia
bukan setan yang merasuki pikiranku.
“Tuhan menciptakan manusia untuk
menyembahNYA. Tuhan memberikan kebebasan pada manusia untuk menyelami
kesejatian penciptaannya di bumi. Tapi manusia sering salah mengartikan
kebebasan. Mereka justru mencari kebebasan di luar jiwa dan raganya yang
sesungguhnya itu semua adalah nafsu dan kebebasan semu. Mereka sering tidak sadar
bahwa mereka sedang dijajah dan diperbudak nafsu. Dunia di luar jiwanya
terlihat penuh kebebasan. Padahal kebebasan ada dalam jiwanya. Hanya manusia
yang menyelami sesak dan gelap dalam jiwanya-lah yang mengerti hakekat
kebebasan. Mereka yang mengenal Tuhannya-lah yang sesungguhnya terbebas dari
penjajahan makhluk apapun. Kau mungkin masih belum mengerti ucapanku nak, tapi
jika kau sering pergi ke tempat yang gelap dan sesak di jiwamu ini, cahaya yang
kuceritakan tadi sedikit demi sedikit akan muncul. Percayalah..percayalah ...”
suaranya semakin jauh tenggelam dan berlalu meninggalkanku di kegelapan ini.
Perlahan aku berangsur mulai kembali ke alamku. Seperti terbangun dari mimpi. Sebelah
tempatku terduduk, pohon mangga masih berdendang bersama suara angin. Suhu udara
disini terasa semakin mencekikku. Aku berlalu masuk ke rumah, kulihat jam
dinding menunjuk ke angka satu tengah malam. Aku seperti baru saja bertamasya
tak karuan arah. Mataku langsung saja terpejam saat kubaringkan tubuh di kasur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar