Ini adalah perjuanganku melawan tulisan –tulisan yang telah kubuat sendiri. Ini adalah diplomasi gagal antara pemikiran dan nurani. Pemenangnya akan mendapatkan kuasa atas kehendak melakukan tindakan. Yah, raga fana’ku adalah ladang sengketa dari keduanya.
Genderanng perang
mulai ditabuh sejak tulisan-tulisan itu lahir. Awalnya mereka berdiplomasi
untuk mencapai konsensus dan menelurkan kebijakan untuk kebaikan bersama. Tapi
seringkali mereka gagal. Selalu saja setiap jengkal kata yang pernah tertulis,
dilanggar oleh keduanya. Perang ini tak pernah usai dan terus menerus
menoktahkan tintanya untuk menulis aturan-aturan yang lalu ia langgar sendiri.
Bukan main
aliran-aliran kata yang telah kususun itu. ia kadang menjadi cambuk siksaku dan
terus menerus menghantuiku. Mereka berlarian mengejarku untuk kutimang-timang,
kusayang, sehingga mereka tak dilanggar oleh pikiran dan nuraniku. Yah, mereka
ingin aku melindunginya dari kekonyolan prilakuku. Tulisan-tulisanku mengejarku
agar aku mewujudkannya. Tapi sekali lagi, aku semakin terintimidasi oleh
mereka.
Huruf-huruf yang pernah
kutulis semakin cepat berkembang menjadi frase-raksasa
yang hendak menelanku mentah-mentah. Mereka amat brutal mengejar-ngejarku untuk
melakukan sesuatu yang menurut mereka, telah membuat mereka lahir ke dalam
catatan-catatan sampah dan penuh kebohongan. Mereka terus mengejar. Ditambah
lagi, kenyataan hidup seakan memberi dukungan agar huruf-huruf yang pernah
kurangkai itu membunuhku. Oh tidak...
Ini semua salahku,
mungkin. Aku telah sangat bernafsu oleh
keperawanan kertas kosong itu. Dan penaku memuncratkan spermanya – seenaknya
saja menoktahkan noda hitam di atas putihnya kertas. Lalu huruf-huruf, kata
demi kata, kalimat hingga paragraf lahir dan membesar mencari orang yang
dianggap bertanggung jawab atas kelahiran mereka.
Dan
lagi, dan lagi, dan lagi... kecerobohanku selalu berulang. Kertas putih selalu
menggodaku untuk menyentuhkan pena ke tubuh mulusnya. Salahku. Harusnya aku tak
mendatangi kertas itu untuk mencurahkan isi hati. Untuk menceritakan
kegundahanku dihantui frase-frase raksasa yang ingin membunuhku. Untuk
mengungkapkan kekhawatiranku melihat huruf-huruf brutal meminta
pertanggungjawaban dariku. Belum sempat kucerita. Kau lihat kini, kata demi
kata lahir dan berkembang menjadi sekian kali – beranak pinak dan bersiap
menyerangku. Tulisan ini – bahkan telah menyerangku sejak huruf pertamanya
lahir. Dan ini kubuat dengan susah payah menghindari mereka. Tak hentinya
mereka menyerang. Tak henti pula kebodohan logikaku menelurkan kata, lagi.
“Manusia paling bodoh, harusnya kau tak meneruskan lagi, bodoh!!! Bodoh!!!” Huruf-huruf
itu telah mampu menulis dan melahirkan kalimatnya sendiri bak amoeba membelah
diri. Menyerangku. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar