TUGIEZLAND

Rabu, 23 Oktober 2013

Gadis Berpayung Mendung Senja (2)


Aku mulai tersadar, dan telah terbangun dari perjalanan indah mimpi semuku bersama gadis berpayung mendung senja. Aku t’lah membuka mata setelah sekian lama terpejam menikmati malam indahku, berkelana menanti senja. Gadis berpayung mendung senja telah lama pergi. Ia tak pernah kembali usai pernikahan singkat lalu. Meski mentari senja masih tak jemu melakukan rutinitas menikah-ceraikan siklus waktu : siang-malam. Yah, gadis itu tak pernah kembali lagi mengiringi mentari senja. Ia pergi seiring tenggelamnya mentari di ufuk pada hari itu. Entah untuk mencari dan menemukan galaksi baru, dengan bintang barunya yang mungkin sinarnya jauh lebih terang dibanding dengan sinar bintang satu-satunya di galaksi Bimasakti : Matahari. Entah, mungkin di sana ia juga akan menemui pemuda lain untuk diberi penawaran yang membingunkan, untuk memilih siang atau malam saat kita berada di antara keduanya.

Aku masih mengenang senja. Air mata perpisahan gadis berpayung senja telah mengkristal. Membentuk butiran permata berkilau yang tak terkalahkan sinarnya oleh permata terindah yang pernah diketemukan di plenet ini sekalipun. Namun, seperti halnya perhiasan apapun – tetaplah perhiasan, ia hanya berbicara melalui nostalgia ingatan penglihatnya. Gadis itu hanya meninggalkan sejarah yang mungkin bisa kumeseumkan. Air matanya mengkristal, bagaimanapun – tetaplah benda perhiasan, gadis senja tak pernah kembali.

Di sini, di galaksi ini, aku telah terbangun di pagi hari. Aku menyadari kedatangan bintang satu-satunya galaksi tempatku berada kini : Matahari. Di momen ini, teringat bagaimana gadis itu membayangkan satu bintang, membuat miniatur bintang imajinernya. Teringat pula saat ia menawarkanku untuk memilih siang ataukan malam, namun tak kupilih keduanya. Dan gadis itu berlalu pergi meninggalkan air mata yang telah mengkristal, kini. Yah, ia telah pindah ke galaksi lain mencari dan menemukan bintang barunya. Kurasa, air mata kristalnya ini juga berguna untuk memberikan sinyal melalui pancaran cahaya sehingga aku masih tetap bisa berkomunikasi dengannya, pun hanya sekedip. Tanpa tatap muka, di ruang hampa. Mungkin, seperti saat kau menyalakan senter di tengah laut saat helikopter penyelamat melintas di atasmu, dan ia tak melihatmu – ternyata.

Aku melanjutkan hidup di galaksi ini, bersama keceriaan sinar mentari pagi yang mengirimkan energi quark-quarknya untuk menggairahkan bunga-bunga di tamanku. Di sini, di galaksi ini, aku telah tersadar, bahwa aku tak lagi berada dalam senja yang merumitkan itu. aku tak lagi dibingungkan dengan siang atau malam. Usai perpisahan itu, aku sadari bahwa aku telah melewati malam panjangku bersama mimpi-mimpi dan kini telah kusambut pagi dengan sinar mentari yang menghangatkanku. Ku sapa bunga-bunga yang menari riang menyambut pasukan sinar. Satu bunga terlihat amat berbeda dari kebanyakannya, aku memetiknya. Namun, betapa kagetnya aku, tiba-tiba ia terbang seperti kupu-kupu, lalu berputar-putar di atas kepalaku. “Bolehkah aku hinggap disini, di bahumu ini?” tanyanya. Aku masih kebingungan, tapi mulutku dengan spontan langsung saja berucap : “yah, silahkan jika itu membuatmu gembira” jawabku sekenanya.  Ia secepat kilat meluncur lalu hinggap dan tertawa riang sekali. “Terima kasih banyak wahai kesatria, sekarang bawalah aku kemanapun kau mau. Aku ingin bersamamu selalu”. Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi ini. Dia bunga teraneh yang pernah kutemui, ini di luar kebiasaan. Aku juga masih tak percaya dengan apa yang aku lakukan. Aku memetik bunga, dan bunganya terbang berputar-putar di atas kepalaku. Lalu seperti seorang putri yang baru saja dibebaskan pangeran pemberani dari penjara ratu sihir, bunga itu lantas hinggap di bahuku, mungkin sebagai tanda terima kasih. Bunga yang aneh, perpaduan kaktus di tanah tandus, dan teratai di air, sungguh aneh.

***

Siang telah membuka kehidupan sesungguhnya. Panas terik mengingatkanku pada gadis berpayung mendung senja. Ia pernah menyejukkanku saat aku silau oleh mentari senja. Bunga aneh masih menempel di bahuku, menari-nari di sana. Sementara ingatanku semakin bernostalgia dengan pernikah-ceraian singkat dengan gadis itu. aku masih merindukannya. Aku mengajak bunga aneh ini ke suatu bukit. Di puncaknya terdapat pohon beringin besar yang dulu membuatku tertidur kala menanti senja. Di sana aku menunggu lagi, tapi kini ditemani bunga aneh di bahuku. Sehelai daun gugur menimpa wajahku saat aku berbaring di bawah pohon rindang itu. sore telah menyalakan obornya. Senja segera datang. Aku beranjak dari pembaringan dan duduk di atas batu besar beberapa langkah di sebelah pohon. Aku menatap horizon lekat-lekat sambil bernostalgia mengenang gadis senja, seperti janjiku dulu.

Bunga aneh ini rupanya tak ingin terbelenggu rasa penasaran. Ia memaksaku untuk menceritakan kenapa aku di sini, duduk menghadap barat dan menatap lekat ufuk sore dengan pandangan kosong nan jauh tanpa berpaling. “... Engkau telah memetikku dan terlibat dalam duniaku, sungguh tak adil jika kau hanya menjawabku dengan tersenyum seperti itu. Engkau seharusnya....” bunga itu terus saja mencelotehiku agar aku mau bercerita. Tapi aku tak hirau, aku terus bernostalgia sambil sesekali melempar senyum padanya.

***

Aku melihat satu titik kecil berwana putih cerah, hanya satu titik yang sangat kecil. Tapi entah kenapa ia menyorot tajam ke mataku. Aku tahu, aku telah berada di galaksi lain. Tapi kenapa ada sorotan tajam dari sana. Apa ia berasal dari bumi? Oh tidak, aku tak ingin lagi mengenangnya. Ingatan tentang bumi dan matahari yang mengiringi perjalanan hidupnya sangat menyebalkan untuk diingat. Bumi, dan isinya terlalu munafik bagiku. Ia hanya seutas sangkalan yang hanya menikmati dirinya sendiri. Apa dia pikir tak ada lagi galaksi lain di luar Bimasakti? Naif sekali. Huh, ia pikir, ia pemuda satu-satunya. Waktu terus berjalan, dan ia tak memilih satupun. Ia bilang, ia mencintaiku, tapi nyatanya ia tak mau beresiko. Ah, dia terlalu munafik. Untuk apa aku meneteskan airmata untuk meninggalkannya waktu itu. 

Oh, di sini, di galaksi ini sungguh sangatlah cerah. Bintangnya jauh luar biasa indah dibanding Matahari di Bimasakti. Tapi, kenapa setitik sinar kecil dari bumi itu menyorot tajam ke mataku? Sungguh, rasaku tak mampu kubujuk, meski logikaku sangat memusuhinya. Aku merindunya, pemuda bumi yang kucinta, tapi juga si keparat, munafik, bah. Barangkali, bintang di sini lebih nyaman dari yang di sana. Tapi ini benar-benar rumit. Duhai, apa yang harus kulakukan? Apa harus kuteteskan lagi air mata ini, lalu ku kristalkan, yang nantinya bisa memantulkan cahaya bintang di tempat baruku ini hingga ia sampai ke bumi dan menyoroti mata pemuda itu? tidak.. sungguh, jangan sampai aku lakukan itu.. tidak, tidak...” 

Gadis berpayung mendung senja ketika ia di galaksi Bimasakti itu kebingungan beberapa saat di tempat barunya ini. Air mata yang ia tahan menetes juga pada akhirnya. Air mata itu terjatuh di daratan beku planet baru yang ia injak kini. Sekejap, airmatanya mengkristal memancarkan sinar yang sungguh sangat menyilaukan. Ia berusaha menutupi dengan sisi bawah gaunnya, tak berhasil. Ia lalu menduduki air mata yang mengkristal itu, lebih parah. Sinarnya justru terserap ke tubuhnya dan membuat sinar kristal itu lebih besar lagi hingga cahayanya melebihi bintang matahari di Bimasakti. Gadis itu lelah, lalu berdiri kembali. Perlahan ia ambil air mata yang telah mengkristal itu. diangkatnya dengan kedua tangan. Diarahkannya ke bumi. Larutlah ia bersama kenangannya. “Sayang, kau memang menyebalkan. Inikah yang kau sebut cinta, hah? Kau, tanpa memilikiku, terpisah jauh dan mencampakkan pilihan yang kuberikan. Lalu, kau mengirim sinyal itu dari bumi agar ku menyambutmu? Inikah maumu, sayang? Baiklah, aku menjawab sinyal itu. dengan rasa kesal yang teramat. Dan setelah ini, aku tak ingin lagi menangis untukmu, sayang, aku mencintaimu, juga membencimu....” Setelah puas menumpahkan segala emosi, gadis itu akhirnya menguburkan airmata yang mengkristal itu. ia tak lagi bermain di kala senja. Ia menikmati siang malam yang jauh lebih indah di galaksi barunya, bersama bintang yang selalu menyapanya sepanjang waktu.   

***

Dari kejauhan, kulihat titik putih kecil di langit, pada sore ini. yah, sore ini aku mengambil airmata gadis senja yang telah mengkristal ini. air mata yang ditinggalkannya terakhir kali saat ia meninggalkanku. Aku menghadapkannya ke mentari sore yang bersiap tenggelam. Aku mengangkatnya tinggi-tinggi berharap pancaran sinarnya akan terlihat oleh gadis itu, entah di galaksi mana ia berada. Titik kecil itu, mungkinkah ia menjawab sinyal dariku ini? entahlah. Yang jelas, ini salam rinduku untuknya, biar terlihat ataupun tidak olehnya. 

Bunga aneh di bahuku mendekapkan hinggapannya lebih erat. “Untuk apa kau lakukan semua ini, wahai kesatria?” tanyanya menghapus lamunanku. “Eh, eh... ti..tidak. aku hanya ingin mempersembahkan untukmu cahaya indah di sore ini. kau suka?” jawabku tergagap mencoba membuatnya senang. “Oh, indah sekali. Terima kasih, sayang”. Dalam hati, aku sungguh sangat merasa kesal pada diriku sendiri. Kenapa ku harus membohonginya, oh maafkan aku. Mungkin inilah waktunya, di sore yang menanti senja ini, untuk terakhir kalinya aku mengenang gadis berpayung mendung senja itu. Aku harus beranjak pada malam. Bersambut dengan mimpi-mimpi indah yang bisa kurajut dengan bunga aneh yang menempel ini. dan mungkin, ini saatnya untukku mencintai apa yang juga mencintaiku. Selamat tinggal gadis senja. Selamat datang cinta baru. 

Dan malam telah menelan siang. Setitik putih di langit tak kulihat lagi. Aku menari riang bersama bunga anehku. Kunang-kunang mengerubungi kami, berkelip indah membentuk simponi cahaya. Terbang nyata di sekeliling. Seperti kelip bintang di malam hari, tapi mereka tak semaya bintang nan jauh yang hanya bisa kupandangi. Kunang-kunang, mampu kutangkap dengan kepalan tanganku sendiri, ia benar-benar nyata di hadapanku. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar