Mungkin di sana aku belajar. Di dekat
peraduan para anjing penjaga makam. Tentang sunyi, tekad, keberanian, keyakinan
dan gonggongan – wakil kefrustasian, atau mungkin juga ratapan suara penghapus
kesunyian, tanpa kata terlebih makna, ia hanya menggonggong tanpa paham. Di
sana aku belajar, dari anjing-anjing liar di gang-gang sempit yang
termarjinalkan. Yang dari sana mereka saling berkomplot, saling memberi batas
wilayah, saling curiga, demi menguasai pembuangan sampah hutan metropolitan
yang kejam. Dengan itu para anjing liar meneruskan hidup. Mengais sisa-sisa
manusia, dimana sebagiannya menyebut nama mereka sebagai nama umpatan,
“anjing”.
Dari sana aku belajar, bagaimana suatu saat
para anjing liar itu harus rela kehilangan. Tidak hanya kehilangan masa lalu,
mereka juga harus rela meninggalkan daerah kekuasaan, daerah perebutan, sampah.
Bahkan, mereka mungkin juga harus rela menyerahkan masa depan – pada petugas
pemburu anjing liar di perkotaan. Tapi begitulah siklus mereka, mungkin sudah
terprogam. Seperti halnya manusia, yang harus rela kehilangan beras jika ia
ingin mendapati nasi. Beras tak pernah benar-benar hilang, ia menjelma nasi.
Mungkin, sampai hari ini, aku tak akan pernah melihat nasi, jika moyangku tak
rela untuk kehilangan beras dan terus mendekapnya erat.
Anjing-anjing liar itu, merelakan segala
darinya – termasuk mungkin rela untuk dibunuh – karakter keliarannya, untuk
dididik para petugas penjinak binatang, untuk dilatih kemiliteran. Atau bahkan
mereka mungkin sudah sejak awal rela, untuk dihajar sadis, dimutilasi, lalu
disulap jadi makanan piaraan, entahlah. Yang jelas di sana aku belajar,
berkenalan dengan mereka, dan Simbat salah satunya.
Kalung dari bahan monel, dengan lempengan
bertuliskan cetak “Simbat”. Anjing langka jenis akita. Kau bisa bayangkan dia
sebagai Hachiko, anjing dari Jepang yang setia pada tuannya. Tapi Simbat, lebih
mirip dengan jenis kuvasz, menurutku. Aku tak bisa menjelaskan dengan detail
tentangnya. Seperti bagaimana ia, tak pernah tau mengapa ia di sana, di gerbang
pemakaman para bangsawan. Ia hanya menggonggong memecah sunyi persinggahan
raja, ia telah mati, tinggal jasad anjing. Hanya gonggongannya yang masih
menggema. Sampah, dan segala keliaran masa lalunya pudar menyatu dalam
lingkaran didik manusia pelatih, dengan berbagai progam penjagaan. Ia
benar-benar anjing yang baru, dengan identitas baru yang dikenakan di
kalungnya, sebuah nama, yang baginya – tak berarti. Apalah arti sebuah nama
baginya, jika ia telah mati seutuhnya – hanya tinggal raga anjing, dan
gonggongannya yang memecah sunyi. Gonggongan yang ia sendiri tak mengerti. Simbat
dan gonggongannya kini, bukanlah ia di masa lalu. Di masa ia menggonggong untuk
bertahan hidup, yang tak peduli dengan nama – hanya bagaimana ia mendapat
makanan. Tapi kini, nama itu telah dikalungkan pada tubuhnya, ia tewas oleh ketertiban
birokrasi manusia. Gonggongannya kini hanya untuk menjaga kesunyian para
manusia yang tiada. Sama sepertinya, yang hanya tinggal nisan raga, raga si
anjing penjaga makam, dengan gonggongan.
Maka dari sana aku belajar, akan makna
gonggongan. Akan makna menyuarakan suara, bukan klise atau hanya sekedar
gombalan.
Maka dari sana juga aku masih mengeja,
berguru pada Goenawan Mohamad sebagaimana ia telah membaca : “bahwa hidup berarti bukan untuk mencapai,
tapi hidup berarti untuk mencari”. Lalu
kulanjutkan dengan terbata... “sebagaimana
anjing berarti bukan karena namanya...” [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar