TUGIEZLAND

Senin, 07 Oktober 2013

Anjing Liar, Aku Belajar

Mungkin di sana aku belajar. Di dekat peraduan para anjing penjaga makam. Tentang sunyi, tekad, keberanian, keyakinan dan gonggongan – wakil kefrustasian, atau mungkin juga ratapan suara penghapus kesunyian, tanpa kata terlebih makna, ia hanya menggonggong tanpa paham. Di sana aku belajar, dari anjing-anjing liar di gang-gang sempit yang termarjinalkan. Yang dari sana mereka saling berkomplot, saling memberi batas wilayah, saling curiga, demi menguasai pembuangan sampah hutan metropolitan yang kejam. Dengan itu para anjing liar meneruskan hidup. Mengais sisa-sisa manusia, dimana sebagiannya menyebut nama mereka sebagai nama umpatan, “anjing”.
 
Dari sana aku belajar, bagaimana suatu saat para anjing liar itu harus rela kehilangan. Tidak hanya kehilangan masa lalu, mereka juga harus rela meninggalkan daerah kekuasaan, daerah perebutan, sampah. Bahkan, mereka mungkin juga harus rela menyerahkan masa depan – pada petugas pemburu anjing liar di perkotaan. Tapi begitulah siklus mereka, mungkin sudah terprogam. Seperti halnya manusia, yang harus rela kehilangan beras jika ia ingin mendapati nasi. Beras tak pernah benar-benar hilang, ia menjelma nasi. Mungkin, sampai hari ini, aku tak akan pernah melihat nasi, jika moyangku tak rela untuk kehilangan beras dan terus mendekapnya erat.

Anjing-anjing liar itu, merelakan segala darinya – termasuk mungkin rela untuk dibunuh – karakter keliarannya, untuk dididik para petugas penjinak binatang, untuk dilatih kemiliteran. Atau bahkan mereka mungkin sudah sejak awal rela, untuk dihajar sadis, dimutilasi, lalu disulap jadi makanan piaraan, entahlah. Yang jelas di sana aku belajar, berkenalan dengan mereka, dan Simbat salah satunya. 

Kalung dari bahan monel, dengan lempengan bertuliskan cetak “Simbat”. Anjing langka jenis akita. Kau bisa bayangkan dia sebagai Hachiko, anjing dari Jepang yang setia pada tuannya. Tapi Simbat, lebih mirip dengan jenis kuvasz, menurutku. Aku tak bisa menjelaskan dengan detail tentangnya. Seperti bagaimana ia, tak pernah tau mengapa ia di sana, di gerbang pemakaman para bangsawan. Ia hanya menggonggong memecah sunyi persinggahan raja, ia telah mati, tinggal jasad anjing. Hanya gonggongannya yang masih menggema. Sampah, dan segala keliaran masa lalunya pudar menyatu dalam lingkaran didik manusia pelatih, dengan berbagai progam penjagaan. Ia benar-benar anjing yang baru, dengan identitas baru yang dikenakan di kalungnya, sebuah nama, yang baginya – tak berarti. Apalah arti sebuah nama baginya, jika ia telah mati seutuhnya – hanya tinggal raga anjing, dan gonggongannya yang memecah sunyi. Gonggongan yang ia sendiri tak mengerti. Simbat dan gonggongannya kini, bukanlah ia di masa lalu. Di masa ia menggonggong untuk bertahan hidup, yang tak peduli dengan nama – hanya bagaimana ia mendapat makanan. Tapi kini, nama itu telah dikalungkan pada tubuhnya, ia tewas oleh ketertiban birokrasi manusia. Gonggongannya kini hanya untuk menjaga kesunyian para manusia yang tiada. Sama sepertinya, yang hanya tinggal nisan raga, raga si anjing penjaga makam, dengan gonggongan.

Maka dari sana aku belajar, akan makna gonggongan. Akan makna menyuarakan suara, bukan klise atau hanya sekedar gombalan. 

Maka dari sana juga aku masih mengeja, berguru pada Goenawan Mohamad sebagaimana ia telah membaca : “bahwa hidup berarti bukan untuk mencapai, tapi hidup berarti untuk mencari”.  Lalu kulanjutkan dengan terbata... “sebagaimana anjing berarti bukan karena namanya...” [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar