Istilahnya,
tulisanku kali ini, dan mungkin yang lalu-lalu sebenarnya sengaja ‘dipaksakan’
entah oleh siapa, boso jowo’ne “meksakno”
(dari judulnya saja sudah terlihat ‘mekso’).
Yang kalau diterjemahkan dalam bahasa vickinisme tulisanku ini hanya sekedar
bualisasi dari paradoks-paradoks antara hati dan otak, konsepsasi liar dari
angin-angin subyektivitas, atau yang lebih ekstrim tulisan ini hanya fantasi
tak bertuan, kenapa tak bertuan? Jawabnya jelas karena tak tentu mana yang jadi
sumbernya, otak ataukah hati. Kalau mencoba lebih sedikit obyektif, bolehlah
dibilang kalau tulisan ini banyak dipengaruhi oleh hasrat setan. Kau tau setan
yang mana? “Minal jinnati wan naas...”
Setan dari bangsa jin dan manusia. Artinya, dapat kita asumsikan bahwa tulisan
ini sengaja ‘dipaksakan’ oleh setan-setan dari dalam diriku sendiri untuk
dibuat. Jadi, jangan harap ada kejernihan pikir di dalamnya. Kalau mau protes
silahkan protesnya sekarang saja biar dosaku tak makin bertambah akibat engkau
kecewa.
Oke,
aku buat pengakuan bahwa : “setan dalam diriku sendiri yang memaksaku untuk
membuat tulisan tentang cinta ini”. Oh, tema yang sangat berat bagiku. Sangat
sedikit pengalaman dan pengetahuanku tentang cinta. Apa boleh buat, seperti
halnya janji para leluhur setan bahwa mereka akan menggoda manusia dari
berbagai arah, setan dalam diriku ini ternyata dengan cepat mampu menemukan
arah yang tepat dalam menggelitikku untuk tergoda dan akhirnya membuat tulisan
tak jelas tentang cinta ini.
Kupikir,
cinta itu suci, tak terpengaruh oleh keruhnya pikir bahkan sesuatu di luar
perasaan cinta itu sendiri. Tapi pemikiran seperti itu agaknya terlalu idealis,
karena apapun itu ada semacam keharusan mutlak untuk dihadapkan dengan
realitas. Ibaratnya, ruang bebas imaji spiritualitas harus disangkar oleh
materialitas. Bayangkan jika semua orang hanya berpikir idealis tanpa
menghadapkannya pada realitas, manusia mungkin hidup dalam fantasi-fantasi
cinta dan idealisasi kehidupan tanpa tindakan riil. Ini nantinya hanya akan menghasilkan bualisasi makna dan
yang lebih kukhawatirkan hanya akan melahirkan neo vickinisme ataupun
melahirkan para penerus romantisme klasik yang ekstrim.
Jadi,
untuk menghindar dari kehidupan fantasi, orang-orang modern banyak yang lebih
memilih untuk hidup dalam ranah realitas materi. Apapun hal mempunyai standar
ukuran yang pasti dan dapat di’angka’kan, termasuk cinta. Dewasa ini, mungkin
para professor psikologi sudah mampu mengukur kadar cinta seseorang. Ini hanya
asumsi saja, kalau mereka mampu menemukan alat pendeteksi kebohongan, mungkin
saja alat pendeteksi cinta ditemukan, bukan? Hehe, itu tidaklah penting. Yang ku
tau, betapapun besar kadar cinta seseorang hanyalah omong kosong tanpa
dihadapkan realitas saat ini, itu yang kudengar dari kebanyakan orang, termasuk
para motivator ternama belakangan ini.
Sederhananya,
cinta hanyalah bualan rasa dan fantasi jika tak diungkapkan. “Relatif setuju”.
Kubilang relatif karena pilihan untuk menempatkan cinta pada ranah realitas materi
membuat semakin menjamurnya ekspresi-ekspresi cinta dan menjadi fasilitas mewah
untuk para eksploitator meraup berbagai keuntungan besar demi kepentingannya
dengan mengatasnamakan ‘cinta’, satu contoh pihak yang sangat diuntungkan dalam
hal ini : media televisi. Tapi saya mencoba khusnuzdhon saja, dengan berbagai
kreatifitas dalam mengungkapkan rasa, karya-karya yang dihasilkan semakin hebat
dan unik saja. Sebagai contoh kata-kata rayuan yang sudah dilombakan secara
legal, ini kan tingkat kreatifitas yang luar biasa tinggi, melampaui tingkat
kesucian cinta itu sendiri. Anak-anak kecil saja sudah banyak yang bisa
melahirkan karya-karya ungkapan rayuan maut, wah, ini benar-benar hebat. Kalau
anak kecil saja sudah mampu menghasilkan karya kreatif untuk ungkapan perasaan,
maka tidaklah heran jika orang dewasa lebih kreatif lagi. Bahasa dan kata-kata
yang digunakan berlevel tinggi, seperti : konspirasi hati, kelabilan ekonomi,
dan lainnya. Sebentar, itu kan bahasa vickinisme yang lagi tenar. Kok,
vickinisme lagi? Bukannya vickinisme tadi lahir oleh fantasi-fantasi cinta?
Bukannya orang modern mereallitaskan segala hal untuk menghindari fantasi?
Tapi, kok makin menjamur saja kata-kata rayuan maut di tengah dunia realitas?
Bukankah itu fantasi tingkat tinggi yang membuat orang-orang sulit membedakan
mana ungkapan yang benar-benar mewakili perasaan dan mana yang tidak?
Ranah
ideal imajinasi dan realis material, keduanya ternyata mengarahkan cinta pada
dunia fantasi. Lalu mana yang mampu mengarahkan cinta pada kesucian dan
keasliannya? Mungkin di ranah antara kedua hal tersebut, itu lebih amannya.
Bukankah sebaik-baiknya sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah? Kalau tak
mau berada di tengah-tengah bolehlah duduk di pinggiran asal tidak se-ekstrim
fantasi vicky di televisi, itu saja kesimpulanku. Kau boleh setuju, tapi sangat
dianjurkan untuk tidak setuju. Karena tulisan ini, seperti di awal kukatakan,
banyak dipengaruhi setan. Dan tulisan ini bisa jadi hanya fantasi liar setan
yang melebihi keliaran fantasi vicky. Terima kasih. [ ]
Quote :
“...
Cinta bukan sekedar kata-kata indah...” (Dewa 19 : Lagu cinta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar