TUGIEZLAND

Minggu, 29 September 2013

Vickinisasi Cinta

Istilahnya, tulisanku kali ini, dan mungkin yang lalu-lalu sebenarnya sengaja ‘dipaksakan’ entah oleh siapa, boso jowo’ne “meksakno” (dari judulnya saja sudah terlihat ‘mekso’). Yang kalau diterjemahkan dalam bahasa vickinisme tulisanku ini hanya sekedar bualisasi dari paradoks-paradoks antara hati dan otak, konsepsasi liar dari angin-angin subyektivitas, atau yang lebih ekstrim tulisan ini hanya fantasi tak bertuan, kenapa tak bertuan? Jawabnya jelas karena tak tentu mana yang jadi sumbernya, otak ataukah hati. Kalau mencoba lebih sedikit obyektif, bolehlah dibilang kalau tulisan ini banyak dipengaruhi oleh hasrat setan. Kau tau setan yang mana? “Minal jinnati wan naas...” Setan dari bangsa jin dan manusia. Artinya, dapat kita asumsikan bahwa tulisan ini sengaja ‘dipaksakan’ oleh setan-setan dari dalam diriku sendiri untuk dibuat. Jadi, jangan harap ada kejernihan pikir di dalamnya. Kalau mau protes silahkan protesnya sekarang saja biar dosaku tak makin bertambah akibat engkau kecewa.
 
Oke, aku buat pengakuan bahwa : “setan dalam diriku sendiri yang memaksaku untuk membuat tulisan tentang cinta ini”. Oh, tema yang sangat berat bagiku. Sangat sedikit pengalaman dan pengetahuanku tentang cinta. Apa boleh buat, seperti halnya janji para leluhur setan bahwa mereka akan menggoda manusia dari berbagai arah, setan dalam diriku ini ternyata dengan cepat mampu menemukan arah yang tepat dalam menggelitikku untuk tergoda dan akhirnya membuat tulisan tak jelas tentang cinta ini. 

Kupikir, cinta itu suci, tak terpengaruh oleh keruhnya pikir bahkan sesuatu di luar perasaan cinta itu sendiri. Tapi pemikiran seperti itu agaknya terlalu idealis, karena apapun itu ada semacam keharusan mutlak untuk dihadapkan dengan realitas. Ibaratnya, ruang bebas imaji spiritualitas harus disangkar oleh materialitas. Bayangkan jika semua orang hanya berpikir idealis tanpa menghadapkannya pada realitas, manusia mungkin hidup dalam fantasi-fantasi cinta dan idealisasi kehidupan tanpa tindakan riil. Ini nantinya  hanya akan menghasilkan bualisasi makna dan yang lebih kukhawatirkan hanya akan melahirkan neo vickinisme ataupun melahirkan para penerus romantisme klasik yang ekstrim.

Jadi, untuk menghindar dari kehidupan fantasi, orang-orang modern banyak yang lebih memilih untuk hidup dalam ranah realitas materi. Apapun hal mempunyai standar ukuran yang pasti dan dapat di’angka’kan, termasuk cinta. Dewasa ini, mungkin para professor psikologi sudah mampu mengukur kadar cinta seseorang. Ini hanya asumsi saja, kalau mereka mampu menemukan alat pendeteksi kebohongan, mungkin saja alat pendeteksi cinta ditemukan, bukan? Hehe, itu tidaklah penting. Yang ku tau, betapapun besar kadar cinta seseorang hanyalah omong kosong tanpa dihadapkan realitas saat ini, itu yang kudengar dari kebanyakan orang, termasuk para motivator ternama belakangan ini. 

Sederhananya, cinta hanyalah bualan rasa dan fantasi jika tak diungkapkan. “Relatif setuju”. Kubilang relatif karena pilihan untuk menempatkan cinta pada ranah realitas materi membuat semakin menjamurnya ekspresi-ekspresi cinta dan menjadi fasilitas mewah untuk para eksploitator meraup berbagai keuntungan besar demi kepentingannya dengan mengatasnamakan ‘cinta’, satu contoh pihak yang sangat diuntungkan dalam hal ini : media televisi. Tapi saya mencoba khusnuzdhon saja, dengan berbagai kreatifitas dalam mengungkapkan rasa, karya-karya yang dihasilkan semakin hebat dan unik saja. Sebagai contoh kata-kata rayuan yang sudah dilombakan secara legal, ini kan tingkat kreatifitas yang luar biasa tinggi, melampaui tingkat kesucian cinta itu sendiri. Anak-anak kecil saja sudah banyak yang bisa melahirkan karya-karya ungkapan rayuan maut, wah, ini benar-benar hebat. Kalau anak kecil saja sudah mampu menghasilkan karya kreatif untuk ungkapan perasaan, maka tidaklah heran jika orang dewasa lebih kreatif lagi. Bahasa dan kata-kata yang digunakan berlevel tinggi, seperti : konspirasi hati, kelabilan ekonomi, dan lainnya. Sebentar, itu kan bahasa vickinisme yang lagi tenar. Kok, vickinisme lagi? Bukannya vickinisme tadi lahir oleh fantasi-fantasi cinta? Bukannya orang modern mereallitaskan segala hal untuk menghindari fantasi? Tapi, kok makin menjamur saja kata-kata rayuan maut di tengah dunia realitas? Bukankah itu fantasi tingkat tinggi yang membuat orang-orang sulit membedakan mana ungkapan yang benar-benar mewakili perasaan dan mana yang tidak?  

Ranah ideal imajinasi dan realis material, keduanya ternyata mengarahkan cinta pada dunia fantasi. Lalu mana yang mampu mengarahkan cinta pada kesucian dan keasliannya? Mungkin di ranah antara kedua hal tersebut, itu lebih amannya. Bukankah sebaik-baiknya sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah? Kalau tak mau berada di tengah-tengah bolehlah duduk di pinggiran asal tidak se-ekstrim fantasi vicky di televisi, itu saja kesimpulanku. Kau boleh setuju, tapi sangat dianjurkan untuk tidak setuju. Karena tulisan ini, seperti di awal kukatakan, banyak dipengaruhi setan. Dan tulisan ini bisa jadi hanya fantasi liar setan yang melebihi keliaran fantasi vicky. Terima kasih. [ ]

Quote :
“... Cinta bukan sekedar kata-kata indah...”  (Dewa 19 : Lagu cinta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar