Bawalah aku ke danau biru tua, atau
setidaknya kau meberiku setetes air dari sana. . .
Waktu, kau tau, waktu tak pernah
bisa kau kendalikan. Pernahkah kau pergi ke masa lalumu? Atau kau mencoba
membuat pesawat canggih untuk mengantarkanmu pergi ke masa depanmu. Kau kira,
mesin waktu itu benar-benar ada?
Aku tau, kau memang bisa pergi
menyusuri masa lalumu dengan perahu memori dalam otakmu. Ia membawamu melihat
berbagai hal yang pernah kau lihat di masa lalu, tapi benarkah ia nyata?
Bukankah ia hanya bayangan-bayangan yang tak pernah bisa kau rubah keadaannya.
Lalu, kau berpijak pada keandalan otak untuk menggabungkan kejadian masa lalu
itu dengan berbagai imajinasi dan fantasimu untuk pergi ke masa depanmu. Tapi
pernahkah kau benar-benar pergi ke sana? Lalu apa bedanya dengan hari ini, masa
ini, tidakkah masa ini semaya masalalu atau masa depan? Bukankah masa ini
adalah masa depan yang kau harapkan kemarin, atau masa lalu yang esok kan kau
kenang? Mungkin seperti itulah kalimat yang selalu menghiasi pikiran Jagad,
remaja yang menghabiskan hampir seluruh waktunya di tepian danau.
Mencarinya sangatlah mudah, kau
hanya perlu menyusuri tepian danau biru tua, Jagad selalu berada di tepian
danau itu. danau yang konon tak ada orang yang berani memancing ikan atau
mengambil airnya. Penduduk sekitar menganggap danau itu sebagai danau yang
keramat. Tiap malam jum’at legi, warga berbondong ke sana dengan membawa banyak
sesajian dan juga kemenyan sesembahan untuk sang penunggu danau, memohon
keselamatan bagi penduduk sekitar danau, begitulah kepercayaan warga sekitar. Mbah
Kajen sang penunggu danau, begitulah orang menyebut. Tapi jagad tak pernah
bergeming, ia tak pernah hirau pada warga desa tentang berbagai mitos danau
itu. Jagad hampir tiap harinya sepulang sekolah duduk sendirian di tepian danau
itu. Baginya, tak ada keanehan sama sekali di danau itu. Namun, entah mengapa
ia suka menghabiskan waktunya di sana.
Hari-hari Jagad penuh misteri
bagi orang lain, sepanjang hidupnya hampir ia gunakan untuk menyendiri di
tepian danau biru tua. sikapnya yang ramah menjadikan teman-temannya segan terhadapnya,
meski dia jarang sekali dan hampir tak pernah berbicara dengan temannya – hanya
sekilas senyum atau menyapa, itupun hanya pada teman yang dianggapnya dekat saja,
selebihnya ia hanya diam. Mungkin hanya ibunya yang sangat mengerti apa yang
dirasakan anaknya itu, dia sangat menyayangi Jagad. Semenjak kecil Jagad tertarik
pada danau itu, dan ibunya sudah kelelahan melarangnya untuk pergi kesana, ia
pasrah sekarang. Danau itu menyimpan banyak kenangan bagi ibunya, kenangan
manis dan teramat buruk juga, yang mungkin pada masa ini membuat Jagad seolah
mewakili nostalgia ibunya.
Waktu itu, Jagad masih berusia 5
tahun. Jagad baru masuk sekolah TK, dan hari itu adalah hari pertama kali ia
masuk sekolah. Sekolah jagad berada di seberang danau, satu-satunya akses
hanyalah dengan menggunakan sampan menyebrangi danau. Sebenarnya ada jalan lain
dengan memutari tepian danau, namun harus berjalan puluhan kilometer dengan
mendaki bukitan terjal dan hutan yang rimbun. Ayahnya, pak Janoko
mengantarkannya pergi sekolah pagi itu, Jagad sangat bersemangat hari itu. Sementara
ayahnya sedang dilema, satu sisi ia khawatir dan sisi lain rasa senang teramat
karena hari itu pak Janoko untuk pertama kalinya mengantarkan seorang anaknya masuk
sekolah, sama senangnya saat melihat Jagad baru bisa berjalan.
Jagad bersama ayahnya harus menggunakan
sampan untuk menyebrangi danau itu. Sepanjang mengarungi danau, pak janoko tak
hentinya berkomat-kamit memohon keselamatan agar bisa sampai ke seberang danau.
Pak Janoko, sama halnya warga lainnya sangat mempercayai adanya si penunggu
danau. Pada hari-hari tertentu ia yang paling rajin melakukan ritual sesembahan
di sana. Kamis pagi sebelum jum’at legi datang esok hari, pak Janoko pergi ke
kota untuk menemui undangan sahabat karibnya. Dikiranya ia akan pulang ke rumah
sebelum sore tiba. Namun ternyata rencananya meleset jauh, bus yang ia tumpangi
mogok dan harus menunggu bus cadangan untuk mengantarkan para penumpang melanjutkan
perjalanan. Pak Janoko sampai rumah di tengah malam. Maklum, jarak rumahnya ke
kota puluhan kilometer jauhnya dengan jalanan terjal berliku dan jarang
angkutan umum, hanya jam tertentu saja bus atau angkutan lain yang lewat. Pak
Janoko sangat ketakutan, yang membuatnya ketakutan ialah karena hari ini ia tak
melakukan ritual di danau, padahal besok hari jum’at legi, hari yang dianggap
paling keramat oleh warga. Ritual tersebut tidak bisa diwakilkan, setiap orang
harus melakukannya sendiri – dan waktu ritual paling akhir pada saat
tenggelamnya matahari, sesudah itu tidak bisa, begitulah aturan ritual yang
entah siapa pembuatnya.
Hari senin itu, hari yang berat
bagi pak Janoko. Ia sangat khawatir dengan keselamatan diri dan anaknya,
Mengingat ia tak melakukan ritual hari kamis kemarin
lusa. Meski di satu sisi perasaannya juga senang untuk pertama kalinya ia
melihat anak satu-satunya pergi sekolah, namun seluruh tubuhnya bergetar
menahan rasa takut. Sampan yang dikayuhnya sudah hampir beberapa meter lagi
berada di seberang dan menepi, namun tubuh pak Janoko semakin bergetar,
perasaannya makin kalut, perasaan kacau yang ia buat sendiri – paranoid yang
berlebihan. Sampannya agak oleng, sampan kecil yang hanya muat untuk satu orang
dewasa itu akhirnya terbalik. Pak Janoko dan Jagad yang berada dipangkuannya
tersungkur ke dalam air danau. Struktur danau curam, jadi meski di tepian
kedalamannya bisa mencapai tiga meter lebih. Pak Janoko berusaha keras
melemparkan anaknya ke tepian sebelum akhirnya ia sendiri tenggelam. Jagad
selamat dan pingsan di tepian danau dengan beberapa luka memar, sementara pak
Janoko meninggal, ia tak bisa berenang. Mayatnya baru diketemukan warga sore
hari tepat sebelum tenggelamnya matahari.
Sejak saat itu masyarakat tak
berani lagi menyebrangi danau. Mereka lebih memilih memutari danau dan mendaki
perbukitan daripada harus menyebrang. Dan danau itu semakin dikeramatkan oleh
warga, ritual-ritual semakin sering dilakukan tidak hanya pada hari tertentu,
namun hampir tiap hari kamis dilakukan. Warga tak lagi berani memancing ikan
atau mengambil air dari danau itu, pun setetes. Warga memilih berjalan belasan
kilometer untuk mengambil air di sumber mata air demi mencukupi kebutuhan. Sejak
saat itu pula keceriaan Jagad hilang. Wajahnya nampak sayu, pucat pasi tanpa
ekspresi. Namun, hanya dia satu-satunya warga yang berani duduk berlama-lama di
tepian danau sambil memainkan kakinya yang dicelupkannya sebagian ke dalam air danau.
Beberapa warga awalnya sempat berusaha keras melarangnya, namun seperti ibunya
– warga akhirnya putus asa dan membiarkannya, bahkan kini mereka menganggap
Jagad sebagai titisan Mbah Kajen – sang penunggu danau, psikologi masyarakat
pedalaman masih sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian seperti itu.
Waktu berlalu cepat, Jagad telah
menginjak usia remaja. Tujuh belas tahun, adalah saat-saat penuh gairah bagi
remaja normal – namun tidak bagi Jagad. Meski ia masih mau melanjutkan sekolah
sampai hari ini, namun sikapnya tak jauh berbeda dengan masa kecilnya –
bernyawa namun tak berekspresi, seperti patung. Jagad bersekolah di luar kota –
ia diajak pamannya di kota yang jauh dari tempat asalnya, jauh dari danau biru
yang dikeramatkan warga, jauh dari masalalunya. Dulu saat SD ia sempat juga
diajak, namun ia selalu meronta dan pamannya kualahan hingga ia dikembalikan di
kampung ibunya di tepian danau biru tua. Namun sekarang ia mau untuk diajak
pindah ke rumah pamannya di kota, setidaknya harapan keluarga : Jagad tidak lagi
seperti patung.
Dan, nyatalah agaknya harapan
itu, meski pada akhirnya kandas. Pandangan kosong mata Jagad mulai berkurang
sejak ia mengenal seorang gadis bernama Indri. Gadis yang selalu tak lelah
menawarkan kue bekal yang dibawanya dari rumah, meski tak pernah digubris
Jagad. Tiap hari gadis itu menyapa Jagad lalu menawarkannya kue. Terkadang ia
menatap tajam mata Jagad yang kosong beberapa lama, tersenyum lalu
meninggalkannya. Hal itu ia lakukan selama hampir bersekolah di sekolah tersebut,
dan selama itu pula tanggapan Jagad hanya dingin. Hanya beberapa minggu sebelum
kelulusan saja Jagad membalas tawaran kue dari gadis yang tak pernah lelah itu
dengan ucapan “tidak, terima kasih”. Hanya itu dan ia berlalu lagi dalam
dunianya sendiri.
Hari kelulusan tiba, seluruh
siswa sekolah tersebut berhasil lulus. Dan gadis tersebut, melanjutkan kuliah
di jurusan psikologi. Ternyata motivasinya menawari kue pada Jagad dengan tak
pernah lelah itu karena ketertarikannya pada kejiwaan seseorang. Sementara
Jagad, melanjutkan aktivitasnya sebagai pengamat danau. Ia tak mau ditawari
pekerjaan oleh pamannya, kebetulan pamannya adalah pemilik showroom mobil
terbesar di kota itu. Ia juga tidak mau melanjutkan kuliah. Seluruh anggota
keluarga sudah putus asa membujuknya. Satu-satunya yang Jagad mau hanya kembali
ke kampung halaman dan menghabiskan sisa hidup di tepian danau, termenung
sendiri, dengan kaki bermain air danau dan mata memandang nun jauh entah
kemana. Baginya, begitulah hidup. Sebelum perpisahan sekolah, Jagad sempat
berkata pada gadis baik hati itu : “danau biru tua, bawalah aku ke danau biru
tua, atau setidaknya kau meberiku setetes air dari sana” dan gadis itu hanya
tersenyum tanpa mengerti maksudnya. Kata-kata yang tak mudah dilupakan oleh
gadis itu, dan oleh Jagad sendiri.
Indri sudah hampir menyelesaikan
studinya. Namun, tetap, ia masih terngiang masa lalu. Yah, kata-kata perpisahan
dari Jagad masih membuatnya penasaaran. Selama ia kuliah ia terus mencari
informasi tentang danau biru tua itu. setelah sekian lama mencari, ia menemukan
juga danau biru tua yang dimaksudkan Jagad. Pada liburan semester genap lalu,
Indri diajak temannya ke rumah neneknya yang dekat dengan danau Sumeleh. Danau
Sumeleh, begitu namanya – konon asal-usul danau tersebut dulunya hanyalah
sebuah sumur yang dimiliki seorang kakek tua bernama Mbah Kajen. Mbah Kajen
selalu bersahaja, bersyukur, dan riang dalam hidupnya. Sumurnya satu-satunya
yang masih ada airnya saat kemarau, sementara sumur warga telah mengering. Dan
Mbah Kajen selalu bersedia berbagi dengan tetangga bahkan warga di luar
kampungnya. Begitulah akhirnya hingga sumur itu terus mengeluarkan air yang tak
kunjung berhenti hingga meluas menjadi danau Sumeleh sekarang ini. Nama Sumeleh
berasal dari bahasa jawa yang berarti riang, tak pernah mengeluh. Begitulah
orang mempercayai cerita asal usul danau itu turun temurun. Hingga cerita
demikian itu membuat warga menjadikan danau tersebut sebagai tempat keramat
bahkan membuat aturan yang tidak membolehkan mengambil setetes air pun dari
danau itu, aturan yang dibuat tanpa dasar asumsi yang jelas, yang disepakati
begitu saja oleh warga dan menjadi kepercayaan hingga sekarang.
“Warna air danau sumeleh biru
tua, mirip yang disebut oleh Jagad”, pikir Indri. Dan Indri berkesimpulan
itulah yang dimaksud Jagad. Ia mencari hubungan-hubungan dari kalimat Jagad
lalu. Danau sumeleh, riang, bahagia, Jagad ingin aku membuatnya riang, tapi
kenapa ia selalu murung meski aku selalu berusaha membuatnya senang? Jika
asal-usul danau seperti demikian, mengapa justru warga menjadikan air danau
terlarang diminum, dan mempercayai bahwa yang melanggar kepercayaan warga itu
akan menerima kutukan? Lalu, apa hubungan Jagad dengan danau biru tua, mengapa
ia menyebut seperti itu? begitulah pertanyaan-pertanyaan yang tak henti
menghiasi kehidupan Indri. Baginya Jagad mempunyai berbagai ketertarikan yang
tak dapat dilihatnya pada remaja lain. Namun, ia sadar – waktu terus berjalan
tanpa menunggu. Indri sadar, danau biru, kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan,
hanya akan ia dapat saat ia hidup di masa ini, bukan terngiang masa lalu, atau
hanya memimpikan masa depan. Bagi Indri, masa ini adalah penyeimbang – dan
harus dijalankan dengan kesungguhan untuk mencapai danau biru – lambang
kedamaian, baginya.
Lalu, danau biru seperti apa yang
dimaksud Jagad? Indri tak pernah benar-benar mengerti. Yang jelas Indri terus
melanjutkan kehidupannya sedangkan Jagad masih saja mematung di tepian danau
biru itu, dengan kaki bermain air sambil terkadang berceloteh lirih : “bawalah aku ke danau biru tua, atau
setidaknya kau memberikanku setetes air dari sana”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar