TUGIEZLAND

Selasa, 24 September 2013

Danau Biru Tua



Bawalah aku ke danau biru tua, atau setidaknya kau meberiku setetes air dari sana. . .
Waktu, kau tau, waktu tak pernah bisa kau kendalikan. Pernahkah kau pergi ke masa lalumu? Atau kau mencoba membuat pesawat canggih untuk mengantarkanmu pergi ke masa depanmu. Kau kira, mesin waktu itu benar-benar ada? 

Aku tau, kau memang bisa pergi menyusuri masa lalumu dengan perahu memori dalam otakmu. Ia membawamu melihat berbagai hal yang pernah kau lihat di masa lalu, tapi benarkah ia nyata? Bukankah ia hanya bayangan-bayangan yang tak pernah bisa kau rubah keadaannya. Lalu, kau berpijak pada keandalan otak untuk menggabungkan kejadian masa lalu itu dengan berbagai imajinasi dan fantasimu untuk pergi ke masa depanmu. Tapi pernahkah kau benar-benar pergi ke sana? Lalu apa bedanya dengan hari ini, masa ini, tidakkah masa ini semaya masalalu atau masa depan? Bukankah masa ini adalah masa depan yang kau harapkan kemarin, atau masa lalu yang esok kan kau kenang? Mungkin seperti itulah kalimat yang selalu menghiasi pikiran Jagad, remaja yang menghabiskan hampir seluruh waktunya di tepian danau.

Mencarinya sangatlah mudah, kau hanya perlu menyusuri tepian danau biru tua, Jagad selalu berada di tepian danau itu. danau yang konon tak ada orang yang berani memancing ikan atau mengambil airnya. Penduduk sekitar menganggap danau itu sebagai danau yang keramat. Tiap malam jum’at legi, warga berbondong ke sana dengan membawa banyak sesajian dan juga kemenyan sesembahan untuk sang penunggu danau, memohon keselamatan bagi penduduk sekitar danau, begitulah kepercayaan warga sekitar. Mbah Kajen sang penunggu danau, begitulah orang menyebut. Tapi jagad tak pernah bergeming, ia tak pernah hirau pada warga desa tentang berbagai mitos danau itu. Jagad hampir tiap harinya sepulang sekolah duduk sendirian di tepian danau itu. Baginya, tak ada keanehan sama sekali di danau itu. Namun, entah mengapa ia suka menghabiskan waktunya di sana.

Hari-hari Jagad penuh misteri bagi orang lain, sepanjang hidupnya hampir ia gunakan untuk menyendiri di tepian danau biru tua. sikapnya yang ramah menjadikan teman-temannya segan terhadapnya, meski dia jarang sekali dan hampir tak pernah berbicara dengan temannya – hanya sekilas senyum atau menyapa, itupun hanya pada teman yang dianggapnya dekat saja, selebihnya ia hanya diam. Mungkin hanya ibunya yang sangat mengerti apa yang dirasakan anaknya itu, dia sangat menyayangi Jagad. Semenjak kecil Jagad tertarik pada danau itu, dan ibunya sudah kelelahan melarangnya untuk pergi kesana, ia pasrah sekarang. Danau itu menyimpan banyak kenangan bagi ibunya, kenangan manis dan teramat buruk juga, yang mungkin pada masa ini membuat Jagad seolah mewakili nostalgia ibunya.

Waktu itu, Jagad masih berusia 5 tahun. Jagad baru masuk sekolah TK, dan hari itu adalah hari pertama kali ia masuk sekolah. Sekolah jagad berada di seberang danau, satu-satunya akses hanyalah dengan menggunakan sampan menyebrangi danau. Sebenarnya ada jalan lain dengan memutari tepian danau, namun harus berjalan puluhan kilometer dengan mendaki bukitan terjal dan hutan yang rimbun. Ayahnya, pak Janoko mengantarkannya pergi sekolah pagi itu, Jagad sangat bersemangat hari itu. Sementara ayahnya sedang dilema, satu sisi ia khawatir dan sisi lain rasa senang teramat karena hari itu pak Janoko untuk pertama kalinya mengantarkan seorang anaknya masuk sekolah, sama senangnya saat melihat Jagad baru bisa berjalan.

Jagad bersama ayahnya harus menggunakan sampan untuk menyebrangi danau itu. Sepanjang mengarungi danau, pak janoko tak hentinya berkomat-kamit memohon keselamatan agar bisa sampai ke seberang danau. Pak Janoko, sama halnya warga lainnya sangat mempercayai adanya si penunggu danau. Pada hari-hari tertentu ia yang paling rajin melakukan ritual sesembahan di sana. Kamis pagi sebelum jum’at legi datang esok hari, pak Janoko pergi ke kota untuk menemui undangan sahabat karibnya. Dikiranya ia akan pulang ke rumah sebelum sore tiba. Namun ternyata rencananya meleset jauh, bus yang ia tumpangi mogok dan harus menunggu bus cadangan untuk mengantarkan para penumpang melanjutkan perjalanan. Pak Janoko sampai rumah di tengah malam. Maklum, jarak rumahnya ke kota puluhan kilometer jauhnya dengan jalanan terjal berliku dan jarang angkutan umum, hanya jam tertentu saja bus atau angkutan lain yang lewat. Pak Janoko sangat ketakutan, yang membuatnya ketakutan ialah karena hari ini ia tak melakukan ritual di danau, padahal besok hari jum’at legi, hari yang dianggap paling keramat oleh warga. Ritual tersebut tidak bisa diwakilkan, setiap orang harus melakukannya sendiri – dan waktu ritual paling akhir pada saat tenggelamnya matahari, sesudah itu tidak bisa, begitulah aturan ritual yang entah siapa pembuatnya.

Hari senin itu, hari yang berat bagi pak Janoko. Ia sangat khawatir dengan keselamatan diri dan anaknya, Mengingat ia tak melakukan ritual hari kamis kemarin lusa. Meski di satu sisi perasaannya juga senang untuk pertama kalinya ia melihat anak satu-satunya pergi sekolah, namun seluruh tubuhnya bergetar menahan rasa takut. Sampan yang dikayuhnya sudah hampir beberapa meter lagi berada di seberang dan menepi, namun tubuh pak Janoko semakin bergetar, perasaannya makin kalut, perasaan kacau yang ia buat sendiri – paranoid yang berlebihan. Sampannya agak oleng, sampan kecil yang hanya muat untuk satu orang dewasa itu akhirnya terbalik. Pak Janoko dan Jagad yang berada dipangkuannya tersungkur ke dalam air danau. Struktur danau curam, jadi meski di tepian kedalamannya bisa mencapai tiga meter lebih. Pak Janoko berusaha keras melemparkan anaknya ke tepian sebelum akhirnya ia sendiri tenggelam. Jagad selamat dan pingsan di tepian danau dengan beberapa luka memar, sementara pak Janoko meninggal, ia tak bisa berenang. Mayatnya baru diketemukan warga sore hari tepat sebelum tenggelamnya matahari.

Sejak saat itu masyarakat tak berani lagi menyebrangi danau. Mereka lebih memilih memutari danau dan mendaki perbukitan daripada harus menyebrang. Dan danau itu semakin dikeramatkan oleh warga, ritual-ritual semakin sering dilakukan tidak hanya pada hari tertentu, namun hampir tiap hari kamis dilakukan. Warga tak lagi berani memancing ikan atau mengambil air dari danau itu, pun setetes. Warga memilih berjalan belasan kilometer untuk mengambil air di sumber mata air demi mencukupi kebutuhan. Sejak saat itu pula keceriaan Jagad hilang. Wajahnya nampak sayu, pucat pasi tanpa ekspresi. Namun, hanya dia satu-satunya warga yang berani duduk berlama-lama di tepian danau sambil memainkan kakinya yang dicelupkannya sebagian ke dalam air danau. Beberapa warga awalnya sempat berusaha keras melarangnya, namun seperti ibunya – warga akhirnya putus asa dan membiarkannya, bahkan kini mereka menganggap Jagad sebagai titisan Mbah Kajen – sang penunggu danau, psikologi masyarakat pedalaman masih sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian seperti itu.

Waktu berlalu cepat, Jagad telah menginjak usia remaja. Tujuh belas tahun, adalah saat-saat penuh gairah bagi remaja normal – namun tidak bagi Jagad. Meski ia masih mau melanjutkan sekolah sampai hari ini, namun sikapnya tak jauh berbeda dengan masa kecilnya – bernyawa namun tak berekspresi, seperti patung. Jagad bersekolah di luar kota – ia diajak pamannya di kota yang jauh dari tempat asalnya, jauh dari danau biru yang dikeramatkan warga, jauh dari masalalunya. Dulu saat SD ia sempat juga diajak, namun ia selalu meronta dan pamannya kualahan hingga ia dikembalikan di kampung ibunya di tepian danau biru tua. Namun sekarang ia mau untuk diajak pindah ke rumah pamannya di kota, setidaknya harapan keluarga : Jagad tidak lagi seperti patung.

Dan, nyatalah agaknya harapan itu, meski pada akhirnya kandas. Pandangan kosong mata Jagad mulai berkurang sejak ia mengenal seorang gadis bernama Indri. Gadis yang selalu tak lelah menawarkan kue bekal yang dibawanya dari rumah, meski tak pernah digubris Jagad. Tiap hari gadis itu menyapa Jagad lalu menawarkannya kue. Terkadang ia menatap tajam mata Jagad yang kosong beberapa lama, tersenyum lalu meninggalkannya. Hal itu ia lakukan selama hampir bersekolah di sekolah tersebut, dan selama itu pula tanggapan Jagad hanya dingin. Hanya beberapa minggu sebelum kelulusan saja Jagad membalas tawaran kue dari gadis yang tak pernah lelah itu dengan ucapan “tidak, terima kasih”. Hanya itu dan ia berlalu lagi dalam dunianya sendiri.

Hari kelulusan tiba, seluruh siswa sekolah tersebut berhasil lulus. Dan gadis tersebut, melanjutkan kuliah di jurusan psikologi. Ternyata motivasinya menawari kue pada Jagad dengan tak pernah lelah itu karena ketertarikannya pada kejiwaan seseorang. Sementara Jagad, melanjutkan aktivitasnya sebagai pengamat danau. Ia tak mau ditawari pekerjaan oleh pamannya, kebetulan pamannya adalah pemilik showroom mobil terbesar di kota itu. Ia juga tidak mau melanjutkan kuliah. Seluruh anggota keluarga sudah putus asa membujuknya. Satu-satunya yang Jagad mau hanya kembali ke kampung halaman dan menghabiskan sisa hidup di tepian danau, termenung sendiri, dengan kaki bermain air danau dan mata memandang nun jauh entah kemana. Baginya, begitulah hidup. Sebelum perpisahan sekolah, Jagad sempat berkata pada gadis baik hati itu : “danau biru tua, bawalah aku ke danau biru tua, atau setidaknya kau meberiku setetes air dari sana” dan gadis itu hanya tersenyum tanpa mengerti maksudnya. Kata-kata yang tak mudah dilupakan oleh gadis itu, dan oleh Jagad sendiri.

Indri sudah hampir menyelesaikan studinya. Namun, tetap, ia masih terngiang masa lalu. Yah, kata-kata perpisahan dari Jagad masih membuatnya penasaaran. Selama ia kuliah ia terus mencari informasi tentang danau biru tua itu. setelah sekian lama mencari, ia menemukan juga danau biru tua yang dimaksudkan Jagad. Pada liburan semester genap lalu, Indri diajak temannya ke rumah neneknya yang dekat dengan danau Sumeleh. Danau Sumeleh, begitu namanya – konon asal-usul danau tersebut dulunya hanyalah sebuah sumur yang dimiliki seorang kakek tua bernama Mbah Kajen. Mbah Kajen selalu bersahaja, bersyukur, dan riang dalam hidupnya. Sumurnya satu-satunya yang masih ada airnya saat kemarau, sementara sumur warga telah mengering. Dan Mbah Kajen selalu bersedia berbagi dengan tetangga bahkan warga di luar kampungnya. Begitulah akhirnya hingga sumur itu terus mengeluarkan air yang tak kunjung berhenti hingga meluas menjadi danau Sumeleh sekarang ini. Nama Sumeleh berasal dari bahasa jawa yang berarti riang, tak pernah mengeluh. Begitulah orang mempercayai cerita asal usul danau itu turun temurun. Hingga cerita demikian itu membuat warga menjadikan danau tersebut sebagai tempat keramat bahkan membuat aturan yang tidak membolehkan mengambil setetes air pun dari danau itu, aturan yang dibuat tanpa dasar asumsi yang jelas, yang disepakati begitu saja oleh warga dan menjadi kepercayaan hingga sekarang.

“Warna air danau sumeleh biru tua, mirip yang disebut oleh Jagad”, pikir Indri. Dan Indri berkesimpulan itulah yang dimaksud Jagad. Ia mencari hubungan-hubungan dari kalimat Jagad lalu. Danau sumeleh, riang, bahagia, Jagad ingin aku membuatnya riang, tapi kenapa ia selalu murung meski aku selalu berusaha membuatnya senang? Jika asal-usul danau seperti demikian, mengapa justru warga menjadikan air danau terlarang diminum, dan mempercayai bahwa yang melanggar kepercayaan warga itu akan menerima kutukan? Lalu, apa hubungan Jagad dengan danau biru tua, mengapa ia menyebut seperti itu? begitulah pertanyaan-pertanyaan yang tak henti menghiasi kehidupan Indri. Baginya Jagad mempunyai berbagai ketertarikan yang tak dapat dilihatnya pada remaja lain. Namun, ia sadar – waktu terus berjalan tanpa menunggu. Indri sadar, danau biru, kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan, hanya akan ia dapat saat ia hidup di masa ini, bukan terngiang masa lalu, atau hanya memimpikan masa depan. Bagi Indri, masa ini adalah penyeimbang – dan harus dijalankan dengan kesungguhan untuk mencapai danau biru – lambang kedamaian, baginya.

Lalu, danau biru seperti apa yang dimaksud Jagad? Indri tak pernah benar-benar mengerti. Yang jelas Indri terus melanjutkan kehidupannya sedangkan Jagad masih saja mematung di tepian danau biru itu, dengan kaki bermain air sambil terkadang berceloteh lirih : “bawalah aku ke danau biru tua, atau setidaknya kau memberikanku setetes air dari sana”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar