Relatif. Seperti
kecepatan motorku yang melaju di jalanan tiap harinya. Hanya rutinitas untuk
memacu motor di jalanan tiap harinya-lah yang agaknya bisa dipredeksi dengan
sedikit kepastian, inipun masih bisa dibilang relatif. Tapi, apakah ada di
dunia ini yang tidak relatif, bahkan hukum alam pun mulai bisa berjalan dalam
relatifitas manusia. Manusia, dengan segala kecanggihannya telah mampu melawan
gravitasi, menerbangkan material yang puluhan abad lalu dianggap takkan mampu
terbang. Gravitasi bumi mulai beranjak relatif, tergantung pada apa dan siapa
yang melawannya. Matematika mengikuti hukum alam, relatif. Ia hanya
kesepakatan angka-angka untuk mengukur relatifitas hukum alam. 1+1=2, 2-1=1,
dst, hanya kesepakatan mutlak, bukan kepastian mutlak. Bagaimana dengan cuaca? Tak ada lagi penanggalan pertanian jawa, semisal bulan Desember adalah
gedhe-gedhene sumber, atau seret untuk bulan maret yang berarti
memasuki musim panas, tak cocok untuk memulai tanam. Cuaca mulai berjalan
relatif juga, tergantung sesuka hati mereka memainkan hujan atau panas ekstrim.
Semesta akhirnya relatif. “Hei, kau mengacaukannya. Jangan-jangan kau akan bilang bahwa
Tuhan relatif...!!!” sentakan suara mengagetiku. Aku hanya diam mendengarnya.
Dalam hati aku menertawainya, mana mungkin aku memasukkan Tuhan dalam keadaaan
relatifitas khayalku. Justru hanya Tuhan yang tak kuragukan kemutlakan-Nya.
Oh, cinta – seperti
halnya ciptaan Tuhan lainnya, masih berada dalam relatifitas, seperti
relatifitas kecepatan motorku, begitulah yang kupahami darinya. Bisa melaju
kencang, atau tiba-tiba mengeremnya mendadak, atau berjubel dalam kesemrawutan
jalanan macet di perkotaan, atau juga – ini yang menyakitkan, kau mengalami
kecelakaan karena tak mampu mengendalikan, akibatnya
remuk untuk motor, dan patah untuk hati, laju cintamu terlalu kencang lalu kau
sadari kau telah menabrak kenyataan.
Cinta-relatif,
motor-relatif. Satu yang mungkin pasti, apapun keadaannya kau masih akan bisa
tersenyum dalam frustasi kemacetan jalan di tengah terik siang yang menyengat
saat yang kau bonceng adalah orang yang sangat kau cinta. Haha, ternyata cinta
mampu membuat kepastian senyuman. “Ah, kau ini tak konsisten, tadi bilang cinta
relatif, sekarang tiba-tiba bisa membuat kepastian” suara protes mengalun pelan
lalu menamparku. “Sudah kubilang di awal kan, apa yang tidak relatif, termasuk
pikiranku” belaku. Apapun yang kutakatakan tadi
tentang relatifitas, aku tak sedikitpun menganjurkanmu untuk menyetujuinya.
Oke,
aku tak mau membicarakan lagi relatifitas dalam khayalanku. Aku hanya ingin
kau, jika kau mau, membantuku mencarikan kaktus untuk kekasihku. “Kau gila?
Dimana-mana orang memberikan mawar untuk kekasihnya, bukan kaktus. Oh, kau tak
mau dianggap terlalu mainstream begitu, kan?” bukan, bukan. Sungguh ini bukan
untuk membuat semacam diferensiasi dari kebudayaan yang telah bertahan selama
berabad. Jika saja mentalku mampu, hasrat terbesarku saat ini adalah memberinya
bunga mawar. Sayangnya, kondisi jiwaku terus merayu dan mencuci otakku untuk
menganggap kaktuslah yang lebih indah dari mawar.
Duh
Gusti, apa gerangan lagi ini. kenapa bisikan itu meyakinkanku hingga aku
menggebu mencarikan kaktus demi relatifitas cinta. Jika semua yang ada di dunia
relatif, kenapa tidak mawar saja yang kuberikan padanya. Kenapa harus kaktus
yang susah dicari itu. Tanaman yang penuh duri pula. Tapi tunggu, aku mulai
menyukainya. Ia punya sedikit kemungkinan untuk keluar dari khayalan
relatifitasku. Kaktus menghadapi kenyataan dirinya sendiri bahwa ia adalah
tanaman berduri. Kaktus terasing dari jajaran simbol budaya cinta, hidup
terasing dari kawan-kawannya sesama bunga, bahkan mungkin ia tak dikategorikan
bunga. Kaktus punya kepastian untuk dirinya sendiri, memastikan orang lain tahu
bahwa ia penuh oleh duri agar tak mereka sentuh, tak mati oleh sedikit
persediaan air. Akar-akarnya menancap kuat di bawah tanah, mencari sesuatu yang
meyakinkannya untuk hidup dengan harapan akan adanya kepastian tentang
keberlangsungannya, kepastian untuk melawan terik, kepastian akan mekarnya bunga
sehingga ia rela menunggu lebih lama dari jenis bunga lain untuk memekarkan
kembangnya.
Duh
Gusti, kaktuskanlah cintaku ini, agar kuat akar-akarnya dalam pencarian air
suci-Mu. Kaktuskanlah cintaku, agar sabar menunggu bermekarnya bunga
kedamaian-Mu. Kaktuskanlah cintaku, agar ia bertahan dan setia dalam hadirat-Mu
meski harus terasing di tanah tandus. Kaktuskanlah cintaku, agar mampu menjaga
dirinya sendiri tanpa menipu orang lain. Kaktuskanlah cintaku, untuk
kejujurannya menampakkan duri-duri penjaganya agar tak membuat orang lain terluka.
Jika saja, Duh Gusti, Engkau ijinkan, mawar, ephorbia, putri malu, dan
bunga-bunga lain untuk merasakan, aku ingin Engkau juga mengkaktuskan mereka semua,
tentu dengan tetap pada keindahan dan keunikan pribadi mereka. Sehingga aku
mampu memilih salah satu dari mereka untuk kuberikan pada kekasihku, bukan
kaktus itu sendiri. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar