TUGIEZLAND

Kamis, 12 September 2013

Duh Gusti, Kaktuskanlah Cintaku Ini, Meski Hidup Serelatif Laju Motorku


Relatif. Seperti kecepatan motorku yang melaju di jalanan tiap harinya. Hanya rutinitas untuk memacu motor di jalanan tiap harinya-lah yang agaknya bisa dipredeksi dengan sedikit kepastian, inipun masih bisa dibilang relatif. Tapi, apakah ada di dunia ini yang tidak relatif, bahkan hukum alam pun mulai bisa berjalan dalam relatifitas manusia. Manusia, dengan segala kecanggihannya telah mampu melawan gravitasi, menerbangkan material yang puluhan abad lalu dianggap takkan mampu terbang. Gravitasi bumi mulai beranjak relatif, tergantung pada apa dan siapa yang melawannya. Matematika mengikuti hukum alam, relatif. Ia hanya kesepakatan angka-angka untuk mengukur relatifitas hukum alam. 1+1=2, 2-1=1, dst, hanya kesepakatan mutlak, bukan kepastian mutlak. Bagaimana dengan cuaca? Tak ada lagi penanggalan pertanian jawa, semisal bulan Desember adalah gedhe-gedhene sumber, atau seret untuk bulan maret yang berarti memasuki musim panas, tak cocok untuk memulai tanam. Cuaca mulai berjalan relatif juga, tergantung sesuka hati mereka memainkan hujan atau panas ekstrim. Semesta akhirnya relatif. “Hei, kau mengacaukannya. Jangan-jangan kau akan bilang bahwa Tuhan relatif...!!!” sentakan suara mengagetiku. Aku hanya diam mendengarnya. Dalam hati aku menertawainya, mana mungkin aku memasukkan Tuhan dalam keadaaan relatifitas khayalku. Justru hanya Tuhan yang tak kuragukan kemutlakan-Nya. 
 
Oh, cinta – seperti halnya ciptaan Tuhan lainnya, masih berada dalam relatifitas, seperti relatifitas kecepatan motorku, begitulah yang kupahami darinya. Bisa melaju kencang, atau tiba-tiba mengeremnya mendadak, atau berjubel dalam kesemrawutan jalanan macet di perkotaan, atau juga – ini yang menyakitkan, kau mengalami kecelakaan karena tak mampu mengendalikan, akibatnya remuk untuk motor, dan patah untuk hati, laju cintamu terlalu kencang lalu kau sadari kau telah menabrak kenyataan. 

Cinta-relatif, motor-relatif. Satu yang mungkin pasti, apapun keadaannya kau masih akan bisa tersenyum dalam frustasi kemacetan jalan di tengah terik siang yang menyengat saat yang kau bonceng adalah orang yang sangat kau cinta. Haha, ternyata cinta mampu membuat kepastian senyuman. “Ah, kau ini tak konsisten, tadi bilang cinta relatif, sekarang tiba-tiba bisa membuat kepastian” suara protes mengalun pelan lalu menamparku. “Sudah kubilang di awal kan, apa yang tidak relatif, termasuk pikiranku” belaku. Apapun yang kutakatakan tadi tentang relatifitas, aku tak sedikitpun menganjurkanmu untuk menyetujuinya.

Oke, aku tak mau membicarakan lagi relatifitas dalam khayalanku. Aku hanya ingin kau, jika kau mau, membantuku mencarikan kaktus untuk kekasihku. “Kau gila? Dimana-mana orang memberikan mawar untuk kekasihnya, bukan kaktus. Oh, kau tak mau dianggap terlalu mainstream begitu, kan?” bukan, bukan. Sungguh ini bukan untuk membuat semacam diferensiasi dari kebudayaan yang telah bertahan selama berabad. Jika saja mentalku mampu, hasrat terbesarku saat ini adalah memberinya bunga mawar. Sayangnya, kondisi jiwaku terus merayu dan mencuci otakku untuk menganggap kaktuslah yang lebih indah dari mawar.

Duh Gusti, apa gerangan lagi ini. kenapa bisikan itu meyakinkanku hingga aku menggebu mencarikan kaktus demi relatifitas cinta. Jika semua yang ada di dunia relatif, kenapa tidak mawar saja yang kuberikan padanya. Kenapa harus kaktus yang susah dicari itu. Tanaman yang penuh duri pula. Tapi tunggu, aku mulai menyukainya. Ia punya sedikit kemungkinan untuk keluar dari khayalan relatifitasku. Kaktus menghadapi kenyataan dirinya sendiri bahwa ia adalah tanaman berduri. Kaktus terasing dari jajaran simbol budaya cinta, hidup terasing dari kawan-kawannya sesama bunga, bahkan mungkin ia tak dikategorikan bunga. Kaktus punya kepastian untuk dirinya sendiri, memastikan orang lain tahu bahwa ia penuh oleh duri agar tak mereka sentuh, tak mati oleh sedikit persediaan air. Akar-akarnya menancap kuat di bawah tanah, mencari sesuatu yang meyakinkannya untuk hidup dengan harapan akan adanya kepastian tentang keberlangsungannya, kepastian untuk melawan terik, kepastian akan mekarnya bunga sehingga ia rela menunggu lebih lama dari jenis bunga lain untuk memekarkan kembangnya.

Duh Gusti, kaktuskanlah cintaku ini, agar kuat akar-akarnya dalam pencarian air suci-Mu. Kaktuskanlah cintaku, agar sabar menunggu bermekarnya bunga kedamaian-Mu. Kaktuskanlah cintaku, agar ia bertahan dan setia dalam hadirat-Mu meski harus terasing di tanah tandus. Kaktuskanlah cintaku, agar mampu menjaga dirinya sendiri tanpa menipu orang lain. Kaktuskanlah cintaku, untuk kejujurannya menampakkan duri-duri penjaganya agar tak membuat orang lain terluka. Jika saja, Duh Gusti, Engkau ijinkan, mawar, ephorbia, putri malu, dan bunga-bunga lain untuk merasakan, aku ingin Engkau juga mengkaktuskan mereka semua, tentu dengan tetap pada keindahan dan keunikan pribadi mereka. Sehingga aku mampu memilih salah satu dari mereka untuk kuberikan pada kekasihku, bukan kaktus itu sendiri. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar