Usai perdebatan Paijo dengan adiknya (Paiman) usai sholat id gara-gara ulah Paiman yang tak pernah pulang ke rumah selama bulan ramadhan karena sibuk mengurusi kegiatan komunitas mbambungnya, Paijo begitu saja pergi dari rumah. Sementara Paiman masih saja diam seribu bahasa – merenungi nasehat Paijo kemarin, Paiman menyadari kesalahannya. Ia sadar ternyata niat baiknya membentuk komunitas mbambung itu telah diplesetkan oleh setan – niatnya tidak murni demi kebaikan lagi namun hanya agar dia dan orang-orang yang seprofesi (mbambung) dengannya terlihat eksis.
Rumah Paijo kini sepi lagi karena ditinggal pergi pemiliknya, tak ada lagi si pengkritik dan pendebat itu. Aku hanya ditemani Paiman yang hari-harinya sibuk merenung – Paiman telah kembali ke kebiasaannya semula. Kakak-beradik itu bergiliran minggat dari rumah.
Di tempat lain, Paijo tengah asyik menikmati perjalanannya.” Naik-naik ke puncak gunung ... turun-turun ke pantai.. .atas-bawah, depan dan belakang... aku kini dimana... “ potongan lirik lagu yang diubahnya sendiri itu selalu dinyanyikan Paijo berulang-ulang selama perjalanan tanpa bosan. Selera musik Paijo benar-benar hancur, bahkan untuk mengubah potongan lirik lagu anak-anak itu saja ia butuh waktu seharian penuh – Paijo tak punya keahlian spontan untuk mempleset-plesetkan kata, termasuk kata-kata dalam lirik lagu, apalagi untuk memplesetkan bahkan membuat nada lagu sendiri. Jadi kalau ia nyanyi terkesan asal saja.
Di perjalanan tiba-tiba ia punya ide untuk mencari inspirasi membuat kreasi lomba yang baru untuk merayakan HUT Republik Indonesia, “biar lombanya gak itu-itu aja” gerutunya. Yah, meski sudah tak menjabat sebagai kepala desa lagi Paijo masih saja suka ikut campur mengurusi kegiatan-kegiatan desa. Tapi, inspirasi yang ia harapkan tak kunjung datang hingga akhirnya mobil yang ia tumpangi membawanya sampai di sebuah pantai. Di pantai tersebut, Paijo melihat kerumunan orang tengah berjoget ria dengan diiringi alunan musik dangdut koplo, sebagian diantaranya terlihat berjoget sempoyongan karena mabuk. Meski begitu tak ada tawuran karena kerumunan tak terlalu banyak dan penjagaan aparat keamanan yang ketat.
Paijo yang baru datang di pantai itu secepat kilat membaur dengan kerumunan joget tersebut. Paijo tak tahu apapun soal musik, apalagi musik dangdut koplo – yang ia tahu musik itu pokoknya yang nadanya pas di telinganya, iku thok. Dan soal dangdut koplo – ia hanya tahu potongan lirik “buka’ titik joss...” Saat ia asyik berjoget dan membaur dengan kerumunan tersebut, kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya “pokok’e joget... pokok’e joget...” tak peduli beberapa kali lagu yang didendangkan penyanyi berganti – ia tetap saja berjoget dan bernyanyi sesuka hati “pokok’e joget...pokok’e joget” sambil sesekali melontarkan suara keras “buka titik joss....” sementara yang lain bernyanyi sesuai lagu yang didendangkan. Pun begitu, Paijo tak dijadikan korban tatapan mata sinis karena oran-orang dalam kerumunan tersebut sangat menghargai perbedaan – asal yang beda tak mengganggu .
Setelah dirasa cukup lelah, Paijo ingin pulang ke rumah. Di perjalanan pulang tiba-tiba ia mendapat inspirasi – “gimana kalau diadain lomba makan krupuk sambil joget yah, pasti seru ” pikirnya. Ia menganggap hal itu belum pernah ada, padahal di beberapa desa tetangga lomba itu sudah ada sejak puluhan tahun, begitulah si Paijo.
Setibanya di rumah . . .
“Pulang-pulang langsung sibuk karep’e dewe, mau ngapain toh , Jo?”tegur Paiman
“Ngapain ajahh, masalahh buat ellloohhh...” ketus Paijo
“Halahh, paling-paling mau nyuntik (memperdaya) orang, mbujuk’i orang biar mau kerjasama”
“Loh, shu’uzdonnya keluar. Lah wong aku ini mau nyiapin lomba makan krupuk sambil berjoget kok. Lomba ini gak pernah ada sebelumnya, Man. Pasti keren”
“Emang ngadain lomba gituan buat apa? Wong lomba makan krupuk sudah ada puluhan tahun lalu, kemana aja sihh ellloohh?” ketus Paiman menirukan gaya alay ala Paijo
“Heh, itu kan cuma lomba makan kerupuk, kalau yang ini kan sambil berjoget – bisa bedain gak sih? Elllohh itu yang kemane ajeh, ini kan untuk memperingati HUT Republik Indonesia, gimana sihh. Gak nasionalis banget?”
“Tapi sama aja toh, sama-sama makan krupuknya. Memangnya nasionalisme mesti ditunjukkan dengan kegiatan-kegiatan lomba gitu? Terus pake pentas musik – terus kita berjoget-joget merayakan kemerdekaan?”
“Loh, ya iyalah. Kita harus merayakan kemerdekaan yang diperoleh dengan susah payah oleh para pahlawan, gak kok bersikap apatis kayak kamu itu. Lagian kan bukan cuma lomba-lomba dan pentas musik thok, tiap tahun kan diadakan upacara bendera memperingati lahirnya Indonesia, emang kamu itu orang mana kok gak nasionalis banget?”
“Lah kok jadi semacam perayaan dan pesta-pora gitu. Lah bagaimana kamu mengenang jasa-jasa para pahlawan itu? Apakah nasionalisme seperti itu? Apa nasionalisme itu kalau pada tanggal-tanggal tertentu kita mengadakan berbagai kegiatan bertema Indonesia? Apa nasionalisme itu saat kita marah melihat kebudayaan Indonesia diakui negeri orang, sementara kita sendiri tak pernah memperhatikan kebudayaan Indonesia? Apa nasionalisme itu saat kita menciptakan karya-karya musik, baju dan apa saja yang bertema Indonesia dan hasil penjualannya yang menggiurkan itu untuk keuntungan pribadi dan golongan kita, sementara banyak orang-orang marjinal di berbagai daerah harus susah payah mencari uang? Apa nasionalisme itu saat kita dicekok’i berbagai mindset keunggulan modernisasi pembangunan Indonesia – sementara banyak orang terbelenggu kemiskinan di Indonesia? Apa nasionalisme itu saat kita secara tidak sadar beramai-ramai saling menipu halus, bermuka-manis, menjegal, memfitnah, mencurigai antar warga negara Indonesia dengan mengatasnamakan jargon ‘persaingan’ dan modernisasi indonesia demi kesejahteraan indonesia? Apa nasionalisme itu saat kita menertawai orang-orang udik yang berbahasa indonesia dengan dialek Jawa, Sunda, Melayu, Batak, Dayak, Bugis, Ambon, Papua dan dialek kedaerahan lainnya? Apakah nasionalisme itu saat kita meng-Indonesia-kan Jawa, Sumatra, Kalimantan dan sebagainya, atau apakah nasionalisme itu saat kita merestui bahwa Indonesia adalah bagian dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan sebagainya...?”
“Stop... stop...!!! kamu ini kok malah mengingau, tau apa kau ini tentang nasionalisme?”
“Lah memang aku ini gak tau apa itu nasionalisme, patriotisme, pancasilaisme, kulturalisme, industrialisme, modernisme, globalisme, dan isme-isme lain, bahkan Indonesia sendiri saja aku gak tau, Jo? Apa Indonesia itu sebuah negara merdeka atau tidak, kerajaan atau republik, demokrat atau otoriter, kesatuan atau federasi, semuanya gak jelas bagiku, Jo. Beda denganmu yang udah sarjana - lulusan Universitas Kritikcospleng, aku hanya orang mbambung yang hanya tau kalau aku hidup di suatu desa di tanah Jawa yang katanya bagian dari negara merdeka Indonesia, yang tiap harinya harus susah payah mencari rongsokan untuk mendapat uang, yang tiap bulan harus menyerahkan upeti (pajak) untuk Indonesia, yang tiap lima tahun sekali memberikan suaranya untuk memilih pemimpin – yang akan mewakili keluh kesahku – yang saat terpilih ia memperlakukanku sebagaimana perlakuan seorang raja terhadap para budak, yang....”
“Sudah, cukup!!! Kalau kamu tidak tau apa-apa, harusnya kamu diam!! Gak mengingau, nyloteh, ngedhumel gak karuan seperti ini!! bilang aja kamu iri sama para koruptor kaya perusak tatanan Indonesia, Man, gak semua orang Indonesia seperti itu. Kamu itu lulusan pesantren Notobatin kok masih aja kayak gitu – gak baik iri berlebihan kayak gitu, Man”
“Siapa yang iri, aku itu cuma pengen tau yang tak ku tau, Jo. Aku sambatan padamu sebagai akademis dan praktisi berpengalaman, sebenarnya apa itu nasionalisme, pancasialisme, komunisme, patriotisme, modernisme, globalisme, liberalisme, neo-liberalisme, dan jargon-jargon yang pulang-pergi lainnya tanpa penjelasan yang utuh itu? Dan, sebenarnya apa itu Indonesia, Jo?”
Paijo hanya diam tak menjawab. Entah kenapa, mungkin jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Paiman membutuhkan waktu belasan bahkan puluhan tahun untuk menjelaskannya, mungkin Paijo sudah gak mood lagi meladeni adiknya yang sekarang mulai jago ngeyel seperti dirinya, atau mungkin Paijo memang benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut (padahal jika mau, banyak sekali jawaban yang akan didapat dari internet). Apapun yang diperdebatkan mereka saat ini, aku tak peduli. Aku tak peduli dengan pertanyaan-pertanyaan Paiman tentang nasionalisme – tentang Indonesia, yang kurasakan saat ini hanya gembira melihat Paiman dan Paijo berdebat lagi – dan rumah Paijo yang kutumpangi ini tak lagi sepi sesepi kuburan. Biar orang menyebutku egois, apatis, dan tidak nasionalis, yang penting rumah yang kutumpangi ini diridhoi dan diberkahi Sang Pencipta dengan segala kebaikan dan keburukan penghuninya, dan do’aku semoga berkah itu juga dilimpahkan ke setiap rumah di desaku, di Indonesia, dan lebih-lebih diseluruh dunia agar orang-orang bisa berjoget sedamai suasana pantai tanpa saling meniadakan sesama, tanpa perkelahian dan permusuhan, tanpa rasa saling curiga dan benci – sedamai seorang Paijo yang berjoget dan bernyanyi sesuka hati tanpa mengganggu dan diganggu sekerumunan penjoget di tepi pantai.
Sekelumit kepedulianku tentang nasionalisme dari perdebatan itu, adalah bahwa nasionalisme merupakan rasa persatuan tanpa mengurung minoritas, rasa persatuan tanpa sangkar-sangkar suku, ras, dan agama – yang semua dengan gayanya masing-masing saling berusaha menciptakan kedamaian. Nasionalisme yang ku tau adalah yang burung berkicau, yang anjing menggonggong, yang kucing mengeong, yang harimau mengaung, yang Jawa ya Jawa, yang Batak ya Batak, yang Sunda ya Sunda, asal semua saling bersatu dan berusaha untuk menciptakan kedamaian negeri yang bernama Indonesia. Nasionalisme yang kupahami saat ini bukanlah memaksa tikus, anjing, kucing, burung, dan semuanya untuk mengaung seperti harimau, atau mengeong seperti kucing, yang ku tau nasionalisme bukanlah memaksa Jawa, Sunda, Tengger, Dayak, Batak dan sebagainya untuk mengenakan seragam yang sama – Indonesia. Yang ku tau, nasionalisme Indonesia adalah kerumunan orang yang saling peduli dan menghargai perbedaan, hanya itulah yang ku tau, hanya itu, dan hanya itu saja... Dan yang paling ku tau adalah bahwa saat ini aku hanya senang sesenang Paijo yang berjoget-nasionalisme di tepian pantai, tanpa mengganggu dan diganggu. “pokok’e joget... pokok’e joget, pokok’e nasional... pokok’e Indonesia....” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar