2018....
Awal
musim semi di London, suhu udara di sini masih berkisar 8-12 derajat celcius, sisa-sisa musim dingin masih terasa. Namun
suhu sekian ini tak
mampu lagi membuatku menggigil. Berbeda dengan kali
pertama kedatanganku di sini, saat itu juga sedang awal musim semi namun
tubuhku sudah menggigil kedinginan. Bibir mengelupas, jari-jari seakan kaku tak
mampu digerakkan, aku hanya menghabiskan waktu untuk berbaring di kamar
seharian itu. Yang terpikir olehku saat itu adalah bagaimana nanti saat musim
dingin tiba? Untunglah kekhawatiranku tak terjadi, tubuhku cepat beradaptasi
dengan suhu udara kota London. Jadi, saat musim dingin
telah benar-benar tiba selanjutnya, aku
masih bisa beraktifitas. Hanya saja saat itu perasaanku masih
sulit untuk beradaptasi dengan suasana London,
baru saja tinggal seminggu di kota ini aku sudah merasakan rindu yang teramat
akan tanah airku, akan masakan ibu, selain juga rindu akan kehangatan cinta
dari seorang kekasih. Perasaan selalu dingin – kehampaan selalu menemaniku selama
beberapa bulan sebelum akhirnya aku dipertemukan dengan seorang gadis manis
berlesung pipit.
Pagi
ini, pagi yang cerah di musim semi, aku sedang berada dalam bus kota ditemani gadis tersebut, ia
masih tenggelam dalam kenyamanannya – menyandarkan kepalanya di bahuku.
Terkadang ia melongok melihat keluar jendela bus kala melintasi beberapa gedung
yang pernah ia kunjungi. sambil lalu ia bercerita banyak soal gedung itu, tentang
kenangan-kenangan yang menyertainya. Aku suka saat ia bercerita, mulutnya sangat
cerdas merangkai kata-kata dan dengan intonasi khas seperti seorang ibu tengah mendongengi
anaknya, tapi bagiku matanya-lah yang lebih banyak menceritakan kenangan itu.
Yah, matanya punya tempat tersendiri di hatiku. Ia melukiskan banyak hal yang
tak mampu kuungkapkan, aku mendengar melalui tatapan matanya. Tatapan mata yang melaju sekencang busur panah menembus hatiku. Mata cinta, begitu ku menyebutnya. Kalau ia sudah cerita begini, aku
hanya tertegun memandangnya tanpa berkata apapun, dan dia tak kan berhenti
bercerita sebelum kisahnya benar-benar usai, ia mirip karakter Totto chan, anak kecil penuh imajinasi dari jepang
yang akhirnya sukses merealisasikan kisah hidup yang pernah ia bayangkan saat ia kecil.
Raisa,
begitulah aku menyebutnya. Aku bertemu dengannya di bus saat pulang kuliah.
Saat itu ia sudah setahun lebih tinggal di London, sementara aku baru beberapa bulan di sini. Dan kini, sudah selama setahun
aku telah menikahinya. Hari ini adalah hari ulang tahun pertama pernikahan
kami. Aku sengaja cuti kerja dan kuliah hari ini, demi mengajaknya jalan-jalan.
Meski hanya jalan-jalan sederhana, kami sangat menikmatinya. Kami berniat pergi
Buckingham Palace terlebih dulu untuk menyaksikan “Changing Guard”, sebuah
prosesi rutin dua hari sekali, prosesi pergantian penjaga istana – sebuah acara
sederhana yang menyajikan atraksi baris-berbaris dan berkuda, namun menjadi
tontonan wajib para turis di London. Ribuan orang selalu berjejal melihat
prosesi ini, meski sang Ratu tak pernah keluar istana, semacam sihiran dari tourism
marketing menjadikan prosesi ini terasa wajib dilihat para turis.
Jam
baru menunjuk angka 9 saat kami turun di St.James Park, sementara prosesi
Changing Guard biasanya dimulai jam 10.30. Kami pun menghabiskan waktu menunggu
di sekitar St.James park, menikmati pemandangan indah disana, berfoto ria,
duduk di salah satu sudut taman saat kelelahan. Kulihat Raisa sangat
menikmatinya, ia senang sekali melihat bunga-bunga bermekaran di sini, di saat
musim semi. Ia terlihat berjongkok memetik salah satu bunga lalu mengaitkannya
di telinga sebelum akhirnya menghampiriku yang sedang duduk memandangi
tingkahnya di kursi taman. Raisa lalu duduk di sampingku, mengulangi kemesraan
di bus tadi, menyandarkan kepalanya di bahuku. Beberapa saat kami menikmati
momen itu dalam keheningan hingga ia mengeluh lirih “sayangnya, di sini tak ada
bunga mawar” keluhnya. Aku hanya diam tak menjawab, hanya mengelus-elus rambutnya.
Aku baru ingat, Raisa sangat terobsesi pada bunga mawar, meski sampai sekarang
ia mengaku belum berani memetik dari tangkainya. Ia hanya senang memandanginya,
trauma tertancap duri mawar di masa kecil masih menjadi paranoid hingga
sekarang.
Bunga
mawar, membawa lamunanku ke masa lalu. Mengantarkan ingatanku pada waktu
lulusan SMP dulu, bunga mawar pertama yang kuberikan pada cinta pertamaku, seorang
gadis cantik primadona para lelaki beranjak dewasa di kelasku. Entah kenapa,
nama gadis itu Raisa Oktaviana. Gadis pertama yang menerima mawar dariku, meski
ku tahu belakangan bahwa ia sebenarnya tidak suka bunga mawar, ia menerima
mawar itu dengan perasaan terpaksa waktu itu. Kisah itu pun hanya berlangsung
beberapa bulan karena kesibukan kami yang terpisah jarak puluhan kilometer saat
SMA. Raisa Oktaviana sekarang tinggal bersama ibunya di Palembang. Ia bekerja
di salah satu rumah sakit di sana sebagai dokter ahli gigi. Kutahu belakangan
tentangnya dari media jejaring sosial, ternyata ia belum menikah, entahlah. Ia
seorang yang ambisius dalam mengejar karier, juga seorang yang perfeksionis
dalam hal apapun, mungkin itu alasannya. Beruntung aku sempat mengutarakan
cinta tanpa minder – pada gadis perfeksionis pujaan lelaki itu.
Raisa,
nama itu seakan selalu membuntuti hidupku. Di waktu SMA, aku berjumpa lagi
dengan seorang gadis bernama Raisa, Fitri Dwinda Raisa tepatnya. Seorang gadis
yang kukenal lewat media jejaring sosial. Pertama kali mengajaknya bertemu, aku
agak kaget, terlebih saat ia
bercerita banyak soal kehidupan pribadinya dan mengakui bahwa ia adalah seorang
gadis yang penuh kebebasan dalam hidupnya – tak mau terkekang aturan norma, gadis
perokok, suka kelayapan, dalam benakku – ia gadis jalang. Tapi pertemuan itu
menyenangkan, ia gadis yang jujur – apa adanya, menurutku, mana mungkin seorang
gadis menceritakan secara blak-blakan tentang
kehidupannya pada orang yang baru ia temui di dunia nyata? Mungkin ia terlalu
frustasi dengan kehidupannya – atau..., entahlah, yang jelas aku menganggapnya
gadis yang jujur terhadap dirinya sendiri, juga orang lain. Kami menghabiskan waktu seharian dengan tertawa riang bersama di salah
satu waterpark di kota kelahiranku. Usai renang ia menawariku rokok, gila
memang gadis ini. Ia menjadi seperti ini semenjak lulus SMA, tepatnya usai
perceraian kedua orang tuanya – begitulah
menurutnya.
Hubunganku
dengannya tak lebih dari seorang sahabat, meski kami sempat berpacaran beberapa
bulan. Sampai sekarang ia masih berhubungan denganku, dan belakangan kuketahui
lewat chatting bahwa ia telah berubah. Ia mengaku sudah tak merokok lagi dan meninggalkan
kehidupan lamanya yang penuh kefoyaan itu. Dan yang lebih menyenangkan lagi, ia
telah dipersunting seorang eksekutif muda di perusahaan tempatnya bekerja. Fitri Raisa, ia tak
pernah meminta mawar dan tak pernah kuberi mawar. Tapi, sebenarnya kami saling
memberi. Ia telah membukakan mata hatiku bahwa seburuk-buruk orang pasti ada
kebaikan di dalam dirinya, dan – aku, menurutnya aku banyak membantunya keluar
dari kehidupan gelapnya.
Saat
kuliah S1, nama Raisa lagi-lagi dipertemukan denganku. Gadis cantik, supel, dan
cerdas, idaman para lelaki saat itu. Aku sendiri entah kenapa tak begitu
tertarik kala jumpa pertama dengannya, aku merasa gadis bernama lengkap Adelia
Raisa itu agak sedikit angkuh, dari tatapan matanya – ia terlihat suka
meremehkan orang lain. Aku justru tertarik pada gadis berambut pendek sedikit bergelombang,
dengan mata yang membulat besar seperti mata burung
hantu, namanya Melati. Aku jatuh cinta pandangan pertama padanya,
dan harus pupus sebelum aku mengungkapkan perasaanku – ternyata ia sudah punya
tunangan.
Singkat
cerita, Adelia Raisa secara mengejutkan dengan cepat memilih Yanuar, sahabat
dekatku, sebagai kekasihnya. Puluhan lelaki yang awalnya mendekatinya pun
berhamburan pergi meninggalkannya dengan perasaan kecewa, meski beberapa masih
berusaha mendapatkan hatinya. Lambat laun aku jadi lebih akrab dengan Raisa
karena kedekatannya dengan sahabatku. Aku jadi lebih sedikit tahu sifat
aslinya. Ternyata ia tak seburuk yang kukira, ia asyik diajak berteman. Dan
perlahan namun pasti, benih cinta mulai tumbuh. Terlebih saat Yanuar memilih
untuk meninggalkan kuliah dan bekerja di kota asalnya. Meski masih berhubungan
dengan Yanuar, Raisa semakin akrab denganku – aku mulai benar-benar mencintainya,
dan aku sempat mengungkapkan perasaanku padanya meski ku tau ia kekasih sahabatku – oh, dosa yang terindah. Sejak saat itu aku sering jalan-jalan
dengannya layaknya sepasang kekasih. Suatu kali ia sempat meminta bunga mawar
dariku, namun tak pernah kuberi.
Yanuar
saat itu sempat mencurigaiku dan memutus komunikasi denganku. Tapi kini seiring
berjalannya waktu, kami – terutama
aku saling menyadari kesalahan, kami saling berhubungan
lagi meski hanya sekedar telepon menanyakan kabar. Mereka berdua telah menjadi
suami-istri sebelum keberangkatanku ke London lalu. Dari Raisa-Raisa
sebelumnya, Adelia Raisa paling banyak memberiku pelajaran tentang hidup,
cinta, dan persahabatan. Adelia Raisa juga yang paling terobsesi dengan bunga
mawar, sama seperti Ananda Raisa Putri yang menjadi istriku kini.
“Giieeezz,
udah jam 10 lebih” suara istriku menghancurkan lamunanku. Tugiez, dia senang
memanggilku demikian, aku sendiri yang menceritakannya tentang asal usul
panggilan Tugiez itu, panggilanku sejak SMP dulu – dan Raisa menyukainya, semacam panggilan
sayang untukku. Kami pun bergegas menuju Buckingham Palace. Ribuan orang sudah berjejal
di sana menunggu acara Changing Guard. Kami harus meneyrondol beberapa kerumunan orang demi mendapat spot yang bagus
untuk melihat prosesi tersebut.
Acara
telah usai, kerumunan orang mulai berangsur
meninggalkan pelataran istana Ratu Elizabeth tersebut. Aku dan Raisa
melanjutkan acara kami sendiri. Seperti yang kami sepakati – tak penting ke
tempat mana yang akan kami tuju selanjutnya, yang penting kami melakukan
perjalanan mesra hari ini, jadi kami hanya berjalan tak tentu arah. Langkah kami
membawa kami ke pedestarian di tepian sungai Thames. Kami
duduk di sebuah kursi lonjoran di tepian sungai. Kursi itu menghadap London Eye
di seberang sungai, dan tepat di samping kursi tumbuh pohon cemara besar dan
rindang, sungguh tempat yang nyaman untuk beristirahat. Kami makan siang di
sana, makan siang yang sangat sederhana : sandwich, minuman kaleng, dan
beberapa snack yang kami beli di toserba Boots (semacam Indomaret di Indonesia)
saat berjalan kemari tadi. Dalam acara jalan-jalan ini memang kami usahakan
untuk sesederhana mungkin, mengirit pengeluaran untuk menyiapkan masa depan
kami saat kami pulang ke tanah air tercinta nanti.
Aku
baru menyadari, beberapa meter di depan kami duduk tertanam bunga mawar. Memang
tak begitu terlihat jelas karena agak tertutup patung meriam setinggi satu meter. “Hei coba lihat itu” tanganku menunjuk
ke arah mawar. Raisa yang daritadi memandang London Eye di seberang sungai
berpaling ke arah yang kutunjuk. “Wah, itu bunga mawar bukan?” ia
menghampirinya, aku mengikuti di belakangnya. “Hmmm... indah sekali” ia
tertegun seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia menoleh sejenak
padaku, matanya berbinar, lalu berpaling lagi pada bunga mawar. Aku memeluknya
dari belakang, dan berbisik lirih “petiklah...”, Raisa menggelengkan kepala.
Aku melepaskan pelukanku, menundukkan badan dan memetik mawar itu dari
tangkainya, lalu memberikannya pada Raisa. Ia ragu, matanya berlinang saat aku berusaha
menggenggamkan bunga mawar pada tangannya. Tangannya mengepal erat, aku mencoba
meyakinkan dan kepalan tangan mulai renggang. “Tidak apa kan?” ia tersenyum
ragu, air matanya tak dapat tertahan, sejurus tubuhnya memelukku – ia terisak
haru. Ini kali pertama Raisa memberanikan diri memegang mawar lagi sejak
tragedi masa kecilnya dulu. Ini juga mawar pertama yang ia terima dari seorang
lelaki di sepanjang hidupnya. Dan bagiku, ini mungkin menjadi mawar terakhirku
yang kuberikan pada wanita.
Aku
mengajaknya naik wahana kapsul London Eye di seberang sungai itu, “Ah, kita
pulang saja, sudah sore, aku sudah sangat puas kok” ia menolak ajakanku. Aku
tahu, sebenarnya dia sangat menginginkannya, hanya ia sadar untuk tidak boros
dalam perjalanan ini. “sudahlah, sekali-sekali kita membebaskan keinginan kita”
aku memaksanya dan ia akhirnya mau.
Hari
menjelang sore, kami harus mengakhiri acara jalan-jalan sederhana ini. Lagu Every Rose Has Its Thorn milik Poison diperdendangkan dalam bus yang
kami tumpangi di perjalanan pulang menuju apartemen kami. “Coba dengerin deh,
hihi” ungkap Raisa sambil tertawa kecil, tangannya masih menggengam mawar yang
kupetik di tepian sungai Thames tadi. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman,
lalu mengelus rambutnya. Yah, setiap mawar berduri, tapi bagaimana kita
memegangnya dengan benar agar tak
tertancap duri itu. Begitulah cinta yang pada akhirnya kumengerti bersamaan
pertemuanku dengan Raisa, “Roman Raisa”,
bukanlah roman picisan belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar