TUGIEZLAND

Minggu, 11 Agustus 2013

Roman Raisa, bukan Roman Picisan


2018.... 

Awal musim semi di London, suhu udara di sini masih berkisar 8-12 derajat celcius, sisa-sisa musim dingin masih terasa. Namun suhu sekian ini tak  mampu lagi membuatku menggigil. Berbeda dengan kali pertama kedatanganku di sini, saat itu juga sedang awal musim semi namun tubuhku sudah menggigil kedinginan. Bibir mengelupas, jari-jari seakan kaku tak mampu digerakkan, aku hanya menghabiskan waktu untuk berbaring di kamar seharian itu. Yang terpikir olehku saat itu adalah bagaimana nanti saat musim dingin tiba? Untunglah kekhawatiranku tak terjadi, tubuhku cepat beradaptasi dengan suhu udara kota London. Jadi, saat musim dingin telah benar-benar tiba selanjutnya, aku masih bisa beraktifitas. Hanya saja saat itu perasaanku masih sulit untuk beradaptasi dengan suasana London, baru saja tinggal seminggu di kota ini aku sudah merasakan rindu yang teramat akan tanah airku, akan masakan ibu, selain juga rindu akan kehangatan cinta dari seorang kekasih. Perasaan selalu dingin – kehampaan selalu menemaniku selama beberapa bulan sebelum akhirnya aku dipertemukan dengan seorang gadis manis berlesung pipit.
 
Pagi ini, pagi yang cerah di musim semi, aku sedang berada dalam bus kota ditemani gadis tersebut, ia masih tenggelam dalam kenyamanannya – menyandarkan kepalanya di bahuku. Terkadang ia melongok melihat keluar jendela bus kala melintasi beberapa gedung yang pernah ia kunjungi. sambil lalu ia bercerita banyak soal gedung itu, tentang kenangan-kenangan yang menyertainya. Aku suka saat ia bercerita, mulutnya sangat cerdas merangkai kata-kata dan dengan intonasi khas seperti seorang ibu tengah mendongengi anaknya, tapi bagiku matanya-lah yang lebih banyak menceritakan kenangan itu. Yah, matanya punya tempat tersendiri di hatiku. Ia melukiskan banyak hal yang tak mampu kuungkapkan, aku mendengar melalui tatapan matanya. Tatapan mata yang melaju sekencang busur panah menembus hatiku. Mata cinta, begitu ku menyebutnya. Kalau ia sudah cerita begini, aku hanya tertegun memandangnya tanpa berkata apapun, dan dia tak kan berhenti bercerita sebelum kisahnya benar-benar usai, ia mirip karakter Totto chan, anak kecil penuh imajinasi dari jepang yang akhirnya sukses merealisasikan kisah hidup yang pernah ia bayangkan saat ia kecil.

Raisa, begitulah aku menyebutnya. Aku bertemu dengannya di bus saat pulang kuliah. Saat itu ia sudah setahun lebih tinggal di London, sementara aku baru beberapa bulan di sini. Dan kini, sudah selama setahun aku telah menikahinya. Hari ini adalah hari ulang tahun pertama pernikahan kami. Aku sengaja cuti kerja dan kuliah hari ini, demi mengajaknya jalan-jalan. Meski hanya jalan-jalan sederhana, kami sangat menikmatinya. Kami berniat pergi Buckingham Palace terlebih dulu untuk menyaksikan “Changing Guard”, sebuah prosesi rutin dua hari sekali, prosesi pergantian penjaga istana – sebuah acara sederhana yang menyajikan atraksi baris-berbaris dan berkuda, namun menjadi tontonan wajib para turis di London. Ribuan orang selalu berjejal melihat prosesi ini, meski sang Ratu tak pernah keluar istana, semacam sihiran dari tourism marketing menjadikan prosesi ini terasa wajib dilihat para turis.


Jam baru menunjuk angka 9 saat kami turun di St.James Park, sementara prosesi Changing Guard biasanya dimulai jam 10.30. Kami pun menghabiskan waktu menunggu di sekitar St.James park, menikmati pemandangan indah disana, berfoto ria, duduk di salah satu sudut taman saat kelelahan. Kulihat Raisa sangat menikmatinya, ia senang sekali melihat bunga-bunga bermekaran di sini, di saat musim semi. Ia terlihat berjongkok memetik salah satu bunga lalu mengaitkannya di telinga sebelum akhirnya menghampiriku yang sedang duduk memandangi tingkahnya di kursi taman. Raisa lalu duduk di sampingku, mengulangi kemesraan di bus tadi, menyandarkan kepalanya di bahuku. Beberapa saat kami menikmati momen itu dalam keheningan hingga ia mengeluh lirih “sayangnya, di sini tak ada bunga mawar” keluhnya. Aku hanya diam tak menjawab, hanya mengelus-elus rambutnya. Aku baru ingat, Raisa sangat terobsesi pada bunga mawar, meski sampai sekarang ia mengaku belum berani memetik dari tangkainya. Ia hanya senang memandanginya, trauma tertancap duri mawar di masa kecil masih menjadi paranoid hingga sekarang.

Bunga mawar, membawa lamunanku ke masa lalu. Mengantarkan ingatanku pada waktu lulusan SMP dulu, bunga mawar pertama yang kuberikan pada cinta pertamaku, seorang gadis cantik primadona para lelaki beranjak dewasa di kelasku. Entah kenapa, nama gadis itu Raisa Oktaviana. Gadis pertama yang menerima mawar dariku, meski ku tahu belakangan bahwa ia sebenarnya tidak suka bunga mawar, ia menerima mawar itu dengan perasaan terpaksa waktu itu. Kisah itu pun hanya berlangsung beberapa bulan karena kesibukan kami yang terpisah jarak puluhan kilometer saat SMA. Raisa Oktaviana sekarang tinggal bersama ibunya di Palembang. Ia bekerja di salah satu rumah sakit di sana sebagai dokter ahli gigi. Kutahu belakangan tentangnya dari media jejaring sosial, ternyata ia belum menikah, entahlah. Ia seorang yang ambisius dalam mengejar karier, juga seorang yang perfeksionis dalam hal apapun, mungkin itu alasannya. Beruntung aku sempat mengutarakan cinta tanpa minder – pada gadis perfeksionis pujaan lelaki itu.

Raisa, nama itu seakan selalu membuntuti hidupku. Di waktu SMA, aku berjumpa lagi dengan seorang gadis bernama Raisa, Fitri Dwinda Raisa tepatnya. Seorang gadis yang kukenal lewat media jejaring sosial. Pertama kali mengajaknya bertemu, aku agak kaget, terlebih saat ia bercerita banyak soal kehidupan pribadinya dan mengakui bahwa ia adalah seorang gadis yang penuh kebebasan dalam hidupnya – tak mau terkekang aturan norma, gadis perokok, suka kelayapan, dalam benakku – ia gadis jalang. Tapi pertemuan itu menyenangkan, ia gadis yang jujur – apa adanya, menurutku, mana mungkin seorang gadis menceritakan secara blak-blakan tentang kehidupannya pada orang yang baru ia temui di dunia nyata? Mungkin ia terlalu frustasi dengan kehidupannya – atau..., entahlah, yang jelas aku menganggapnya gadis yang jujur terhadap dirinya sendiri, juga orang lain. Kami menghabiskan waktu seharian dengan tertawa riang bersama di salah satu waterpark di kota kelahiranku. Usai renang ia menawariku rokok, gila memang gadis ini. Ia menjadi seperti ini semenjak lulus SMA, tepatnya usai perceraian kedua orang tuanya – begitulah menurutnya

Hubunganku dengannya tak lebih dari seorang sahabat, meski kami sempat berpacaran beberapa bulan. Sampai sekarang ia masih berhubungan denganku, dan belakangan kuketahui lewat chatting bahwa ia telah berubah. Ia mengaku sudah tak merokok lagi dan meninggalkan kehidupan lamanya yang penuh kefoyaan itu. Dan yang lebih menyenangkan lagi, ia telah dipersunting seorang eksekutif muda di perusahaan tempatnya bekerja. Fitri Raisa, ia tak pernah meminta mawar dan tak pernah kuberi mawar. Tapi, sebenarnya kami saling memberi. Ia telah membukakan mata hatiku bahwa seburuk-buruk orang pasti ada kebaikan di dalam dirinya, dan – aku, menurutnya aku banyak membantunya keluar dari kehidupan gelapnya. 

Saat kuliah S1, nama Raisa lagi-lagi dipertemukan denganku. Gadis cantik, supel, dan cerdas, idaman para lelaki saat itu. Aku sendiri entah kenapa tak begitu tertarik kala jumpa pertama dengannya, aku merasa gadis bernama lengkap Adelia Raisa itu agak sedikit angkuh, dari tatapan matanya – ia terlihat suka meremehkan orang lain. Aku justru tertarik pada gadis berambut pendek sedikit bergelombang, dengan mata yang membulat besar seperti mata burung hantu, namanya Melati. Aku jatuh cinta pandangan pertama padanya, dan harus pupus sebelum aku mengungkapkan perasaanku – ternyata ia sudah punya tunangan. 

Singkat cerita, Adelia Raisa secara mengejutkan dengan cepat memilih Yanuar, sahabat dekatku, sebagai kekasihnya. Puluhan lelaki yang awalnya mendekatinya pun berhamburan pergi meninggalkannya dengan perasaan kecewa, meski beberapa masih berusaha mendapatkan hatinya. Lambat laun aku jadi lebih akrab dengan Raisa karena kedekatannya dengan sahabatku. Aku jadi lebih sedikit tahu sifat aslinya. Ternyata ia tak seburuk yang kukira, ia asyik diajak berteman. Dan perlahan namun pasti, benih cinta mulai tumbuh. Terlebih saat Yanuar memilih untuk meninggalkan kuliah dan bekerja di kota asalnya. Meski masih berhubungan dengan Yanuar, Raisa semakin akrab denganku – aku mulai benar-benar mencintainya, dan aku sempat mengungkapkan perasaanku padanya meski ku tau ia kekasih sahabatku – oh, dosa yang terindah.  Sejak saat itu aku sering jalan-jalan dengannya layaknya sepasang kekasih. Suatu kali ia sempat meminta bunga mawar dariku, namun tak pernah kuberi. 

Yanuar saat itu sempat mencurigaiku dan memutus komunikasi denganku. Tapi kini seiring berjalannya waktu, kami – terutama aku saling menyadari kesalahan, kami saling berhubungan lagi meski hanya sekedar telepon menanyakan kabar. Mereka berdua telah menjadi suami-istri sebelum keberangkatanku ke London lalu. Dari Raisa-Raisa sebelumnya, Adelia Raisa paling banyak memberiku pelajaran tentang hidup, cinta, dan persahabatan. Adelia Raisa juga yang paling terobsesi dengan bunga mawar, sama seperti Ananda Raisa Putri yang menjadi istriku kini.

“Giieeezz, udah jam 10 lebih” suara istriku menghancurkan lamunanku. Tugiez, dia senang memanggilku demikian, aku sendiri yang menceritakannya tentang asal usul panggilan Tugiez itu, panggilanku sejak SMP dulu –  dan Raisa menyukainya, semacam panggilan sayang untukku. Kami pun bergegas menuju Buckingham Palace. Ribuan orang sudah berjejal di sana menunggu acara Changing Guard. Kami harus meneyrondol beberapa kerumunan orang demi mendapat spot yang bagus untuk melihat prosesi tersebut.

Acara telah usai, kerumunan orang mulai berangsur meninggalkan pelataran istana Ratu Elizabeth tersebut. Aku dan Raisa melanjutkan acara kami sendiri. Seperti yang kami sepakati – tak penting ke tempat mana yang akan kami tuju selanjutnya, yang penting kami melakukan perjalanan mesra hari ini, jadi kami hanya berjalan tak tentu arah. Langkah kami membawa kami ke pedestarian di tepian sungai Thames. Kami duduk di sebuah kursi lonjoran di tepian sungai. Kursi itu menghadap London Eye di seberang sungai, dan tepat di samping kursi tumbuh pohon cemara besar dan rindang, sungguh tempat yang nyaman untuk beristirahat. Kami makan siang di sana, makan siang yang sangat sederhana : sandwich, minuman kaleng, dan beberapa snack yang kami beli di toserba Boots (semacam Indomaret di Indonesia) saat berjalan kemari tadi. Dalam acara jalan-jalan ini memang kami usahakan untuk sesederhana mungkin, mengirit pengeluaran untuk menyiapkan masa depan kami saat kami pulang ke tanah air tercinta nanti. 

Aku baru menyadari, beberapa meter di depan kami duduk tertanam bunga mawar. Memang tak begitu terlihat jelas karena agak tertutup patung meriam setinggi satu  meter. “Hei coba lihat itu” tanganku menunjuk ke arah mawar. Raisa yang daritadi memandang London Eye di seberang sungai berpaling ke arah yang kutunjuk. “Wah, itu bunga mawar bukan?” ia menghampirinya, aku mengikuti di belakangnya. “Hmmm... indah sekali” ia tertegun seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia menoleh sejenak padaku, matanya berbinar, lalu berpaling lagi pada bunga mawar. Aku memeluknya dari belakang, dan berbisik lirih “petiklah...”, Raisa menggelengkan kepala. Aku melepaskan pelukanku, menundukkan badan dan memetik mawar itu dari tangkainya, lalu memberikannya pada Raisa. Ia ragu, matanya berlinang saat aku berusaha menggenggamkan bunga mawar pada tangannya. Tangannya mengepal erat, aku mencoba meyakinkan dan kepalan tangan mulai renggang. “Tidak apa kan?” ia tersenyum ragu, air matanya tak dapat tertahan, sejurus tubuhnya memelukku – ia terisak haru. Ini kali pertama Raisa memberanikan diri memegang mawar lagi sejak tragedi masa kecilnya dulu. Ini juga mawar pertama yang ia terima dari seorang lelaki di sepanjang hidupnya. Dan bagiku, ini mungkin menjadi mawar terakhirku yang kuberikan pada wanita.

Aku mengajaknya naik wahana kapsul London Eye di seberang sungai itu, “Ah, kita pulang saja, sudah sore, aku sudah sangat puas kok” ia menolak ajakanku. Aku tahu, sebenarnya dia sangat menginginkannya, hanya ia sadar untuk tidak boros dalam perjalanan ini. “sudahlah, sekali-sekali kita membebaskan keinginan kita” aku memaksanya dan ia akhirnya mau.

Hari menjelang sore, kami harus mengakhiri acara jalan-jalan sederhana ini. Lagu Every Rose Has Its Thorn milik Poison diperdendangkan dalam bus yang kami tumpangi di perjalanan pulang menuju apartemen kami. “Coba dengerin deh, hihi” ungkap Raisa sambil tertawa kecil, tangannya masih menggengam mawar yang kupetik di tepian sungai Thames tadi. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman, lalu mengelus rambutnya. Yah, setiap mawar berduri, tapi bagaimana kita memegangnya dengan benar agar  tak tertancap duri itu. Begitulah cinta yang pada akhirnya kumengerti bersamaan pertemuanku dengan Raisa,  “Roman Raisa”, bukanlah roman picisan belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar