Bagiku, suasana
ramadhan di rumah Paijo tahun ini agaknya sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,
utamanya setelah Paijo sudah tak lagi menjabat kepala desa Nusakhayal. Rumah
Paijo tak lagi ramai oleh perdebatan sengit antara Paijo dan Paiman, rumah
Paijo kini sepi seakan tak berpenghuni bagiku. Aku sendiri juga hanya sekedar
menyapa pada Paijo, pulang kuliah – masuk kamar, azdan maghrib berbuka bersama (hanya
dengan) Paijo – tanpa basa-basi sedikitpun. Entahlah, aku jadi malas bercakap
dengan Paijo, setiap kumulai mengajaknya bicara, apapun pertanyaan yang
kuajukan – ia hanya tersenyum lalu bilang “iya, terima kasih” lalu membisu
lagi. Sejak memasuki bulan ramadhan tahun ini, sikap Paijo jadi seperti itu –
puasa mulut, menghabiskan waktu sendiri di mushollahnya, sangat jauh berbeda
dengan kebiasaannya. Biasanya apapun yang kulakukan dikritiknya. Saat ramadhan
begini, Paijo biasanya jarang berbuka di rumah. Ia juga terliibat dalam berbagai
acara bakti sosial –biasanya, mungkin itu karena dulu hanya pencitraan Paijo
sebagai seorang kepala desa saja.
Suasana makin sepi
karena Paiman selama bulan ramadhan ini tak pernah pulang ke rumah. Ia punya
kesibukan baru bersama komunitas mbambung-nya. Yah, komunitas yang ia
bentuk menjelang ramadhan kemarin – “mosok
cuma mahasiswa dan lembaga-lembaga saja yang eksis, orang mbambung kan juga pengen eksis”
, Begitu katanya saat mengungkapkan rencananya mendirikan komunitas mbambung
waktu itu. Gaya hidup Paiman kulihat juga sangat bertolakbelakang dari
biasanya, ia tak lagi nrimo ing pandum,
tak lagi apa adanya, sudah tak low profil
seperti dulu – menurutku. Oya, Paiman juga sempat meminta tolong padaku untuk
membuatkannya proposal untuk mencari dana pada para saudagar desa Nusakhayal,
tapi kutolak – “kalau mau berbakti sosial ya sebisa mungkin pake dana sendiri lah
– kalau emang gak ada ya gak usah dipaksain, daripada nanti niatnya jadi pamrih
saja” ungkapku yang disambutnya dengan menggerutu.
Karena aku tak
bersedia membantunya, Paiman meminta tolong Painem – kembang desa lulusan
kampus luar negeri. Dan Painem yang kebetulan juga aktivis kemasyarakatan itu
dengan senang hati membantunya, Painem juga yang sangat mendukung pendirian
komunitas mbambung. Painem, Paiman
dan komunitas mbambung-nya dalam
waktu singkat berhasil memperoleh dana yang luar biasa dari para donatur –
bahkan bisa dibilang mereka hanya bondho
lambe, tak mengeluarkan dana kecuali
hanya untuk pembuatan proposal. Selanjutnya sebagian dana itu diperuntukkan
sebagai kegiatan-kegiatan bakti sosial dengan mengatasnamakan komunitasnya itu,
jadi harapan Paiman untuk mengeksiskan orang mbambung kini terwujud. Dana yang tersisa biasanya dipakai buka
bersama komunitasnya di restoran mewah.
Mungkin itulah yang
membuat gaya hidup Paiman berubah 180 derajat, dari yang hanya makan untuk
memenuhi kebutuhan badannya – menjadi makan untuk memenuhi hasrat gengsinya.
Bahkan, belakangan kutahu, Paiman jarang
mencari rosok’an lagi, ia sekarang beli kentrung baru dan sering ngamen di
terminal demi mendapat banyak uang untuk memenuhi hasratnya, ia sudah jarang
mbambung. Ia juga sering terlihat nongkrong sama Painem di kafe-kafe, agaknya
cinta membuatnya berubah sedemikian rupa.
Hari raya telah
tiba, aku masih belum mengerti yang terjadi pada kakak beradik itu. kebiasaan
Paijo jadi kebiasaan Paiman. Begitupun sebaliknya. Aku kesepian selama bulan
ramadhan tahun ini. Paiman sendiri, baru pulang usai sholat id tadi pagi.
“Maann, man, udah
lupa sama rumah” sapa Paijo mengakhiri kebisuannya
“Halahh Jo, orang baru
datang sambutannya gak enak gitu” jawab Paiman
“Lah gak enak gimana
kamu ini, lah kamu selama sebulan ini kemana aja?”
“Aku kan sudah
pamit kamu, aku banyak kegiatan selama bulan ini”
“Iya, tapi mosok
gak sempat pulang sehari saja”
“Yo ndak Jo, kamu tahu
sendiri, agenda komunitasku kan banyak. Lah kamu sendiri selama ramadhan tahun
lalu kan juga jarang pulang – kegiatanmu banyak?”
“Ya iya Man,
tuntutan profesi – kan tahun lalu aku masih menjabat kepala desa, jadi...”
“Pencitraan, begitu
toh?” potong paiman.
“Heh, sembarangan,
makanya kalau orang ngomong jangan dipotong. Tahun lalu aku masih kades, jadi
undangan untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial dari berbagai lembaga juga
banyak. Mau tak mau yah harus memenuhi undangan itu – lah wong Rasulullah sendiri memerintahkan kita untuk sebisa mungkin
menghadiri undangan. Bukan pencitraan Man, kalau pencitraan – kenapa aku gak
bikin acara bakti sosial sendiri, jadi nanti orang taunya akulah donatur
terbesarnya, jadi namaku lebih eksis – itu baru pencitraan, Man. Lah kamu
sendiri, apa yang kamu lakukan dengan komunitasmu itu?”
“Kan sudah
dibilang, kami bikin acara bakti sosial -
orang mbambung kan juga pengen
berbagi pada sesama”
“Terus dananya dari
mana, apa kamu patungan sama teman-teman mbambung-mu
itu?”
“yo ndak Jo, boro-boro patungan, wong untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari saja keteteran –
mereka kan wong mbambung”
“Lah terus kamu
ngadain acara dapat dana dari mana?”
“Ya nyari donatur
Jo,”
“O, nanti uangnya
kamu pake acara bakti sosial dengan mengatasnamakan komunitasmu itu, biar
komunitasmu eksis - meski orang mbambung tapi kan bisa ngadain acara bakti sosial,
begitu toh? Terus apa bedanya dengan pencitraan?”
“Yo beda, Jo.
Pencitraan kan memang tujuannya buat mempertahankan jabatan atau kekuasaan, dll.
Kalau aku kan emang pengennya nyumbang. Karena tak ada dana ya bisanya cuma
nyumbang tenaga, tenaga pencari dana. Toh kita juga sebagai distributor bagi
para dermawan ke fakir miskin. Kalau kita mengatasnamakan komunitas kita yang
punya acara kan wajar, lah wong yang kerja kita, yang bikin acara juga kita.
Para dermawan juga gak susah-susah cari tempat buat berbagi, cukup lewat kami.
ini kan juga membantu mengorganisir dana sumbangan biar gak kacau waktu
pembagiannya. Toh, para mahasiswa dan lembaga-lembaga sosial biasanya juga
begini kok, ya toh?”
“Hush, jangan nuduh
sembarangan kamu!!!! Kamu sekarang pinter bolak-balik omongan, kakean gaya. Kalau pengen nyumbang yo
yang ikhlas, ngapain pake bawa-bawa nama komunitasmu yang cuma nyumbang tenaga
itu. biar eksis, begitu toh niatmu?”
“Loh, loh, loh,
kami ikhlas Jo nyumbang tenaga perantara. Urusan mengatasnamakan komunitas kan
biar orang tahu siapa yang mengadakan acara, tahu jeluntrungannya kalau ada apa-apa, misalnya nasi yang kami berikan mambu, atau pakaian yang kami sumbangkan
ternyata sobek-sobek, orang kan jadi tau kepada siapa mereka meminta
pertangggungjawaban...” Paiman berargumen panjang hingga Paijo memotongnya.
“Halah-halah, wis buyar, buyar. Kamu sekarang pinter
ngomong – diajari sopo kamu itu? wis, pokok’e aku cuma ngasih tahu : hati-hati
bedain niat baikmu itu, apa bener niat baik itu karena ketulusan hatimu, atau
justru niat baik itu dari bisikan setan yang halus – yang membelokkan niatmu
itu – misalnya biar kamu dikenal orang lah, biar eksis lah, dan apa sajalah. Saranku
kalau pengen nyumbang sebisanya saja – gak usah diada-adain biar nanti niat
nyumbang-mu itu gak diplesetkan sama setan....”
Paiman hanya diam
mendengar Paijo bicara seperti itu. agaknya ia sudah menyadari kesalahannya.
Sementara aku merenungi apa yang diungkapkan Paijo itu,yang belum kupahami
sepenuhnya. Yang paling kupahami : selama sebulan ini sikap mereka berubah
drastis.
Rumah Paijo kini berhias keheningan usai perdebatan
sengit pada pagi yang cerah di awal bulan syawal tahun ini. Dalam hati, aku
hanya berdoa agar mereka kembali pada tingkah mereka semula, lebih-lebih semoga
mereka kembali pada fitrah mereka sebagai manusia. Dan doaku demikian juga
terhadap diriku sendiri.
Selamat idul fitri,
semoga kita semua diberi hidayah Allah untuk kemb ali lagi pada fitrah kita
sebagai manusia. Amiiiiiiiiiiiinn.....[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar