TUGIEZLAND

Minggu, 11 Agustus 2013

Si mBambung Pengen Eksis


Bagiku, suasana ramadhan di rumah Paijo tahun ini agaknya sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, utamanya setelah Paijo sudah tak lagi menjabat kepala desa Nusakhayal. Rumah Paijo tak lagi ramai oleh perdebatan sengit antara Paijo dan Paiman, rumah Paijo kini sepi seakan tak berpenghuni bagiku. Aku sendiri juga hanya sekedar menyapa pada Paijo, pulang kuliah – masuk kamar, azdan maghrib berbuka bersama (hanya dengan) Paijo – tanpa basa-basi sedikitpun. Entahlah, aku jadi malas bercakap dengan Paijo, setiap kumulai mengajaknya bicara, apapun pertanyaan yang kuajukan – ia hanya tersenyum lalu bilang “iya, terima kasih” lalu membisu lagi. Sejak memasuki bulan ramadhan tahun ini, sikap Paijo jadi seperti itu – puasa mulut, menghabiskan waktu sendiri di mushollahnya, sangat jauh berbeda dengan kebiasaannya. Biasanya apapun yang kulakukan dikritiknya. Saat ramadhan begini, Paijo biasanya jarang berbuka di rumah. Ia juga terliibat dalam berbagai acara bakti sosial –biasanya, mungkin itu karena dulu hanya pencitraan Paijo sebagai seorang kepala desa saja. 
 
Suasana makin sepi karena Paiman selama bulan ramadhan ini tak pernah pulang ke rumah. Ia punya kesibukan baru bersama komunitas mbambung-nya. Yah, komunitas yang ia bentuk menjelang ramadhan kemarin – “mosok cuma mahasiswa dan lembaga-lembaga saja yang eksis, orang mbambung kan juga pengen eksis” , Begitu katanya saat mengungkapkan rencananya mendirikan komunitas mbambung  waktu itu. Gaya hidup Paiman kulihat juga sangat bertolakbelakang dari biasanya, ia tak lagi nrimo ing pandum, tak lagi apa adanya, sudah tak low profil seperti dulu – menurutku. Oya, Paiman juga sempat meminta tolong padaku untuk membuatkannya proposal untuk mencari dana pada para saudagar desa Nusakhayal, tapi kutolak – “kalau mau berbakti sosial ya sebisa mungkin pake dana sendiri lah – kalau emang gak ada ya gak usah dipaksain, daripada nanti niatnya jadi pamrih saja” ungkapku yang disambutnya dengan menggerutu.

Karena aku tak bersedia membantunya, Paiman meminta tolong Painem – kembang desa lulusan kampus luar negeri. Dan Painem yang kebetulan juga aktivis kemasyarakatan itu dengan senang hati membantunya, Painem juga yang sangat mendukung pendirian komunitas mbambung. Painem, Paiman dan komunitas mbambung-nya dalam waktu singkat berhasil memperoleh dana yang luar biasa dari para donatur – bahkan bisa dibilang mereka hanya bondho lambe, tak  mengeluarkan dana kecuali hanya untuk pembuatan proposal. Selanjutnya sebagian dana itu diperuntukkan sebagai kegiatan-kegiatan bakti sosial dengan mengatasnamakan komunitasnya itu, jadi harapan Paiman untuk mengeksiskan orang mbambung kini terwujud. Dana yang tersisa biasanya dipakai buka bersama komunitasnya di restoran mewah. 

Mungkin itulah yang membuat gaya hidup Paiman berubah 180 derajat, dari yang hanya makan untuk memenuhi kebutuhan badannya – menjadi makan untuk memenuhi hasrat gengsinya. Bahkan, belakangan kutahu,  Paiman jarang mencari rosok’an lagi, ia sekarang beli kentrung baru dan sering ngamen di terminal demi mendapat banyak uang untuk memenuhi hasratnya, ia sudah jarang mbambung. Ia juga sering terlihat nongkrong sama Painem di kafe-kafe, agaknya cinta membuatnya berubah sedemikian rupa.

Hari raya telah tiba, aku masih belum mengerti yang terjadi pada kakak beradik itu. kebiasaan Paijo jadi kebiasaan Paiman. Begitupun sebaliknya. Aku kesepian selama bulan ramadhan tahun ini. Paiman sendiri, baru pulang usai sholat id tadi pagi. 

“Maann, man, udah lupa sama rumah” sapa Paijo mengakhiri kebisuannya
“Halahh Jo, orang baru datang sambutannya gak enak gitu” jawab Paiman
“Lah gak enak gimana kamu ini, lah kamu selama sebulan ini kemana aja?”
“Aku kan sudah pamit kamu, aku banyak kegiatan selama bulan ini”
“Iya, tapi mosok gak sempat pulang sehari saja”
“Yo ndak Jo, kamu tahu sendiri, agenda komunitasku kan banyak. Lah kamu sendiri selama ramadhan tahun lalu kan juga jarang pulang – kegiatanmu banyak?”
“Ya iya Man, tuntutan profesi – kan tahun lalu aku masih menjabat kepala desa, jadi...”
“Pencitraan, begitu toh?” potong paiman.
“Heh, sembarangan, makanya kalau orang ngomong jangan dipotong. Tahun lalu aku masih kades, jadi undangan untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial dari berbagai lembaga juga banyak. Mau tak mau yah harus memenuhi undangan itu – lah wong Rasulullah sendiri memerintahkan kita untuk sebisa mungkin menghadiri undangan. Bukan pencitraan Man, kalau pencitraan – kenapa aku gak bikin acara bakti sosial sendiri, jadi nanti orang taunya akulah donatur terbesarnya, jadi namaku lebih eksis – itu baru pencitraan, Man. Lah kamu sendiri, apa yang kamu lakukan dengan komunitasmu itu?”
“Kan sudah dibilang, kami bikin acara bakti sosial -  orang mbambung kan juga pengen berbagi pada sesama”
“Terus dananya dari mana, apa kamu patungan sama teman-teman mbambung-mu itu?”
“yo ndak Jo, boro-boro patungan, wong untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari saja keteteran – mereka kan wong mbambung
“Lah terus kamu ngadain acara dapat dana dari mana?”
“Ya nyari donatur Jo,”
“O, nanti uangnya kamu pake acara bakti sosial dengan mengatasnamakan komunitasmu itu, biar komunitasmu eksis -  meski orang mbambung tapi kan bisa ngadain acara bakti sosial, begitu toh? Terus apa bedanya dengan pencitraan?”
“Yo beda, Jo. Pencitraan kan memang tujuannya buat mempertahankan jabatan atau kekuasaan, dll. Kalau aku kan emang pengennya nyumbang. Karena tak ada dana ya bisanya cuma nyumbang tenaga, tenaga pencari dana. Toh kita juga sebagai distributor bagi para dermawan ke fakir miskin. Kalau kita mengatasnamakan komunitas kita yang punya acara kan wajar, lah wong yang kerja kita, yang bikin acara juga kita. Para dermawan juga gak susah-susah cari tempat buat berbagi, cukup lewat kami. ini kan juga membantu mengorganisir dana sumbangan biar gak kacau waktu pembagiannya. Toh, para mahasiswa dan lembaga-lembaga sosial biasanya juga begini kok, ya toh?”
“Hush, jangan nuduh sembarangan kamu!!!! Kamu sekarang pinter bolak-balik omongan, kakean gaya. Kalau pengen nyumbang yo yang ikhlas, ngapain pake bawa-bawa nama komunitasmu yang cuma nyumbang tenaga itu. biar eksis, begitu toh niatmu?”
“Loh, loh, loh, kami ikhlas Jo nyumbang tenaga perantara. Urusan mengatasnamakan komunitas kan biar orang tahu siapa yang mengadakan acara, tahu jeluntrungannya kalau ada apa-apa, misalnya nasi yang kami berikan mambu, atau pakaian yang kami sumbangkan ternyata sobek-sobek, orang kan jadi tau kepada siapa mereka meminta pertangggungjawaban...” Paiman berargumen panjang hingga Paijo memotongnya.
“Halah-halah, wis buyar, buyar. Kamu sekarang pinter ngomong – diajari sopo kamu itu? wis, pokok’e aku cuma ngasih tahu : hati-hati bedain niat baikmu itu, apa bener niat baik itu karena ketulusan hatimu, atau justru niat baik itu dari bisikan setan yang halus – yang membelokkan niatmu itu – misalnya biar kamu dikenal orang lah, biar eksis lah, dan apa sajalah. Saranku kalau pengen nyumbang sebisanya saja – gak usah diada-adain biar nanti niat nyumbang-mu itu gak diplesetkan sama setan....”

Paiman hanya diam mendengar Paijo bicara seperti itu. agaknya ia sudah menyadari kesalahannya. Sementara aku merenungi apa yang diungkapkan Paijo itu,yang belum kupahami sepenuhnya. Yang paling kupahami : selama sebulan ini sikap mereka berubah drastis.

 Rumah Paijo kini berhias keheningan usai perdebatan sengit pada pagi yang cerah di awal bulan syawal tahun ini. Dalam hati, aku hanya berdoa agar mereka kembali pada tingkah mereka semula, lebih-lebih semoga mereka kembali pada fitrah mereka sebagai manusia. Dan doaku demikian juga terhadap diriku sendiri.
Selamat idul fitri, semoga kita semua diberi hidayah Allah untuk kemb ali lagi pada fitrah kita sebagai manusia. Amiiiiiiiiiiiinn.....[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar