Sebenarnya aku tak punya porsi sama sekali untuk membicarakan tentang
sukses, bahkan menuliskannya. Karena aku sendiri masih belum sukses
bahkan tidak tau apa-apa tentang substansi sukses. Aku membuat definisi
sok tahu tentang sukses ini hanya dengan menyimpulkan pernyataan
orang-orang terdekat yang pernah memotivasiku atau orang yang pernah
kutanya secara langsung maupun tidak langsung tentang sukses atau hanya
berdasar pada pengamatanku saja. Jadi selama kau membaca tulisan ini,
sangatlah mungkin kau temukan pandangan-pandangan yang berbeda jauh
dengan pandanganmu mengenai sukses.
Meski relatif – sukses, menurut kebanyakan orang adalah
keberhasilan mencapai suatu tujuan. Dan lagi, tujuan tersebut seringkali
diidentikkan dengan materi, sesuatu yang nyata, yang terlihat oleh
indera, di luar itu bukanlah kesuksesan. Kalau aku pergi melancong ke
suatu kota tujuan, lalu aku melewati jalan yang jarang dilalui orang,
dan di jalan itu aku menemui rintangan-rintangan dan menikmatinya hingga
aku sampai pada kota tujuanku itu, dan di sana aku hanya mencicipi
masakan lokal di warung sederhana, tidur di pelataran toko, aku belum
dikatakan sebagai orang (baca : pelancong) sukses, karena para
pelancong sepertiku biasa tinggal di penginapan, di hotel-hotel, makan
di restoran-restoran, dan belanja oleh-oleh khas kota tersebut.
Sedangkan, aku hanya menikmati suasana kota tujuanku ini dengan duduk di
kursi panjang di bawah pohon yang ada di taman kota sambil
mengingat-ingat rintangan dalam perjalananku tadi.
Kereta api
Boleh dibilang, transportasi darat yang paling sukses menurutku adalah kereta api (aku tak membahas kereta komuter).
Ia punya tujuan dan waktu pemberangkatan yang jelas serta jalur khusus
yang sangat memungkinkannya untuk tidak tersesat. Jalur kereta
dibangun sedemikian rupa yang memungkinkan kereta api menempuh jarak
terpendek dari satu kota ke kota lainnya, bisa dibilang jalur kereta
api adalah jalur alternatif yang paling efektif untuk cepat sampai
tujuan. Beda halnya dengan kendaraan lainnya yang tak mempunyai jalur
khusus, mereka harus melewati kelokan-kelokan, persimpangan jalan,
mematuhi rambu lalu lintas, dan belum lagi harus berhenti saat kereta
melintas.
Karena itu, mungkin kalau dihitung-hitung – seandainya kereta api tak
berhenti di stasiun hingga sampai di kota tujuan paling akhir (misal : Yogyakarta),
diadu dengan kendaraan lain misalnya mobil pada waktu pemberangkatan
yang sama, maka yang lebih cepat sampai adalah kereta api. Jalan kereta
api seringkali bersilangan dengan jalan raya sehingga saat kereta
melintas mengharuskan mobil untuk berhenti. Mobil, selain harus mengalah
dengan kereta api, lagi-lagi, harus bersabar dan berbagi dengan
kendaraan lain karena ia tak punya jalur khusus seperti yang dimiliki
kereta api sehingga perjalanan akan sedikit terhambat apalagi saat lalu
lintas padat.
Yang ku tau dan hanya menerka-nerka saja, mungkin seperti itulah
kebanyakan pandangan orang kebanyakan mengenai sukses. Orang dikatakan
sukses saat jalan yang ditempuhnya mulus dan cepat sampai tujuan tepat
pada waktunya. Orang yang lambat sudah pasti adalah orang belum sukses
atau orang gagal meskipun ia terus berjuang untuk sampai tujuan. Kalau
aku – misalnya, usai lulus SMA melanjutkan ke perguruan tinggi, dan di
sana aku punya prestasi gemilang entah karena itu hasil curang, dan
setelah lulus dari perguruan tinggi aku langsung diterima di instansi
ternama dengan status jabatan bergengsi karena kebetulan di sana ada
kerabat dekat yang meloby sehingga aku diterima, atau aku memperoleh
beasiswa ke luar negeri dan sekembalinya aku jadi pengusaha kaya yang
menjual hasil produksinya dengan cara menipu sehalus mungkin, mmm... –
aku mungkin dikatakan sebagai pemuda sukses, bahkan paling sukses.
Sebaliknya, kalau aku lulus SMA dengan susah payah karena kendala biaya,
masuk perguruan tinggi dengan terseok-seok mencari pendanaan tiap akan
ujian semester, lalu usai lulus aku hanya bekerja di kantor pemasaran
sebagai sales, satpam, OB atau apapun yang notabene adalah pekerjaan
rendahan. Aku dikatakan sebagai orang yang belum sukses, bahkan orang
gagal – meskipun aku bekerja sepenuh hati, meskipun hasil yang kudapat
itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluargaku, bahkan aku mungkin
menyisihkan sebagian pendapatanku untuk membantu biaya sekolah anak-anak
tetanggaku agar mereka tak putus sekolah karena kendala biaya, kalau
aku masih hidup sederhana, aku belum bisa dikatakan sebagai pemuda
sukses.
Kereta api dikemudikan oleh seorang masinis. Masinis harus punya
pendidikan tinggi dan diutamakan dari pendidikan yang berhubungan dengan
kereta api, dari jalur sekolah masinis atau sejenisnya. Masinis adalah
pekerjaan yang bergengsi dalam pandangan kebanyakan masyarakat. Karena
itu, tak kan ada orang heran jika seorang masinis berbicara mengenai
sosial, politik, atau hukum karena masyarakat tau bahwa masinis adalah
orang berpendidikan tinggi dan sudah pasti berwawasan luas.
Pandangan dan pendapat orang memang berbeda-beda. Mungkin orang lain
banyak yang suka berpergian menggunakan kereta api, tapi aku memandang
kereta api sebagai transportasi paling membosankan. Bagiku, melakukan
perjalanan jauh dengan menggunakan kereta api sangat menjenuhkan karena
yang kudapati selama perjalanan seringkali hanya persawahan dan hanya
sesekali masuk pinggiran kota dan melewati atau berhenti di stasiun.
Kalau menggunakan kereta api kelas ekonomi mungkin tidak terlalu jenuh
karena selama perjalanan banyak pedagang berlalu lalang, orang-orang
yang duduk bersebelahan saling basa-basi menanyakan kota tujuannya atau
hanya sekedar menyapa dengan senyuman. Meski begitu aku tetap jenuh
karena kereta api hanya berjalan sendiri di jalur khusus melewati
persawahan tanpa bersinggungan dengan kendaraan lain. Lebih jenuh lagi
jika aku menggunakan kereta bisnis atau eksekutif, meski perjalananku
nyaman karena tak terusik keramaian pedagang, aku merasa lebih jenuh
apalagi jika dalam perjalananku itu aku sendirian tanpa mengajak teman.
Beda halnya jika aku menggunakan bus atau kendaraan lainnya, aku bisa
melihat-lihat keramaian jalan, melihat ekspresi para pengendara saat
terjebak kemacetan, melihat polisi yang sibuk mengatur lalu lintas, dsb.
Aku bisa tersenyum, kesal, marah, dan mengumpat melihat berbagai
kejadian di jalan.
Kalau mengingat perjalanan dengan menggunakan kereta api seperti
demikian adanya. Apakah mungkin orang-orang yang dikatakan “sukses”
dalam waktu relatif cepat dan hasil pencapaian di atas rata-rata orang
kebanyakan merasakan kejenuhan seperti apa yang kurasakan saat melakukan
perjalanan dengan menggunakan kereta api? Apakah masinis yang mendapat
prestise tinggi dari masyarakat sebagai pekerjaan bergengsi itu juga
merasakan kejenuhan dibalik kesuksesan yang ia capai? Di balik
pendapatannya yang lumayan bahkan bisa lebih untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, tidakkah ia jenuh karena tak bisa menemani keluarganya saat
liburan tiba? Tidakkah ia ingin bermain dengan anak-anaknya karena
selama ini mungkin ia hanya bisa memberi mereka dengan uang atau
mainan-mainan?
Becak
Ada sukses, ada belum sukses. Becak (bukan becak motor),
menurutku adalah transportasi darat yang paling lambat, safety yang
sangat minim, dsb. Bisa diikatakan becak adalah transportasi yang belum
sukses. Yang mengemudikan becak namanya tukang becak, tak ada sebutan
khusus seperti masinis yang mengemudikan kereta api (tak ada sebutan tukang kereta api). Semua orang bisa mbecak, tak perlu pendidikan tinggi, orang tak sekolah pun bisa mbecak.
Karena itu tukang becak identik dengan orang yang wawasannya minim,
bodoh, tak tau apa-apa. Sampai-sampai ada anekdot saat seorang tukang
becak menerobos lampu merah di perempatan jalan lalu pengendara mobil
yang kaget karena hampir saja menabrak becak itu memakinya “goblok...”,
tukang becak dengan enteng menjawab “ kalau pinter ndak mbecak, pak..!!!” Jadi, kalau ada tukang becak yang berbicara mengenai sosial, politik, hukum, dsj (dan sejenisnya),
yang menunjukkan bahwa ia berwawasan luas, orang akan heran bahkan tak
akan mempercayainya. Atau yang lebih parah, orang berkesimpulan bahwa
tukang becak itu sedang membual, bermimpi, bahkan sedang kesurupan, –
berbincang dengan tukang becak seperti itu pastinya sangat menyebalkan
karena kenyataan yang ada jauh dari pikiran ideal yang ia bicarakan.
Berbeda dengan masinis tadi, tukang becak tak punya porsi untuk bicara
mengenai hal-hal itu di masyarakat kebanyakan, ia hanya pantas bicara
mengenai harga beras, lombok, bensin, dsj yang menjadi kebutuhannya
sehari-hari. Tukang becak hanya dianggap keberadaannya saat menjelang
pemilu dengan memberi mereka uang/sembako dan kaos oblong dengan gambar
wajah orang, atau hanya dibutuhkan saat oposisi ingin menyerang lawan
politiknya dengan aksi unjuk rasa yang mengatasnamakan rakyat. Di luar
itu, tukang becak tak boleh bersuara tentang sosial, politik, hukum,
dsj.
Becak tak punya jadwal kapan ia harus berangkat, tak punya jalur
khusus, bahkan becak seringkali dianggap pengganggu dan penghambat arus
lalu lintas karena jalannya yang lamban. Becak hanya diperuntukkan
mencapai tujuan jarak pendek, bukan jarak jauh seperti kereta api dan
lainnya. kemampuannya hanya dapat menempuh dari satu jalan ke jalan
lain, atau satu dusun ke dusun lain dalam satu wilayah kota. Tak perlu
memesan tiket untuk naik becak, kita hanya membayarnya saat becak telah
membawa kita sampai ke tempat tujuan. Sangat berbeda dibanding kereta
api yang harus memesan tiket sebelum menaikinya dan jika terlambat
datang ke stasiun maka kita akan ditinggal begitu saja meski kita sudah
membayar (membeli) tiket itu.
Tapi, bagaimana dengan perbedaan tukang becak dengan masinis? Tukang
becak adalah pekerjaan rendahan menurut kebanyakan orang, sedangkan
masinis adalah pekerjaan yang bergengsi. Dari segi pendapatan dan
kesejahteraan, secara umum masinis jelas jauh lebih tinggi dibanding
pendapatan dan kesejahteraan tukang becak. Tapi, bagaimana dengan rasa
jenuh? Tukang becak tiap hari pulang ke rumah, kalau kecapekan ia
sewaktu-waktu bisa meliburkan diri. Atau, kalau anaknya yang masih TK
diajak gurunya pergi study tour ke museum, ia bisa libur dan memilih
untuk menemani anaknya. Tukang becak mungkin tak bisa membelikan anaknya
mainan, tapi tiap malam anaknya mendapat perhatian darinya dengan
mengajaknya bermain. Bagaimana dengan masinis? Tukang becak mengayuh
becaknya mengantarkan penumpang di tengah terik siang yang menyengat,
sesekali ia turun dan mendorong becaknya saat jalan menanjak. Rasa lega
dan kenikmatannya adalah saat sampai di tempat tujuan, lalu penumpang
membayarnya dan ia meneguk air dalam botol yang ia bawa untuk
menghilangkan dahaganya, lalu ia tersenyum, mengucapkan terima kasih dan
berpamitan pada penumpangnya lalu kembali ke tempat mangkalnya.
Bagaimana dengan masinis? Bagaimana dengan yang disebut orang kebanyakan
sebagai orang sukses?
Kamera
Kamera – memotret kereta api di stasiun, memotret becak di sekitar
Malioboro, memotret keramaian lalu lalang pejalan kaki, memotret
anak-anak bermain di Tamansari, memotret yang sukses, memotret yang
belum sukses, memotret lukisan, memotret gedung tua, dsb. Kamera juga
ada yang sukses dan yang belum sukses. Kamera sukses saat hasil jepretan
yang ditampilkan baik, benar, dan indah, begitu juga sebaliknya. Hasil
jepretan tergantung pada siapa yang menggunakan kamera itu. Ada kamera
dengan fitur-fitur yang canggih, ada juga yang fiturnya sederhana.
Kamera dengan fitur canggih tidak akan menghasilkan karya jepretan luar
biasa jika yang menggunakannya bukan seorang fotografer profesional
atau setidaknya orang yang tau tentang dunia kamera dan fotografi.
Kamera dengan fitur sederhana bisa jadi menghasilkan karya yang luar
biasa saat yang menggunakannya adalah seorang fotografer atau orang
yang memang benar-benar tau tentang kamera dan fotografi.
Orang kaya biasa disebut sebagai orang sukses, kekayaannya tak kan
berarti apa-apa jika ia tak mampu menyikapi atau memahami untuk apa
kekayaan yang bertumpuk itu karena ia mendapatkannya dengan jalan
pintas, dengan korupsi, tanpa bersusah payah, tanpa berkeringat, dsb.
Sehingga saat tujuannya menjadi kaya tercapai, kemungkinan besar ia
lantas merasakan kehampaan, kejenuhan, seperti yang kurasakan saat naik
kereta api – kamera canggih yang tak menghasilkan karya mengagumkan.
Orang miskin, yang selalu mempunyai harapan untuk menjadi kaya agar ia
dapat membantu sesamanya, yang bekerja dengan sungguh-sungguh, yang
ikhlas, yang jujur, yang menghargai pendapatannya, peluang untuk
merasakan jenuh dan hampa sangatlah sedikit meskipun tujuannya untuk
menjadi kaya belum tercapai karena ia paham betul bagaimana ia menyikapi
sebuah perjalanan, bagaimana menyikapi proses untuk menjadi kaya.
Sehingga saat ia kaya, ia akan lebih bahagia tanpa ketakutan akan rasa
jenuh dan hampa yang membunuhnya perlahan. Saat tujuannya untuk menjadi
kaya belum terpenuhi pun, ia tetap menikmati perjalanannya karena ia
benar-benar memahami proses perjalanannya, – kamera sederhana yang menghasilkan karya mengagumkan.
Karya jepretan yang baik, benar, dan indah adalah karya yang
memperhatikan komposisi cahaya, warna, tingkat kecepatan lensa menangkap
objek/kecepatan rana, angle/penempatan objek, dsb. Yang jelas karya
tersebut tidak hanya terfokus pada objek tanpa memperhatikan
keseimbangan cahaya dan lainnya. Biarpun sama kameranya, objek yang
difoto sama, hasil jepretan akan bisa berlainan, tergantung pada siapa
yang memotret. Sukses – menurutku, dikatakan baik, benar dan indah saat
hasil kesuksesan itu tak hanya terfokus pada tujuan yang dicapai (objek, dalam dunia kamera),
tapi juga memperhatikan niat, proses pencapaian, kesesuaian antara
keinginan dan tindakan, manfaat untuk sesama, dan sebagainya. Pengusaha
kaya raya bisa dikatakan sebagai orang sukses, tapi apakah suksesnya
itu baik, benar dan indah tergantung pada pengusaha tersebut
menggunakan kekayaannya, atau bagaimana proses dia mencapai kesuksesan
itu. Orang kaya, memang baik karena ia bisa mencukupi kebutuhannya
sendiri sehingga ia tidak menyusahkan orang lain. Orang kaya juga
benar, jika kekayaannya didapat bukan dari hasil mencuri, menipu, dsj.
Dan, orang kaya juga indah, saat kekayaannya digunakan untuk membantu
mencukupi kebutuhan sesama. Bagaimana dengan orang kaya karena hasil
korupsi? Atau, bagaimana dengan orang miskin yang berprofesi sebagai
pencuri? . . .
Sepengetahuanku, kamera ada macam-macam, ada kamera SLR analog,
kamera pocket digital, kamera DSLR, kamera HP, kamera laptop, kamera
cctv, dsb. Yang umum digunakan dalam dunia fotografi saat ini adalah
jenis kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex). Lensa kamera DSLR pun
juga ada macam-macam, ada lensa makro, lensa prime, lensa standart zoom
lensa, wide angle zoom, lensa telephoto, dan lensa super zoom.
Semua jenis lensa kamera tersebut disesuaikan dengan objek yang akan
dipotret. Lensa makro cocok digunakan untuk memotret benda-benda
berukuran kecil seperti serangga, perhiasan, dsb, karena lensa jenis ini
biasanya mempunyai rentang fokal antara 90-200 mm yang memungkinkan
untuk menangkap detail dan warna dengan sangat tajam. Lensa telephoto
cocok digunakan memotret objek yang jaraknya jauh, lensa ini populer
digunakan oleh fotografer binatang liar dan fotografer olahraga, lensa
ini membuat objek yang sangat jauh terasa lebih dekat dan enak
dipandang. Jadi, kalau ingin memotret macan dari kejauhan, jangan
gunakan lensa makro, juga jangan gunakan lensa telephoto kalau ingin
memotret semut dengan hasil memuaskan.
Tukang becak yang suka menipu, yang malas, yang suka mengeluh, tidak
akan cocok untuk menjadi orang kaya, kalau kebetulan ia mendadak kaya –
ia bahkan menjadi lebih tidak cocok lagi sebagai orang kaya. Terkadang
aku heran dan menyayangkan dengan tindakan orang seperti ini, seperti
seorang pedagang pecel bungkus yang kutemui di stasiun Madiun yang
peyeknya jatuh di kolong kereta tanpa diketahui pembelinya saat ia akan
melangkah masuk kereta (aku tau kejadian ini saat aku berada di
pintu kereta, penjual itu peyeknya jatuh di kolong sempit antara kereta
dengan peron stasiun yang tak memungkinkan untuk diambil, kecuali saat
kereta sudah berjalan meninggalkan stasiun), transaksi terjadi di
dekat pintu kereta, pembeli itu lantas bertanya “nggak ada peyeknya?”
pedagang itu lalu bilang bahwa peyek sudah ada di dalam bungkusan nasi.
Aku heran kenapa ia menipu hanya untuk meraih secuil keuntungan agar
ia tak rugi karena peyeknya jatuh tadi? Tidakkah ia justru rugi karena
mungkin pembeli itu kecewa setelah membuka bungkusan nasi pecelnya dan
tak mendapati peyek di dalamnya, lantas pembeli itu menceritakan
kejadian itu pada teman-temannya, dan teman-temannya bercerita lagi pada
temannya, begitu seterusnya sehingga mereka yang sudah tau cerita itu
berkesimpulan bahwa pedagang pecel bungkusan di stasiun Madiun suka
menipu sehingga mereka tak mau beli nasi pecel bungkusan saat kereta api
berhenti di stasiun Madiun? Lalu – dampaknya ... Ah, terlalu jauh dan
sentimentil aku berpikir seperti ini, maaf.
Kembali lagi, Seorang siswa dari kalangan orang kaya, suka membolos,
mencontek saat ujian, usai lulus ia membayar untuk bekerja di instansi
pemerintahan, bekerja dengan malas namun menuntut upah tinggi, meskipun
ia kaya sebenarnya ia tak cocok menjadi orang kaya. Dan jika orang
seperti ini banyak ditemukan di Indonesia, maka wajar jika Indonesia ini
menjadi negeri yang kaya tapi tak pantas menjadi kaya. Bukankah lensa
kamera harus disesuaikan dengan objek yang akan dipotret? Semua
haruslah seimbang, yang seimbang menghasilkan sesuatu yang seimbang,
yang cocok adalah cocok, yang sesuai memang sesuai. Seorang anak
gembala kambing yang tekun belajar di malam hari, yang bersekolah
dengan penuh semangat, yang ikhlas membantu orang tuanya menernak
kambing-kambingnya di siang hari, yang sungguh-sungguh, yang bekerja
dengan optimal saat dewasa, dan menjadi seorang yang kaya, adalah
memang cocok baginya untuk menjadi kaya. Indonesia yang memang
diberkahi kekayaan alam melimpah ruah ini, akan pantas, sesuai, cocok
untuk menjadi negeri yang memang benar-benar kaya jika orang-orang yang
mengelola seperti anak gembala kambing itu. kapankah negeri indonesia
pantas menjadi negeri kaya? Kapankah lensa kehidupan masyarakat
Indonesia digunakan sesuai dengan objek yang dipotretnya? Sampai disini
akhirnya aku agak sedikit paham dengan pernyataan Emha Ainun Nadjib berikut ini :
“Menang kalahnya seseorang, atau sukses gagalnya seseorang, tidak
ditentukan oleh apakah ia kaya atau ia miskin, melainkan oleh
kekalahan atau kemenangan mental orang itu terhadap kekayaan atau
kemiskinan.”
*)Oleh-oleh dari Yogyakarta
Matur nuwon kanggo :
- PT.KAI, yang menyediakan transportasi massal,
- Muchson, yang bersedia meminjamkan kameranya,
- Tonis, yang membuatku berminat untuk mengintip sedikit seluk-beluk dunia kamera dan fotografi,
- Farik, yang menginspirasiku untuk sedikit mengetahui apa itu sukses atau gagal,
- Kamandoko, tukang becak di alun-alun kadipiro – Yogyakarta, retorikanya mengagumkan meski terlihat aneh, konyol, dan sedikit menyebalkan,
- Melinda dan Ardilla, yang - mmm...(opo yoh enak'e...hmmm), yang dengan mengingat senyum mereka membuatku semangat mengetik catatan ini.
Lebay titik... joss... ^ _ ^
Caution : Hanya ucapan, jangan berpikir aneh-aneh dalam memahami ucapan terima kasih di atas. (ojok diguyu rek... .iso’ku mung ngene iki, ra nduwe maksud opo-opo kejobo neruske hobi, nek aku salah yo eleng’no)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar