TUGIEZLAND

Selasa, 05 Maret 2013

SUKSES : Kereta Api, Becak, dan Kamera

Sebenarnya aku tak punya porsi sama sekali untuk membicarakan tentang sukses, bahkan menuliskannya. Karena aku sendiri masih belum sukses bahkan tidak tau apa-apa tentang substansi sukses. Aku membuat definisi sok tahu tentang sukses ini hanya dengan menyimpulkan pernyataan orang-orang terdekat yang pernah memotivasiku atau orang yang pernah kutanya secara langsung maupun tidak langsung tentang sukses atau hanya berdasar pada pengamatanku saja. Jadi  selama kau membaca tulisan ini, sangatlah mungkin kau temukan pandangan-pandangan yang berbeda jauh dengan pandanganmu mengenai sukses.

Meski relatif – sukses, menurut kebanyakan orang adalah keberhasilan mencapai suatu tujuan. Dan lagi, tujuan tersebut seringkali diidentikkan dengan materi, sesuatu yang nyata, yang terlihat oleh indera, di luar itu bukanlah kesuksesan. Kalau aku pergi melancong ke suatu kota tujuan, lalu aku melewati jalan yang jarang dilalui orang, dan di jalan itu aku menemui rintangan-rintangan dan menikmatinya hingga aku sampai pada kota tujuanku itu, dan di sana aku hanya mencicipi masakan lokal di warung sederhana, tidur di pelataran toko, aku belum dikatakan sebagai orang (baca : pelancong) sukses, karena para pelancong sepertiku biasa tinggal di penginapan, di hotel-hotel, makan di restoran-restoran, dan belanja oleh-oleh khas kota tersebut. Sedangkan, aku hanya menikmati suasana kota tujuanku ini dengan duduk di kursi panjang di bawah pohon yang ada di taman kota sambil mengingat-ingat rintangan dalam perjalananku tadi.

Kereta api
Boleh dibilang, transportasi darat yang paling sukses menurutku adalah kereta api (aku tak membahas kereta komuter). Ia punya tujuan dan waktu pemberangkatan yang jelas serta jalur khusus yang sangat memungkinkannya untuk tidak tersesat. Jalur kereta dibangun sedemikian rupa yang memungkinkan kereta api menempuh jarak terpendek dari satu kota ke kota lainnya, bisa dibilang jalur kereta api adalah jalur alternatif yang paling efektif untuk cepat sampai tujuan. Beda halnya dengan kendaraan lainnya yang tak mempunyai jalur khusus, mereka harus melewati kelokan-kelokan, persimpangan jalan, mematuhi rambu lalu lintas, dan belum lagi harus berhenti saat kereta melintas.

Karena itu, mungkin kalau dihitung-hitung – seandainya kereta api tak berhenti di stasiun hingga sampai di kota tujuan paling akhir (misal : Yogyakarta), diadu dengan kendaraan lain misalnya mobil pada waktu pemberangkatan yang sama, maka yang lebih cepat sampai adalah kereta api. Jalan kereta api seringkali bersilangan dengan jalan raya sehingga saat kereta melintas mengharuskan mobil untuk berhenti. Mobil, selain harus mengalah dengan kereta api, lagi-lagi, harus bersabar dan berbagi dengan kendaraan lain karena ia tak punya jalur khusus seperti yang dimiliki kereta api sehingga perjalanan akan sedikit terhambat apalagi saat lalu lintas padat.
 
Yang ku tau dan hanya menerka-nerka saja, mungkin seperti itulah kebanyakan pandangan orang kebanyakan mengenai sukses. Orang dikatakan sukses saat jalan yang ditempuhnya mulus dan cepat sampai tujuan tepat pada waktunya. Orang yang lambat sudah pasti adalah orang belum sukses atau orang gagal meskipun ia terus berjuang untuk sampai tujuan. Kalau aku –  misalnya, usai lulus SMA melanjutkan ke perguruan tinggi, dan di sana aku punya prestasi gemilang entah karena itu hasil curang, dan setelah lulus dari perguruan tinggi aku langsung diterima di instansi ternama dengan status jabatan bergengsi karena kebetulan di sana ada kerabat dekat yang meloby sehingga aku diterima, atau aku memperoleh beasiswa ke luar negeri dan sekembalinya aku jadi pengusaha kaya yang menjual hasil produksinya dengan cara menipu sehalus mungkin, mmm... – aku mungkin dikatakan sebagai pemuda sukses, bahkan paling sukses. Sebaliknya, kalau aku lulus SMA dengan susah payah karena kendala biaya, masuk perguruan tinggi dengan terseok-seok mencari pendanaan tiap akan ujian semester, lalu usai lulus aku hanya bekerja  di kantor pemasaran sebagai sales, satpam, OB atau apapun yang notabene adalah pekerjaan rendahan. Aku dikatakan sebagai orang yang belum sukses, bahkan orang gagal – meskipun aku bekerja sepenuh hati, meskipun hasil yang kudapat itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluargaku, bahkan aku mungkin menyisihkan sebagian pendapatanku untuk membantu biaya sekolah anak-anak tetanggaku agar mereka tak putus sekolah karena kendala biaya, kalau aku masih hidup  sederhana, aku belum bisa dikatakan sebagai pemuda sukses.

Kereta api dikemudikan oleh seorang masinis. Masinis harus punya pendidikan tinggi dan diutamakan dari pendidikan yang berhubungan dengan kereta api, dari jalur sekolah masinis atau sejenisnya. Masinis adalah pekerjaan yang bergengsi dalam pandangan kebanyakan masyarakat. Karena itu, tak kan ada orang heran jika seorang masinis berbicara mengenai sosial, politik, atau hukum karena masyarakat tau bahwa masinis adalah orang berpendidikan tinggi dan sudah pasti berwawasan luas.

Pandangan dan pendapat orang memang berbeda-beda. Mungkin orang lain banyak yang suka berpergian menggunakan kereta api, tapi aku memandang kereta api sebagai transportasi paling membosankan. Bagiku, melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan kereta api sangat menjenuhkan karena yang kudapati selama perjalanan seringkali hanya persawahan dan hanya sesekali masuk pinggiran kota dan melewati atau berhenti di stasiun. Kalau menggunakan kereta api kelas ekonomi mungkin tidak terlalu jenuh karena selama perjalanan banyak pedagang berlalu lalang, orang-orang yang duduk bersebelahan saling basa-basi menanyakan kota tujuannya atau hanya sekedar menyapa dengan senyuman. Meski begitu aku tetap jenuh karena kereta api hanya berjalan sendiri di jalur khusus melewati persawahan tanpa bersinggungan dengan kendaraan lain. Lebih jenuh lagi jika aku menggunakan kereta bisnis atau eksekutif, meski perjalananku nyaman karena tak terusik keramaian pedagang, aku merasa lebih jenuh apalagi jika dalam perjalananku itu aku sendirian tanpa mengajak teman. Beda halnya jika aku menggunakan bus atau kendaraan lainnya, aku bisa melihat-lihat keramaian jalan, melihat ekspresi para pengendara saat terjebak kemacetan, melihat polisi yang sibuk mengatur lalu lintas, dsb. Aku bisa tersenyum, kesal, marah, dan mengumpat melihat berbagai kejadian di jalan.

Kalau mengingat perjalanan dengan menggunakan kereta api seperti demikian adanya. Apakah mungkin orang-orang yang dikatakan “sukses” dalam waktu relatif cepat dan hasil pencapaian di atas rata-rata orang kebanyakan merasakan kejenuhan seperti apa yang kurasakan saat melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api? Apakah masinis yang mendapat prestise tinggi dari masyarakat sebagai pekerjaan bergengsi itu juga merasakan kejenuhan dibalik kesuksesan yang ia capai? Di balik pendapatannya yang lumayan bahkan bisa lebih untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tidakkah ia jenuh karena tak bisa menemani keluarganya saat liburan tiba? Tidakkah ia ingin bermain dengan anak-anaknya karena selama ini mungkin ia hanya bisa memberi mereka dengan uang atau mainan-mainan?


Becak
Ada sukses, ada belum sukses. Becak (bukan becak motor), menurutku adalah transportasi darat yang paling lambat, safety yang sangat minim, dsb. Bisa diikatakan becak adalah transportasi yang belum sukses. Yang mengemudikan becak namanya tukang becak, tak ada sebutan khusus seperti masinis yang mengemudikan kereta api (tak ada sebutan tukang kereta api). Semua orang bisa mbecak, tak perlu pendidikan tinggi, orang tak sekolah pun bisa mbecak. Karena itu tukang becak identik dengan orang yang wawasannya minim, bodoh, tak tau apa-apa. Sampai-sampai ada anekdot saat seorang tukang becak menerobos lampu merah di perempatan jalan lalu pengendara mobil yang kaget karena hampir saja menabrak becak itu memakinya “goblok...”, tukang becak dengan enteng menjawab “ kalau pinter ndak mbecak, pak..!!!” Jadi, kalau ada tukang becak yang berbicara mengenai sosial, politik, hukum, dsj (dan sejenisnya), yang menunjukkan bahwa ia berwawasan luas, orang akan heran bahkan tak akan mempercayainya. Atau yang lebih parah, orang berkesimpulan bahwa tukang becak itu sedang membual, bermimpi, bahkan sedang kesurupan, – berbincang dengan tukang becak seperti itu pastinya sangat menyebalkan karena kenyataan yang ada jauh dari pikiran ideal yang ia bicarakan. Berbeda dengan masinis tadi, tukang becak tak punya porsi untuk bicara mengenai hal-hal itu di masyarakat kebanyakan, ia hanya pantas bicara mengenai harga beras, lombok, bensin, dsj yang menjadi kebutuhannya sehari-hari. Tukang becak hanya dianggap keberadaannya saat menjelang pemilu dengan memberi mereka uang/sembako dan kaos oblong dengan gambar wajah orang, atau hanya dibutuhkan saat oposisi ingin menyerang lawan politiknya dengan aksi unjuk rasa yang mengatasnamakan rakyat. Di luar itu, tukang becak tak boleh bersuara tentang sosial, politik, hukum, dsj.

Becak tak punya jadwal kapan ia harus berangkat, tak punya jalur khusus, bahkan becak seringkali dianggap pengganggu dan penghambat arus lalu lintas karena jalannya yang lamban. Becak hanya diperuntukkan mencapai tujuan jarak pendek, bukan jarak jauh seperti kereta api dan lainnya. kemampuannya hanya dapat menempuh dari satu jalan ke jalan lain, atau satu dusun ke dusun lain dalam satu wilayah kota. Tak perlu memesan tiket untuk naik becak, kita hanya membayarnya saat becak telah membawa kita sampai ke tempat tujuan. Sangat berbeda dibanding kereta api yang harus memesan tiket sebelum menaikinya dan jika terlambat datang ke stasiun maka kita akan ditinggal begitu saja meski kita sudah membayar (membeli) tiket itu.
 
Tapi, bagaimana dengan perbedaan tukang becak dengan masinis? Tukang becak adalah pekerjaan rendahan menurut kebanyakan orang, sedangkan masinis adalah pekerjaan yang bergengsi. Dari segi pendapatan dan kesejahteraan, secara umum masinis jelas jauh lebih tinggi dibanding pendapatan dan kesejahteraan tukang becak. Tapi, bagaimana dengan rasa jenuh? Tukang becak tiap hari pulang ke rumah, kalau kecapekan ia sewaktu-waktu bisa meliburkan diri. Atau, kalau anaknya yang masih TK diajak gurunya pergi study tour ke museum, ia bisa libur dan memilih untuk menemani anaknya. Tukang becak mungkin tak bisa membelikan anaknya mainan, tapi tiap malam anaknya mendapat perhatian darinya dengan mengajaknya bermain. Bagaimana dengan masinis? Tukang becak mengayuh becaknya mengantarkan penumpang di tengah terik siang yang menyengat, sesekali ia turun dan mendorong becaknya saat jalan menanjak. Rasa lega dan kenikmatannya adalah saat sampai di tempat tujuan, lalu penumpang membayarnya dan ia meneguk air dalam botol yang ia bawa untuk menghilangkan dahaganya, lalu ia tersenyum, mengucapkan terima kasih dan berpamitan pada penumpangnya lalu kembali ke tempat mangkalnya. Bagaimana dengan masinis? Bagaimana dengan yang disebut orang kebanyakan sebagai orang sukses?

Kamera
Kamera – memotret kereta api di stasiun, memotret becak di sekitar Malioboro, memotret keramaian lalu lalang pejalan kaki, memotret anak-anak bermain di Tamansari, memotret yang sukses, memotret yang belum sukses, memotret lukisan, memotret gedung tua, dsb. Kamera juga ada yang sukses dan yang belum sukses. Kamera sukses saat hasil jepretan yang ditampilkan baik, benar, dan indah, begitu juga sebaliknya. Hasil jepretan tergantung pada siapa yang menggunakan kamera itu. Ada kamera dengan fitur-fitur yang canggih, ada juga yang fiturnya sederhana. Kamera dengan fitur canggih tidak akan menghasilkan karya jepretan luar biasa jika yang menggunakannya bukan seorang fotografer profesional atau setidaknya orang yang tau tentang dunia kamera dan fotografi. Kamera dengan fitur sederhana bisa jadi menghasilkan karya yang luar biasa saat yang menggunakannya adalah seorang fotografer atau orang yang memang benar-benar tau tentang kamera dan fotografi.

Orang kaya biasa disebut sebagai orang sukses, kekayaannya tak kan berarti apa-apa jika ia tak mampu menyikapi atau memahami untuk apa kekayaan yang bertumpuk itu karena ia mendapatkannya dengan jalan pintas, dengan korupsi, tanpa bersusah payah, tanpa berkeringat, dsb. Sehingga saat tujuannya menjadi kaya tercapai, kemungkinan besar ia lantas merasakan kehampaan, kejenuhan, seperti yang kurasakan saat naik kereta api – kamera canggih yang tak menghasilkan karya mengagumkan. Orang miskin, yang selalu mempunyai harapan untuk menjadi kaya agar ia dapat membantu sesamanya, yang bekerja dengan sungguh-sungguh, yang ikhlas, yang jujur, yang menghargai pendapatannya, peluang untuk merasakan jenuh dan hampa sangatlah sedikit meskipun tujuannya untuk menjadi kaya belum tercapai karena ia paham betul bagaimana ia menyikapi sebuah perjalanan, bagaimana menyikapi proses untuk menjadi kaya. Sehingga saat ia kaya, ia akan lebih bahagia tanpa ketakutan akan rasa jenuh dan hampa yang membunuhnya perlahan. Saat tujuannya untuk menjadi kaya belum terpenuhi pun, ia tetap menikmati perjalanannya karena ia benar-benar memahami proses perjalanannya, – kamera sederhana yang  menghasilkan karya mengagumkan.

Karya jepretan yang baik, benar, dan indah adalah karya yang memperhatikan komposisi cahaya, warna, tingkat kecepatan lensa menangkap objek/kecepatan rana, angle/penempatan objek, dsb. Yang jelas karya tersebut tidak hanya terfokus pada objek tanpa memperhatikan keseimbangan cahaya dan lainnya. Biarpun sama kameranya, objek yang difoto sama, hasil jepretan akan bisa berlainan, tergantung pada siapa yang memotret. Sukses – menurutku, dikatakan baik, benar dan indah saat hasil kesuksesan itu tak hanya terfokus pada tujuan yang dicapai (objek, dalam dunia kamera), tapi juga memperhatikan niat, proses pencapaian, kesesuaian antara keinginan dan tindakan, manfaat untuk sesama, dan sebagainya. Pengusaha kaya raya bisa dikatakan sebagai orang sukses, tapi apakah suksesnya itu baik, benar dan indah tergantung pada pengusaha tersebut menggunakan kekayaannya, atau bagaimana proses dia mencapai kesuksesan itu. Orang kaya, memang baik karena ia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri sehingga ia tidak menyusahkan orang lain. Orang kaya juga benar, jika kekayaannya didapat bukan dari hasil mencuri, menipu, dsj. Dan, orang kaya juga indah, saat kekayaannya digunakan untuk membantu mencukupi kebutuhan sesama. Bagaimana dengan orang kaya karena hasil korupsi? Atau, bagaimana dengan orang miskin yang berprofesi sebagai pencuri? . . .

Sepengetahuanku, kamera ada macam-macam, ada kamera SLR analog, kamera pocket digital, kamera DSLR, kamera HP, kamera laptop, kamera cctv, dsb. Yang umum digunakan dalam dunia fotografi saat ini adalah jenis kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex). Lensa kamera DSLR pun juga ada macam-macam, ada lensa makro, lensa prime, lensa standart zoom lensa, wide angle zoom, lensa telephoto, dan lensa super zoom.
Semua jenis lensa kamera tersebut disesuaikan dengan objek yang akan dipotret. Lensa makro cocok digunakan untuk memotret benda-benda berukuran kecil seperti serangga, perhiasan, dsb, karena lensa jenis ini biasanya mempunyai rentang fokal antara 90-200 mm yang memungkinkan untuk menangkap detail dan warna dengan sangat tajam. Lensa telephoto cocok digunakan memotret objek yang jaraknya jauh, lensa ini populer digunakan oleh fotografer binatang liar dan fotografer olahraga, lensa ini membuat objek yang sangat jauh terasa lebih dekat dan enak dipandang. Jadi, kalau ingin memotret macan dari kejauhan, jangan gunakan lensa makro, juga jangan gunakan lensa telephoto kalau ingin memotret semut dengan hasil memuaskan.

Tukang becak yang suka menipu, yang malas, yang suka mengeluh, tidak akan cocok untuk menjadi orang kaya, kalau kebetulan ia mendadak kaya – ia bahkan menjadi lebih tidak cocok lagi sebagai orang kaya. Terkadang aku heran dan menyayangkan dengan tindakan orang seperti ini, seperti seorang pedagang pecel bungkus yang kutemui di stasiun Madiun yang peyeknya jatuh di kolong kereta tanpa diketahui pembelinya saat ia akan melangkah masuk kereta (aku tau kejadian ini saat aku berada di pintu kereta, penjual itu peyeknya jatuh di kolong sempit antara kereta dengan peron stasiun yang tak memungkinkan untuk diambil, kecuali saat kereta sudah berjalan meninggalkan stasiun), transaksi terjadi di dekat pintu kereta,  pembeli itu lantas bertanya “nggak ada peyeknya?” pedagang itu lalu bilang bahwa peyek sudah ada di dalam bungkusan nasi. Aku heran kenapa ia menipu hanya untuk meraih secuil keuntungan agar ia tak rugi karena peyeknya jatuh tadi? Tidakkah ia justru rugi karena mungkin pembeli itu kecewa setelah membuka bungkusan nasi pecelnya dan tak mendapati peyek di dalamnya, lantas pembeli itu menceritakan kejadian itu pada teman-temannya, dan teman-temannya bercerita lagi pada temannya, begitu seterusnya sehingga mereka yang sudah tau cerita itu berkesimpulan bahwa pedagang pecel bungkusan di stasiun Madiun suka menipu sehingga mereka tak mau beli nasi pecel bungkusan saat kereta api berhenti di stasiun Madiun? Lalu – dampaknya ... Ah, terlalu jauh dan sentimentil aku berpikir seperti ini, maaf.

Kembali lagi, Seorang siswa dari kalangan orang kaya, suka membolos, mencontek saat ujian, usai lulus ia membayar untuk bekerja di instansi pemerintahan, bekerja dengan malas namun menuntut upah tinggi, meskipun ia kaya sebenarnya ia tak cocok menjadi orang kaya. Dan jika orang seperti ini banyak ditemukan di Indonesia, maka wajar jika Indonesia ini menjadi negeri yang kaya tapi tak pantas menjadi kaya. Bukankah lensa kamera harus disesuaikan dengan objek yang akan dipotret? Semua haruslah seimbang, yang seimbang menghasilkan sesuatu yang seimbang, yang cocok adalah cocok, yang sesuai memang sesuai. Seorang anak gembala kambing yang tekun belajar di malam hari, yang bersekolah dengan penuh semangat, yang ikhlas membantu orang tuanya menernak kambing-kambingnya di siang hari, yang sungguh-sungguh, yang bekerja dengan optimal saat dewasa, dan menjadi seorang yang kaya, adalah memang cocok baginya untuk menjadi kaya. Indonesia yang memang diberkahi kekayaan alam melimpah ruah ini, akan pantas, sesuai, cocok untuk menjadi negeri yang memang benar-benar kaya jika orang-orang yang mengelola seperti anak gembala kambing itu. kapankah negeri indonesia pantas menjadi negeri kaya? Kapankah lensa kehidupan masyarakat Indonesia digunakan sesuai dengan objek yang dipotretnya? Sampai disini akhirnya aku agak sedikit paham dengan pernyataan Emha Ainun Nadjib berikut ini :

“Menang kalahnya seseorang, atau sukses gagalnya seseorang, tidak ditentukan oleh apakah ia kaya atau ia miskin, melainkan oleh kekalahan atau kemenangan mental orang itu terhadap kekayaan atau kemiskinan.”

*)Oleh-oleh dari Yogyakarta

Matur nuwon kanggo :
  1. PT.KAI, yang menyediakan transportasi massal,
  2. Muchson, yang bersedia meminjamkan kameranya,
  3. Tonis, yang membuatku berminat untuk mengintip sedikit seluk-beluk dunia kamera dan fotografi,
  4. Farik, yang menginspirasiku untuk sedikit mengetahui apa itu sukses atau gagal,
  5. Kamandoko, tukang becak di alun-alun kadipiro – Yogyakarta, retorikanya mengagumkan meski terlihat aneh, konyol, dan sedikit menyebalkan,  
  6. Melinda dan Ardilla, yang - mmm...(opo yoh enak'e...hmmm), yang dengan mengingat senyum mereka membuatku semangat mengetik catatan ini. 
Lebay titik... joss... ^ _ ^

Caution : Hanya ucapan, jangan berpikir aneh-aneh dalam memahami ucapan terima kasih di atas. (ojok diguyu rek... .iso’ku mung ngene iki, ra nduwe maksud opo-opo kejobo neruske hobi, nek aku salah yo eleng’no)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar