"Tulisan ini hanya untuk
sekedar berbagi, bukan bermaksud menyindir siapapun
Pandangan – pandangan
yang termuat di dalamnya hanyalah bersifat subyektif berdasar
perasaan dan pengetahuan penulis"
Aku ini manusia fakultif.
Cara berpikirku parsial, subyektif, dan pragmatis. Karena itu aku
masuk ke universitas berharap agar cara berpikirku menjadi lebih
universal, obyektif, dan komperhensif. Tapi aku bingung karena
terkadang universitas justru mengajariku untuk lebih fakultif. Nilai
– nilai akademis dianggap sebagai pilihan praktis untuk mengukur
tingkat keluasan pengetahuanku. Sehingga secara tidak langsung
tertanam dalam benakku untuk mengejar nilai – nilai tersebut secara
instan tanpa ada niatan untuk mengetahui esensi dari yang aku
pelajari.
Dengan begitu, cara
pandangku mengenai ilmu dan pengetahuan menjadi lebih mem-fakultif.
Aku menjadi manusia yang mengejar nilai – nilai instan. Aku
mengeluh mendengar cerita tentang kemalasan PNS, aku terbuai angan –
angan untuk merubah kebiasaan buruk para birokrat dengan kritik –
kritik dalam tulisan maupun aksi – aksi unjuk rasa, padahal aku
sendiri berada dalam kemalasan yang tak kusadari akibat pengejaran
terhadap nilai instan. Aku hanya belajar untuk menghadapi ujian esok,
mengerjakan tugas untuk dikumpulkan tanpa perlu berniat mengetahui
apa manfaatnya, dan menghadiri perkuliahan agar absensiku terlihat
penuh. Aku jijik melihat berita-berita tentang para koruptor dan
menghinanya seakan mereka itu iblis yang tak termaafkan, padahal
dalam diriku sendiri iblis itu lebih suka bersemayam dan secara tidak
langsung mengajariku tentang bagaimana berkorupsi. Yah, aku hobi
telat untuk masuk kelas, juga terkadang telat dalam mengumpulkan
tugas-tugas, bahkan terkadang mencuri-curi untuk dapat contekan saat
ujian, hal-hal remeh itu tak kusadari sebagai tindakan korupsi. Aku
juga muak dengan pelaksanaan hukum yang ambrul-adul. Aku meludah
untuk sikap para mafia hukum yang saling suap menyuap dalam mengadili
suatu perkara dan menganggap seakan mereka itu kotoran anjing yang
dengan melihatnya saja aku sudah mau muntah dan meludah-ludahkan
dahak. Padahal tanpa kusadari aku sendiri sering menjilat ludahku itu
kembali, aku lebih suka menyuap dengan membayar lebih dari denda
normal kepada polisi yang menilangku daripada harus menghadiri
sidang, aku juga mentaati rambu lalu lintas saat ada polisi yang
berjaga di sana, bukankah aku ini juga mafia hukum yang patut
diludahi?
Jangan berspekulasi dulu
karena ini hanya sekedar curahan hati seorang penggalau, pengingau
dan pemimpi yang mengharap ada perubahan besar pada negerinya secara
instan, yang mengingau punya pemimpin adil dan bijaksana setiap
diadakannya pemilu lima tahunan, dan yang bermimpi agar pemimpin itu
secara cepat dapat merubah negerinya agar jauh lebih baik dari
sekarang sedangkan dia sendiri tak mau merubah kebiasaannya. Ini
hanya ingauan seorang pemimpi yang menganggap bahwa presiden dan
pemerintah adalah jin, malaikat, atau makhluk sakti lainnya yang
harus bisa membawa perubahan dalam negerinya, yang ia tuntut untuk
mengurusi kebutuhannya secara adil, yang suci dan tak boleh berbuat
salah, dan yang – ehmm . . . yang bersifat kontradiktif lainnya.
Jadi tolong jangan dulu disimpulkan bahwa aku menulis ini untuk
menyalahkan universitas ataupun sistem pendidikan. Juga jangan pula
disimpulkan sebagai pembelaan terhadap pemerintah, bahkan
berspekulasi bahwa aku adalah anak, keponakan, kerabat dekat dari
birokrat sehingga aku perlu untuk menulis ini untuk membela dan
berharap agar mereka (birokrat) tak dihina-hina lagi oleh para
pengkritik dan pendemo. Aku menulis ini mengalir begitu saja, jadi
jangan berspekulasi dan menebak-nebak, cukup dibaca saja aku sudah
sangat berterima kasih kepada anda.
Semua yang kusebut di
atas bukanlah salah universitas, sekolah, atau sistem pendidikan yang
mengajariku sedemikian adanya hingga aku jadi manusia instan dan
mempunyai cara pandang fakultif. Ini semua murni salahku yang sedari
kecil memandang bahwa pendidikan adalah tentang buku-buku pelajaran,
nilai-nilai praktis akademis, juga selembar ijazah yang menyatakan
bahwa aku adalah manusia berpendidikan, tak ketinggalan juga anggapan
sebagai bodoh jika aku tak lulus, mendapat nilai buruk ataupun tak
naik kelas meski nilai dan hasil yang kudapat itu murni dari
pemahamanku mengenai apa yang kupelajari walaupun sedikit. Karena
cara pandangku yang demikian terhadap pendidikan, aku menjadi manusia
yang suka dengan hal-hal instan. Aku memenjarakan ilmu hanya dalam
buku-buku, di luar buku aku tak sanggup mempercayai bahwa itu
kebenaran teori dan ilmu pengetahuan. Aku juga melakukan cara apapun
untuk bisa lulus atau naik kelas agar aku tak dianggap bodoh, meski
aku sedikitpun tak memahami apa makna yang kupelajari dan kukerjakan
di dalam pendidikan formal tersebut. Bahkan aku menjadi lebih instan
lagi saat memandang bahwa ijazah seperti halnya tuhan yang tanpanya
aku tak bisa mendapat pekerjaan. Terlalu naif memang, tapi kenyataan
mengatakan demikian. Dan akhirnya aku memandang bahwa berkarya bukan
untuk kepuasan namun untuk pengejaran materil secara instan. Tapi
sampai di sini aku jadi ragu bahwa ini semua murni salahku, tidakkah
sekolah, universitas, dan sistem pendidikan juga turut andil mengenai
cara pandangku? Entahlah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar