TUGIEZLAND

Selasa, 19 Februari 2013

MANUSIA FAKULTIF

"Tulisan ini hanya untuk sekedar berbagi, bukan bermaksud menyindir siapapun
Pandangan – pandangan yang termuat di dalamnya hanyalah bersifat subyektif berdasar perasaan dan pengetahuan penulis"

Aku ini manusia fakultif. Cara berpikirku parsial, subyektif, dan pragmatis. Karena itu aku masuk ke universitas berharap agar cara berpikirku menjadi lebih universal, obyektif, dan komperhensif. Tapi aku bingung karena terkadang universitas justru mengajariku untuk lebih fakultif. Nilai – nilai akademis dianggap sebagai pilihan praktis untuk mengukur tingkat keluasan pengetahuanku. Sehingga secara tidak langsung tertanam dalam benakku untuk mengejar nilai – nilai tersebut secara instan tanpa ada niatan untuk mengetahui esensi dari yang aku pelajari. 

Dengan begitu, cara pandangku mengenai ilmu dan pengetahuan menjadi lebih mem-fakultif. Aku menjadi manusia yang mengejar nilai – nilai instan. Aku mengeluh mendengar cerita tentang kemalasan PNS, aku terbuai angan – angan untuk merubah kebiasaan buruk para birokrat dengan kritik – kritik dalam tulisan maupun aksi – aksi unjuk rasa, padahal aku sendiri berada dalam kemalasan yang tak kusadari akibat pengejaran terhadap nilai instan. Aku hanya belajar untuk menghadapi ujian esok, mengerjakan tugas untuk dikumpulkan tanpa perlu berniat mengetahui apa manfaatnya, dan menghadiri perkuliahan agar absensiku terlihat penuh. Aku jijik melihat berita-berita tentang para koruptor dan menghinanya seakan mereka itu iblis yang tak termaafkan, padahal dalam diriku sendiri iblis itu lebih suka bersemayam dan secara tidak langsung mengajariku tentang bagaimana berkorupsi. Yah, aku hobi telat untuk masuk kelas, juga terkadang telat dalam mengumpulkan tugas-tugas, bahkan terkadang mencuri-curi untuk dapat contekan saat ujian, hal-hal remeh itu tak kusadari sebagai tindakan korupsi. Aku juga muak dengan pelaksanaan hukum yang ambrul-adul. Aku meludah untuk sikap para mafia hukum yang saling suap menyuap dalam mengadili suatu perkara dan menganggap seakan mereka itu kotoran anjing yang dengan melihatnya saja aku sudah mau muntah dan meludah-ludahkan dahak. Padahal tanpa kusadari aku sendiri sering menjilat ludahku itu kembali, aku lebih suka menyuap dengan membayar lebih dari denda normal kepada polisi yang menilangku daripada harus menghadiri sidang, aku juga mentaati rambu lalu lintas saat ada polisi yang berjaga di sana, bukankah aku ini juga mafia hukum yang patut diludahi?

Jangan berspekulasi dulu karena ini hanya sekedar curahan hati seorang penggalau, pengingau dan pemimpi yang mengharap ada perubahan besar pada negerinya secara instan, yang mengingau punya pemimpin adil dan bijaksana setiap diadakannya pemilu lima tahunan, dan yang bermimpi agar pemimpin itu secara cepat dapat merubah negerinya agar jauh lebih baik dari sekarang sedangkan dia sendiri tak mau merubah kebiasaannya. Ini hanya ingauan seorang pemimpi yang menganggap bahwa presiden dan pemerintah adalah jin, malaikat, atau makhluk sakti lainnya yang harus bisa membawa perubahan dalam negerinya, yang ia tuntut untuk mengurusi kebutuhannya secara adil, yang suci dan tak boleh berbuat salah, dan yang – ehmm . . . yang bersifat kontradiktif lainnya. Jadi tolong jangan dulu disimpulkan bahwa aku menulis ini untuk menyalahkan universitas ataupun sistem pendidikan. Juga jangan pula disimpulkan sebagai pembelaan terhadap pemerintah, bahkan berspekulasi bahwa aku adalah anak, keponakan, kerabat dekat dari birokrat sehingga aku perlu untuk menulis ini untuk membela dan berharap agar mereka (birokrat) tak dihina-hina lagi oleh para pengkritik dan pendemo. Aku menulis ini mengalir begitu saja, jadi jangan berspekulasi dan menebak-nebak, cukup dibaca saja aku sudah sangat berterima kasih kepada anda.

Semua yang kusebut di atas bukanlah salah universitas, sekolah, atau sistem pendidikan yang mengajariku sedemikian adanya hingga aku jadi manusia instan dan mempunyai cara pandang fakultif. Ini semua murni salahku yang sedari kecil memandang bahwa pendidikan adalah tentang buku-buku pelajaran, nilai-nilai praktis akademis, juga selembar ijazah yang menyatakan bahwa aku adalah manusia berpendidikan, tak ketinggalan juga anggapan sebagai bodoh jika aku tak lulus, mendapat nilai buruk ataupun tak naik kelas meski nilai dan hasil yang kudapat itu murni dari pemahamanku mengenai apa yang kupelajari walaupun sedikit. Karena cara pandangku yang demikian terhadap pendidikan, aku menjadi manusia yang suka dengan hal-hal instan. Aku memenjarakan ilmu hanya dalam buku-buku, di luar buku aku tak sanggup mempercayai bahwa itu kebenaran teori dan ilmu pengetahuan. Aku juga melakukan cara apapun untuk bisa lulus atau naik kelas agar aku tak dianggap bodoh, meski aku sedikitpun tak memahami apa makna yang kupelajari dan kukerjakan di dalam pendidikan formal tersebut. Bahkan aku menjadi lebih instan lagi saat memandang bahwa ijazah seperti halnya tuhan yang tanpanya aku tak bisa mendapat pekerjaan. Terlalu naif memang, tapi kenyataan mengatakan demikian. Dan akhirnya aku memandang bahwa berkarya bukan untuk kepuasan namun untuk pengejaran materil secara instan. Tapi sampai di sini aku jadi ragu bahwa ini semua murni salahku, tidakkah sekolah, universitas, dan sistem pendidikan juga turut andil mengenai cara pandangku? Entahlah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar