TUGIEZLAND

Jumat, 08 Maret 2013

Selera Humor dan Harga Diri Keluarga Mbah


Aku terlahir di tanah ini, di tanah yang dibilang subur ini, sebagai bagian keluarga besar masyarakat Indonesia yang punya selera humor tinggi. Bukan hanya itu, selain rasa humor, mbah-mbah ku dulu juga orang-orang yang paham benar dengan apa itu yang namanya harga diri. Saat mereka masih muda sepertiku, mereka berjuang mati-matian hanya untuk membela satu makhluk bernama harga diri sebagai bangsa yang berhak merdeka. Jargon mereka yang sampai sekarang masih terniang-niang di telinga anak cucunya termasuk aku adalah merdeka atau mati. Mungkin sedikit berbeda jika kudengar cerita tetanggaku, nenek moyangnya dulu lebih memilih merdeka bersyarat sebagai negara persemakmuran hanya karena tergoda iming-iming akan berbagai fasilitas asal mereka nganut dengan negeri induknya. Dan mungkin karena kenganutan – kepatuhan itu membuat tetanggaku itu kurang tau dengan humor – sama sepertiku.

Sebagai manusia normal, dalam otakku sudah pasti terinternalisasi untuk mencintai tanah kelahiranku. Tapi aku ragu, mungkin aku tidak begitu cinta dengan tanah lahirku. Nyatanya, aku masih saja iri dan ingin hidup di tanah tetanggaku yang punya banyak fasiilitas itu, aku disini masih sering mengeluhkan buruknya fasilitas meski bahan baku apapun tersedia di tanah lahirku ini. Aku kadang iseng, menggerutu dalam hati – “kenapa mbah dulu kau berjuang mati-matian untuk membela harga diri sebagai bangsa yang layak merdeka, kenapa tak kau serahkan saja bahan baku tanah lahirku ini pada Belanda untuk mereka kelola dan kita bisa mencicipi sedikit masakan hasil olahan mereka, toh aku sekarang lebih suka burger olahan Amerika daripada gethuk buatan mak, – toh tetanggaku kini hidupnya enak, mapan, tercukupi dengan hanya bersedia menyerahkan harga diri mereka dan menjadi negara persemakmuran Inggris. Dan, toh seandainya engkau hidup sekarang – dan melihat betapa buruknya aku, betapa aku tak paham tentang harga diri sebagai bangsa yang dulu mati-matian engkau perjuangkan, kau mungkin menyesal mbah berjuang mati-matian demi anak cucumu, demi aku – kau akan marah melihatku karena aku hanya mengingat cerita heroikmu merebut kemerdekaan saat tanggal-tanggal tertentu – dan aku hanya mengingatnya sebagai cerita, bukan untuk kuteladani sebagai prilakuku sehari-hari. Dan akhirnya mungkin kau hanya berucap sinis padaku ‘sudah dibela-belain malah ngedhumel – nyalahke, gak ngerti diuntung, diwei ati njaluk rempelo, bocah ndhablek !!!”

Keluarga besar masyarakat tanah lahirku punya selera humor yang tinggi, tapi tidak bagiku – aku tidak mewarisi ini dari mbah-mbahku, aku tak punya satupun lelucon untuk bisa kulontarkan padamu, tapi aku selalu ikut tertawa jika mereka tertawa. Mereka tetap bisa tertawa dalam keadaan apapun, saat krisis global mereka masih bisa tertawa, – bahkan makin ngakak, dilanda bencana pun masih saja membuat lelucon – bu LSM, mas Ormas, mbak partai, pak pemerintah ramai-ramai datang memberi mereka bantuan dengan menancapkan bendera di sekitar tenda pengungsian, dan keluarga besar tanah lahirku itu menyambutnya dengan tersenyum lebar “terima kasih pak, bu, mbak, mas, lain kali benderanya lebih besar lagi – biar semua orang tau kalau kalianlah yang pernah membantu kami“. Jangan tanya kehidupan sehari-hari keluarga besar tanah lahirku itu, mereka seringkali saling mentertawakan saat salah satu anggota keluarga menciptakan karya, “ah, mobil buatan lokal – bagus sih, tapi kualitasnya paling-paling bertahan satu dua tahun, hehe, harga jualnya pasti merosot, onderdilnya juga pasti mahal, mending beli yang pasti-pasti aja deh”. Dan sekarang selera humor mereka makin tinggi dengan banyaknya tayangan komedi di TV tiap harinya yang dibiayai sponsor dengan nilai sangat mahal, yang mungkin biaya acara komedi itu cukup untuk menyumbang subsidi pendidikan tiap bulannya. Sarkasme, penghinaan harkat, rasisme, pelecehan HAM, sudah menjadi sebuah kewajaran jika dilakukan saat sedang melucu, karena keluarga besar tanah lahirku sudah paham benar dengan apa itu humor dan harga diri, beda denganku – aku masih menganggap itu sebagai hal yang tabu. Tapi bagimu yang berprofesi sebagai guru, jangan sesekali melontarkan kata-kata berbau sarkasme, rasis, dsj saat mengajari putra-putri keluarga besar tanah lahirku, sekalipun kau hanya berniat melucu – menghilangkan kejenuhan dalam kelas, kau akan segera dituduh melecehkan HAM dan kau akan dilaporkan pada pihak berwajib.

Bagaimana denganku? Aku belum tahu apapun tentang humor dan harga diri. Aku memilih menjadi seperti ikan mati – mengikuti arus air. Kalau keluarga besar tanah lahirku tertawa, aku ikut tertawa, kalau mereka marah, aku juga ikut marah. Kalau kapal tetangga tanpa ijin masuk wilayah tanah lahirku, aku ikut merasa marah dan geram karena aku lihat keluargaku juga demikian. Kalau tarian, musik, ataupun wayang warisan mbahku diklaim tetanggaku sebagai miliknya, keluarga besar tanah lahirku sudah pasti marah besar, dan aku juga ikut marah besar, meskipun aku sendiri tidak tahu tarian apa itu, musik apa itu, apa sih wayang, lah wong aku lebih suka yang dari kebarat-baratan biar dianggap modern kok – tapi gak apa lah, yang penting ikut marah biar gak dituduh sebagai penghianat bangsa.

Kadang aku juga bingung dengan keluarga besar tanah lahirku itu. kalau hal-hal yang menurutku jarang mereka gunakan dalam keseharian diklaim tetangga, mereka marah besar. Tapi, kalau hal-hal mendasar yang menjadi kebutuhan sehari-hari dikuasai tetangga, mereka justru mendukung. Dan aku pun juga ikut mendukung, selain karena ikut-ikutan, mungkin juga karena aku suka kebarat-baratan yang modern itu. Kalau disuruh milih, aku lebih suka belanja di supermarket yang kebanyakan milik tetanggaku itu daripada belanja di pasar tradisional milik keluargaku sendiri, lah keluarga besar tanah lahirku sendiri juga suka belanja di sana. Melihat sikap keluarga besar tanah lahirku seperti demikian, aku menjadi lebih tidak paham lagi dan bahkan sudah lupa pesan mbah-mbahku agar aku mencari tahu arti kata harga diri yang dimaksudkan mbah-mbahku dulu. Maaf, mbah – aku bosan mengingat cerita heroikmu berjuang mati-matian demi harga diri. Aku lebih berminat mencari arti kata humor di google daripada menelusuri lembaran kamus untuk mencari arti kata harga diri. Maaf, mbah...
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar