Aku seorang mahasiswa.
Yah, maha – siswa. Siswa yang besar, teramat besar, tapi entah
sebasar apa. Siswa yang benar-benar siswa, bukan siswa-siswa’an,
siswa yang paling siswa. Entah kenapa aku disebut sebagai maha,
paling. Entah karena tubuhku yang kerempeng ini, yang jauh
lebih besar daripada semut. Atau karena otakku yang besar, yang
tempurungnya saja lebih besar dari tempurung otak udang. Owh, atau
mungkin orang-orang melihat usiaku yang lebih besar dibanding manusia
yang baru lahir kemarin? Entahlah. Atau mungkin, aku dipandang
sebagai siswa yang memang benar-benar siswa, siswa yang paling
belajar, jadi sebelumnya aku hanya siswa-siswa’an yang belum
belajar atau yang belum berpendidikan. (emang benar begitu toh,
clethuk Paijo* dengan nada sinis melihatku mengetik tulisan ini)
Sebagai mahasiswa, saat
pertama kali masuk dunia perkuliahan – aku sudah didoktrin dengan
beribu perbedaan seorang siswa dengan mahasiswa, dan yang masih
membuatku bingung – seorang mahasiswa diharuskan untuk bersikap
“kritis”. Selain juga harus pintar ngomong – begitu
wejangan salah seorang dosenku yang dalam hal ini mematahkan
kebenaran pepatah lama : “diam adalah emas”. Jika
mahasiswa diharuskan untuk bersikap kritis, ini berarti seorang
mahasiswa juga bisa disebut : “mahakritis”. (kesimpulanmu yang
ini nguawur, ndhul. Celoteh Paijo lagi)
Aku terus belajar,
mencari pengertian-pengertian, mendiskusikan istilah, dan yang masih
tak kupahami – apa itu kritis? Untuk menjawab rasa
penasaranku itu, aku lantas bergabung ke dalam sebuah organisasi,
mengikuti jalan pikiran mereka, mencoba menyelami dunia mereka,
berpartisipasi dengan kegiatan-kegiatan yang mereka buat, sangat
membanggakan bagiku bergabung dengan mereka. (Prett...lagi-lagi
Paijo nyelethuk, selama aku mengetik tulisan ini ia sering
menggangguku dengan melontarkan nada sinis ‘prett’ khas-nya –
tak perlu kucantumkan lagi nanti ocehan prett-nya, anda bisa
mengaplikasikannya sendiri) Mereka mendiskusikan apa saja mulai
dari yang berhubungan dengan sosial, politik, agama, dsb. Aku merasa
berada diantara lautan ilmu dimana mereka mengajakku mengarunginya
dengan sampan kecil yang mereka buat. Aku terbuai di dalamnya, aku
tak ingin kembali ke daratan, tak ingin kembali pada kenyataan bahwa
aku seorang mahasiswa – seorang yang seharusnya belajar, bukan
membanggakan diri sebagai seorang nahkoda mengarungi lautan lepas.
Nyatanya aku bukanlah nahkoda, tapi siswa di sekolah nahkoda yang
kebetulan sedang praktek menahkodai sampan – seorang mahasiswa,
bukan seorang konsultan yang berhak memberi nasehat pada para pembuat
kebijakan, seharusnya aku mengingat dan menyadari itu. (tapi kamu
nggak sadar-sadar, diancuk !! umpat Paijo, khusus pada momen ini
bukan “prett” yang keluar dari mulutnya – tapi
lebih membuatku kesal)
Harus kuakui, aku semakin
tenggelam dalam buai fatamorgana – dalam imajinasiku, aku adalah
seorang nahkoda mengarungi lautan ilmu. Hari-hariku berisikan
pikiran-pikiran jumawa seolah aku satu-satunya nahkoda di lautan
imajinasiku. Aku semakin aktif mengikuti diskusi-diskusi yang
diadakan organisasi, mencari solusi mengenai berbagai masalah di
sekitarku, aku bersaing dengan teman-teman dalam organisasi yang
kuikuti dengan melontarkan argumen-argumen dan kritikan-kritikan
(inikah yang disebut kritis? Aku belum paham). Aku juga aktif
bergabung dengan mereka – melakukan aksi long-march,
meneriakkan yel-yel, menganggap bahwa solusi yang kami tawarkan
adalah solusi terbaik, mendesak agar mereka (birokrat) mau
merealisasikan solusi yang kami tawarkan, mengkritik dan menghujat
mereka jika tuntutan tak dipenuhi. Tak jarang aku terprovokasi dengan
polisi yang mengawal jalannya aksi kami. Aku lupa dengan apa dan
siapa sebenarnya yang aku perjuangkan itu. Aku menganggap – aku
tahu benar bahwa solusi itu adalah solusi terbaik untuk kaum kecil,
untuk rakyat yang tertindas – tapi benarkah demikian? Bukankah
aksi-aksi itu menyusahkan para sopir angkot? Bukankah aku hanya
terobsesi dengan hasrat pribadiku, hasrat pribadi seorang mahasiswa
yang ingin diakui keberadaannya – akulah yang memperjuangkan nasib
rakyat – inilah aku, seorang mahasiswa, lihatlah aku di sini,
memperjuangkan nasib kalian, wahai rakyat. Percayalah padaku, aku
memperjuangkanmu, akulah “Agen Perubahan”. Aku rela berjalan di
tengah terik siang yang menyengat hanya untuk meneriakkan pesan-pesan
dan tuntutan rakyat, lihat aku disini untukmu, rakyat.
Angan-anganku semakin
melambung tinggi. Aku semakin terbuai dengan imajinasiku sebagai
seorang nahkoda, sebagai agen perubahan, merubah negeriku,
merubah kegelapan generasiku, dan – merubah diriku –
entahlah, untuk yang terakhir aku lupa, aku lupa dengan diriku
sendiri. Sebagai agen perubahan, aku kini tak hanya bersaing dengan
teman-temanku dalam suatu diskusi di dalam organisasiku, karena
menurut mereka diskusi juga harus diimbangi dengan tindakan –
tak hanya omong kosong. Organisasiku secara sistematis
melibatkanku untuk bersaing dengan kelompok organisasi lain. Bersaing
dalam hal apapun, dari bersaing mendapat kader baru sebanyaknya,
mengadakan event-event bakti sosial, hingga bersaing untuk
membanggakan para alumnus organisasi yang telah sukses sebagai
anggota DPR, Menteri, bahkan mungkin – Presiden, inilah yang
dianggap sebagai tindakan agen perubahan – mungkin. Aku
dibuat bangga saat organisasiku berhasil menyelenggarakan acara bakti
sosial, pemberian bantuan sembako, pemberian takjil gratis di
jalanan, dsb. Aku terlibat persaingan serius dengan dalih persaingan
yang sehat, persaingan yang bermanfaat – yang entah siapa dan apa
yang bermanfaat. Bukankah persaingan yang kulakukan itu hanya karena
“gengsi”? Bahwa inilah ayahku, maksudku – inilah
organisasiku, inilah alumni dari organisasiku, inilah kegiatan
organisasiku, lihatlah – aku dan organisasiku telah
menyumbang untuk negeriku lebih banyak darimu. Lagi-lagi, aku terbuai
ilusi khayalku sebagai seorang “dermawan”, seorang “pahlawan”
– agen perubahan.
Semua itu kupahami
sebagai idiom “kritis” bagi seorang mahasiswa, itulah yang
seharusnya kulakukan sebagai seorang mahasiswa. Berani ngomong
– mengkritik apapun walau tak tahu apa-apa, bersikap peduli bak
pahlawan terhadap ironi-ironi yang terjadi dalam masyarakat, membantu
mereka bak dermawan, dan tak lupa – membusungkan dada bahwa
inilah mahasiswa, agen perubahan. Idiom itu sudah terpatri dalam
benakku sehingga aku merasa benar-benar menjadi seorang mahasiswa
seperti yang didoktrinkan pertama kali aku masuk dunia perkuliahan –
mahasiswa itu harus bersikap “kritis”. Tapi, paku doktrin
itu sepertinya tak begitu menancap di otakku, sama seperti paku
doktrin agama yang terpatri sejak aku lahir – paku seorang muslim,
bahwa aku dibesarkan sebagai muslim yang tak mengetahui : “Bagaimana
islam itu? Islam yang bagaimana yang dimaksudkan Allah dalam kitab
suci-Nya? Apa hanya menjalankan ritual keagamaan semata, hanya
berkutat pada masalah tarbiyah saja?” Begitupun paku doktrin
“kritis” yang terpatri dalam pikiranku, aku masih meragukan
pemahamanku mengenai kritis tadi. Benarkah kritis seperti itu yang
diharapkan rakyat pada mahasiswa sebagai agen perubahan? Benarkah aku
adalah agen perubahan? Apa dan siapa yang kurubah? Dan, kenapa idiom
kritis itu tidak mau berdamai untuk kuterapkan pada diriku
sendiri, untuk merubah diriku sendiri – yang terlanjur berada dalam
keadaan PW (Posisi wenak), status quo sebagai mahasiswa yang
inginnya merubah keadaan negerinya, dan lupa untuk merubah dirinya?
Akhirnya. Aku tak mampu menjawab semua pertanyaan ini, aku hanya
berserah saja pada Tuhanku, Allah – semoga Ia meridhai. Ya
Allah, hanya Engkaulah yang Maha Kritis, yang lain hanya sok
kritis, maka lindungilah hamba dari rasa sok kritis. Dan
berikan pemahaman hamba serta saudara-saudara hamba tentang sifat
kritis yang Engkau benarkan, yang Engkau ridhoi, sikap kritis yang
memang benar-benar bermanfaat, bukan sikap kritis yang berisikan
pamrih-pamrih pribadi, sehingga kami tak tersesat kejumawaan dalam
perjalanan mengarungi lautan ilmu. Serta, berikan kekuatan bagi hamba
dan saudara-saudara hamba untuk saling mengingatkan pada kebaikan,
amin. (amiiinn. . . Bisik Paijo, dalam hal ini ia setuju
dengan doa’ku)
.
Nb : mohon maaf
bila ada pihak-pihak yang merasa tersinggung.
*) Paijo
(tokoh fiktif : interprestasi dari kontradiksi dalam pikiranku
sendiri) adalah seorang pengkritik, penikmat bakso, juga pengamat
berbagai bunyi termasuk bunyi yang berasal dari ceklik’an yang
dipukul tukang bakso saat melewati rumahnya. Kalau ia mendengar bunyi
tok tok tok, ia sudah pasti tau bahwa itu bunyi dari tukang
bakso. Ia tak bosan nyelethuk menirukan suara itu dengan nada
mengejek “tok tok tok bakso’ku bathi thok, tok tok tok
bakso’ku borak thok,, “ (tok tok tok bakso’ku banyak
keuntungannya, tok tok tok bakso’ku banyak mengandung borak).
Mulanya tukang bakso itu marah, tapi karena telah menyadari
kebiasaan paijo yang memang suka mengkritik, ia menganggapnya sebagai
hal yang wajar.
Paijo baru saja
menyelesaikan studi S4-nya di Universitas Kritikcospleng di negeri
Astina dengan gelar “prof. R.r Paijo, Mpkt”.( profesor
rea-reo ‘Paijo’, Master ilmu pengkritik ) dengan tesisnya yang
berjudul “Bisa tidak bisa, yang penting bisa ngomong, tahu tidak
tahu yang penting mengkritik”. Ia kini tengah mendirikan organisasi
non pemerintah yang bergerak di bidang kritik-mengkritik bernama
“ONOSPDW” (Ora Ngerti Opo-opo Sing Penting Dikritik Wae).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar