TUGIEZLAND

Kamis, 14 Maret 2013

Mahasiswa = Mahakritis, Prett . . .!!!

Aku seorang mahasiswa. Yah, maha – siswa. Siswa yang besar, teramat besar, tapi entah sebasar apa. Siswa yang benar-benar siswa, bukan siswa-siswa’an, siswa yang paling siswa. Entah kenapa aku disebut sebagai maha, paling. Entah karena tubuhku yang kerempeng ini, yang jauh lebih besar daripada semut. Atau karena otakku yang besar, yang tempurungnya saja lebih besar dari tempurung otak udang. Owh, atau mungkin orang-orang melihat usiaku yang lebih besar dibanding manusia yang baru lahir kemarin? Entahlah. Atau mungkin, aku dipandang sebagai siswa yang memang benar-benar siswa, siswa yang paling belajar, jadi sebelumnya aku hanya siswa-siswa’an yang belum belajar atau yang belum berpendidikan. (emang benar begitu toh, clethuk Paijo* dengan nada sinis melihatku mengetik tulisan ini)

Sebagai mahasiswa, saat pertama kali masuk dunia perkuliahan – aku sudah didoktrin dengan beribu perbedaan seorang siswa dengan mahasiswa, dan yang masih membuatku bingung – seorang mahasiswa diharuskan untuk bersikap “kritis”. Selain juga harus pintar ngomong – begitu wejangan salah seorang dosenku yang dalam hal ini mematahkan kebenaran pepatah lama : “diam adalah emas”. Jika mahasiswa diharuskan untuk bersikap kritis, ini berarti seorang mahasiswa juga bisa disebut : “mahakritis”. (kesimpulanmu yang ini nguawur, ndhul. Celoteh Paijo lagi)


Aku terus belajar, mencari pengertian-pengertian, mendiskusikan istilah, dan yang masih tak kupahami – apa itu kritis? Untuk menjawab rasa penasaranku itu, aku lantas bergabung ke dalam sebuah organisasi, mengikuti jalan pikiran mereka, mencoba menyelami dunia mereka, berpartisipasi dengan kegiatan-kegiatan yang mereka buat, sangat membanggakan bagiku bergabung dengan mereka. (Prett...lagi-lagi Paijo nyelethuk, selama aku mengetik tulisan ini ia sering menggangguku dengan melontarkan nada sinis ‘prett’ khas-nya – tak perlu kucantumkan lagi nanti ocehan prett-nya, anda bisa mengaplikasikannya sendiri) Mereka mendiskusikan apa saja mulai dari yang berhubungan dengan sosial, politik, agama, dsb. Aku merasa berada diantara lautan ilmu dimana mereka mengajakku mengarunginya dengan sampan kecil yang mereka buat. Aku terbuai di dalamnya, aku tak ingin kembali ke daratan, tak ingin kembali pada kenyataan bahwa aku seorang mahasiswa – seorang yang seharusnya belajar, bukan membanggakan diri sebagai seorang nahkoda mengarungi lautan lepas. Nyatanya aku bukanlah nahkoda, tapi siswa di sekolah nahkoda yang kebetulan sedang praktek menahkodai sampan – seorang mahasiswa, bukan seorang konsultan yang berhak memberi nasehat pada para pembuat kebijakan, seharusnya aku mengingat dan menyadari itu. (tapi kamu nggak sadar-sadar, diancuk !! umpat Paijo, khusus pada momen ini bukan “prett” yang keluar dari mulutnya tapi lebih membuatku kesal)

Harus kuakui, aku semakin tenggelam dalam buai fatamorgana – dalam imajinasiku, aku adalah seorang nahkoda mengarungi lautan ilmu. Hari-hariku berisikan pikiran-pikiran jumawa seolah aku satu-satunya nahkoda di lautan imajinasiku. Aku semakin aktif mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan organisasi, mencari solusi mengenai berbagai masalah di sekitarku, aku bersaing dengan teman-teman dalam organisasi yang kuikuti dengan melontarkan argumen-argumen dan kritikan-kritikan (inikah yang disebut kritis? Aku belum paham). Aku juga aktif bergabung dengan mereka – melakukan aksi long-march, meneriakkan yel-yel, menganggap bahwa solusi yang kami tawarkan adalah solusi terbaik, mendesak agar mereka (birokrat) mau merealisasikan solusi yang kami tawarkan, mengkritik dan menghujat mereka jika tuntutan tak dipenuhi. Tak jarang aku terprovokasi dengan polisi yang mengawal jalannya aksi kami. Aku lupa dengan apa dan siapa sebenarnya yang aku perjuangkan itu. Aku menganggap – aku tahu benar bahwa solusi itu adalah solusi terbaik untuk kaum kecil, untuk rakyat yang tertindas – tapi benarkah demikian? Bukankah aksi-aksi itu menyusahkan para sopir angkot? Bukankah aku hanya terobsesi dengan hasrat pribadiku, hasrat pribadi seorang mahasiswa yang ingin diakui keberadaannya – akulah yang memperjuangkan nasib rakyat – inilah aku, seorang mahasiswa, lihatlah aku di sini, memperjuangkan nasib kalian, wahai rakyat. Percayalah padaku, aku memperjuangkanmu, akulah “Agen Perubahan”. Aku rela berjalan di tengah terik siang yang menyengat hanya untuk meneriakkan pesan-pesan dan tuntutan rakyat, lihat aku disini untukmu, rakyat.

Angan-anganku semakin melambung tinggi. Aku semakin terbuai dengan imajinasiku sebagai seorang nahkoda, sebagai agen perubahan, merubah negeriku, merubah kegelapan generasiku, dan – merubah diriku – entahlah, untuk yang terakhir aku lupa, aku lupa dengan diriku sendiri. Sebagai agen perubahan, aku kini tak hanya bersaing dengan teman-temanku dalam suatu diskusi di dalam organisasiku, karena menurut mereka diskusi juga harus diimbangi dengan tindakan – tak hanya omong kosong. Organisasiku secara sistematis melibatkanku untuk bersaing dengan kelompok organisasi lain. Bersaing dalam hal apapun, dari bersaing mendapat kader baru sebanyaknya, mengadakan event-event bakti sosial, hingga bersaing untuk membanggakan para alumnus organisasi yang telah sukses sebagai anggota DPR, Menteri, bahkan mungkin – Presiden, inilah yang dianggap sebagai tindakan agen perubahan – mungkin. Aku dibuat bangga saat organisasiku berhasil menyelenggarakan acara bakti sosial, pemberian bantuan sembako, pemberian takjil gratis di jalanan, dsb. Aku terlibat persaingan serius dengan dalih persaingan yang sehat, persaingan yang bermanfaat – yang entah siapa dan apa yang bermanfaat. Bukankah persaingan yang kulakukan itu hanya karena “gengsi”? Bahwa inilah ayahku, maksudku – inilah organisasiku, inilah alumni dari organisasiku, inilah kegiatan organisasiku, lihatlah – aku dan organisasiku telah menyumbang untuk negeriku lebih banyak darimu. Lagi-lagi, aku terbuai ilusi khayalku sebagai seorang “dermawan”, seorang “pahlawan” – agen perubahan.

Semua itu kupahami sebagai idiom “kritis” bagi seorang mahasiswa, itulah yang seharusnya kulakukan sebagai seorang mahasiswa. Berani ngomong – mengkritik apapun walau tak tahu apa-apa, bersikap peduli bak pahlawan terhadap ironi-ironi yang terjadi dalam masyarakat, membantu mereka bak dermawan, dan tak lupa – membusungkan dada bahwa inilah mahasiswa, agen perubahan. Idiom itu sudah terpatri dalam benakku sehingga aku merasa benar-benar menjadi seorang mahasiswa seperti yang didoktrinkan pertama kali aku masuk dunia perkuliahan – mahasiswa itu harus bersikap “kritis”. Tapi, paku doktrin itu sepertinya tak begitu menancap di otakku, sama seperti paku doktrin agama yang terpatri sejak aku lahir – paku seorang muslim, bahwa aku dibesarkan sebagai muslim yang tak mengetahui : “Bagaimana islam itu? Islam yang bagaimana yang dimaksudkan Allah dalam kitab suci-Nya? Apa hanya menjalankan ritual keagamaan semata, hanya berkutat pada masalah tarbiyah saja?” Begitupun paku doktrin “kritis” yang terpatri dalam pikiranku, aku masih meragukan pemahamanku mengenai kritis tadi. Benarkah kritis seperti itu yang diharapkan rakyat pada mahasiswa sebagai agen perubahan? Benarkah aku adalah agen perubahan? Apa dan siapa yang kurubah? Dan, kenapa idiom kritis itu tidak mau berdamai untuk kuterapkan pada diriku sendiri, untuk merubah diriku sendiri – yang terlanjur berada dalam keadaan PW (Posisi wenak), status quo sebagai mahasiswa yang inginnya merubah keadaan negerinya, dan lupa untuk merubah dirinya? Akhirnya. Aku tak mampu menjawab semua pertanyaan ini, aku hanya berserah saja pada Tuhanku, Allah – semoga Ia meridhai. Ya Allah, hanya Engkaulah yang Maha Kritis, yang lain hanya sok kritis, maka lindungilah hamba dari rasa sok kritis. Dan berikan pemahaman hamba serta saudara-saudara hamba tentang sifat kritis yang Engkau benarkan, yang Engkau ridhoi, sikap kritis yang memang benar-benar bermanfaat, bukan sikap kritis yang berisikan pamrih-pamrih pribadi, sehingga kami tak tersesat kejumawaan dalam perjalanan mengarungi lautan ilmu. Serta, berikan kekuatan bagi hamba dan saudara-saudara hamba untuk saling mengingatkan pada kebaikan, amin. (amiiinn. . . Bisik Paijo, dalam hal ini ia setuju dengan doa’ku)
.
Nb : mohon maaf bila ada pihak-pihak yang merasa tersinggung.

*) Paijo (tokoh fiktif : interprestasi dari kontradiksi dalam pikiranku sendiri) adalah seorang pengkritik, penikmat bakso, juga pengamat berbagai bunyi termasuk bunyi yang berasal dari ceklik’an yang dipukul tukang bakso saat melewati rumahnya. Kalau ia mendengar bunyi tok tok tok, ia sudah pasti tau bahwa itu bunyi dari tukang bakso. Ia tak bosan nyelethuk menirukan suara itu dengan nada mengejek “tok tok tok bakso’ku bathi thok, tok tok tok bakso’ku borak thok,, “ (tok tok tok bakso’ku banyak keuntungannya, tok tok tok bakso’ku banyak mengandung borak). Mulanya tukang bakso itu marah, tapi karena telah menyadari kebiasaan paijo yang memang suka mengkritik, ia menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Paijo baru saja menyelesaikan studi S4-nya di Universitas Kritikcospleng di negeri Astina dengan gelar “prof. R.r Paijo, Mpkt”.( profesor rea-reo ‘Paijo’, Master ilmu pengkritik ) dengan tesisnya yang berjudul “Bisa tidak bisa, yang penting bisa ngomong, tahu tidak tahu yang penting mengkritik”. Ia kini tengah mendirikan organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang kritik-mengkritik bernama “ONOSPDW” (Ora Ngerti Opo-opo Sing Penting Dikritik Wae).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar