KULMINASI
Oleh:
Riz Tugiez*
”Matahari
telah dicuri!!!” Demikian kegaduhan orang-orang sedari tiga jam lalu. Oh,
entahlah, sepertinya hitungan waktu sudah tidak lagi berlaku. Siapa pula peduli
jam berapa ini, ketika waktu seakan berhenti?
Orang-orang
baru menyadari keadaan tersebut saat seorang penganggur yang biasa tidur di
pojok pasar menampari telinga mereka dengan teriakan: “Matahari telah
dicuri!!!” Pemuda yang sehari-hari tak dianggap keberadaannya itu mengentakkan
kesadaran hampir seluruh warga dusun yang jumlahnya tak seberapa itu. Seketika aktivitas
pasar yang tidak ramai amat juga ikut terhenti, berganti kepanikan. Orang-orang
berteriak, menirukan ucapan pemuda penganggur itu. Dalam sekejap, seluruh warga
berteriak dengan kalimat yang sama.
Warga
dusun sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan salah seorang warganya yang
hilang secara misterius. Ya, seorang gadis cantik berkacamata tetiba saja
menghilang dua hari lalu. Anak Wak Mudin tersebut hilang usai sholat maghrib
berjamaah di langgar yang dipimpin bapaknya.
***
Dia
seperti gadis beranjak dewasa pada umumnya. Mempunyai banyak mimpi, penuh
gairah menjalani kehidupan, dan tentu saja punya senyum yang merekah setiap
pagi. Ia dibesarkan dalam keluarga berkecupan. Sebagai anak seorang mudin desa,
tentu saja ia hidup dalam tradisi-tradisi keagamaan yang kental.
Para
tetangga mengenalnya sebagai gadis yang baik dan penurut. Tak sekali pun ada
desas-desus mengenai kebandelan gadis tersebut. Dan memang benar, dia sejatinya
gadis penurut. Tak heran warga sekitar tempat tinggalnya menaruh dengki,
terutama terhadap kehidupan Wak Mudin. Bayangkan saja, Wak Mudin mempunyai
istri yang selain cantik – juga sangat pengertian. Kedua anaknya adalah anak-anak
yang baik, santun, penurut, dan berprestasi – baik akademik maupun non
akademik. Keadaan ekonomi Wak Mudin pun serba cukup dan tak pernah sekali pun
terdengar sambat. Bagaimana kau tak
iri jika bertetangga dengan Wak Mudin? Meski demikian, para tetangga tetap
memberi hormat terhadap Wak Mudin beserta keluarganya.
Semua
kesempurnaan yang dimiliki keluarga Wak Mudin sepertinya tidak berpengaruh
apapun terhadap pemikiran gadis berkacamata. Ia seakan memiliki dunianya
sendiri. Ia memang dikenal anak yang baik, santun, penurut, dan berprestasi.
Tapi, siapa pula yang mampu membaca dan mengendalikan pikirannya?
Pada
suatu senja tepat seperempat jam sebelum adzan maghrib berkumandang, sang gadis
anak Wak Mudin itu membuat gempar masyarakat dusun. Saat itu ia masih berusia
tujuh tahun. Ia memanjat kelapa yang tumbuh di sebelah langgar. Orang-orang
baru menyadari ketika ia sudah ada di pucuk pohon yang tingginya sekitar lima
meter itu. Orang-orang meneriakinya dari bawah. Salah seorang diantaranya, yang
sehari-hari berprofesi sebagai pemanjat kelapa, ikut memanjatnya. Berusaha
menurunkan gadis kecil itu. Sampai di atas dia malah meronta. Segala bujukan
untuk membuatnya turun gagal. Ia hanya berteriak kencang, meminta senja segera dikubur.
Ia membenci senja, demikian salah satu pengakuannya. Gadis itu baru bersedia
turun dengan sendirinya setelah hari berganti malam.
Setelah
kejadian itu, Wak Mudin memotong pohon kelapa di sebelah langgar. Beberapa
warga juga mengikuti apa yang dilakukan Wak Mudin. Maklumlah, Wak Mudin adalah
panutan. Segala tindakan dan omongannya perlu diperhatikan, bila perlu diikuti.
Wak Mudin layaknya matahari, menyinari hati warga dusun yang oleh pemerintah
negara dianggap sebagai dusun tertinggal. Entah indikator apa yang digunakan
untuk menentukan predikat tertinggal itu. Toh, warga dusun itu tenang-tenang
saja, asal masih ada Wak Mudin – atau tokoh panutan, urusan hidup mereka
dianggap beres. Dan, segala kejadian buruk yang menimpa Wak Mudin beserta keluarganya
harus ditutup rapat-rapat, harus segera dilupakan. Demikian kesepakatan tak
tertulis warga. Itu adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh
panutan.
***
Sudah
tiga hari dusun dilingkupi kegelapan. Hei! siapa pula masih bisa menghitung
hari? Sementara tidak ada pergantian siklus siang-malam? Dalam keadaan
demikian, waktu yang normalnya sejam dua jam pun terasa berhari-hari, kan?
Orang-orang
yang masih dalam kepanikan mengambil alat ukur waktu yang dimilikinya. Mereka
berduyun-duyun menemui Wak Mudin. Segala alat ukur yang dipunya, diletakkan
begitu saja di meja ruang tamu Wak Mudin. Ada jam dinding, ada alroji, ada jam
beker digital, ada HP android, semuanya diletakkan di meja. Mereka sangat
berharap bisa mendapat jawaban atas keresahan yang dialami. Sebab biasanya Wak
Mudin selalu mampu menjawab dan memberikan solusi atas berbagai masalah mereka.
“Bagaimana
ini, Wak Mudin?” Pak RT memulai. Rumah Wak Mudin terasa sangat pengap
dikelilingi banyak orang. Beberapa warga menirukan pertanyaan Pak RT, koor pertanyaan.
Wak
Mudin tak segera menjawab. Orang-orang paham, ini kebiasaannya. Wak Mudin
seperti mendidihkan dulu pertanyaan itu hingga matang dan membuahkan jawaban.
Tapi, setelah ditunggu sekian lama, Wak Mudin masih diam. Hingga salah seorang
warga yang ikut berkerumun tidak sabar membentak:
“Wak
Mudin, bisa ngasih jawaban nggak? Kalo nggak bilang!” suara itu keluar dari
mulut seorang kuli angkut barang di pasar yang biasanya dikenal sangat sopan
dan pendiam. Krisis kadang bisa mengubah tabiat seseorang dengan cepat.
Orang-orang
mulai terpancing. Mereka akhirnya gaduh menyadari Wak Mudin tidak segera
menjawab. Situasi semakin keruh. Beruntung Pak RT masih bisa menenangkan
mereka.
***
Di
tempat lain, tepatnya di pekarangan belakang rumah Wak Mudin. Seorang pemuda
penganggur yang pertama kali mengumumkan hilangnya matahari tadi sedang asyik
dalam kesendiriannya. Ia duduk santai, bersandar pohon beringin yang amat
teduh. Pemuda itu menggumamkan lagu-lagu kesayangannya sambil bersiul-siul.
Ingatkkah
engkau kepada
Embun
pagi bersahaja
Yang
menemanimu
Sebelum cahaya ....
“Kenapa
orang-orang sekarang jadi sibuk mengurus waktu? Bukankah tidak ada beda antara
malam ataukah siang? Bukankah selama ini mereka sibuk dalam rutinitas mereka
sendiri? Kenapa pula sekarang mereka memerhatikan dan memercayai omongan
seorang pemuda penganggur tak berguna macam saya? Bukankah saya selama ini
hanya debu bagi mereka? Haha, dan mereka sekarang berdatangan ke rumah Wak
Mudin – yang mereka jadikan panutan? Apa bisa Wak Mudin memberikan solusi, sementara
anaknya yang hilang saja belum ketemu? Haha! Orang-orang payah. Bodoh sekali
mereka! Tenggelam dalam rutinitas, dan mudah kaget dengan anomali!” Pemuda itu
bermonolog. Tidak ada yang mendengarnya lagi.
***
Wak
Mudin tertawa lepas setelah sekian lama hanya diam. Orang-orang saling
berpandangan tidak mengerti maksud Wak Mudin. Setelah banyak tertawa, Wak Mudin
mengeluarkan airmata cukup deras. Warga dusun masih diam, tercengang dengan
sikap Wak Mudin yang aneh.
“Kenapa
kalian datang kemari?” Wak Mudin malah balik bertanya.
“Kami
mencari jawaban,” Pak RT seperti medapuk diri sebagai perwakilan warga. Ini
sebagai bentuk antisipasi adanya pertanyaan provokatif seperti yang dilontarkan
kuli angkut barang tadi.
“Jawaban
apa?”
“Matahari
telah dicuri, Wak Mudin, apakah anda tidak tahu?” Wak Mudin malah tertawa. Pak
RT mengangkat bahunya. Beberapa warga kembali emosi. Tapi segera Pak RT
menenangkan.
“Kenapa
kalian selalu saja mencari jawaban kepadaku? Aku bukan tempat menjawab
pertanyaan kalian!”
“Tapi,
bukankah Wak Mudin selalu mampu memberi solusi atas pertanyaan kami selama
ini?”
“Haha!
Aku ini mudin! Tugasku hanya merawat jenazah! Kalau aku menjawab setiap
pertanyaan kalian yang datang kepadaku selama ini, itu semata-mata untuk
menghormati kalian sebagai tamu. Hanya itu! Tapi kalian sendiri yang
menganggapku mampu memberi berbagai solusi. Tidakkah kalian sadari, anakku yang
hilang pun belum ketemu hingga sekarang?”
Wak
Mudin terbahak bercampur tangis. Orang-orang segera menyadari ucapan Wak Mudin.
Bahkan beberapa orang yang ingat kejadian masa lalu anak Wak Mudin yang nekat
memanjat kelapa agar senja segera dikubur, sudah berspekulasi dan menyimpulkan
anak Wak Mudin-lah yang mencurinya. Segera kesimpulan itu merebak ke seluruh
ingatan warga. Pada puncak emosi itu, mereka beramai-ramai memukuli Wak Mudin
tanpa ampun. Pak RT sudah tak mampu membendung. Juga teriakan histeris istri Wak
Mudin dan anak sulungnya tak dihirauhakan. Warga dusun baru berhenti memukuli Wak
Mudin setelah Wak Mudin tak berdaya. Itu pun masih saja ada satu-dua orang yang
menendanginya. Wak Mudin meninggal secara tragis di dalam rumahnya sendiri, di
hadapan istri dan anaknya, oleh warga yang selama ini menyanjung dan
menghormatinya.
***
Pemuda
penganggur sudah selesai dengan nyanyian dan monolognya. Ia kini mengais tanah
dengan jemarinya, menggali dengan penuh semangat. Beberapa waktu setelah ia
lakukan penggalian itu, matahari muncul kembali. Sayup-sayup terdengar warga
dusun bersorak ria. Segera setelah itu, mereka kembali tenggelam dalam
rutinitas.
Bang-bang
wus rahino, bang-bang wus rahino
Srengengene muncul, sunar
sumamburat
Pemuda penganggur itu tersenyum lebar penuh kepuasan. Meski sadar, ia hanya akan kembali menjadi debu.
*Riz Tugiez*
Sedang menjalani peran sebagai staff administrasi di sebuah lembaga. Pengeja Senja yang masih terbata-bata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar