TUGIEZLAND

Jumat, 24 Februari 2023

KULMINASI

KULMINASI

Oleh: Riz Tugiez*

 

”Matahari telah dicuri!!!” Demikian kegaduhan orang-orang sedari tiga jam lalu. Oh, entahlah, sepertinya hitungan waktu sudah tidak lagi berlaku. Siapa pula peduli jam berapa ini, ketika waktu seakan berhenti?

Orang-orang baru menyadari keadaan tersebut saat seorang penganggur yang biasa tidur di pojok pasar menampari telinga mereka dengan teriakan: “Matahari telah dicuri!!!” Pemuda yang sehari-hari tak dianggap keberadaannya itu mengentakkan kesadaran hampir seluruh warga dusun yang jumlahnya tak seberapa itu. Seketika aktivitas pasar yang tidak ramai amat juga ikut terhenti, berganti kepanikan. Orang-orang berteriak, menirukan ucapan pemuda penganggur itu. Dalam sekejap, seluruh warga berteriak dengan kalimat yang sama.

Warga dusun sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan salah seorang warganya yang hilang secara misterius. Ya, seorang gadis cantik berkacamata tetiba saja menghilang dua hari lalu. Anak Wak Mudin tersebut hilang usai sholat maghrib berjamaah di langgar yang dipimpin bapaknya.



***

Dia seperti gadis beranjak dewasa pada umumnya. Mempunyai banyak mimpi, penuh gairah menjalani kehidupan, dan tentu saja punya senyum yang merekah setiap pagi. Ia dibesarkan dalam keluarga berkecupan. Sebagai anak seorang mudin desa, tentu saja ia hidup dalam tradisi-tradisi keagamaan yang kental.

Para tetangga mengenalnya sebagai gadis yang baik dan penurut. Tak sekali pun ada desas-desus mengenai kebandelan gadis tersebut. Dan memang benar, dia sejatinya gadis penurut. Tak heran warga sekitar tempat tinggalnya menaruh dengki, terutama terhadap kehidupan Wak Mudin. Bayangkan saja, Wak Mudin mempunyai istri yang selain cantik – juga sangat pengertian. Kedua anaknya adalah anak-anak yang baik, santun, penurut, dan berprestasi – baik akademik maupun non akademik. Keadaan ekonomi Wak Mudin pun serba cukup dan tak pernah sekali pun terdengar sambat. Bagaimana kau tak iri jika bertetangga dengan Wak Mudin? Meski demikian, para tetangga tetap memberi hormat terhadap Wak Mudin beserta keluarganya.

Semua kesempurnaan yang dimiliki keluarga Wak Mudin sepertinya tidak berpengaruh apapun terhadap pemikiran gadis berkacamata. Ia seakan memiliki dunianya sendiri. Ia memang dikenal anak yang baik, santun, penurut, dan berprestasi. Tapi, siapa pula yang mampu membaca dan mengendalikan pikirannya?

Pada suatu senja tepat seperempat jam sebelum adzan maghrib berkumandang, sang gadis anak Wak Mudin itu membuat gempar masyarakat dusun. Saat itu ia masih berusia tujuh tahun. Ia memanjat kelapa yang tumbuh di sebelah langgar. Orang-orang baru menyadari ketika ia sudah ada di pucuk pohon yang tingginya sekitar lima meter itu. Orang-orang meneriakinya dari bawah. Salah seorang diantaranya, yang sehari-hari berprofesi sebagai pemanjat kelapa, ikut memanjatnya. Berusaha menurunkan gadis kecil itu. Sampai di atas dia malah meronta. Segala bujukan untuk membuatnya turun gagal. Ia hanya berteriak kencang, meminta senja segera dikubur. Ia membenci senja, demikian salah satu pengakuannya. Gadis itu baru bersedia turun dengan sendirinya setelah hari berganti malam.

Setelah kejadian itu, Wak Mudin memotong pohon kelapa di sebelah langgar. Beberapa warga juga mengikuti apa yang dilakukan Wak Mudin. Maklumlah, Wak Mudin adalah panutan. Segala tindakan dan omongannya perlu diperhatikan, bila perlu diikuti. Wak Mudin layaknya matahari, menyinari hati warga dusun yang oleh pemerintah negara dianggap sebagai dusun tertinggal. Entah indikator apa yang digunakan untuk menentukan predikat tertinggal itu. Toh, warga dusun itu tenang-tenang saja, asal masih ada Wak Mudin – atau tokoh panutan, urusan hidup mereka dianggap beres. Dan, segala kejadian buruk yang menimpa Wak Mudin beserta keluarganya harus ditutup rapat-rapat, harus segera dilupakan. Demikian kesepakatan tak tertulis warga. Itu adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh panutan.

***

Sudah tiga hari dusun dilingkupi kegelapan. Hei! siapa pula masih bisa menghitung hari? Sementara tidak ada pergantian siklus siang-malam? Dalam keadaan demikian, waktu yang normalnya sejam dua jam pun terasa berhari-hari, kan?

Orang-orang yang masih dalam kepanikan mengambil alat ukur waktu yang dimilikinya. Mereka berduyun-duyun menemui Wak Mudin. Segala alat ukur yang dipunya, diletakkan begitu saja di meja ruang tamu Wak Mudin. Ada jam dinding, ada alroji, ada jam beker digital, ada HP android, semuanya diletakkan di meja. Mereka sangat berharap bisa mendapat jawaban atas keresahan yang dialami. Sebab biasanya Wak Mudin selalu mampu menjawab dan memberikan solusi atas berbagai masalah mereka.

“Bagaimana ini, Wak Mudin?” Pak RT memulai. Rumah Wak Mudin terasa sangat pengap dikelilingi banyak orang. Beberapa warga menirukan pertanyaan Pak RT, koor pertanyaan.

Wak Mudin tak segera menjawab. Orang-orang paham, ini kebiasaannya. Wak Mudin seperti mendidihkan dulu pertanyaan itu hingga matang dan membuahkan jawaban. Tapi, setelah ditunggu sekian lama, Wak Mudin masih diam. Hingga salah seorang warga yang ikut berkerumun tidak sabar membentak:

“Wak Mudin, bisa ngasih jawaban nggak? Kalo nggak bilang!” suara itu keluar dari mulut seorang kuli angkut barang di pasar yang biasanya dikenal sangat sopan dan pendiam. Krisis kadang bisa mengubah tabiat seseorang dengan cepat.

Orang-orang mulai terpancing. Mereka akhirnya gaduh menyadari Wak Mudin tidak segera menjawab. Situasi semakin keruh. Beruntung Pak RT masih bisa menenangkan mereka.

***

Di tempat lain, tepatnya di pekarangan belakang rumah Wak Mudin. Seorang pemuda penganggur yang pertama kali mengumumkan hilangnya matahari tadi sedang asyik dalam kesendiriannya. Ia duduk santai, bersandar pohon beringin yang amat teduh. Pemuda itu menggumamkan lagu-lagu kesayangannya sambil bersiul-siul.

Ingatkkah engkau kepada

Embun pagi bersahaja

Yang menemanimu

Sebelum cahaya ....

“Kenapa orang-orang sekarang jadi sibuk mengurus waktu? Bukankah tidak ada beda antara malam ataukah siang? Bukankah selama ini mereka sibuk dalam rutinitas mereka sendiri? Kenapa pula sekarang mereka memerhatikan dan memercayai omongan seorang pemuda penganggur tak berguna macam saya? Bukankah saya selama ini hanya debu bagi mereka? Haha, dan mereka sekarang berdatangan ke rumah Wak Mudin – yang mereka jadikan panutan? Apa bisa Wak Mudin memberikan solusi, sementara anaknya yang hilang saja belum ketemu? Haha! Orang-orang payah. Bodoh sekali mereka! Tenggelam dalam rutinitas, dan mudah kaget dengan anomali!” Pemuda itu bermonolog. Tidak ada yang mendengarnya lagi.

***

Wak Mudin tertawa lepas setelah sekian lama hanya diam. Orang-orang saling berpandangan tidak mengerti maksud Wak Mudin. Setelah banyak tertawa, Wak Mudin mengeluarkan airmata cukup deras. Warga dusun masih diam, tercengang dengan sikap Wak Mudin yang aneh.

“Kenapa kalian datang kemari?” Wak Mudin malah balik bertanya.

“Kami mencari jawaban,” Pak RT seperti medapuk diri sebagai perwakilan warga. Ini sebagai bentuk antisipasi adanya pertanyaan provokatif seperti yang dilontarkan kuli angkut barang tadi.

“Jawaban apa?”

“Matahari telah dicuri, Wak Mudin, apakah anda tidak tahu?” Wak Mudin malah tertawa. Pak RT mengangkat bahunya. Beberapa warga kembali emosi. Tapi segera Pak RT menenangkan.

“Kenapa kalian selalu saja mencari jawaban kepadaku? Aku bukan tempat menjawab pertanyaan kalian!”

“Tapi, bukankah Wak Mudin selalu mampu memberi solusi atas pertanyaan kami selama ini?”

“Haha! Aku ini mudin! Tugasku hanya merawat jenazah! Kalau aku menjawab setiap pertanyaan kalian yang datang kepadaku selama ini, itu semata-mata untuk menghormati kalian sebagai tamu. Hanya itu! Tapi kalian sendiri yang menganggapku mampu memberi berbagai solusi. Tidakkah kalian sadari, anakku yang hilang pun belum ketemu hingga sekarang?”

Wak Mudin terbahak bercampur tangis. Orang-orang segera menyadari ucapan Wak Mudin. Bahkan beberapa orang yang ingat kejadian masa lalu anak Wak Mudin yang nekat memanjat kelapa agar senja segera dikubur, sudah berspekulasi dan menyimpulkan anak Wak Mudin-lah yang mencurinya. Segera kesimpulan itu merebak ke seluruh ingatan warga. Pada puncak emosi itu, mereka beramai-ramai memukuli Wak Mudin tanpa ampun. Pak RT sudah tak mampu membendung. Juga teriakan histeris istri Wak Mudin dan anak sulungnya tak dihirauhakan. Warga dusun baru berhenti memukuli Wak Mudin setelah Wak Mudin tak berdaya. Itu pun masih saja ada satu-dua orang yang menendanginya. Wak Mudin meninggal secara tragis di dalam rumahnya sendiri, di hadapan istri dan anaknya, oleh warga yang selama ini menyanjung dan menghormatinya.

***

Pemuda penganggur sudah selesai dengan nyanyian dan monolognya. Ia kini mengais tanah dengan jemarinya, menggali dengan penuh semangat. Beberapa waktu setelah ia lakukan penggalian itu, matahari muncul kembali. Sayup-sayup terdengar warga dusun bersorak ria. Segera setelah itu, mereka kembali tenggelam dalam rutinitas.

Bang-bang wus rahino, bang-bang wus rahino

Srengengene muncul, sunar sumamburat 

Pemuda penganggur itu tersenyum lebar penuh kepuasan. Meski sadar, ia hanya akan kembali menjadi debu.


*Riz Tugiez*

Sedang menjalani peran sebagai staff administrasi di sebuah lembaga. Pengeja Senja yang masih terbata-bata.

 copyright@2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar