"Entah, semangatku terhadap kuliah tiba-tiba antiklimaks karena aku mlihat dunia perkuliahan tiba-tiba bugil dihadapanku sehinga rasa penasaranku yg tadinya menggebu terhadapnya hilang di ujung semester ini..." tulisku dalam sebuah status.
Kenapa kusebut dunia kampus telah dengan sendirinya bugil dihadapanku? Sebenarnya ia tidaklah bugil dengan sendirinya. tapi pemahamanku tentangnya-lah yang membuka pemikikiranku akan konsep kebugilan dunia kampus. Dan beginilah, mungkin seperti yang dimaksudkan Tuhan tentang terbukanya aurat Adam dan Hawa pasca memakan buah khuldi. Sebenarnya bukanlah terbuka aurat itu secara lahiriah, melainkan terbukanya pemahaman kedua nenek moyang manusia itu tentang konsep aurat. Bagian-bagian tubuh yang sebelumnya mereka anggap bukan apa-apa, setelah makan buah khuldi mereka jadi merasa perlu untuk menutupinya. Maka kitab suci kurang lebih menerangkan demikian: “...dan mereka menutupi aurat mereka dengan dedaunan...”
Pun begitu dunia kampus yang kini kuanggap
bugil. Ia bukanlah bugil secara lahiriahnya. Melainkan pemikiranku tentangnya
yang membuat pemahamanku berubah, menganggap bagian-bagian kampus yang
sebelumnya bukanlah masalah bagiku, kini menjadi aurat yang kurasa perlu tuk
ditutupi dari pandanganku. Pemahaman itu ada setelah aku memakan sebagian buah
khuldi yang justru berasal dari pengalaman belajar di kampus. Ironis memang.
Tapi begitulah kenyataannya. Kenikmatan memakan buah khuldi (belajar di kampus),
membuatku sekilas melihat aurat (rahasia) dunia kampus terbuka. Maka, jangan
sesekali memakan buah khuldi itu, kecuali kau penasaran ingin mencicipi dan
telah siap terlempar dari percaturan surga intelektual kampus. Kusarankan,
janganlah mencobanya jika tak ingin menyesal. Pemikiranku tentang buah khuldi
yang satu ini bisa jadi berbahaya. Mungkin telah banyak orang pernah mencicipi
dan mengetahuinya, tapi setauku jarang yang menceritakannya secara umum.
Mungkin banyak juga yang memilih menikmati dan tenggelam di dalamnya sehingga
enggan menceritakan kenikmatannya padamu.
Baiklah, kuceritakan sedikit aurat seindah apa
yang tersingkap dihadapanku, dan membuatku melongo memandanginya. Ini hanyalah
secuil saja dari apa yang telah kulihat karena aku tak sanggup menceriitakan
pengalamanku secara baik. Yang kulihat, dunia kampus adalah dunia tersendiri.
Mereka membentuk kelas yang berada di awang-awang. Melayang tanpa pijakan
diantara langit (pemerintah) dan bumi (rakyat). Dunia kampus adalah magnet
tanpa kutub. Berputar-putar tak terarah. Ia tak pernah benar-benar menyentuh
bumi dan sungkan menggapai langit. Teori-teori yang dikembangkan adalah kapas
yang terombang-ambing angin. Kadang ia jatuh ke bumi tanpa benar-benar
menyentuhnya, kadang melesat jauh tinggi namun tak pernah mencapai langit.
Kalaupun ia terkadang membumi dengan adanya pergerakan mahasiswa
mengatasnamakan rakyat, itu hanyalah sementara. Sebentar kemudian ia akan
tertiup angin sebelum benar-benar berpijak pada bumi.
Hei, bagaimana dengan reformasi ’98 itu? Ah,
bukankah sudah kuceritakan tadi, ia hanya kapas yang tak sempat mendarat di
bumi lalu tertiup angin kembali. Refomasi hanya menghasilkan langit baru
sementara dunia kampus tetap tak dapat mencapainya. Bahkan langit baru itu
justru membuat dunia kampus semakin terombang-ambing di awang-awang. Sementara
bumi tak juga jadi pijakan. Begitu seterusnya dunia kampus bergoyang indah,
meliuk di awang-awang, mempertontonkan padaku lekuk tubuh indahnya saat menari,
menamakan diri sebagai kelas penengah yang padahal pijakan pun tak ia punyai.
Mungkin selamanya seperti itu sebelum kapas-kapas tersebut saling mengikatkan
diri membentuk benang, benang menjadi kain, kain menciptakan bendera sebagai
penengah antara langit dan bumi. Bendera yang tertali pada tiang yang menancap pada
bumi sehingga ia tak mudah tersapu angin. Dan saat itulah mungkin aurat kampus
tertutupi.
Saat itu terjadi, maka siratan Pramoedya
tentang pendidikan dalam “jejak-langkah”nya perlu dikaji ulang: bahwa janganlah
percaya pada sekolah. Guru yang baik sekalipun bisa melahirkan bandit paling
kejam, apalagi guru yang buruk. Atau mungkin kata-kata itu perlu direvisi agar
relevan untuk menutupi aurat kampus: Sekolahlah, kalau perlu sampai pada
tingkatan professor, sehingga kau paham betapa sekolah sering menipumu dengan
teori-teori yang menggema tanpa pijakan pada kehidupanmu.
Sekarang kau bisa memilih: menutupi aurat
dunia kampus dengan dedaunan pohon Khuldi yang telah terjatuh, atau menikmati
buah khuldi sehingga kebugilan itu menjadi candu paling nikmat untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar