TUGIEZLAND

Sabtu, 14 Februari 2015

Kampus & Kebugilan


"Entah, semangatku terhadap kuliah tiba-tiba antiklimaks karena aku mlihat dunia perkuliahan tiba-tiba bugil dihadapanku sehinga rasa penasaranku yg tadinya menggebu terhadapnya hilang di ujung semester ini..." tulisku dalam sebuah status.


Kenapa kusebut dunia kampus telah dengan sendirinya bugil dihadapanku? Sebenarnya ia tidaklah bugil dengan sendirinya. tapi pemahamanku tentangnya-lah yang membuka pemikikiranku akan konsep kebugilan dunia kampus. Dan beginilah, mungkin seperti yang dimaksudkan Tuhan tentang terbukanya aurat Adam dan Hawa pasca memakan buah khuldi. Sebenarnya bukanlah terbuka aurat itu secara lahiriah, melainkan terbukanya pemahaman kedua nenek moyang manusia itu tentang konsep aurat. Bagian-bagian tubuh yang sebelumnya mereka anggap bukan apa-apa, setelah makan buah khuldi mereka jadi merasa perlu untuk menutupinya. Maka kitab suci kurang lebih menerangkan demikian: “...dan mereka menutupi aurat mereka dengan dedaunan...”  
 
Pun begitu dunia kampus yang kini kuanggap bugil. Ia bukanlah bugil secara lahiriahnya. Melainkan pemikiranku tentangnya yang membuat pemahamanku berubah, menganggap bagian-bagian kampus yang sebelumnya bukanlah masalah bagiku, kini menjadi aurat yang kurasa perlu tuk ditutupi dari pandanganku. Pemahaman itu ada setelah aku memakan sebagian buah khuldi yang justru berasal dari pengalaman belajar di kampus. Ironis memang. Tapi begitulah kenyataannya. Kenikmatan memakan buah khuldi (belajar di kampus), membuatku sekilas melihat aurat (rahasia) dunia kampus terbuka. Maka, jangan sesekali memakan buah khuldi itu, kecuali kau penasaran ingin mencicipi dan telah siap terlempar dari percaturan surga intelektual kampus. Kusarankan, janganlah mencobanya jika tak ingin menyesal. Pemikiranku tentang buah khuldi yang satu ini bisa jadi berbahaya. Mungkin telah banyak orang pernah mencicipi dan mengetahuinya, tapi setauku jarang yang menceritakannya secara umum. Mungkin banyak juga yang memilih menikmati dan tenggelam di dalamnya sehingga enggan menceritakan kenikmatannya padamu.

Baiklah, kuceritakan sedikit aurat seindah apa yang tersingkap dihadapanku, dan membuatku melongo memandanginya. Ini hanyalah secuil saja dari apa yang telah kulihat karena aku tak sanggup menceriitakan pengalamanku secara baik. Yang kulihat, dunia kampus adalah dunia tersendiri. Mereka membentuk kelas yang berada di awang-awang. Melayang tanpa pijakan diantara langit (pemerintah) dan bumi (rakyat). Dunia kampus adalah magnet tanpa kutub. Berputar-putar tak terarah. Ia tak pernah benar-benar menyentuh bumi dan sungkan menggapai langit. Teori-teori yang dikembangkan adalah kapas yang terombang-ambing angin. Kadang ia jatuh ke bumi tanpa benar-benar menyentuhnya, kadang melesat jauh tinggi namun tak pernah mencapai langit. Kalaupun ia terkadang membumi dengan adanya pergerakan mahasiswa mengatasnamakan rakyat, itu hanyalah sementara. Sebentar kemudian ia akan tertiup angin sebelum benar-benar berpijak pada bumi. 

Hei, bagaimana dengan reformasi ’98 itu? Ah, bukankah sudah kuceritakan tadi, ia hanya kapas yang tak sempat mendarat di bumi lalu tertiup angin kembali. Refomasi hanya menghasilkan langit baru sementara dunia kampus tetap tak dapat mencapainya. Bahkan langit baru itu justru membuat dunia kampus semakin terombang-ambing di awang-awang. Sementara bumi tak juga jadi pijakan. Begitu seterusnya dunia kampus bergoyang indah, meliuk di awang-awang, mempertontonkan padaku lekuk tubuh indahnya saat menari, menamakan diri sebagai kelas penengah yang padahal pijakan pun tak ia punyai. Mungkin selamanya seperti itu sebelum kapas-kapas tersebut saling mengikatkan diri membentuk benang, benang menjadi kain, kain menciptakan bendera sebagai penengah antara langit dan bumi. Bendera yang tertali pada tiang yang menancap pada bumi sehingga ia tak mudah tersapu angin. Dan saat itulah mungkin aurat kampus tertutupi.
Saat itu terjadi, maka siratan Pramoedya tentang pendidikan dalam “jejak-langkah”nya perlu dikaji ulang: bahwa janganlah percaya pada sekolah. Guru yang baik sekalipun bisa melahirkan bandit paling kejam, apalagi guru yang buruk. Atau mungkin kata-kata itu perlu direvisi agar relevan untuk menutupi aurat kampus: Sekolahlah, kalau perlu sampai pada tingkatan professor, sehingga kau paham betapa sekolah sering menipumu dengan teori-teori yang menggema tanpa pijakan pada kehidupanmu.

Sekarang kau bisa memilih: menutupi aurat dunia kampus dengan dedaunan pohon Khuldi yang telah terjatuh, atau menikmati buah khuldi sehingga kebugilan itu menjadi candu paling nikmat untukmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar