Teruntuk presiden
terpilih, adalah hak saya untuk mengucapkan selamat kepada engkau. Meski,
sahabat Umar bin Khattab justru berucap “innalillahi”
ketika didaulat sebagai pemimpin. Meski saya mungkin juga bukan pendukungmu,
bukan pula pendukung pihak yang tak terpilih.
Jujur, selama
berbulan-bulan saya agak kesal dengan timeline media sosial saya yang penuh
dengan perang antar dua kubu, juga berbagai media massa yang penuh gegap
gempita oleh “pesta demokrasi”. Akhirnya kini saya agak bisa bernafas lega usai
ditetapkannya kandidat pemenang pemilu meski ada pihak yang masih membuat riuh
dengan kemunduran dirinya di detik terakhir (dan membuat timeline saya ramai
lagi oleh perang argumen).
Ada banyak pelajaran
dari proses demokrasi ini. Saya terkadang agak geli sendiri melihat keriuhan
massa di berbagai media. Bukannya menyebar virus apatis, tapi saya memang geli.
Banyak sekali, orang-orang ngotot – bahkan mati-matian mendukung presiden
pilihannya. Berdebat sana-sini, meyakini bahwa presiden pilihannya adalah yang
terbaik dan mampu membuat perubahan. Menurut saya itu sah-sah saja, tapi kadar
gangguan yang sangat itu yang jadi masalah. Perang argumen dan kampanye yang
kebanyakan “hitam” membuat saya akhirnya berpikir nakal : “jika kedua kubu
saling menjelekkan, berarti keduanya tak ada yang layak untuk dipilih, bukan?”
atau “jika keduanya saling mengklaim bahwa mereka-lah yang paling pantas
memimpin, berarti saya boleh dong memilih keduanya?”
Saya lebih geli lagi
ketika menyadari bahwa asas pemilu adalah LUBER (Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia). Inspirasi ini saya dapat dari “Kang Dolob” yang banyak mengajari saya. Yang pertama dan
kedua, masih oke. Tapi coba untuk yang ketiga dan keempat : Bebas dan Rahasia. Katanya
bebas memilih, tapi kenapa saya tiap hari sebelum hari pemungutan suara seakan
diintervensi untuk memilih salah satu diantaranya? Misalnya saya merasa
keduanya pantas dan mengklaim akan mencoblos keduanya, maka datanglah berbagai “nasihat
bijak” bahkan cercaan karena dianggap tidak mendukung proses demokrasi. Ini apa
sih sebenarnya? Katanya rahasia, kok tiap hari menjelang pemilu ditanya-tanya
milih nomer berapa? Atau begini, katanya bebas, kok rahasia? Kalau bebas
berarti gak usah pake rahasia segala deh, gak usah pakai bilik pencoblosan,
langsung saja di voting. Tiap kita datang, panitia pemilu langsung menanyai
siapa pilihat kita, langsung direkapitulasi, dihitung suaranya. Bebas toh?
Ah, maafkan pikiran
nglantur saya, kembali lagi ke topik.
Kenapa kedua pendukung beradu argumen menjelang pemilu lalu? Kenapa ini menjadi
gegap gempita? Seingat saya, dulu di sekolah saya sering diwejangi para guru
agar menghargai pendapat, agar tidak gaduh dalam kelas, bahkan semua itu
terangkum dalam salah satu mata pelajaran (PPKN, kewarganegaraan, atau apapun
itu namanya). Saya heran melihat kenyataan ternyata pelajaran mendasar itu
hanya slogan abal-abal. Buktinya para tokoh cendekia justru membuat gaduh
terutama di media massa demi mendukung presiden pilihan. Dalihnya mungkin : kan
kampanye? Oke, saya hargai itu. tapi mbok
yo tidak usah gaduh. Cukup mengingatkan dan promosi. Lah, akhirnya
masyarakat awam jadi ikut-ikutan gaduh dan membanjiri timeline dengan perang
argumen. Ini kan justru tidak baik untuk generasi penerus seperti saya?
bagaimana bisa baik, kalau tiap hari dijejali perdebatan, yang akhirnya alam
bawah sadar saya bersikeras untuk menirukannya. (Lah wong permasalahan negeri ini kompleks, kok seakan kita digiring
bahwa semua masalah itu bisa selesai dengan berdebat?)
Ini pemilu,
katanya. Satu suara menentukan perubahan Indonesia ke depan. Oke. Tapi
pemahamannya kok terasa hambar ya? Akhirnya mayoritas berpikir bahwa presiden
pilihannya sangat menentukan perubahan ke depan, bahkan ada kandidat yang
dipuja-puja bak dewa penyelamat. Hei, bukankah perubahan hanya bisa dicapai
secara bersama-sama? Bukan menggantungkan pada pilihan sekarang? Bukankah
setiap orang memang harus berubah, terus bekerja, berkarya? Kan sederhana.
Cukup datang mencoblos. Lalu terus berupaya untuk merubah diri ke arah yang
lebih baik. Urusan pemimpin, tak usah dibesar-besarkan. Toh, seringkali kita
kecewa dengan pilihan mayoritas kita, bukan?
Saya yakin, satu
perubahan kecil yang dilakukan secara bersama sangat mempengaruhi perubahan
bersama. Perubahan pola pikir misalnya. Jika kita tetap berpikir (seperti
pemikiran bertahun-tahun sebelumnya) bahwa kehadiran presiden baru akan membawa
perubahan baru tanpa kita sendiri juga berubah. Ini kan sebuah kemandegan?
Status quo? Kenapa kita tetap berpikir seperti itu? Bukankah setiap kita adalah
pemimpin? Kenapa sibuk mengurusi pemilu yang belum tentu membawa perubahan?
Bukan maksud saya untuk mengajak apatis. Tapi kenapa kita tidak berpikir untuk
melakukan perubahan bersama tanpa embel-embel dukungan atau penolakan terhadap
salah satu presiden? Kenapa tidak kita mulai merubah diri. Katanya satu suara
menentukan masa depan bangsa? Lah kalau dalam hal berpikir saja kita masih
enggan berubah, bagaimana bangsa ini bisa berubah? Dimulai dari hal kecil saja,
misalnya saya contohkan diri saya sendiri : Saya sampai sekarang masih malas
sekali membaca, terutama membaca buku. Padahal membaca sangatlah penting. Jika
ingin berubah maka saya harus memaksa diri untuk membaca buku. Maka saya
paksakan untuk membaca buku tiap harinya. Bukankah satu perubahan (“atau satu
suara” menurut kebanyakan orang) menentukan masa depan bangsa ini?
Entahlah, ini hanya
pemahaman dangkalku mengenai slogan yang sering didengungkan menjelang pemilu
lalu : “Suaramu, menentukan masa depan negerimu”. Maafkan saya jika pemahamanku
membuatmu kesal. Dan sekali lagi, teruntuk presiden baru juga pendukungnya,
saya ucapkan selamat. Untuk semuanya, saya membawa pesan dari Kang Dolob :
“Teruslah bekerja/berkarya, jangan berharap pada negara!!!”
Krian, petang hari
usai berbuka puasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar