TUGIEZLAND

Sabtu, 20 September 2014

TULISAN ISENG DARI SEORANG AWAM YANG TAK PAHAM


Teruntuk presiden terpilih, adalah hak saya untuk mengucapkan selamat kepada engkau. Meski, sahabat Umar bin Khattab justru berucap “innalillahi” ketika didaulat sebagai pemimpin. Meski saya mungkin juga bukan pendukungmu, bukan pula pendukung pihak yang tak terpilih. 

Jujur, selama berbulan-bulan saya agak kesal dengan timeline media sosial saya yang penuh dengan perang antar dua kubu, juga berbagai media massa yang penuh gegap gempita oleh “pesta demokrasi”. Akhirnya kini saya agak bisa bernafas lega usai ditetapkannya kandidat pemenang pemilu meski ada pihak yang masih membuat riuh dengan kemunduran dirinya di detik terakhir (dan membuat timeline saya ramai lagi oleh perang argumen). 

Ada banyak pelajaran dari proses demokrasi ini. Saya terkadang agak geli sendiri melihat keriuhan massa di berbagai media. Bukannya menyebar virus apatis, tapi saya memang geli. Banyak sekali, orang-orang ngotot – bahkan mati-matian mendukung presiden pilihannya. Berdebat sana-sini, meyakini bahwa presiden pilihannya adalah yang terbaik dan mampu membuat perubahan. Menurut saya itu sah-sah saja, tapi kadar gangguan yang sangat itu yang jadi masalah. Perang argumen dan kampanye yang kebanyakan “hitam” membuat saya akhirnya berpikir nakal : “jika kedua kubu saling menjelekkan, berarti keduanya tak ada yang layak untuk dipilih, bukan?” atau “jika keduanya saling mengklaim bahwa mereka-lah yang paling pantas memimpin, berarti saya boleh dong memilih keduanya?” 

Saya lebih geli lagi ketika menyadari bahwa asas pemilu adalah LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia). Inspirasi ini saya dapat dari “Kang Dolob”  yang banyak mengajari saya. Yang pertama dan kedua, masih oke. Tapi coba untuk yang ketiga dan keempat : Bebas dan Rahasia. Katanya bebas memilih, tapi kenapa saya tiap hari sebelum hari pemungutan suara seakan diintervensi untuk memilih salah satu diantaranya? Misalnya saya merasa keduanya pantas dan mengklaim akan mencoblos keduanya, maka datanglah berbagai “nasihat bijak” bahkan cercaan karena dianggap tidak mendukung proses demokrasi. Ini apa sih sebenarnya? Katanya rahasia, kok tiap hari menjelang pemilu ditanya-tanya milih nomer berapa? Atau begini, katanya bebas, kok rahasia? Kalau bebas berarti gak usah pake rahasia segala deh, gak usah pakai bilik pencoblosan, langsung saja di voting. Tiap kita datang, panitia pemilu langsung menanyai siapa pilihat kita, langsung direkapitulasi, dihitung suaranya. Bebas toh?

Ah, maafkan pikiran nglantur saya, kembali lagi ke topik. Kenapa kedua pendukung beradu argumen menjelang pemilu lalu? Kenapa ini menjadi gegap gempita? Seingat saya, dulu di sekolah saya sering diwejangi para guru agar menghargai pendapat, agar tidak gaduh dalam kelas, bahkan semua itu terangkum dalam salah satu mata pelajaran (PPKN, kewarganegaraan, atau apapun itu namanya). Saya heran melihat kenyataan ternyata pelajaran mendasar itu hanya slogan abal-abal. Buktinya para tokoh cendekia justru membuat gaduh terutama di media massa demi mendukung presiden pilihan. Dalihnya mungkin : kan kampanye? Oke, saya hargai itu. tapi mbok yo tidak usah gaduh. Cukup mengingatkan dan promosi. Lah, akhirnya masyarakat awam jadi ikut-ikutan gaduh dan membanjiri timeline dengan perang argumen. Ini kan justru tidak baik untuk generasi penerus seperti saya? bagaimana bisa baik, kalau tiap hari dijejali perdebatan, yang akhirnya alam bawah sadar saya bersikeras untuk menirukannya. (Lah wong permasalahan negeri ini kompleks, kok seakan kita digiring bahwa semua masalah itu bisa selesai dengan berdebat?)

Ini pemilu, katanya. Satu suara menentukan perubahan Indonesia ke depan. Oke. Tapi pemahamannya kok terasa hambar ya? Akhirnya mayoritas berpikir bahwa presiden pilihannya sangat menentukan perubahan ke depan, bahkan ada kandidat yang dipuja-puja bak dewa penyelamat. Hei, bukankah perubahan hanya bisa dicapai secara bersama-sama? Bukan menggantungkan pada pilihan sekarang? Bukankah setiap orang memang harus berubah, terus bekerja, berkarya? Kan sederhana. Cukup datang mencoblos. Lalu terus berupaya untuk merubah diri ke arah yang lebih baik. Urusan pemimpin, tak usah dibesar-besarkan. Toh, seringkali kita kecewa dengan pilihan mayoritas kita, bukan?

Saya yakin, satu perubahan kecil yang dilakukan secara bersama sangat mempengaruhi perubahan bersama. Perubahan pola pikir misalnya. Jika kita tetap berpikir (seperti pemikiran bertahun-tahun sebelumnya) bahwa kehadiran presiden baru akan membawa perubahan baru tanpa kita sendiri juga berubah. Ini kan sebuah kemandegan? Status quo? Kenapa kita tetap berpikir seperti itu? Bukankah setiap kita adalah pemimpin? Kenapa sibuk mengurusi pemilu yang belum tentu membawa perubahan? Bukan maksud saya untuk mengajak apatis. Tapi kenapa kita tidak berpikir untuk melakukan perubahan bersama tanpa embel-embel dukungan atau penolakan terhadap salah satu presiden? Kenapa tidak kita mulai merubah diri. Katanya satu suara menentukan masa depan bangsa? Lah kalau dalam hal berpikir saja kita masih enggan berubah, bagaimana bangsa ini bisa berubah? Dimulai dari hal kecil saja, misalnya saya contohkan diri saya sendiri : Saya sampai sekarang masih malas sekali membaca, terutama membaca buku. Padahal membaca sangatlah penting. Jika ingin berubah maka saya harus memaksa diri untuk membaca buku. Maka saya paksakan untuk membaca buku tiap harinya. Bukankah satu perubahan (“atau satu suara” menurut kebanyakan orang) menentukan masa depan bangsa ini? 

Entahlah, ini hanya pemahaman dangkalku mengenai slogan yang sering didengungkan menjelang pemilu lalu : “Suaramu, menentukan masa depan negerimu”. Maafkan saya jika pemahamanku membuatmu kesal. Dan sekali lagi, teruntuk presiden baru juga pendukungnya, saya ucapkan selamat. Untuk semuanya, saya membawa pesan dari Kang Dolob : “Teruslah bekerja/berkarya, jangan berharap pada negara!!!”

Krian, petang hari usai berbuka puasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar