PATUNG
Oleh:
Riz Tugiez*
Kau beberapa kali mengusap keringat
yang mengucur deras, barangkali sederas pikiranku menerka apa yang akan kita
bicarakan. Udara siang ini terlalu panas di sekitar patung Garuda Wisnu
Kencana. Sungguh, kau bukan pria yang pandai memilih waktu untuk mendiskusikan
hal yang agak serius. Seharusnya kau mengajakku kemari beberapa jam sebelum
matahari tenggelam di balik horizon.
“Sudah lima belas tahun lalu,
bukan?” kau akhirnya membuka suara. Angin sepoi dari arah pantai sedikit memberi
kesejukan. Aku mengangguk lirih, merasakan tiap detik momen yang mungkin tidak
akan pernah terjadi lagi. Kau diam lagi dan kembali asyik memandangi patung
setinggi 121 meter ini. Seorang gadis muda melemparkan gawai di depanmu, lalu
seorang lelaki muda buru-buru menghampiri, mengambil gawai yang baru saja dilempar
gadis muda dengan sedikit ribut. Drama kecil yang terjadi di depanmu tak juga
membuatmu berpaling dari patung. Kau terlihat sangat nyaman hanya dengan
memandangi patung tersebut.
“Denny…” aku memanggilmu
lirih. Dan kau masih mematung.
Lima belas tahun bukanlah
waktu yang singkat untuk menyimpan rasa. Betapa hal-hal yang sangat kau
inginkan tapi tidak sempat kau miliki di masa lalu semakin terlihat menawan pada
masa ini. Dan ketika momen itu diulang, rasa itu bisa saja berubah, bisa juga
sama, atau bahkan menghilang. Tapi, yang kurasakan saat ini adalah rasa itu
justru semakin berpendar seakan ingin segera meledak. Tidak mudah bagiku untuk
menyimpan rasa selama itu, meski begitu aku mampu melewatinya.
“Aku baru saja menyadari,
pertemuan menyebalkan lima belasa tahun lalu itu telah menciptakan patung yang
jauh lebih tinggi dan lebih indah dari patung GWK ini, Tan,” aku menoleh,
sedikit terkejut dan kau tersenyum kecil memandang ekspresiku.
Bisakah suatu sejarah
berulang? Barangkali bisa. Bahkan dengan detail momen yang hampir sama. Lima belas
tahun lalu, kita mematung di sini. Ketika itu kau memandangi kaki patung GWK yang
belum jadi. Aku pun melakukan hal yang sama. Aku berimajinasi tentang bagaimana
bentuk patung itu saat jadi nanti. Mungkin kau juga memikirkan hal yang sama. Dan
kita sama-sama ketinggalan rombongan tur kita. Kalau saja waktu itu kau juga
merasakan hal yang sama, akan lain ceritanya sekarang. Sayangnya tidak demikian,
kau saat itu adalah seorang lelaki muda yang sangat cuek namun diam-diam dipuja
banyak gadis sepertiku. Kau membentakku, menyadari telah ketinggalan rombongan
tur sekolah kita. Kau menyalahkanku karena tidak memperingatkanmu yang tengah
melamun di depan kaki patung. Rombongan sekolah kita akan segera berangkat
menuju lokasi wisata lainnya, dan tentu saja kita sudah ditunggu banyak orang. Aku
tidak berani mendebatmu, hanya mengikutimu berlari menuju bus rombongan kita. Selanjutnya
sudah pasti, kita kena omelan dari guru pendamping kita, juga olokan teman-teman
yang mempermalukan kita.
“Baiklah, biar kuperjelas, entah
bagaimana pertemuan itu membuatku mencintaimu. Sudah lima belas tahun berlalu,
dan perasaan ini masih sangat menggangguku,” kau menundukkan kepala.
Aku terkesiap. Perasaan bercampur
aduk. Seharusnya pertemuan ini tidak terjadi jika saja aku mau. Bukankah hidup
ini pilihan? Bodohnya diriku memilih untuk larut dalam kenangan. Adrenalinku membuncah
mendengarmu mengakui perasaanmu. Itu semacam bagaimana perasaanmu ketika sedang
jatuh cinta pertama kalinya, ditambah dengan perasaan-perasaan lain yang kau
bangun dari alam bawah sadar atas berbagai pengalaman hidup. Seperti ketika kau
sedang menjilat es krim cokelat, lalu kau celupkan ke dalam susu dingin, dan
kau meneguknya, antara terlalu manis mendekati hambar.
“Kau tidak sedang bercanda,
Den?”
Dia memandangiku penuh arti. Lalu
menggelengkan kepala. Burung camar berseliweran di sekitar GWK. Beberapa diantaranya
hinggap di sayap garuda, dan lainnya berputaran mengelilingi kepala Wisnhu. Mereka
seakan mengolokku yang tengah dilanda kebingungan dahsyat untuk mengendalikan
rasa ini. Aku tahu, betapapun membuncahnya perasaaan ini, aku tidak mungkin
lagi menerima kenyataan bahwa kau, entah bagaimana caranya, telah membangun
perasaan itu dan baru kau nyatakan sekarang, saat kita sama-sama telah
berkeluarga. Aku tidak mungkin menjilat es krim coklat dan meneguk segelas susu
dalam waktu bersamaan. Itu memang sangat manis, tapi lidah tidak mungkin
merasakan hal manis dalam waktu bersamaan, ia akan terasa hambar.
“Kau tahu, akan berbeda ceritanya
kita jika saja kau mengungkapkannya sejak lima belas tahun lalu, Den. Saat itu
aku sedang sering memikirkan tentangmu. Dan barangkali saat itu tidak ada satu
patung pun yang sedang dibangun dalam hatimu. Bahkan sekedar kakinya pun tak ada,”
“Ya, kau benar, Tania. Bukankah
kehidupan ini adalah sebuah proses tiada henti? Kau ingat kan bagaimana kondisi
patung ini ketika lima belas tahun lalu? Dan bagaimana kondisinya sekarang? Patung
ini bahkan butuh 28 tahun untuk berdiri kokoh dan menambah estetika, selain
sebagai simbol pengabdian pada bumi tentunya. Demikian pula yang terjadi padaku.”
“Patung ini dibangun
berdasarkan cerita mitos, Den. Ia akan sangat berbahaya jika hanya dijadikan monumen
untuk kebanggaan diri. Dan lagi, patung ini diciptakan untuk menciptakan
sejarah, namun disusun atas mitos di masa lalu yang tidak mungkin terjadi. Paradoks,
kan? Begitulah, setiap manusia membutuhkan simbol untuk melanjutkan hidup. Tapi
kebanyakan simbol yang diciptakan manusia dibangun atas mitos dan
ketidakmampuan manusia membenahi masa lalunya. Padahal manusia menciptakan
simbol-simbol itu untuk mengarahkan hidup sesuai imajinasi yang mereka buat
sendiri.”
“Kurasa kau tidak akan setegar
Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia-nya Pramoedya, Tan? Kau tidak perlu
melakukan ini. Kau hanya perlu menikmati momen ini, Tan.”
“Ya, dan kau seharusnya tidak secengeng
seorang Mayor dalam buku kumpulan cerpen Man Without Women yang dicipta Ernest
Hemingway, Den.”
Kau menoleh, sedikit melotot padaku.
baiklah, kau tidak sedang ingin
mengajakku berdebat. Tapi ini harus sudah dituntaskan sebelum kita meninggalkan
tempat ini.
“Aku memang tidak sekuat Nyai
Ontosoroh, Den. Aku akui, aku juga punya perasaan yang sama denganmu, bahkan
jauh melebihi. Sebab bangunan perasaanku membesar tiap detiknya. Kau tau, aku hampir
segila Anggun Prameswari dalam Wanita dan Semut-semut di Kepalanya. Saat
kau mengakui perasaanmu tadi, aku hampir saja meledak. Tapi seketika itu
perasaan itu luluh, mencair bersamaan aku menyadari bahwa kita sudah berkeluarga.
Kau bukanlah Mayor yang diceritakan Ernest Hemingway. Kau lebih cengeng, dan
lebih pengecut dari Mayor itu. Mayor itu benar-benar mencintai istrinya sejak
awal dan ia merawat perasaan itu hingga tak sanggup menerima kenyataan jika
istrinya tiada.
“Tapi kau? Kau membangun
perasaanmu setelah kita tak lagi bersama. Kau tidak pernah benar-benar
membangunnya dari awal. Ya, mungkin ini yang dinamakan cinta datang terlambat. Kau
bisa beralasan sebagaimana ungkapan seniman ulung Sujiwo Tedjo: Kau bisa memilih
untuk menikahi siapapun, tapi kau tidak bisa memilih siapa yang kau cintai.
Tapi untuk kasus ini, tidak. Sekali lagi, tidak, Den!”
Kau tersenyum masam
mendengarku. Burung camar yang berseliweran tadi sudah jarang terlihat. Selembar
daun gugur dari dahannya. Pohon induknya adalah Trembesi, tempat kita duduk berteduh
dengan mendiskusikan hal yang agak ‘serius’: Rasa.
“Kau menang, Tan. Akan selalu
seperti itu. Tapi patung dan simbol-simbol dibuat manusia untuk mengubah
sejarah hidupnya. Manusia menginginkan banyak hal. Dan kebanyakan diantara
imajinasi manusia adalah hal-hal yang sulit dijangkau olehnya. Itu menjadi alasan
manusia tetap hidup. Aku hanya sekedar mengungkapkan rasa yang menggangguku, apa
itu salah? Aku tau, ini bukan waktu yang tepat. Seharusnya aku lebih mampu
mengendalikannya. Aku tidak ingin patung dalam perasaanku itu kian membesar dan
menggangu hidupku. Ia bukan sesembahan, karena itu aku perlu menghancurkannya
dengan mengungkapkan perasaan itu sekarang.”
“Kau tidak pernah benar-benar
menghancurkannya, Den. Kau bahkan tidak pernah membangunnya sama sekali. Jika
kau membangunnya sejak awal, tidak seharusnya kau mengatakannya ketika dengan
sadar kau mengetahui aku telah berkeluarga. Atau mungkin, kita benar-benar terjebak
waktu?”
“Ya, kau benar, Tan,” kau
menunduk lagi. “Kita terjebak waktu.”
“Mungkin… “ Aku mengangkat
bahu.
Hari menjelang sore,
orang-orang semakin banyak berdatangan ke area GWK.
Manusia. Mereka berusaha keras
untuk mengulang sejarah dan memperbaiki masa lalunya. Manusia menciptakan
simbol, patung, keinginan seperti apa hidup yang dikehendakinya di masa depan dan
menjadikannya sesembahan hidup, dan mereka harus kehilangan masa sekarang. Demi
Waktu, Sungguh manusia itu merugi. Bahkan ketika keinginan-keinginan itu
telah terpenuhi, manusia tidak akan merasakan hal yang sama dengan ketika
keinginan itu masih menjadi angan-angan. Seringkali keinginan yang telah
terwujud hanya menjadi hambar. Dan manusia membutuhkan keinginan lain untuk terus
melanjutkan hidup.
Kau berdiri. Kembali menatapku
penuh arti. Sungguh, ini sangat memporak-porandakanku. “Aku harus segera ke
bandara, maafkan aku” katamu setengah membelakangiku dan berlalu pergi.
Desember 2019
*Riz
Tugiez
Sedang menjalani
peran sebagai staff administrasi di sebuah lembaga.