TUGIEZLAND

Jumat, 24 Februari 2023

PATUNG

 

PATUNG

Oleh: Riz Tugiez*

 

Kau beberapa kali mengusap keringat yang mengucur deras, barangkali sederas pikiranku menerka apa yang akan kita bicarakan. Udara siang ini terlalu panas di sekitar patung Garuda Wisnu Kencana. Sungguh, kau bukan pria yang pandai memilih waktu untuk mendiskusikan hal yang agak serius. Seharusnya kau mengajakku kemari beberapa jam sebelum matahari tenggelam di balik horizon.

“Sudah lima belas tahun lalu, bukan?” kau akhirnya membuka suara. Angin sepoi dari arah pantai sedikit memberi kesejukan. Aku mengangguk lirih, merasakan tiap detik momen yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi. Kau diam lagi dan kembali asyik memandangi patung setinggi 121 meter ini. Seorang gadis muda melemparkan gawai di depanmu, lalu seorang lelaki muda buru-buru menghampiri, mengambil gawai yang baru saja dilempar gadis muda dengan sedikit ribut. Drama kecil yang terjadi di depanmu tak juga membuatmu berpaling dari patung. Kau terlihat sangat nyaman hanya dengan memandangi patung tersebut.

“Denny…” aku memanggilmu lirih. Dan kau masih mematung.



Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyimpan rasa. Betapa hal-hal yang sangat kau inginkan tapi tidak sempat kau miliki di masa lalu semakin terlihat menawan pada masa ini. Dan ketika momen itu diulang, rasa itu bisa saja berubah, bisa juga sama, atau bahkan menghilang. Tapi, yang kurasakan saat ini adalah rasa itu justru semakin berpendar seakan ingin segera meledak. Tidak mudah bagiku untuk menyimpan rasa selama itu, meski begitu aku mampu melewatinya.


“Aku baru saja menyadari, pertemuan menyebalkan lima belasa tahun lalu itu telah menciptakan patung yang jauh lebih tinggi dan lebih indah dari patung GWK ini, Tan,” aku menoleh, sedikit terkejut dan kau tersenyum kecil memandang ekspresiku.

Bisakah suatu sejarah berulang? Barangkali bisa. Bahkan dengan detail momen yang hampir sama. Lima belas tahun lalu, kita mematung di sini. Ketika itu kau memandangi kaki patung GWK yang belum jadi. Aku pun melakukan hal yang sama. Aku berimajinasi tentang bagaimana bentuk patung itu saat jadi nanti. Mungkin kau juga memikirkan hal yang sama. Dan kita sama-sama ketinggalan rombongan tur kita. Kalau saja waktu itu kau juga merasakan hal yang sama, akan lain ceritanya sekarang. Sayangnya tidak demikian, kau saat itu adalah seorang lelaki muda yang sangat cuek namun diam-diam dipuja banyak gadis sepertiku. Kau membentakku, menyadari telah ketinggalan rombongan tur sekolah kita. Kau menyalahkanku karena tidak memperingatkanmu yang tengah melamun di depan kaki patung. Rombongan sekolah kita akan segera berangkat menuju lokasi wisata lainnya, dan tentu saja kita sudah ditunggu banyak orang. Aku tidak berani mendebatmu, hanya mengikutimu berlari menuju bus rombongan kita. Selanjutnya sudah pasti, kita kena omelan dari guru pendamping kita, juga olokan teman-teman yang mempermalukan kita.

“Baiklah, biar kuperjelas, entah bagaimana pertemuan itu membuatku mencintaimu. Sudah lima belas tahun berlalu, dan perasaan ini masih sangat menggangguku,” kau menundukkan kepala.

Aku terkesiap. Perasaan bercampur aduk. Seharusnya pertemuan ini tidak terjadi jika saja aku mau. Bukankah hidup ini pilihan? Bodohnya diriku memilih untuk larut dalam kenangan. Adrenalinku membuncah mendengarmu mengakui perasaanmu. Itu semacam bagaimana perasaanmu ketika sedang jatuh cinta pertama kalinya, ditambah dengan perasaan-perasaan lain yang kau bangun dari alam bawah sadar atas berbagai pengalaman hidup. Seperti ketika kau sedang menjilat es krim cokelat, lalu kau celupkan ke dalam susu dingin, dan kau meneguknya, antara terlalu manis mendekati hambar.

“Kau tidak sedang bercanda, Den?”

Dia memandangiku penuh arti. Lalu menggelengkan kepala. Burung camar berseliweran di sekitar GWK. Beberapa diantaranya hinggap di sayap garuda, dan lainnya berputaran mengelilingi kepala Wisnhu. Mereka seakan mengolokku yang tengah dilanda kebingungan dahsyat untuk mengendalikan rasa ini. Aku tahu, betapapun membuncahnya perasaaan ini, aku tidak mungkin lagi menerima kenyataan bahwa kau, entah bagaimana caranya, telah membangun perasaan itu dan baru kau nyatakan sekarang, saat kita sama-sama telah berkeluarga. Aku tidak mungkin menjilat es krim coklat dan meneguk segelas susu dalam waktu bersamaan. Itu memang sangat manis, tapi lidah tidak mungkin merasakan hal manis dalam waktu bersamaan, ia akan terasa hambar.

“Kau tahu, akan berbeda ceritanya kita jika saja kau mengungkapkannya sejak lima belas tahun lalu, Den. Saat itu aku sedang sering memikirkan tentangmu. Dan barangkali saat itu tidak ada satu patung pun yang sedang dibangun dalam hatimu. Bahkan sekedar kakinya pun tak ada,”

“Ya, kau benar, Tania. Bukankah kehidupan ini adalah sebuah proses tiada henti? Kau ingat kan bagaimana kondisi patung ini ketika lima belas tahun lalu? Dan bagaimana kondisinya sekarang? Patung ini bahkan butuh 28 tahun untuk berdiri kokoh dan menambah estetika, selain sebagai simbol pengabdian pada bumi tentunya. Demikian pula yang terjadi padaku.”

“Patung ini dibangun berdasarkan cerita mitos, Den. Ia akan sangat berbahaya jika hanya dijadikan monumen untuk kebanggaan diri. Dan lagi, patung ini diciptakan untuk menciptakan sejarah, namun disusun atas mitos di masa lalu yang tidak mungkin terjadi. Paradoks, kan? Begitulah, setiap manusia membutuhkan simbol untuk melanjutkan hidup. Tapi kebanyakan simbol yang diciptakan manusia dibangun atas mitos dan ketidakmampuan manusia membenahi masa lalunya. Padahal manusia menciptakan simbol-simbol itu untuk mengarahkan hidup sesuai imajinasi yang mereka buat sendiri.”

“Kurasa kau tidak akan setegar Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia-nya Pramoedya, Tan? Kau tidak perlu melakukan ini. Kau hanya perlu menikmati momen ini, Tan.”

“Ya, dan kau seharusnya tidak secengeng seorang Mayor dalam buku kumpulan cerpen Man Without Women yang dicipta Ernest Hemingway, Den.”

Kau menoleh, sedikit melotot padaku.  baiklah, kau tidak sedang ingin mengajakku berdebat. Tapi ini harus sudah dituntaskan sebelum kita meninggalkan tempat ini.

“Aku memang tidak sekuat Nyai Ontosoroh, Den. Aku akui, aku juga punya perasaan yang sama denganmu, bahkan jauh melebihi. Sebab bangunan perasaanku membesar tiap detiknya. Kau tau, aku hampir segila Anggun Prameswari dalam Wanita dan Semut-semut di Kepalanya. Saat kau mengakui perasaanmu tadi, aku hampir saja meledak. Tapi seketika itu perasaan itu luluh, mencair bersamaan aku menyadari bahwa kita sudah berkeluarga. Kau bukanlah Mayor yang diceritakan Ernest Hemingway. Kau lebih cengeng, dan lebih pengecut dari Mayor itu. Mayor itu benar-benar mencintai istrinya sejak awal dan ia merawat perasaan itu hingga tak sanggup menerima kenyataan jika istrinya tiada.

“Tapi kau? Kau membangun perasaanmu setelah kita tak lagi bersama. Kau tidak pernah benar-benar membangunnya dari awal. Ya, mungkin ini yang dinamakan cinta datang terlambat. Kau bisa beralasan sebagaimana ungkapan seniman ulung Sujiwo Tedjo: Kau bisa memilih untuk menikahi siapapun, tapi kau tidak bisa memilih siapa yang kau cintai. Tapi untuk kasus ini, tidak. Sekali lagi, tidak, Den!”

Kau tersenyum masam mendengarku. Burung camar yang berseliweran tadi sudah jarang terlihat. Selembar daun gugur dari dahannya. Pohon induknya adalah Trembesi, tempat kita duduk berteduh dengan mendiskusikan hal yang agak ‘serius’: Rasa.

“Kau menang, Tan. Akan selalu seperti itu. Tapi patung dan simbol-simbol dibuat manusia untuk mengubah sejarah hidupnya. Manusia menginginkan banyak hal. Dan kebanyakan diantara imajinasi manusia adalah hal-hal yang sulit dijangkau olehnya. Itu menjadi alasan manusia tetap hidup. Aku hanya sekedar mengungkapkan rasa yang menggangguku, apa itu salah? Aku tau, ini bukan waktu yang tepat. Seharusnya aku lebih mampu mengendalikannya. Aku tidak ingin patung dalam perasaanku itu kian membesar dan menggangu hidupku. Ia bukan sesembahan, karena itu aku perlu menghancurkannya dengan mengungkapkan perasaan itu sekarang.”

“Kau tidak pernah benar-benar menghancurkannya, Den. Kau bahkan tidak pernah membangunnya sama sekali. Jika kau membangunnya sejak awal, tidak seharusnya kau mengatakannya ketika dengan sadar kau mengetahui aku telah berkeluarga. Atau mungkin, kita benar-benar terjebak waktu?”

“Ya, kau benar, Tan,” kau menunduk lagi. “Kita terjebak waktu.”

“Mungkin… “ Aku mengangkat bahu.

Hari menjelang sore, orang-orang semakin banyak berdatangan ke area GWK.

Manusia. Mereka berusaha keras untuk mengulang sejarah dan memperbaiki masa lalunya. Manusia menciptakan simbol, patung, keinginan seperti apa hidup yang dikehendakinya di masa depan dan menjadikannya sesembahan hidup, dan mereka harus kehilangan masa sekarang. Demi Waktu, Sungguh manusia itu merugi. Bahkan ketika keinginan-keinginan itu telah terpenuhi, manusia tidak akan merasakan hal yang sama dengan ketika keinginan itu masih menjadi angan-angan. Seringkali keinginan yang telah terwujud hanya menjadi hambar. Dan manusia membutuhkan keinginan lain untuk terus melanjutkan hidup.

Kau berdiri. Kembali menatapku penuh arti. Sungguh, ini sangat memporak-porandakanku. “Aku harus segera ke bandara, maafkan aku” katamu setengah membelakangiku dan berlalu pergi.

 

Desember 2019

 

*Riz Tugiez

Sedang menjalani peran sebagai staff administrasi di sebuah lembaga.